Umat sebagai Pohon Zaitun

Saudara dari ayat-ayat ini kita melihatada gambaran tentang Israel yang sangat indah di dalam Roma 11, Paulus menggambarkansetiap orang yang percaya, mereka itu berbagian di dalam pohon zaitun dan di dalam roti sulung. Tentu ini berkait kepada janji Tuhan kepada Abraham, karena ini yang kita lihat konsisten dibahas oleh Paulus. Dari bagian awal, Paulus memberikan penekananberkat yang diterima oleh orang percaya, baik itu orang Israel maupun dari bangsa-bangsa lain, itu sama dengan berkat yang Tuhan berikan kepada Abraham. Jadi pengertianAbraham adalah bapa orang beriman ini sesuatu yang berulang, berulang di dalam Surat Roma. Menekankan pentingnya memahami bagaimana Tuhan berjanji dengan Abraham. Saudara kalau membaca kisah Abraham, Saudara akan melihat kisah orang yang bertumbuh kesetiaannya, bukan orang yang secara sempurna sudah setia. Dia adalah orang yang setia, memang dia mempunyai kesetiaan dan iman kepada Tuhan dari awal. Tetapi ekspresi kesetiaan itu bertumbuh, dia awalnya mempunyai kekhawatiranjanji Tuhan tidak akan terlaksana. Dia khawatir sekali ketika dia datang ke Tanah Kanaan dan dia melihat bagian yang kering dari tanah itu, sehingga dia pergi ke Mesir. Lalu dia juga melihat janji Tuhan adalah sesuatu yang mustahil dilakukan tanpa bantuan atau tanpa tradisi manusia. “Kalau saya tidak bisa punya anak, kalau istriku juga sudah tidak bisa punya anak. Mungkin kalau aku mempunyai relasi dengan perempuan lain. Aku bisa mempunyai anak dari dia”. Maka Abraham pun tidur dengan hamba perempuan dari Sara. Ini sesuatu yang secara budaya sangat biasa, karena seorang istri mempunyai hamba dan siapa menikahi istri itu, dia menikahi seluruh hamba yang dimiliki oleh istri. Saudara akan mengatakan “aneh, seperti itu kan tidak suci, itu tidak diinginkan oleh Tuhan”, betul, tetapi budaya pada waktu itu menyatakan hal ini sebagai hal yang biasa. Ini bukan sesuatu yang Tuhan mau, tetapi Tuhan membentuk budaya melalui firmanNya dengan tahapan yang sangat sabar. Kadang-kadang kita bingung mengapa orang tidak langsung berubah, kita tuntut itu ke orang lain, kita tidak sadar kita juga tidak langsung berubah. Orang tua mengatakan, “mengapa anakku ini sudah dengar kotbah tapi belum berubah juga?”, kalau si anak boleh ngomong, dia akan balik mengatakan, “memangnya orang tua sudah?”. Kita juga akan mengatakan “ada aspek dimana saya sudah dengar khotbah, tapi belum berubah juga”. Sama, ketika kita melihat cara Tuhan membentuk manusia secara kebudayaan menyeluruh, Tuhan juga membentuk dengan kesabaran yang besar. Ini bukan ada satu instruksi, lalu kemudian terjadilah. Kita seringkali memperlakukan pernyataan firman atau pengabaran firman itu sebagai pengabaran hukum. Tapi kita lupadi dalam Perjanjian Lama yang ditafsirkan hukum dalam bahasa Yunani itu artinya adalah pengajaran, teaching. Taurat itu bukan hukum tapi pengajaran dan pengajaran itu kalau kita lihat di dalam Kitab Ulangan diajar berulang-ulang, ada pengulangan. Dibentuk dengan pengulangan, dibiasakan dengan pengulangan. Pendidikan itu bukan pembentukan yang kita bisa paksakan, tetapi sesuatu yang kita bisa berbagian, tetapi Tuhan yang memberikan pertumbuhan. Ini gambaran tentu juga ada di dalam Alkitab, karena Paulus di dalam Surat Korintus mengatakanada yang menanam ada yang menyiram. Tapi yang lebih penting dari semua adalah Tuhan yang memberi pertumbuhan. Kalau ini kita pahami di dalam perlakuan Tuhan, membentuk pribadi-pribadi yang percaya, maka kita juga lihat ini cara Tuhan membentuk kebudayaan manusia. Ada tahap, ada sejarah yang panjang untuk Tuhan membentuk kebudayaan sehingga kita mengerti ternyata pernikahan itu adalah satu laki-laki dengan satu perempuan. Dan ketika Abraham tidur dengan Hagar, lalu ada anak dari Hagar, ini anaknya Sara dalam kebudayaan waktu itu. Tetapi Tuhan mengatakan kepada Abraham “bukan ini yang akan jadi ahli waris”. Waktu Abraham bertanya “mengapa bukan? Bolehkah Ismael menjadi penerus dari seluruh janjiMu kepada saya? Mengapa tidak boleh? Kebudayaan mengizinkan ini bahkan mengaturkan seperti ini. Ini anak saya, ini anaknya Sara juga meskipun lewat hamba”, tapi Tuhan mengatakan kalimat yang tidak biasa pada waktu itu. Tuhan mengatakan “anak dari Saralah yang akan jadi penerus, yang akan jadi ahli waris”. Jadi bukan anak dari hamba perempuan, tapi anak dari Sara. Bukankah anak dari hamba perempuan adalah anak sang tuan atau sang perempuan yang memiliki hamba itu? Ini wajar dalam kebudayaan itu. Tapi Tuhan mengatakan “bagi budaya wajar. Bagi Aku tidak, anak dari Saralah yang akan menjadi penerusmu”. Kita belajar kelincahan, waktu membaca karya-karya kuno seperti Alkitab, ini karya kuno yang masih berdampak terus sampai sekarang dan selamanya.

Waktu kita membaca karya kuno pikiran kita itu dilatih untuk lincah. Dilatih untuk switch budaya, menyadarikebudayaan kita ini bukan kebudayaan yang berlaku selamanya, dulu tidak begini. Jadi kita punya kelincahan menafsirkan sehingga kita tidak menjadi self center. Kadang-kadang membaca karya-karya yang beda zaman membuat kita belajar tidak berpusat ke diri karena kebudayaanku ternyata bukan kebudayaan yang sudah berlangsung lama, bukan yang dominan sepanjang sejarah. Jadi kita belajar melihat dulu ternyata seorang perempuan yang baik, yang kedudukannya menengah, dia punya hamba dan hamba ini adalah milik dia, barangnya bukan orang lain gitu ini adalah posesi dari perempuan itu. Maka kalau ada laki-laki menikah dengan perempuan itu, dia menikah juga dengan para budak yang ada di dalam penguasaan dari perempuan itu. Kalau ini kita mengerti membuat kita tahu Tuhan dengan sabar merubah cara orang berbudaya, dengan hati-hati menjalankan ini sehingga ada pembentukan yang membuat kita melihat mulusnya pekerjaan Tuhan di dalam sejarah dengan sabar Tuhan nyatakan. Sehingga waktu Tuhan menyatakan perubahan, Tuhan menyatakan dengan jelas kepada Abraham, “kamu tidak akan mewariskan semua yang kamu miliki kepada anak dari hamba ini. Kamu akan mewariskannya kepada anak dari Sara. Inilah anak perjanjian itu”. Kalau dia anak perjanjian, lalu bagaimana dengan Ismael? Ismael bukan orang pilihan. Kalau dia bukan orang pilihan, apa yang akan terjadi pada dia? Kalimat berikutnya menunjukkan anugerah umum Tuhan. “Dia pun akan Aku berkati dengan sangat besar. Aku akan membuat dia jadi bangsa yang besar. 12 Raja akan keluar dari dia dan Aku akan memberkati dia dengan limpah”. Jadi Tuhan memberi berkat kepada mereka yang bukan pilihan, meskipun tentu bukan berkat perjanjian seperti yang Dia berikan kepada Abraham. Jadi Tuhan memberi berkat kepada Abraham, lalu Abraham belajar untuk mengerti “inilah cara Tuhan melatih saya membentuk dan mendewasakan saya. Tuhan membimbing saya dan Tuhan sabar kepada saya”, sehingga dia belajar mengerti ternyata waktu Tuhan tiba di dalam saat yang dia tidak sangka sama sekali. Dia tidak tahu kapan Tuhan akan sempurnakan pekerjaannya. Dan dia baru sadar saat waktu dia sudah tua, saat dimana tidak mungkin lagi ada anak, saat itulah Tuhan memberikan anak dan ini membuat Abraham menjadi belajar beriman. Sehingga ketika Tuhan mengatakan “bawa anakmu yang sulung itu, yang tunggal itu, yang engkau kasihi, persembahkan dia sebagai korban”, Abraham bawa. Ini yang menunjukkan iman Abraham, sesuatu yang sangat berani, sangat sulit untuk kita pahami, tapi Abraham melangkah untuk lakukan. Apakah dia sudah punya iman sebesar ini dari awal? Tidak, tetapi dia bertumbuh di dalam iman nya. Jadi waktu kita lihat relasi Tuhan dengan Abraham, kita melihat keindahan dari anugerah Tuhan yang memanggil orang menjadi milikNya karena keputusan kehendak Dia. Dia yang putuskan mau pilih Abraham, bukan karena Dia melihat Abraham akan menjadi orang yang baik. Kita ingat apa yang dikatakan Agustinuscinta Tuhanlah yang membuat ada yang baik di dalam diri seseorang. Waktu Tuhan pilih seseorang, orang itu jadi baik karena Tuhan bukan karena dia baik, maka Tuhan pilih. Sebab dan akibatnya tidak boleh salah. “Mengapa saya baik?”, karena Tuhan pilih, bukan “karena saya baik, maka Tuhan pilih. Jadi siapa yang Tuhan pilih, dia akan Tuhan bentuk jadi baik. Dan Abraham adalah contohnya.

Roh Kudus dalam Perjamuan Kudus

Di dalam pengertian tentang Perjamuan Kudus, ada satu tema yang sangat penting, ini menjadi bagian yang diperdebatkan juga di dalam reformasi terutama di dalam periode awal yaitu mengenai kehadiran Tuhan. Tuhan adalah Allah yang senantiasa hadir dan Perjamuan Kudus memberikan kepada kita pengalaman makan bersama, menikmati kehadiran Tuhan. Inilah kehadiran yang sangat diperlukan untuk dipahami ada dalam Perjamuan Kudus. Di dalam tradisi Reformed, salah satu pendapat yang ditentang baik oleh Katolik maupun oleh Lutheran dan Calvin sendiri adalah melihat Perjamuan Kudus hanya sekedar mengingat peristiwa lama. Itu merupakan sesuatu yang memang Tuhan katakan, “perbuatlah ini untuk mengingat Aku”. Tetapi yang kita perlu pahami juga adalah waktu Tuhan mengatakan “perbuatlah ini untuk mengingat Aku”, Tuhan juga menyerahkan roti dan mengatakan “inilah tubuhKu yang diserahkan bagi kamu”. Berarti ketika kita menikmati Perjamuan Kudus, pada saat itu kita sedang menikmati kehadiran Tuhan. Kehadiran yang dinyatakan lewat cara yang lain dengan khotbah. Khotbah menyatakan Tuhan hadir lewat bicara, lewat kata-kata, tapi perjamuan menyatakan Tuhan hadir lewat media yang bisa disentuh yang kita bisa makan dan kita bisa minum yaitu roti dan anggur. Itulah sebabnya salah satu tradisi yang sangat penting, tetapi yang mungkin terlupakan adalah tradisi perdebatan mengenai Perjamuan Kudus. Biasanya orang akan mengatakan “jangan suka berdebat. Mari kita hidup di dalam harmoni. Kalau kita mau akrab, kita tidak saling beda pendapat itu baru bagus.” Tapi kadang-kadang kita lupa bahwa untuk kesatuan tanpa ada perdebatan, kita sedang menunjukkan kemunafikan. Kemunafikan karena kita tidak menunjukkan posisi kita demi perdamaian. Kita tidak merasa perlu untuk mempertahankan posisi kita demi damai. Itu berarti apa yang kita rasa tidak perlu diungkapkan, tidak perlu dipertahankan, itu tidak penting. Kalau Saudara tidak berdebat tentang satu hal, itu berarti hal itu Saudara anggap tidak penting, dan ada banyak hal yang tidak perlu diperdebatkan. Memang ada banyak hal yang tidak perlu dipertengkarkan. Tapi kalau kita tidak punya bijaksana untuk tahu mana penting mana tidak, kita akan berdamai untuk hal yang penting dan kita akan ngotot untuk hal yang tidak penting, ini kebodohan. Pertengkaran yang tidak perlu terjadi karena kita pertahankan hal yang tidak penting, itu bodoh. Tetapi hal penting yang harus dipertahankan tidak boleh dibiarkan tanpa diperdebatkan. Ini pendapat yang dimiliki oleh para Reformator. Itu sebabnya mereka mengkritik pemikiran dari tradisi Katolik yang terlalu menekankan kekuasaan dari para pemimpin gereja. Kekuasaan di dalam menyampaikan kebenaran, kekuasaan di dalam menyatakan mana yang perlu untuk keselamatan dan kekuasaan yang akhirnya merebut otoritas yang harusnya dimiliki oleh Kitab Suci. Ketika orang-orang Reformasi protes dengan menyatakan seharusnya firman Tuhan yang disebarkan bukan ajaran gereja yang tidak punya kekuatan di dalam tafsiran firman Tuhan dan di dalam tradisi yang benar. Ketika ini ditekankan akhirnya ada pembelaan mengatakan “kalau kita tidak pegang apa yang dikatakan oleh Paus dan gereja, maka kamu akan tafsirkan Alkitab dengan sembarangan”. Tetapi Calvin melawan ini dengan mengatakan Kristen yang sejati tidak hanya ngotot terhadap tafsiran sendiri. Alkitab ditafsirkan secara bersama-sama, Alkitab ditafsirkan secara komunal. Ini adalah buku untuk sebuah komunitas dan komunitas itu bertanggung jawab untuk menafsirkannya bersama-sama, bertanggung jawab untuk saling cek apakah tafsiran yang diajarkan itu benar atau tidak. Inilah yang ditekankan di dalam Reformasi. Jadi bukan karena kita mengatakan sola scriptura hanya Alkitab saja, maka tafsiran kita yang menjadi benar, itu bukan sola scriptura, itu namanya sola saya, sola tafsiranku. Itu sebabnya kita perlu untuk menafsirkan Kitab Suci di dalam sebuah komunitas yang saling menyeimbangkan. Dan karena itu untuk saling menyeimbangkan perlu ada perdebatan kalau ada beda pendapat. Kalau yang satu mengatakan Perjamuan Kudus itu cuma sekedar mengingat, maka yang lain akan mengatakan jangan mengatakan sekedar mengingat. Karena meskipun Tuhan mengatakan mengingat, kehadiran Tuhan itu penting dan kalau kita tidak menikmati perjamuan karena ingin menikmati kehadiran Tuhan, kita akan kehilangan makna Perjamuan Kudus. Kadang-kadang kita tidak mengerti mengapa harus ikut Perjamuan Kudus atau kadang-kadang orang memberi arti yang lain dari Perjamuan Kudus. Maka kita mesti kembali ke Kitab Suci mengenai apa yang harus dipahami melalui sebuah Perjamuan Kudus.

Di ayat ini, ada 2 hal yang mau ditekankan. Pertama, ada kerinduan untuk persekutuan. Persekutuan di dalam keadaan akrab di mana orang-orang yang saling mengasihi terlibat di dalamnya. Perjamuan Kudus adalah tentang kesatuan di dalam Kristus. Di dalam 1 Korintus 11, Paulus menekankan pentingnya kesatuan gereja melalui saling menerima. Jangan ada 2 kelompok orang yang mengadakan perjamuan. Kelompok pertama adalah orang yang perjamuan dengan makanan yang baik, makanan orang kaya. Yang satu lagi adalah perjamuan dengan makanan sederhana, roti yang murah. Paulus mengatakan “kalau ini yang kamu lakukan, Tuhan akan hukum kamu, Tuhan akan hukum kamu dengan penyakit bahkan dengan kematian”. Paulus mengatakan, “jika kamu makan perjamuan tanpa mengakui tubuh Tuhan”, maksudnya tanpa mengakui Saudara seiman “kamu akan dihukum oleh Tuhan”. Kita biasanya menafsirkan kalau mau ikut perjamuan harus suci dulu, jangan berdosa supaya nanti ketika pegang roti tidak dihukum. Tapi 1 Korintus 11 tidak sedang bicara itu, melainkan sikap kita terhadap saudara seiman yang lain. Kadang-kadang kita tidak sadar bahwa perlakuan kita terhadap sesama itu adalah nilai etika yang Tuhan berikan tekanan untuk dihakimi. Saya tidak mengatakan hal-hal yang lain juga tidak perlu untuk diseimbangkan atau dijaga. Tapi cara kita perlakukan sama itu adalah inti dari hukum Tuhan sebenarnya. Kasihilah sesamamu dan itu yang Paulus katakan menjadi inti dari segala aturan dan hukum Taurat. Jadi ketika makan ada keakraban, undangan dari Tuhan untuk orang-orang yang saling mengasihi bersekutu. Maka persekutuan itu penting. Dan kita seringkali membuat reduksi persekutuan itu hanya sekedar keramahan wajah ketika menyambut orang. Saya pikir ini adalah penilaian yang sangat terburu-buru dan terlalu dangkal. Kita meletakkan pengertian persekutuan di dalam ekspresi citra yang menunjukkan keramahan tapi tidak asli. Saya tidak mengatakan semuanya tidak asli. Tapi kita sangat senang menerima orang yang punya pencitraan yang bagus. Tapi kita tidak mengerti bahwa persekutuan itu perlu pengorbanan lebih daripada sekedar hanya tindakan yang sepele. Saya tidak meremehkan tindakan sepele, senyum yang simpel, kemudian menyapa orang itu tentu adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan. Tapi kita tidak bisa memberikan penilaian bahwa itu saja cukup. persekutuan yang sejati adalah persekutuan dimana kita rela ikut kerepotannya orang. Orang mengalami repot dan kita mau repot bersama mereka. Orang mengalami kesulitan dan kita mau sulit bersama dengan mereka, ini persekutuan. Jadi persekutuan yang sejati adalah persekutuan dimana orang tidak melihat bahwa diriku dan dirimu itu adalah 2 kelompok yang berbeda. Kita ini satu, apa yang terjadi padamu adalah sesuatu yang akan berefek pada saya. Dan ini persekutuan yang dinyatakan kehangatannya lewat perjamuan. Perjamuan tidak hanya mengekspresikan keakraban, maksudnya kita saling bicara satu sama lain ketika perjamuan dibagikan, Saudara bicara dengan orang yang melayani lalu tanya “bagaimana kabar?”, tidak ada pembicaraan seperti itu mungkin di dalam Perjamuan Kudus. Tapi di dalam perjamuan kita menyadari bahwa kesatuan dari jemaat Tuhan itu terjadi karena Tuhan merindukannya. Tuhan yang rindu supaya kita bersatu di dalam Dia. Ini dikatakan Lukas, ada longing. Kalau Saudara tanya apakah Tuhan memiliki kerinduan, memiliki keinginan yang belum tercapai yang Dia ingin capai. Yesus mengatakan iya, yaitu persekutuan. Persekutuan dengan orang-orang yang ditebus oleh Dia. Dan ini yang ditekankan di dalam bagian pertama. Jadi ada kesadaran akan pentingnya sebuah persekutuan. Kesadaran akan pentingnya persekutuan ini seringkali adalah kesadaran yang cuma separuh. Kita tidak sadar bahwa kesadaran yang utama di dalam persekutuan adalah kehadiran Tuhan. Tuhan Yesus adalah tokoh utamanya untuk sebuah persekutuan bisa berjalan perlu ada kehadiran Tuhan. Persekutuan bukan cuma sekedar usaha kita untuk menjadi satu dengan orang, usaha kita untuk menolong orang. Tapi persekutuan adalah sesuatu yang secara asli dimiliki karena Tuhan. Saudara akan mengalami kesehatian dengan orang lain karena sama-sama mencintai Tuhan. Atau lebih tepat lagi, Saudara akan menemukan kesehatian dengan orang lain karena sama-sama dicintai oleh Tuhan. Tuhan mencintai kita dan itu yang membentuk kesatuan di dalam kehidupan kita. Itulah sebabnya kesadaran akan kehadiran Tuhan itu sangat penting. Di dalam penyelidikan filosofi di abad 20, disadari bahwa manusia itu sadar dirinya hidup, tapi kesadaran itu bukan kesadaran yang melihat ke dalam. Saudara tahu Saudara hidup bukan karena Saudara merenung ke dalam. Saudara tahu Saudara hidup karena Saudara berinteraksi dengan sesuatu di luar Saudara. Saudara sadar Saudara ada karena ada yang lain di luar keberadaan Saudara. Kita tidak bisa merasa diri hidup jika kita tidak berinteraksi dengan sesuatu di luar kita. Ini tema tentang keberadaan, kesadaran diri. Tapi Saudara tidak bisa menyadari segala sesuatu all at once, sekaligus. Kita mempunyai kesadaran dan konsentrasi berpikir kepada sesuatu, bukan kepada segala hal. Saat ini misalnya Saudara sedang berkonsentrasi kepada apa yang saya katakan. Saudara tidak mungkin mempunyai kemaha-konsentrasian. Kita perlu kesadaran akan Tuhan dan ini sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Tapi kesadaran akan Tuhan ini tidak bisa dilakukan dengan hanya memahami kehidupan di dalam pemahaman kita sekarang. Kesadaran akan Tuhan akan membuat kita memahami keadaan kita di sekeliling kita dengan cara yang beda. Atau dengan kata lain, kesadaran bahwa Tuhan hadir akan merubah cara kita menyadari lingkungan kita. Saudara akan sadar lingkungan Saudara dengan cara yang beda, jika Saudara sadar ada Allah. Kesadaran akan kehadiran Allah merubah cara Saudara menyadari lingkungan sekitar Saudara. Atau dengan kata lain, cara Saudara menafsirkan lingkungan Saudara akan diubah lewat kehadiran Tuhan. Tuhan yang hadir akan membuat Saudara berubah. Saudara akan beda mempersepsi lingkungan Saudara. Inilah yang kita lihat diajarkan oleh Kitab Suci. Kitab Suci mengajarkan kita akan kesadaran realita kehadiran Allah, bukan kesadaran akan realita lalu selesai. Inilah yang diajarkan Tuhan melalui inkarnasi Kristus. Kristus yang berinkarnasi membuat kita bersentuhan dengan realita hidup dengan cara yang baru. Tapi, yang Yesus tawarkan kepada banyak orang tidak nyambung, terutama kepada orang Farisi, karena mereka mengharapkan sesuatu untuk menambahkan kehidupan mereka. Mereka mengharapkan cherry on top, mereka merasa bahwa makanan mereka sudah oke dan sekarang tinggal tambahin ceri sedikit. Tapi Tuhan Yesus datang dan mengatakan “menumu salah”. Menunya apa? menunya roti “akulah roti yang turun dari sorga”, ubah menumu. Ini membuat orang kaget “kalau begitu bagaimana kita harus hidup?”, ubah cara kamu memahami hidup. Yesus datang untuk membuat kita berubah. Kadang-kadang khotbah itu terlalu dangkal bukan karena kurang pintar yang kotbah, bukan karena kurang intelektual atau kurang pelajaran, tetapi karena tidak memahami radikalnya kehadiran Yesus. Yesus itu tokoh radikalis, Dia datang merubah segala sesuatu. Dia merubah cara berpikir, pengharapan, dan realita sama sekali.

Kecemburuan Israel

Saudara, kita membaca pasal 11: 13-18. Disini dia mengatakan dia mau membangkitkan cemburu di tengah-tengah Israel, yaitu dengan menjadi rasul bagi bangsa-bangsa lain. Ini tentu bandingannya jelas, bangsa Israel dan bangsa lain, ini bukan individu. Jadi meskipun individu itu penting, maksudnya keadaan kita secara perorangan itu penting, tetapi bagian ini sedang berbicara dalam konteks bangsa. Ada Israel sebagai bangsa dan Paulus mengatakan ada bangsa-bangsa lain juga. Tadinya Israellah yang Tuhan pilih menjadi umat nya. Lalu ada hal yang menarik karena di dalam ayat-ayat yang kita baca tadi dikatakan Paulus berharap dia bisa membangkitkan cemburu. Membangkitkan cemburu yaitu Paulus menjadi sumber kemarahan dari orang-orang sebangsanya karena dia pergi ke bangsa-bangsa lain. Seolah-olah Tuhan meninggalkan mereka dan sekarang Tuhan memanggil bangsa-bangsa lain,. Tapi tentu yang akan merasakan ini adalah orang-orang Israel yang sudah Kristen, mengapa perlu panggil bangsa-bangsa lain. Tapi ternyata ada perspektif lain untuk menafsirkan bagian ini, yaitu membangkitkan cemburu dan ini diperoleh dari 2 orang pemikir. Yang pertama adalah seorang bernama Filo dari Alexandria dan satu lagi adalah seorang bernama Yosefus. Dua-duanya adalah pemikir Yahudi, meskipun Filo sangat dipengaruhi dengan alam pikir Yunani. Tetapi mereka berdua baik Yosefus maupun Filo memakai konteks penerjemahan Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani untuk kemudian memopulerkan pendapat  Tuhan akan membangkitkan cemburu dari bangsa-bangsa lain. Ini menjadi tema yang sangat populer di dalam pemikiran orang Yahudi, terutama di zaman Paulus. Ini teks yang saya dapatkan dari Filo dan dari Yosefus, jadi yang ditekankan adalah  Tuhan mau membangkitkan cemburu di antara bangsa-bangsa lain karena Israel begitu berhikmat. Mereka jadi ingin tahu “bagaimana kamu bisa hidup dengan sebaik itu?”. Ini tentu ada dasar dari Tauratnya, kita baca di dalam Ulangan 4: 6-7, “lakukanlah itu dengan setia”, itu yang dimaksud adalah Taurat Tuhan, Tuhan memberikan hukum kepada orang Israel, memberikan Taurat dan Musa mengatakan Ulangan itu adalah khotbahnya Musa. Ini kesimpulan dari seluruh pelayanan dan hidup dan pengajaran Tuhan lewat Musa. “Lakukanlah itu dengan setia. Sebab itulah yang akan menjadi kebijaksanaanmu dan akal budimu di mata bangsa-bangsa yang pada waktu mendengar segala ketetapan ini akan berkata, memang bangsa yang besar ini adalah umat yang bijaksana dan berakal budi”. Ayat ke 7 “sebab bangsa besar manakah yang mempunyai Allah yang demikian dekat kepadanya seperti Tuhan Allah kita setiap kali kita memanggil kepadaNya”. Kalau kita teruskan di ayat 8 “dan bangsa besar manakah yang mempunyai ketetapan dan peraturan? Demikian adil seperti seluruh hukum ini yang kubentangkan kepadamu pada hari ini”. Saudara lihat di dalam bagian ini, Musa mengatakan  Tuhan akan menjadikan Israel bangsa yang berhikmat dan karena mereka begitu berhikmat, bangsa-bangsa lain cemburu. Ini tafsiran dari Filo dan juga dari Yosefus  andai Israel menjalankan Taurat, andai mereka setia kepada firman Tuhan, bangsa-bangsa lain akan cemburu kepada mereka. Mereka bangsa-bangsa lain akan ingin tahu bagaimana bisa mempunyai kualitas hidup berbangsa sebaik kamu. Lalu Paulus dengan unik mengatakan  yang menggenapi Ulangan 4 adalah orang-orang Kristen. Merekalah orang-orang yang menjalankan Taurat, kemudian bangsa-bangsa lain termasuk Israel akan bertanya “bagaimana bisa mempunyai kehidupan berhikmat seperti engkau? Bagaimana caranya kami bisa menjadi seperti kamu?”, ini kecemburuan yang dimaksud. Jadi di dalam pemikiran Filo kalau Israel menjalankan Taurat, mereka akan lakukan itu. Lalu di dalam pemikiran itu ini menjadi fondasi bagi pengertian dari Roma 11 ini. Paulus mengatakan, “kamu juga sama dengan Israel, bangsa-bangsa lain akan cemburu kepada kamu”. Tapi ada syarat, bangsa-bangsa lain akan cemburu kepada Israel kalau”, ada kata kalau di sini, “kalau Israel menjalankan Taurat” Bukan secara otomatis bangsa-bangsa lain akan cemburu. Lalu seumpama Israel gagal menjalankan Taurat bagaimana? Pertanyaan yang dikeluarkan oleh Filo, mengatakan, “mungkinkah Allah gagal?”. Jadi kalau Allah mengatakan “kamu hai orang Israel akan menjadi bangsa yang membangkitkan cemburu dalam bangsa lain”, mereka akan bilang “bagaimana bisa punya peraturan sebaik kamu, bagaimana bisa punya pengajaran sebaik kamu, bagaimana bisa punya hidup sebaik kamu?”. Dan orang Israel mengatakan “karena kami punya Allah yang dekat dengan kami dan Allah ini adalah Allah yang menjawab kami setiap kami setiap kali kami berseru kepadanya. Ini menjadi satu cara penginjilan, satu cara orang Israel menyebarkan pengaruh-pengaruhnya kepada bangsa lain. Jadi di dalam pengertian Filo Israel akan menarik orang, bukan Israel yang harus kemana-mana. Israel akan menarik orang. Kita setuju  penginjilan itu harus dilakukan dengan mengutus orang. Ini sesuatu yang Tuhan perintahkan. Mengutus itu penting, orang pergi ke tempat orang lain itu penting. Tapi aspek lain yaitu orang tertarik kepada kita, itu juga penting, kedua-duanya ada di dalam Alkitab. Jadi jangan cuma pilih salah satu, jangan mengatakan “kalau begitu saya jalankan hidup sesuai firman Tuhan nanti otomatis tertarik”. Tidak bisa seperti itu, Saudara harus pergi memberitakan Injil. Tapi kalau kita mengatakan yang penting memberitakaan  janji, kehidupan kita sebagai orang Kristen tidak terlalu penting, itu juga salah. Karena keduanya mesti terjadi, kita pergi untuk ke bangsa lain dan bangsa lain tertarik untuk datang kepada kita dan belajar. Ini terjadi kalau Israel memberikan Taurat, tapi Filo mengatakan “Tuhan tidak akan gagal, Tuhan akan berhasil membuat Israel menjalankan Taurat. Kapan? Nanti kalau Mesias datang, Dia akan mengajar Taurat dan kita semua akan taat kepada dia. Jadi ini pengertian yang dilanjukan oleh Paulus, Paulus tidak membuang pengertian itu. Terkadang kita perlu teks-teks di luar Alkitab untuk memahami Alkitab meskipun kita tidak menganggap teks-teks itu berotoritas seperti Alkitab. Karena itu membaca Alkitab itu sangat indah kalau kita juga adalah murid sejarah. Maka di dalam sejarah harus ada yang belajar sejarah, tidak harus semua jemaat harus belajar sejarah, nanti Saudara tidak ada waktu untuk dalami bidang Saudara sendiri. Tetapi perlu ada orang yang melakukan itu, lalu dia berbagi kepada yang lain. Filo mengatakan nanti kalau Mesias datang Israel akan diajar menjalankan Taurat dan hanya kalau mereka berhasil menjalankan Taurat, maka Israel akan membangkitkan cemburu pada bangsa bangsa lain. Kalau tidak, kalau Israel tidak menjalankan Taurat, Israel akan menjadi tertawaan. “Umat Tuhan mengapa seperti ini? Kamu mengaku milik Tuhan, tetapi kami tidak mau mirip kamu karena kamu begitu parah hidupnya”, ini yang menjadi contoh sebelum Tuhan memberikan Taurat, Israel menyembah lembu emas. Lalu dikatakan tingkah mereka begitu memalukan sehingga bangsa- bangsa lain mentertawakan mereka. Tulisan itu ada di dalam Kitab Keluaran, bangsa-bangsa lain mentertawakan mereka. Jadi Saudara bisa lihat kontrasnya dalam dalam tafsiran Filo, sebelum Taurat diberikan, ini kan Taurat belum Tuhan berikan ke semua orang, Tuhan baru nyatakan ke Musa, Musa belum bawa ke Israel. Sebelum Taurat diberikan, Israel menyembah pun salah, “oh Tuhan kami mau disembah. Musa sedang pergi ke atas gunung mana yang akan memimpin kami sampai ke Tanah Kanaan? Berikan kami Tuhan”. Lalu Harun, dia imam, dia akan diangkat menjadi imam besar. Lalu Harun membentuk lembu emas, ini gayanya orang Mesir. Jadi bayangkan berapa salahnya mereka mempunyai konsep agama dan berapa salahnya mereka mempunyai konsep etika karenanya. Jadi mereka membangun lembu emas, mereka menyembah, lalu mereka berpesta dan cara mereka berpesta membuat bangsa lain menertawakan mereka. Tapi setelah Taurat diberikan akan lain, ini yang Filo mengerti. Setelah Taurat diberikan dan setelah Israel menjalankannya, tidak ada lagi bangsa akan menertawakan Israel. Semua bangsa akan mengoreksi konsep agama dan konsep etika mereka masing-masing. Waktu mereka lihat Israel, mereka akan koreksi agama mereka. Indah sekali kalau benar-benar ini terjadi. Waktu orang lihat umat Tuhan, mereka ingin koreksi agama mereka, “mengapa agama saya tidak seperti Kristen?”. Ini perlu ketekunan di dalam menjalankan hukum Tuhan. Kalau Israel taat, bangsa-bangsa lain akan kagum, akan menjadi cemburu. Ini pengertian dari Filo, dan saya sangat tertarik dengan pengertian ini. Ini sesuatu yang sebelum saya mempersiapkan bahan ini, saya belum dapat aksesnya, jadi baru saya tahu ternyata pengertian cemburu itu sesuatu yang populer di dalam zaman Perjanjian Baru, bersumber dari Filo, seorang pemikir yang sangat berapologetik, yang sangat kuat membela tradisi bahasa Yunani. Saudara tentu tahu orang Israel itu pakai bahasa orang-orang Kasdim, bahasa Aramaik. Jadi bahasa Ibrani itu sudah hilang, pada zaman Perjanjian Baru tidak ada lagi orang bisa bahasa Ibrani. Kalau orang mengatakan bahasa Ibrani yang dimaksudkan itu Aramaik. Misalnya di dalam kisah Rasul Paulus berbahasa Ibrani, itu bukan Ibrani tapi Aramaik.

Jadi ini sesuatu yang kalau kita lihat di dalam sejarah itu menjadi kebiasaan orang Israel, mereka sudah mengidentikkan Aramaik dengan Israel. Yesus sendiri berbahasa Aramaik, Aramaik bukan Arabik, rumpunnya mirip tapi beda. Jadi orang-orang Israel adalah orang berbahasa Aram. Lalu di dalam tradisi Alexandria, Alexandria di Mesir. Alexandria ada banyak tempat, tiap kali Alexander Agung membangun kota dinamai Alexandria. Ini Alexandria yang di Mesir, ini kota yang luar biasa penting pada waktu itu. Sejak abad kedua sebelum Masehi, Kota Alexandria itu menjadi pusat pembelajaran orang Ibrani, orang Israel. Jadi orang Israel pintar banyak yang ke situ, termasuk Filo. Sehingga mereka menjadi sumber dari intelektual dari agama Yahudi. Ini tentu membangkitkan ketidaksukaan di dalam diri orang-orang Yerusalem. Yerusalem harusnya menjadi kota utama. Lalu ketika para ahli ini memutuskan untuk menerjemahkan Alkitab Perjanjian Lama, Taurat dan Kitab Nabi-nabi dan juga tulisan-tulisan lain, mereka mau menerjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Ini ditentang, “kita bukan orang berbahasa Yunani”, apalagi di dalam sejarah Israel mereka ada kesulitan dengan imam yang pro kepada budaya Yunani. Jadi mereka sangat anti ketika ada program menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Yunani, mereka menentang ini. Filo menjadi pembelanya, tentu filo setelah tulisan itu dihasilkan, dia menjadi pembelanya, “orang Yahudi mesti terima budaya Yunani. Kalau kamu tidak punya mental mau tarik bangsa lain, maka kamu akan remehkan budaya Yunani. Jadi kalau kamu tidak peduli bangsa lain, kamu tidak akan peduli bahasa Yunani”. Mengapa kita harus peduli bangsa lain? Karena Kitab Ulangan, mengharuskan kita untuk membuat kagum bangsa-bangsa lain. Bagaimana bisa membuat bangsa lain kagum kalau bahasanya pun mereka tidak mengerti? Bagaimana kita bisa menjadi contoh bagi orang lain kalau kita terlalu eksklusif, terlalu kumpul sendiri yang tidak pernah nyambung dengan yang lain? Ini sebabnya Kekristenan mesti nyambung dengan budaya lain. Tapi zaman sekarang ini banyak orang salah mengerti nyambung dengan budaya lain, berarti membuat orang dari budaya lain punya jalan masuk untuk mengagumi budaya kita. Bukan menghilangkan budaya kita, lalu membuat kita menjadi terlebur kepada bangsa lain. Di dalam pengertian Filo, kamu mesti mengerti budaya Yunani dan mesti mengerti bahasa Yunani, dan karena itu Alkitab memang harus diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Maka Alkitab berbahasa Yunani menjadi populer karena salah satunya adalah karena argumen-argumen diberikan Filo. Bangsa lain cemburu karena hidupnya bagus, “mengapa hidupmu bisa bagus?”, “karena kami punya Taurat”, dan hidup yang bagus itu diekspresikan di dalam berbagai aspek dan di dalam berbagai konteks. Saudara punya keadaan baik, Saudara menjadi contoh bagaimana hidup dalam keadaan baik. Kalau Saudara diberikan berkat menjadi orang kaya, misalnya, berlimpah di dalam uang, Saudara menjadi contoh di dalam kehidupan yang tetap sederhana dan tetap punya ketekunan memberi. Lalu bagaimana jika kita sulit dan miskin? Saudara tetap menjadi contoh didalam hidup di tengah kesulitan. Ini membuat orang cemburu, membuat orang bertanya “mengapa di dalam kelimpahan kamu punya kehidupan yang sangat stabil? Mengapa di dalam penderitaan, kamu punya pengharapan dan sukacita?”, ini yang Petrus katakan di dalam suratnya. Dia mengatakan “kamu harus kuduskan Kristus sebagai Tuhan di dalam hidupmu dan kamu siap sedia memberi jawab kepada orang-orang yang bertanya kepadamu tentang pengharapan yang ada padamu”. Ini pengertian yang kita sering tarik terlalu jauh kepada apologetik “ini Paulus sedang bicarakan: kamu harus siap sedia apologetik”. Tapi Paulus mengatakan “kamu harus siap untuk orang lihat pengharapanmu”. Kita boleh meratap di dalam kesulitan, tetapi meratap pun akan membuat orang iri. Mengapa? Karena mereka lihat “mengapa kamu bisa punya Tuhan yang menerima ratapanmu?”. Jadi kita bukan bersungut-sungut seperti orang Israel di padang gurun. Bersungut-sungut tidak akan membawa orang lain ke Tuhan. Maka meratap pun adalah bagian yang membuat orang tertarik kepada Tuhan, tapi bersungut-sungut tidak. Ketika kita menjadi umat Tuhan, kalau kita lihat pemikiran Filo, kita seharusnya membangkitkan cemburu pada orang lain. Tapi bagaimana? Dengan menjalankan Taurat. Maka bagian pertama saya mau membagikan apa yang Filo katakan, tugas orang Israel adalah membangkitkan cemburu bangsa lain sehingga mereka mencari Tuhan.

Jadi Israel tidak pernah eksklusif, mereka tidak seharusnya menjadi bangsa yang hanya ada di Kanaan dan menutup diri dari bangsa luar. Mereka seharusnya menarik bangsa lain datang kepada mereka. Salomo adalah contoh dari yang baik, menarik bangsa lain datang. Dan contoh yang buruk yaitu membawa Israel mirip bangsa lain. Ini ironisnya Salomo, Salomo adalah contoh bagi keadaan baik sekaligus contoh bagi keadaan buruk. Contoh baiknya apa? Contoh baiknya adalah ketika Ratu Syeba datang mencari dia karena Ratu Syeba mendengar “katanya Israel adalah bangsa penuh hikmat karena rajanya penuh hikmat. Saya mau tahu seperti apa kehidupan Israel. Dan saya ingin tahu hikmatmu seperti apa”. Menariknya ketika Saudara baca bagian itu di dalam Kitab Raja-raja, dikatakan Ratu Syeba melihat cara orang-orang Salomo makan. Ini membuat kita heran, apakah ini mengenai table manner? Saudara kalau lihat makan hanya table manner itu akan sangat sala, tapi kalau Saudara lihat makan konteksnya ke Kemah Suci dan ke Perjamuan Kudus, Saudara akan melihat konsep teologi di situ. Waktu orang-orang lihat kehidupan dari pegawai Salomo, cara mereka makan dan cara mereka bertutur kata, mereka langsung kagum dan Ratu Syeba mengatakan “yang saya dengar terlalu sedikit. Kenyataannya lebih besar dari itu”. Ratu Syeba memberikan kesaksian “saya kagum karena yang saya dengar cuma sedikit, tapi begitu saya lihat baru saya tahu yang saya dengar belum ada apa-apanya”. Saudara, saya harap kita mau orang melihat hidup kita dan mengatakan “yang saya dengar belum ada apa-apanya”. Jadi kita tidak diarahkan Tuhan untuk pencitraan, kita diarahkan Tuhan untuk menikmati hidup dengan cara yang benar, lalu membuat orang tertarik. Itu sebabnya Alkitab memberitakan Injil, kabar baik. Kabar baik itu anti kepahitan. Kalau hati Saudara penuh kepahitan, sulit membuat orang tertarik kepada hidupmu dan tertarik kepada Tuhanmu. Jadi orang Israel harus menaati Taurat seperti Salomo. Tapi ironisnya Salomo juga menjadi contoh di mana orang Israel membuka diri kepada bangsa lain dan menjadi sama dengan bangsa lain. Salomo begitu toleran, istri-istrinya mengatakan, “bangunkan kuil bagi kami”, Salomo itu adalah temple builder untuk Yahwe, untuk Tuhan. Tapi ironisnya dia menjadi temple builder untuk dewa-dewa lain, untuk Kamos dan lain-lain. Waktu Salomo membangun kuil bagi Kamos dan lain-lain, Tuhan murka. Dan waktu itu Israel memalukan sekali karena mereka menjadi bangsa yang cepat berubah. Mereka mulai menjadi bangsa yang kerdil. Apa tandanya bangsa kerdil? Bangsa kerdil itu selalu curiga dan takut kepada yang lain. Bangsa agung itu selalu punya kepercayaan  “Tuhanku memberkati aku dan bangsa lain akan belajar dari aku”. Tapi bangsa kerdil selalu khawatir bangsa lain menjadi musuh, harus dihancurkan, dan ini terjadi pada Salomo. Israel, waktu zaman megahnya mereka, waktu Salomo menjadi raja, tidak perlu khawatir bangsa lain. Tapi waktu Salomo jatuh dalam dosa, dia khawatir kepada seorang pemimpin, pemimpin pegawai, pemimpin buruh namanya Yerobeam. Dia sangat khawatir Yerobeam ini menjadi pengaruh kuat. Dia mau membunuh Yerobeam, maka Yerobeam harus lari ke Mesir. Sampai Salomo mati, baru Yerobeam kembali. Waktu itu Rehabeam sudah menjadi raja, kemudian terjadi konflik Yerobeam menjadi Raja Israel Utara, langsung pecah dua kerajaan itu. Dan ini bermula dari Salomo yang terlalu terbuka untuk mengambil budaya lain. Jadi kehidupan Salomo pun menantang kita untuk berpikir dengan hikmat, bagaimana cara membuka diri untuk budaya lain. Kalau tidak membuka diri sama sekali, belajarlah dari Salomo. Kalau membuka diri sampai terpengaruh, belajar juga dari Salomo. Salomo salah dalam hal itu dan Salomo benar di dalam hal membuka diri bagi bangsa lain.

Kejatuhan Israel dan Keselamatan Dunia

Kita akan membahas tema yang sangat sulit sebenarnya, karena ini sulit bukan cuma sulit di dalam pengertian teologi, tapi sulit di dalam rancangan yang Tuhan mau kerjakan untuk dipahami. Karena kalau kita lihat di dalam ayat yang ke 11 sampai 15, ada 2 kemungkinan tafsiran yang bisa terjadi. Yang pertama adalah berarti Tuhan membuat penolakan orang Israel menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain, itu yang kita bisa pahami. Menjadi karena Israel menolak Tuhan, maka Tuhan berpaling kepada bangsa-bangsa lain. Tapi kemudian muncul pertanyaan ayat 15, jika penolakan mereka adalah perdamaian bagi dunia, dapatkah penerimaan mereka mempunyai arti lain dari pada hidup dari antara orang mati? Apakah berarti Tuhan akan membukakan jalan kepada Israel lagi sehingga mereka boleh menjadi satu bangsa yang kembali kepada Tuhan dan menyembah Tuhan kembali, bertobat dari dosa-dosanya. Itu yang sedang kita lihat menjadi perdebatan di dalam bagian ini. Sebagian mengatakan “oh iya, Tuhan akan pulihkan Israel, makanya Tuhan pelihara mereka dan jaga mereka sebagai bangsa. Mereka adalah bangsa yang spesial di mata Tuhan”. Tapi sebagian mengatakan sepertinya yang dimaksud di sini bukan Israel sebagai bangsa, tapi yang dimaksud disini adalah perjanjian Tuhan kepada Israel sekarang diteruskan ke bangsa lain. Ini perdebatan atau ini 2 kemungkinan menafsirkan bagian ini. Ada sebagian mengatakan “mari tunggu saatnya Tuhan pertobatkan Israel secara besar-besaran, mereka akan kembali ke Tuhan dan percaya kepada Kristus”. Sebagian lagi mengatakan sepertinya itu terlalu terlalu positif atau terlalu penuh dengan pengharapan yang mungkin tidak akan terjadi, karena bagian ini tidak sedang menyatakan demikian. Mana yang benar, kita tidak bisa dengan tuntas membahasnya dan mengklaim tafsiran kita yang paling benar. Tapi Tuhan menyebarkan janjiNya dari penolakan Israel. Menjadi Israel menolak Tuhan menyebarkan kovenan Dia, perjanjian Dia dengan Israel kepada bangsa-bangsa lain. Tapi yang unik adalah Paulus di Surat Roma mengatakan yang membuat berita itu tersebar adalah orang Israel. Menjadi ini sisi yang kita lihat ternyata yang Paulus maksudkan adalah pertobatan mereka atau penerimaan mereka berarti adalah hidup dari antara orang mati. Paulus sedang berbicara tentang sekelompok sisa remnant, merekalah yang akhirnya dipakai Tuhan untuk menjadi the true Israel, the true covenantal people, umat perjanjian yang sejati, ini orangnya, inilah kelompoknya. Kaum sisa itulah Israel sejati dan penerimaan mereka berarti pendamaian bagi dunia. Ini bisa kita terima meskipun kita tidak tolak kemungkinan Tuhan akan memberikan InjilNya diterima oleh orang Israel secara besar-besaran, itu sesuatu yang mungkin terjadi. Tetapi yang pasti bagian ini sedang berbicara kaum sisa yaitu orang-orang yang menerima Tuhan Inilah Israel sejati. Tuhan sudah merancangkan Dia akan disembah oleh Israel yaitu kaum sisa ini. Menjadi meskipun jumlah Israel banyak seperti pasir di laut, seperti kata Yesaya, namun hanya sisanya yang akan diselamatkan. Dan ternyata sisanya ini adalah orang-orang Israel sejati. Di dalam abad yang pertama awal banyak orang-orang yang dari kelompok Israel itu mempunyai grup-grup sendiri, ada yang menjadi orang-orang pengikut Farisi, ada yang menjadi pengikut kelompok Saduki, ada yang menjadi pengikut kelompok Qumran dan lain lain. Dan mereka mengklaim “kelompok kami inilah yang adalah Israel sejati. Israel yang sejati adalah kami”, ini yang biasanya mereka lakukan. Dan Injil Yohanes menekankan Israel sejati bukan Israel yang secara lahiriah dipamerkan, tetapi yang secara dari dalam hati diubah oleh Roh Kudus. Dan perubahan itu berarti menerima Mesias tersalib. Ini tegas sekali di dalam Injil Yohanes Israel sejati, orang yang diselamatkan, orang yang menjadi milik Tuhan adalah yang mempercayai Kristus seperti yang dikatakan Kitab Suci. Dan yang dikatakan Kitab Suci adalah Kristus itu tersalib. Mesias yang tersalib adalah identitas bagi Israel sejati. Ini tentu berat karena penyaliban itu sangat kontroversial untuk dimenjadikan simbol agama. Tidak ada orang akan menjadikan simbol penolakan, pembuangan dan juga kutuk sebagai simbol agama. Kita sekarang tidak lagi bisa melihat tegangan itu, tensi itu karena kita ada di dalam saat dimana salib sudah menjadi simbol mulia. Kita bisa memakai kalung salib dan kita bisa melihat tema salib itu menjadi tema lukisan indah, menjadi tema dari sastra dan juga seni yang lain. Sehingga kita tidak lagi mengerti kesulitan menjadikan salib itu simbol. Tapi di dalam abad yang pertama salib menjadi simbol, itu sulit sekali, berat bukan main. Ini simbol penolakan, ini simbol setan kalau mau dibilang. Iblis menyatakan kuasa besarnya di atas kayu salib. Ini tentu pengertian yang agak aneh bagi kita sekarang, iblis menyatakan kuasa di kayu salib, apa tidak salah? Bagi orang dulu, iya, bagi orang Yahudi salib adalah tanda kekalahan tanda kutuk. Tuhan sudah buang dia yang tersalib dan iblis menari menang atas orang-orang yang sudah di atas kayu salib. Kalau begitu mengapa Yesus disalib? Ini menjadi pertentangan dari orang Yahudi kepada orang Kristen, menjadi perdebatan besar yang akhirnya berujung kepada kebencian. “Mengapa kamu menghina kami dengan mengatakan Mesias kami tersalib?”. Jadi simbol salib itu sangat berat untuk diterima, tetapi ini menjadi simbol yang diberitakan oleh Paulus. Paulus mengatakan dia tidak diutus untuk memberitakan yang lain selain Kristus yang tersalib. Maksud Paulus adalah dia bisa memberikan fokus kepada kebangkitan kalau dia mau, “hai orang-orang, Yesus sudah bangkit”. Tapi dia menekankan pesan Yesus bangkit tidak akan mungkin bisa diberikan kecuali ada pesan Dia mati di atas kayu salib. Dan fakta Tuhan membangkitkan orang yang pernah disalib itu sulit diterima. Jadi berita Injil sangat sulit diterima bagi orang Yahudi dan itu sebabnya orang Yahudi yang terima itu tidak mungkin bisa terima dari dalam dirinya secara natural, dia bisa terima karena Roh Kudus yang bekerja. Itu sebabnya di dalam Injil Yohanes ditekankan siapa yang lahir dari Roh dialah yang dapat menjadi orang yang masuk ke dalam Kerajaan Allah. Dan di dalam bagian selanjutnya ditekankan Roh melahirkan kembali orang, sehingga orang itu mempercayai Kristus seperti yang dinyatakan Kitab Suci. Dan Kitab Suci menyatakan Dia adalah Mesias yang tersalib. Kalau begitu identitas orang Yahudi yang sejati harus dilekatkan pada Kristus. Dan Kristus yang hadir adalah puncak dari sejarah Israel. Kehadiran Dia adalah yang memuncakkan seluruh pengharapan Israel. Kalau begitu, Israel menjadi sempurna debagai umat karena Kristus hadir. Tapi gambaran yang Paulus mau bagikan adalah kesempurnaan itu sudah tiba. “Israel yang sempurna adalah kami ini, orang-orang yang percaya kepada Kristus”, kelompok kecil yang minor, kelompok yang bukan mendominasi orang Israel, kelompok yang terpinggirkan, kelompok yang terbuang, kelompok yang tidak punya tempat di Bait Suci, tidak punya tempat di sinagog, diusir di mana-mana oleh orang Yahudi, dibenci dan dihina, inilah Israel sejati. Jadi yang Paulus mau tekankan adalah puncak dari pekerjaan Tuhan bagi Israel adalah kaum sisa, remnant. Ini tema yang sangat indah kalau kita baca dari perspektif salib. Rowan Williams menekankan salib itu merupakan identitas yang sulit kalau kita pikir sampai tuntas. Kita dengan gampang mengatakan salib jika kita tidak berpikir tuntas tentang salib. Nanti kita akan pelajari apa yang dimaksud dengan kalimat ini. Tapi sebelum kita masuk ke dalam pengertian tentang salib yang sangat kontroversial, kita mau bahas dulu bagian pertama dari kotbah ini yaitu kaum sisa dari Israel adalah puncak dari pekerjaan Tuhan bagi Israel. Ini teologi Paulus di dalam Roma pasal 10 dan 11. Ini tentu tidak berarti kita menolak tafsiran yang lain, yang mengatakan Tuhan akan pertobatan Israel besar besaran. Karena dikatakan juga oleh Paulus, ada kemungkinan tafsiran itu benar, pada akhirnya Tuhan akan panggil mereka kembali. Tentu sangat indah untuk kita berharap itu terjadi orang Israel benar-benar akan menjadi sama-sama dengan kita, percaya kepada Kristus. Tapi fakta Tuhan memuncakkan pekerjaan Israel justru di dalam kaum sisa, ini yang menjadi sorotan di dalam bagian awal dari pasal 11. Di dalam pengertian kita puncak dari pekerjaan seseorang itu harusnya menjadi sesuatu yang megah. Kalau Tuhan memanggil Israel dengan cara megah, berarti puncak dari pekerjaan Tuhan itu harusnya megah. Tapi kita melihat di dalam Perjanjian Baru, tanpa iman, kalau tidak ada iman, kita akan melihat puncak itu sebagai sesuatu yang anti klimaks. Tuhan sudah kerja begitu luar biasa hanya untuk memuncakkan pekerjaanNya di salib. Lalu kalau kita lihat apa efek dari salib, Paulus bukakan efek dari salib adalah dipanggilnya sekelompok kecil orang Israel yang dianggap mengikuti sebuah sekte tertentu, yang merupakan bagian yang minor dan menyimpang dari agama Yahudi, menurut banyak pemimpin orang Yahudi, inilah puncaknya. Ini antiklimaks sekali, ini seperti ada ledakan besar, tapi kemudian ditunjukkan dengan sesuatu yang sangat kecil. Ada ledakan besar untuk menunjukkan ada penyalaan petasan akan dimulai. Mengapa pakai ledakan besar, tapi puncaknya itu petasan? Aneh sekali. Saudara bisa melihat seperti ada tirai yang dibuka ketika Tuhan membawa Israel keluar dari mesir. Tirainya itu laut yang terpinggirkan. Bayangkan laut terbelah untuk Israel keluar, mereka dapat jalan dari laut untuk berjalan di tanah yang kering. Lalu setelah itu Tuhan pelihara mereka untuk memenangkan Kanaan dengan cara yang menakjubkan. Kota terkuat di Kanaan ditaklukkan dengan anugerah Tuhan. Tembok Yerikho runtuh bukan karena mereka punya strategi perang, tapi karena Allah meruntuhkannya bagi mereka. Lalu mereka berperang dengan orang-orang Kanaan yang secara teknologi sangat besar kemampuan perangnya. Mereka banyak belajar dari daerah utara, dari budaya ugarit untuk berperang. Mereka tahu bagaimana membuat kereta besi untuk berperang. Israel berperang dengan modal pengetahuan sebagai budak. Jadi mereka sangat-sangat jauh tertinggal secara kebudayaan perang, secara jumlah dan juga figur dari para tentara. Alkitab menggambarkan orang-orang Kanaan itu besar-besar, mereka itu seperti nefilim, para raksasa yang kalau bertarung hanya perlu tangan kosong untuk membunuh ratusan manusia biasa. Di dalam puisi orang-orang kuno di daerah Ugarit dikatakan orang-orang yang badan besar ini adalah pahlawan-pahlawan yang bertarung dengan singa, level mereka itu bertarung tangan kosong dengan singa. Bertarung dengan orang lain itu tidak level, manusia lain yang bukan nefilim, yang bukan raksasa terlalu lemah bagi mereka. Sehingga mereka bertarung tangan kosong dengan singa dan menang. Mereka merobek-robek singa dengan tangan. Tapi ketika Israel masuk, Israel harus melawan pahlawan-pahlawan ini, pejuang-pejuang perkasa ini. Dan Tuhan membuat pejuang-pejuang perkasa ini sebagian menjadi gentar dan takut. Orang-orang perkasa berbadan besar ini langsung membuang baju perang mereka. Lalu mereka pakai baju budak, mereka pakai alas kaki yang sudah jelek, lalu pura-pura datang dari tempat jauh untuk ikat perjanjian dengan Yosua. Bayangkan berapa besar ketakutan mereka kepada Israel yang kecil-kecil, yang teknologi perangnya sangat ketinggalan, tapi Tuhan berkati. Seluruh Kanaan akhirnya ditaklukkan. Dan di dalam zaman Daud, Israel menduduki tanah itu sepenuh-penuhnya. Bahkan dikatakan Daud berhak menentukan mana suku bangsa lain yang bukan Israel, yang masih boleh menjadi budak, mana yang akan dibasmi sama sekali. Kekuatan Israel begitu besar karena Tuhan. Jadi pekerjaan yang sepertinya begitu besar dengan proses panjang yang sangat mulia, sekarang mengapa puncaknya di salib? Ini sesuatu yang sulit diterima. Tetapi Paulus mengatakan, inilah puncak dari pemberitaan itu Israel sisa adalah yang akan menyebarkan berita Injil ke seluruh dunia.

Apakah Engkau Keras Hati?

Di ayat ke-8 dikatakan sesuatu yang menakutkan karena baik mata yang tidak melihat maupun telinga yang tidak mendengar adalah sesuatu yang membuat orang tidak datang kepada Tuhan. Di ayat sebelumnya kita sudah mempelajari Tuhan membiarkan banyak orang ada di dalam keadaan buta dan telinganya tuli. Tapi Tuhan memberkati sekelompok orang remnant, kaum sisa, telinganya terbuka untuk mendengar firman dan matanya melihat. Baik ayat 8 maupun 10 adalah ayat yang memberikan fokus pada pandangan mata, ini merupakan tema yang sangat penting. Kalau kita melihat ayat ke-8 adalah ayat yang mengutip dari Ulangan 29:4. Di Ulangan 29 ada pernyataan dari Tuhan setiap orang yang sudah ada di dalam Tuhan, mereka diberkati Tuhan dengan sangat limpah. Tetapi kalau mereka tidak menaati Tuhan, mata mereka akan buta. Mata yang buta adalah tekanan yang sangat mengerikan di dalam Kitab Suci. Buta membuat kita tidak melihat Tuhan. Dan kalau kita tidak melihat Tuhan, kita tidak mungkin tahu betapa indahnya Tuhan. Sesuatu yang sulit dari menjadi orang Kristen yang cuma mengikuti tradisi keluarga, “papa mama Kristen maka saya pun Kristen”. Yang sangat kasihan dari orang-orang ini adalah mereka tidak menjadi Kristen setelah melihat. Mereka menjadi Kristen karena orang tua, karena tradisi, karena apa yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Tapi mereka sendiri tidak melihat. Dan tidak melihat adalah satu ciri orang yang menyembah berhala dan tidak datang kepada Tuhan. Mereka perlu melihat Tuhan, tapi mereka tidak lihat. Mereka perlu mengalami Tuhan, tapi mereka tidak alami. Kalau mereka tidak melihat dan tidak mengalami, apakah kesalahan itu berasal dari Tuhan? Di Surat Roma di bagian tengah dari pasal pertama, Paulus mengatakan semua yang perlu untuk kenal Tuhan, sudah Tuhan berikan. Tidak mungkin orang gagal melihat. Kalau ada kegagalan melihat, itu bukan karena mereka gagal melihat, tapi karena mereka menginterpretasi apa yang mereka lihat dengan cara yang lari dari Tuhan. Di dalam pengertian dari Agustinus, hati kita cenderung untuk mencintai sesuatu dan apa yang kita lihat dari apa pun akan kita lihat berdasarkan keinginan kita untuk dekat dengan yang kita cintai. Apa yang menjadi keinginan utama kita? Apa yang paling kita suka, yang paling kita sayang, yang paling kita cinta? Seluruh dunia kita akan diatur, disusun, di-arrange untuk membuat kita mampu menikmati apa yang paling kita cinta. Apa pun yang paling kita cinta akan mengatur program kita, akan mengatur prioritas kita, akan mengatur siapa yang mendapat keutamaan di dalam hati kita. Ini menjadi tema yang mengerikan karena di dalam Kitab Suci, orang yang melihat tapi menafsirkan salah, memberikan hati kepada yang lain, apa pun yang dari Tuhan mereka ambil lalu mereka tafsirkan untuk agama yang menyembah berhala. Itu sebabnya di dalam Kitab Suci, penyembahan berhala adalah lambang dari hati yang menyimpang, yang tidak ke Tuhan tapi ke yang lain. Hati yang melihat Tuhan, itu hati yang jarang sekali ada pada manusia, bahkan mungkin tidak ada jika Tuhan tidak beranugerah. Jika Tuhan tidak memberikan anugerah, kita tidak akan punya hati untuk Tuhan, tidak mungkin. Kita akan memberikan hati kita untuk yang lain. Tapi begitu Tuhan memanggil kita, menarik kita menjadi milikNya, pada waktu itu kita sadar satu-satunya yang memungkinkan kita untuk melihat Tuhan, mencintai Tuhan adalah Tuhan sendiri. Dia menarik kita dan memberikan hati yang mencintai Tuhan. Itu sebabnya arah hati dan pandangan mata selalu berkait. Ini kebiasaan dari orang Yahudi atau dari daerah Timur Dekat Kuno untuk mengekspresikan keadaan hati, kondisi hati akan dinyatakan oleh mata. Yesus Kristus pernah mengatakan mata itu adalah lentera atau pelita dari hatimu. Jika hatimu gelap, matamu pasti gelap. Jika matamu penuh kejahatan, hatimu pasti jahat.

Apa maksudnya mata yang jahat dan hati yang jahat? Maksud mata yang jahat dan hati yang jahat adalah apa yang kita lihat akan kita tafsir dengan cara yang jahat. Orang jahat akan melihat apa pun lalu menyadari sisi jahat dari semua yang dia lihat. Orang yang takut Tuhan akan melihat segala sesuatu dan belajar untuk memahami Tuhan adalah Allah yang bertindak di dalam setiap hal yang Dia lihat. Dia lihat apa, dia tahu ada Tuhan di balik itu. Dia lihat apa pun, dia tahu ada Tuhan yang campur tangan di situ. Dan dia bersyukur karena Tuhan yang agung, mulia dan besar, Tuhan yang baik, Tuhan yang perkasa, Tuhan yang suci adalah Tuhan yang menyatakan diri di dalam segala yang mereka lihat. Maka mata akan menentukan hatimu ada di mana, hatimu jahat atau baik?”. Mata yang jahat menunjukkan hati yang tidak punya kepekaan untuk melihat Tuhan. Ini tema yang mau kita gali pada hari ini, mengapa perkataan dari Mazmur 69:23-24,  orang-orang yang jahat, orang-orang yang lari dari Tuhan adalah orang-orang yang buta, yang matanya gelap. Kalimat “biarlah mata mereka menjadi gelap”, ini diambil oleh Paulus. Lalu dikatakan orang yang matanya gelap, ini maksudnya orang fasik, adalah Israel yang menolak Kristus. Mengapa menolak Kristus dianggap bermata gelap? Karena orang yang tidak lihat keindahan Kristus, keagungan Dia, kemuliaan Tuhan mencintai dari Kristus adalah orang yang gelap. Injil diberitakan dimana-mana, tapi orang yang tidak percaya, mengeraskan hati dan mengatakan “saya tidak mau terima”. Apa yang ada pada Kristus adalah buruk semata di dalam pandangan mereka. Ini mengherankan, kita melihat pribadi yang sama yaitu Kristus, sebagian mengatakan “inilah cinta terbesar yang Tuhan nyatakan”, sebagian lagi mengatakan “saya tidak mau peduli apa yang Dia lakukan”. Sebagian mengatakan “Tuhan, apa yang Engkau sudah berikan dalam hidupku?”. Mengapa bisa beda? Kalau kita tanya, “orang Kristen berapa banyak?”, kita akan menjawab “orang Kristen sangat banyak di seluruh dunia”. Tapi kalau kita tanya lagi pertanyaan, “dari semua orang yang mentidaku Kristen, berapa banyak yang hidup bagi Kristus, berapa banyak yang menyatakan dedikasi yang penuh kepada Dia? Apakah kita bagian dari orang-orang ini?”. Saudara akan sadar orang yang benar-benar kenal Tuhan, benar-benar menikmati cinta Dia, benar-benar ingin mencintai Dia lebih dari apapun, hanyalah sekelompok kecil dari orang-orang yang mentidaku dirinya adalah orang Kristen. Kebanyakan orang sudah menyatakan diri Kristen masih buta, masih tidak lihat, masih sulit untuk mengagumi Tuhan dan segala keindahan yang Dia sudah nyatakan. Kita menyanyikan pujian meninggikan Tuhan, tapi hati kita kosong. Kita menyatakan Tuhan adalah segalanya, tapi hati kita tidak mendapat sukacita apa pun. Mengapa tidak ada sukacita? Karena salah melihat Injil. Salah melihat adalah sesuatu yang menjadi penyakit di dalam sepanjang sejarah. Ada orang salah lihat dan Tuhan buang. Ada orang salah lihat dan Tuhan perbaiki. Kalau Tuhan tidak beranugerah, semua kita salah lihat dan tidak ada harapan bagi kita. Tapi Tuhan penuh belas kasihan, Tuhan menyatakan “Aku akan memberikan kamu hati yang baru dan karena kamu punya hati yang baru, cara kamu melihat pun akan diubah. Kamu tidak lagi buta”, kalimat ini sangat indah. Banyak orang merasa kagum karena Yesus menyembuhkan orang, Dia memberikan mujizat yang sangat luar biasa, Dia mencelikkan mata orang buta, Dia sembuhkan orang lumpuh, dan Dia tahirkan orang yang kusta. Tanpa kita sadar pola menyembuhkan orang buta adalah pola yang dapat sorotan khusus di dalam Injil Yohanes. Di Injil Yohanes orang lumpuh dan orang buta adalah dua kelompok atau dua orang yang menjadi contoh untuk mujizat Tuhan. Di Injil Yohanes bagian awal, Yesus menyembuhkan orang lumpuh di pasal yang ke-5. Lalu di dalam pasal berikutnya yang ke-9, Yesus menyembuhkan orang buta. Orang lumpuh yang disembuhkan tidak tahu diri, dia tidak peduli Tuhan sudah sembuhkan, lalu dia pergi begitu saja. Tidak ada perkataan, “Tuhan, aku mau ikut Engkau. Bolehkah aku kenal Engkau, siapakah Engkau yang sudah sembuhkan saya? Mengapa mujizat Tuhan begitu besar dinyatakan lewat Engkau?”. Orang ini disembuhkan oleh Yesus, Yesus mengatakan “angkat tilammu dan berjalanlah”, dia angkat dan berjalan tanpa komentar apapun. Dia tidak tanya Yesus siapa, dia tidak ingin tahu, dia tidak ingin kenal. Yang dia tahu, apa yang dia ingin sudah dia dapat. Maka kalau yang dia inginkan sudah dia dapat, dia tidak ada interest lagi untuk Pribadi yang memberikan berkat. Ada orang-orang jahat seperti ini, kalau apa yang dia ingin sudah dia peroleh, dia tidak peduli lagi orang. Orang lain tidak ada penting, yang penting apa yang orang itu bisa berikan untuk yang saya mau. Ini orang-orang jahat yang cuma pikir diri, sudah selayaknya mendapatkan pembuangan dari Tuhan. Mereka tidak pernah peduli Tuhan dan sesama. Pembuangan adalah hasil yang harusnya mereka peroleh. Orang ini sudah disembuhkan, dia pergi. Waktu dia pergi, dia bawa tilam, orang Yahudi marah, “ini hari Sabat, mengapa kamu bawa tempat tidurmu? Ini dilarang di hari Sabat”. Orang ini mengatakan “saya orang lumpuh, lalu saya disembuhkan, yang menyembuhkan saya itu suruh saya angkat tilam”. Saudara bayangkan orang lumpuh disembuhkan lalu disuruh angkat tilam, orang Yahudi yang mendengar itu tidak memberikan tekanan pada sembuh, lumpuh disembuhkan, tapi dia berikan tekanan pada “angkat tilam”, ini korupnya agama. Agama pedulikan hal yang non-esensial, “kamu angkat tilam, kamu angkat tempat tidur di hari Sabat, ini melanggar aturan Sabat”. Waktu orang itu mengatakan “saya tadinya lumpuh, tapi orang itu menyembuhkan saya”, ini tidak dipedulikan oleh pemimpin Yahudi, mereka cuma mengatakan, “kamu melanggar sebagian dari Taurat, hukum kami. Hukum agama mengatakan begini, kamu tidak boleh jalankan itu, mengapa kamu jalankan?”. Fokus agama kadang-kadang bukan kepada hal yang esensial, tapi kepada hal yang artifisial, yang tidak penting menjadi penting, yang paling penting diabaikan. Banyak orang sibuk dengan semua aturan-aturan agama, “semoga bisa membersihkan hatiku, semoga membuat aku saleh”, tetapi hal paling penting tentang keadilan, tentang belas kasihan dibuang begitu saja. Kasihan orang seperti ini. Maka pemimpin-pemimpin Yahudi tidak bisa melihat mana yang penting, mana yang tidak. Lalu orang yang disembuhkan ini pun tidak punya rasa berterima kasih sama sekali. Dia adukan orang yang menyembuhkannya. Ini orang berjasa besar, kamu sudah lumpuh sekian lama, berpuluh-puluh tahun lumpuh, dalam waktu sekejap Tuhan sembuhkan, kamu tidak peduli siapa dia? Orang yang sudah memberikan kelimpahan dalam hidupmu, kamu tidak peduli? Saudara ini cerminan kita, kita tidak peduli Tuhan. Begitu banyak hal yang sudah kita nikmati dalam hidup kita abaikan. Tuhan sudah memberi begitu banyak, engkau tidak peduli, engkau tidak bother to ask, kamu tidak mau bertanya “siapakah Engkau? Mengapa Engkau begitu baik kepada saya? Mengapa Engkau memberikan hidup?”. Yang kita tahu adalah “karena saya sudah hidup, saya mesti dilayani”. Kita tidak tahu di dalam skema penciptaan, Tuhan menciptakan hidup untuk mengikuti Dia yang senantiasa melayani hidup. Tuhan memberi hidup supaya kita melayani, bukan supaya dilayani. Tuhan Yesus datang ke dalam dunia dan menunjukkan “Aku datang untuk melayani, bukan untuk dilayani”. Maka kalau orang tidak mengerti prinsip ini terus merasa “saya layak dapat, mengapa Tuhan belum memberi berkat?”. Begitu banyak berkat sudah diterima, kita abaikan dan kita tidak peduli siapa Dia. Mirip dengan orang lumpuh yang disembuhkan ini. “Siapa yang sembuhkan engkau?”, “saya tidak tahu, yang penting saya sudah sembuh. Tapi orang itu menjerumuskan saya karena menyuruh saya mengangkat tilam”. Maka waktu Yesus bertemu dia, Yesus mengatakan, “kamu sudah sembuh” ini pertemuan kedua, “kamu sudah sembuh. Jangan melakukan dosa lagi, supaya padamu tidak termenjadi hal yang lebih buruk”. Kali kedua bertemu Yesus, orang ini tetap tidak peduli siapa Dia. Yesus berbicara “kamu sudah sembuh, jangan berbuat dosa lagi”, dan dia tidak tanya “betul Tuhan, terima kasih sudah sembuhkan saya”, ucapan terima kasih pun tidak ada, hidup yang bersyukur pun tidak ada. Saudara, hidup yang tidak bersyukur itu hidup yang kering, kasihan, kosong. Lalu kita bertanya “mengapa hidupku kosong?”, “karena kamu kurang bersyukur”. Jika kita tidak ada ucapan syukur, hidup tidak mungkin berlimpah. Orang ini tidak mengerti apa itu bersyukur, dia dengar kalimat dari Yesus, dia tidak tanggapi, dia diam, dia tidak berespon. Dia tidak mau tanya, dia tidak bicara, dia tidak peduli, dia tidak mau tahu. Waktu dia tidak peduli, ini menunjukkan orang ini cerminan dari banyak orang Kristen, tidak peduli siapa Tuhan. Lalu setelah dia tinggalkan Tuhan Yesus, bertemu dengan para pemimpin Yahudi, dia langsung adukan, “sekarang saya sudah tahu siapa yang menyembuhkan saya”, “siapa?”, “orang itu”, lalu mereka mengatakan “itu Yesus dari Nazaret, Dia pasti Mesias palsu, karena mereka menunggu kamu mengangkat tilam di hari Sabat”. Sekali lagi hal-hal remeh, orang bisa menyembuhkan orang lumpuh, tapi tidak disorot. Orang suruh orang angkat tilam, itu yang disorot, aneh bukan main. Kesembuhan pertama adalah kesembuhan yang menunjukkan orang yang disembuhkan tidak tentu beriman.

Sudahkah Kita Berbagian dalam Pemulihan?

Kita masuk dalam pembahasan final dari penolakan Tuhan atas Israel dan ini menjadi jalan bagi bangsa-bangsa lain diselamatkan. Ini tentu adalah tema yang sangat Yesaya, kalau Saudara baca Yesaya 50 akhir sampai pasal 60an, di situ ada keselamatan bangsa-bangsa melalui pemulihan Israel. Jadi ada janji Tuhan bahwa ketika Tuhan memulihkan Israel, terutama Kota Sion, Yerusalem, maka Tuhan akan bawa bangsa-bangsa lain untuk datang menyembah Tuhan. Ini menjadi gambaran yang Paulus lihat sangat signifikan untuk pelayanan dia, karena kita tahu waktu Paulus menulis Surat Roma, dia sedang berada di dalam sebuah tugas, dia punya tugas untuk mengumpulkan persembahan dari gereja-gereja dia. Di Yerusalem ada bencana kelaparan, atau lebih tepat lagi ada kerusuhan yaitu orang-orang Kristen tidak diizinkan untuk kerja dan tidak diizinkan untuk mempunyai karier atau kedudukan yang baik di masyarakat. Itu sebabnya ketika mereka hidup dengan kesulitan karena tidak ada makanan, tidak ada kemungkinan untuk bisa bertahan hidup, mereka memerlukan bantuan. Lalu Paulus mengumpulkan persembahan dari gereja-gereja, kemudian Paulus membawanya ke Yerusalem. Ketika dia membawanya ke Yerusalem, dia melihat ini sebagai gambaran penggenapan dari Yesaya, terutama Yesaya 60. Di dalam Yesaya 60 dikatakan ketika Tuhan memulihkan Yerusalem, maka bangsa-bangsa akan memberikan persembahan kepada Tuhan. Kita lihat Yesaya 60: 1-5 “Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan TUHAN terbit atasmu. Sebab sesungguhnya, kegelapan menutupi bumi, dan kekelaman menutupi bangsa-bangsa, tetapi terang TUHAN terbit atasmu, dan kemuliaan-Nya menjadi nyata atasmu. Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu, dan raja-raja kepada cahaya yang terbit bagimu. Angkatlah mukamu dan lihatlah ke sekeliling, mereka semua datang berhimpun kepadamu, anak-anakmu laki-laki datang dari jauh, dan anak-anakmu perempuan digendong. Pada waktu itu engkau akan heran melihat dan berseri-seri, engkau akan tercengang dan akan berbesar hati, sebab kelimpahan dari seberang laut akan beralih kepadamu, dan kekayaan bangsa-bangsa akan datang kepadamu”. Ada bagian yang menekankan ini dalam Kitab Nabi-nabi bahwa bangsa-bangsa akan membawa persembahan kepada Tuhan. Tuhan akan menerima kemuliaanNya yang sepantasnya diberikan oleh bangsa-bangsa dan pemberian persembahan dari bangsa-bangsa itulah yang menyatakan kemuliaan itu. Dan Yerusalem akan menerima itu. Paulus melihat ketika dia membawa persembahan dari bangsa-bangsa untuk menolong orang-orang di Yerusalem, ini sebagai bagian dari penggenapan, penggenapan dari kesempurnaan rencana Tuhan ini. Jadi Saudara bisa bayangkan perasaan hati Paulus bahwa dia sedang menggenapi, paling tidak sedang berbagian untuk menggenapi pekerjaan Tuhan yang Tuhan sudah nubuatkan, dan kekayaaan bangsa-bangsa akan dibawa. Tapi ada sesuatu yang sangat ironis di sini, karena kalau kita baca dari Yesaya 59 sampai bagian akhir Kitab Yesaya, pemulihan Yerusalem adalah alasan karena bangsa-bangsa datang. Yerusalem yang dipulihkan, Israel yang dinaikkan kembali, yang dijadikan bangsa kembali, bangsa milik Tuhan. Tapi faktanya pada zaman Paulus, ketika Paulus membawa persembahan ini, Israel berada di dalam keadaan menolak. Yerusalem tidak menerima Kristus dan Yerusalem membunuh rasul-rasul atau murid-murid Kristus, bahkan membunuh Stefanus, bahkan membunuh Yakobus. Sehingga ini membuat Paulus penuh dengan kebingungan untuk menentukan kalau begitu bagaimana memahami janji Tuhan yang digenapi lewat Kristus, bagaimana memahami penggenapan janji yang Tuhan kerjakan lewat Paulus. Apa yang terjadi di sini, apa yang harus dipahami? Ini yang Paulus pikirkan. Dan setelah Paulus tuntas berpikir, dia menemukan sebuah pemikiran yang sangat-sangat penting, dia menemukan teologi yang sangat penting yaitu bahwa di dalam penggenapan Kristus ternyata terjadi penolakan Israel, tapi rencana Tuhan memulihkan bangsa-bangsa tetap tidak dibatalkan. Yerusalem harusnya menjadi pulih, baru bangsa-bangsa lain ikut. Tapi Paulus menemukan di dalam zaman dia bahwa Yerusalem tidak pulih, Yerusalem tetap menolak Kristus, tapi Tuhan tetap membawa persembahan bangsa-bangsa lain masuk ke Yerusalem. Ini membuat Paulus menyadari bahwa apa yang Tuhan janjikan pasti jadi, tapi jadi di dalam cara yang seringkali tidak diantisipasi oleh manusia. Ketika Tuhan menyatakan kegenapan rencanaNya, kita melihat Tuhan sudah nyatakan baru genap, jadi Tuhan sudah bicarakan dulu baru rencanaNya menjadi genap. Tapi apa yang kita tafsirkan dari apa yang Tuhan bicarakan, seringkali salah, seringkali tidak sama dengan fakta yang Tuhan buat mengenai janjiNya. Itu sebabnya Paulus mempunyai posisi sangat penting di dalam menafsirkan Perjanjian Lama. Paulus bukan hanya orang yang mengikuti tradisi penafsiran yang mengatakan “Tuhan akan memulihkan Yerusalem dulu baru bangsa-bangsa lain”, tapi Paulus melihat kemungkinan lain untuk memahami rencana Tuhan yaitu bahwa Tuhan memakai pemberontakan Israel untuk menggenapi rencanaNya bagi bangsa-bangsa lain. Di sini ada pemikiran yang sangat signifikan, penting sekali untuk kita pahami, yaitu di dalam rancangan Tuhan, ketaatan manusia bisa terjadi untuk kemuliaan Tuhan dan Tuhan pakai untuk menggenapi rencanaNya. Tapi di sisi lain ketidak-taatan manusia juga bisa terjadi dan Tuhan tetap menggenapi rencanaNya. Pemberontakan manusia justru menggenapi rencana Tuhan. Di sini cara berpikir kita akan ditata kembali. Saudara harus mengerti dulu mana yang awal dan mana yang menjadi akibatnya. Kita tidak mengatakan “Tuhan memakai pemberontakan untuk menggenapi rencanaNya, berarti pemberontakan itu harus terjadi supaya rencana Tuhan terwujud”, “Yesus harus mati di kayu salib, berarti pengkhianatan Yudas harus terjadi barulah salib menjadi penting, barulah salib bisa terjadi”, ini cara berpikir yang salah. Banyak kali dalam teologi kita tidak hanya mendapat informasi, kita juga dilatih untuk menyusun informasi yang kita punya. Berteologi itu bukan pekerjaan yang se-simple menerima informasi lalu menghafal. Berteologi perlu hikmat dan semua orang perlu berteologi. Berteologi bukan hanya pekerjaan dari orang-orang yang menjadi teolog atau hamba Tuhan, teologi adalah yang secara natural dikerjakan oleh semua orang Kristen.

Kita akan belajar memahami bagaimana hidup bisa dijalani dengan segala kelimpahannya. Tuhan memberikan tawaran untuk kita hidup di dalamNya dan ketika kita mengatakan “Tuhan, saya mau hidup di dalam Engkau”, Tuhan akan tarik kita untuk memahami Dia, mengenal Dia dan mempunyai cara untuk memahami teologi dengan tepat. Itu sebabnya kita harus mengerti bahwa Tuhan tidak memberikan ketetapan manusia harus cemar, harus berdosa, dan waktu kita berdosa kita seperti berjasa “Tuhan, saya sudah berdosa, maka apa yang Tuhan rencanakan bisa terjadi. Tuhan mau selamatkan bangsa lain harus lewat pemberontakan Israel, kalau begitu kami memberontak supaya Tuhan menyelamatkan bangsa lain”. Di Roma 6 “apalagi yang Tuhan tuntut? Kalau dosaku membuat Dia semakin dipermuliakan, kalau begitu mari kita berdosa supaya Tuhan semakin dipermuliakan”, Paulus mengatakan “perkataanmu membuktikan kamu memang layak dihukum”. Terus bagaimana mengertinya? Kita mesti mengerti bahwa Tuhan menaklukkan pemberontakan, tidak ada orang bisa menang dari Tuhan. Tidak ada orang bisa mengakali Tuhan dengan mengatakan “saya punya strategi yang membuat engkau tidak bisa jalankan rencanamu”. Jadi apa yang kita strategikan, yang kita rancang, apa pun itu yang potensi merusak rencana Tuhan, ternyata justru Tuhan pakai untuk kemuliaanNya. Ini menjadi sesuatu yang banyak sekali terjadi di dalam gereja Tuhan, seringkali orang mengatakan “kalau saya tidak berbagian, pekerjaan Tuhan akan hancur. Kalau saya tidak lagi ikut-ikut maka apa yang Tuhan mau tidak akan terjadi. Kalau saya tidak lagi ikut melayani, gereja akan hancur. Kalau saya tidak mau melibatkan diri, pelayanan pasti berhenti”, ini sikap sombong yang mirip dengan apa yang disindir di Roma 11. Orang Israel mengatakan “kami berontak melawan Tuhan”, Tuhan mengatakan “kamu berontak, kamu menyalibkan MesiasKu, kamu menolak rasul-rasulKu, kamu menolak InjilKu. Justru Aku akan pakai penolakanmu untuk menggenapi Yesaya 59, 60, 61, 62”, seluruh yang diberitakan di Yesaya bagian akhir menjadi genap meskipun Israel memberontak. Ini hal awal yang saya mau bagikan di dalam khotbah ini.

Pengharapan Ciptaan Baru

Saudara sekalian, di dalam 2 Korintus 5 ayat 17 ini ditekankan mengenai ciptaan baru. Di sini ditekankan tentang ciptaan baru yang sudah datang dan ini merupakan aspek yang sangat penting dari berita pendamaian. Di dalam ayat yang ke-18 dikatakan Tuhan memberikan kepercayaan kepada Paulus dan semua penginjil karena Dia sudah mendamaikan kita dengan diriNya melalui Kristus, dan inilah berita yang dibawa oleh Paulus. Injil menyatakan adanya pendamaian antara Allah dan dunia ini. Antara Allah dan orang-orang yang ada di dalam dunia, dan seluruh konteksnya yaitu dunia ini. Itu sebabnya perkataan ciptaan baru itu menjadi sangat penting. Di dalam surat-surat Paulus berkali-kali dinyatakan tentang ciptaan baru dan ciptaan baru ini bukan cuma sekedar keadaan baru dari orang percaya, melainkan keadaan yang sempurna dari rancangan yang Tuhan sudah berikan di awal. Kitab Kejadian memulai dengan Allah menciptakan langit dan bumi dan berita Injil menunjukkan kesempurnaan dari rencana Tuhan di dalam penciptaan langit dan bumi. Itu sebabnya, di dalam perjamuan kudus, kita menikmati janji bahwa Tuhan akan menyempurnakan segala sesuatu. Dan Tuhan memulai dengan orang-orang yang percaya kepada Dia yaitu kita semua. Kita adalah yang mengawali ciptaan baru ini setelah Kristus bangkit, Dia yang pertama, lalu setelah itu orang-orang percaya dan setelah itu menyusul seluruh ciptaan diperbarui di dalam janji Tuhan. Itu sebabnya misalnya kalau Saudara ditanya orang, mengapa menjadi Kristen? Salah satu jawaban yang paling kuat adalah karena Kekristenan memberikan pengharapan yang sejati. Pengharapan itu tidak hanya diberikan lewat iman yang tidak terbukti. Pengharapan itu diberikan lewat iman kepada tanda. Ada banyak tanda yang Tuhan sudah berikan dan tanda yang paling besar adalah peristiwa kebangkitan Kristus. Peristiwa kebangkitan Kristus merupakan tanda bahwa ciptaan baru akan terjadi. Cara berpikir di dalam iman Kristen itu cara berpikir yang mengandalkan tanda-tanda ini. Maka tidak terlalu tepat sebenarnya kalau dikatakan bahwa iman Kristen itu iman yang tanpa bukti. Seringkali orang modern minta bukti di dalam level pengertian yang mereka tuntut. Tapi Tuhan memberikan bukti yang lebih kuat. Orang mengatakan “berikan bukti secara scientific bahwa iman Kristen itu benar”, tetapi Kekristenan mengatakan “berikan bukti kepada kami bagaimana seluruh ciptaan ini bisa diandalkan dan diharapkan, seluruh alam, jika bukan lewat tanda-tanda yang Tuhan berikan”. Itu sebabnya banyak tanda yang Tuhan nyatakan dan hidup Kristen itu hidup yang seperti dikelilingi tanda dari cinta kasih Tuhan. Tuhan menyatakan begitu banyak cara bahwa Dia mencintai kita dan Dia akan perbarui segala sesuatu. Maka di dalam pasal 5 ini Paulus menekankan berita yang sangat menakjubkan, yaitu dia memberitakan tentang Kristus yang bangkit sebagai permulaan dari ciptaan baru. Dan kita semua adalah orang-orang yang diizinkan berbagian, berbagian di dalam ciptaan yang baru yang akan dikerjakan oleh Tuhan. Maka kalau kita lihat di dalam ayat 17 tekanannya adalah siapa di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru atau lebih tepat lagi siapa di dalam Kristus, ciptaan baru, new creation. Ciptaan baru dinyatakan lewat Kristus. Kristus mati, Dia membawa seluruh realita yang lama mati di dalam Dia. Dan kebangkitan Dia adalah kebangkitan yang membawa seluruh realita ciptaan baru menjadi nyata. Kadang-kadang kita melihat iman Kristen dengan cara yang sangat sempit, yang sangat bersifat zoom. Tapi berarti kita cuma melihat lingkaran kecil dari keseluruhan yang sangat indah. Tetapi Saudara sekalian, Alkitab itu mengajarkan bahwa Kristus dan salibNya adalah fokus bagi seluruh realita yang Tuhan akan jadikan. Sehingga kita punya pengharapan besar di dalam Tuhan bahwa segala sesuatu akan Tuhan buat menjadi sempurna adanya. Ini sesuatu yang sangat penting kalau kita lihat di dalam kotbah, misalnya dari Martin Luther, dia berkotbah tentang Surat Roma dan dia mengatakan Surat Roma berbicara tentang ciptaan baru, tentang kebangkitan. Karena yang lama sudah mati, kita ini sudah mati di dalam Tuhan dan orang mati perlu dibangkitkan. Jadi dia memparalelkan antara problem dan solusi yang Tuhan berikan. Tuhan memberikan masalah itu diselesaikan lewat kebangkitan, bukan lewat perbuatan, misalnya. Ini problemnya kalau kita menganggap bahwa perbuatan kita bisa membawa keselamatan. Berarti kita tidak tahu keselamatan seperti apa yang kita perlukan. Kita bukan cuma perlu keselamatan dalam status pribadi kita, kita perlu keselamatan di dalam konteks ciptaan. Tuhan menaruh manusia di dalam ciptaan dan ketika manusia jatuh dalam dosa, ciptaan ikut jatuh. Setelah itu Tuhan menjanjikan perubahan dan perbaikan melalui penebusan manusia. Dan karena itu Tuhan juga merencanakan akan menebus seluruh dunia. Di dalam buku Where Mortals Dwell, Craig Bartholomew mengingatkan bahwa manusia tidak mungkin tanpa konteks tempat. Jadi kalau Saudara dipertobatkan dan dijadikan milik Tuhan, yang berikut yang kita tanya adalah tempat apa yang Tuhan sediakan bagi kita? Maka sebelum kita membahas berfokus kepada pembahasan dari 2 Korintus 5 ayat 17, saya ingin kita merenungkan sedikit tentang tempat yang Tuhan berikan. Di dalam Taman Eden ada tempat yang indah sekali, Tuhan memberikan Adam tempat yang begitu baik. Dan di dalam Taman Eden ini ada 2 pohon seperti Saudara juga sudah ketahui, ada pohon pengetahuan baik dan jahat dan ada pohon kehidupan. Seringkali kita bertanya-tanya mengapa ada 2 pohon ini di dalam? Kita bertanya tentang pertanyaan ini karena kita tidak tahu sebenarnya taman ini itu taman apa? Waktu kita baca tentang taman di Kejadian, kita pikirannya taman di rumah kita. “Saya juga ada taman di rumah, mungkin tidak sebesar Taman Eden dan yang pasti tidak ada emasnya”, Taman Eden kan ada emasnya dan emasnya baik katanya. Jadi kita langsung pikir taman seperti taman di rumah kita atau taman di mana pun. Kita bisa lihat ada banyak taman, tetapi kita kita tidak bisa berpikir bahwa Taman Eden adalah seperti salah satu dari taman itu. Justru pohon pengetahuan baik dan jahat dan pohon kehidupan itu menjadi simbol bahwa ini bukan cuma sekedar taman, tapi ini adalah temple. Di dalam sebuah bait akan ada prinsip mana boleh mana tidak, baik dan jahat, dan ada sumber kehidupan. Nanti ketika Bait Suci didirikan, setting-nya juga sama, bukan cuma sekedar gedung, tetapi ada pernyataan mana hidup mana mati, ada pernyataan mana baik mana jahat, dan ada pernyataan dimana hidup akan mengalir. Jadi ketika lihat Taman Eden, lalu kita berpikir ini cuma teman biasa, pengertian 2 pohon itu langsung merombak pikiran kita, “ini bukan cuma taman, ini berarti temple”. Ini adalah temple like garden, ini adalah taman yang serupa Bait Suci. Itu sebabnya kita sebenarnya tidak perlu heran dan bertanya-tanya “mengapa Tuhan taruh pohon pengetahuan baik dan jahat di sini?”, ini kan pertanyaan yang sering kita tanyakan. “Kalau Tuhan suka manusia taat sama Tuhan, jangan taruh pohon pengetahuan baik dan jahat”, harus taruh. Mengapa harus taruh? Ini setting temple, tidak mungkin ada temple tanpa jalan baik jahat dan tanpa pernyataan mana hidup? Maka ketika Musa berbicara kepada orang Israel misalnya di dalam Kitab Ulangan, Musa mengatakan, “hari ini aku perhadapkan kepadamu jalan untuk hidup dan kematian. Pilihlah hidup”. Waktu dia menyatakan Taurat, dia mengatakan pilihlah hidup. Di dalam Kemah Suci dan kemudian Bait Suci, Taurat dibacakan ini adalah jalan hidup. Dan Taurat berbicara tentang mana baik mana jahat. Jadi pohon pengetahuan baik dan jahat ini bukan pohon untuk dimakan, ini adalah pohon yang menandakan seluruh taman itu adalah baik. Dan di dalam tempat suci inilah Adam melayani, Adam itu imam. Adam adalah imam dan sebenarnya seluruh manusia keturunan Adam menjadi imam seperti dia. Namun kita tahu Adam memilih kematian, Adam memilih jahat sebenarnya ketika dia memakan buah pohon pengetahuan baik dan jahat. Buah pohon pengetahuan baik dan jahat ini bukan buah yang dalamnya itu ada pengetahuan baik dan jahat, kalau makan kita menjadi pintar, seperti kalau kita makan multivitamin, ujian tiba-tiba naik, “ini berarti buah pengetahuan baik dan jahat, serelah memakannya, saya menjadi pintar, tahu baik dan jahat”, bukan, ini simbol. Simbol bahwa Tuhan akan menawarkan mana baik mana jahat, Tuhan yang menawarkan. Dan jahat adalah ketika kita memilih untuk mengabaikan Tuhan. William Ocham pernah mengatakan, di dalam salah satu tulisannya bahwa firman Tuhan itu adalah realita, maksudnya firmanNya adalah realita. Sehingga kita tidak bisa mengatakan “mengapa Tuhan begitu kejam, memerintahkan jangan makan lalu upahnya mati”, melanggar firman itu sudah keluar dari realita dan keluar dari realita berarti mati. Realita itu hanya mungkin dinyatakan oleh firman Tuhan. Di luar firman tidak ada hidup. Ketika manusia memutuskan untuk tidak hidup di dalam firman, sebenarnya dia memilih mati. Inilah setting temple dari taman. Tuhan menempatkan manusia di taman itu sama dengan mengatakan Tuhan menempatkan manusia di dalam sebuah bait. Dan bait inilah yang harus diekspans oleh manusia. Tuhan mengatakan kepada manusia untuk beranak cucu, penuhi bumi. Tentu mereka tidak penuhi bumi dengan cuma hadir di bumi, mereka akan ubah bumi menjadi tempat mereka hidup. Dan tempat mereka hidup yang mereka tahu itu pertama-tama adalah Taman Eden. Manusia hanya bisa hidup di dalam Bait yaitu Taman Eden ini. Manusia tidak bisa hidup di luar Bait, manusia tidak bisa hidup di luar relasi dengan Tuhan. Maka ketika Tuhan mengusir manusia dari Taman Eden, ini seperti mengusir manusia dari the presence of God, mengusir manusia dari hadiratNya Allah. Kita mati karena di luar Tuhan. Kita tidak bisa hidup kecuali tempat hidup kita adalah tempat yang juga adalah Bait. Tempat yang juga adalah tempat kudus, tempat suci, tempat yang dikhususkan untuk kehadiran Tuhan dan tempat yang dikhususkan untuk kita berelasi dengan Tuhan waktu Dia hadir. Jadi Tuhan hadir di Taman Eden dan manusia berelasi dengan Dia, itulah tempat hidup manusia. Ini syarat, kita tidak bisa hidup kecuali ada ini. Kita tidak bisa hidup kecuali Tuhan hadir, dan di luar Tuhan kita mati. Maka Taman Eden di set seperti itu supaya pembaca mula-mula langsung mengerti. Jadi kalau kita menjadi orang Yahudi, lalu kita baca bagian ini, momen kita sampai pada pembacaan dan Tuhan meletakkan pohon pengetahuan baik dan jahat dan pohon kehidupan di tengah tengah taman langsung kita mengerti, “ini bukan cuma taman, ini Bait”. Waktu orang baca Kitab Kejadian, waktu mereka sampai pada pembacaan Tuhan meletakkan 2 pohon ini, langsung mereka tahu “oh, ini Bait”, simbolnya jelas sekali. Maka Saudara, tempat hidup manusia adalah Bait. Di mana pun Tuhan hadir, di situ menjadi tempat kudus dan manusia diundang untuk bersekutu dengan Dia di situ.

Bagaimana Membentuk Keinginan yang Kudus?

Mari kita membaca Roma pasal 12: 8-11, “Jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas. Siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin. Siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita. Hendaklah kasih itu jangan pura-pura. Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat. Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor. Biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan”. Ayat yang ke-8, “Siapa yang membagi-bagikan sesuatu”, ini berarti orang itu adalah orang yang membagi-bagikan sesuatu. “Hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas”, berarti dia sedang menuju hati yang ikhlas. “Siapa yang memberi pimpinan”, ini orang yang sudah memberi pimpinan, “Hendaklah ia melakukannya dengan rajin”, berarti ada proses pembentukan menuju kondisi hati yang rajin. “Siapa yang menunjukkan kemurahan”, berarti dia sudah menunjukkan kemurahan dengan tindakan. “Hendaklah ia melakukannya dengan sukacita”, berarti dia menuju kondisi hati yang bersukacita. Dari 3 hal ini, kita melihat satu pengertian yang indah yang Paulus bagikan, yaitu apa yang kita kerjakan sebagai orang Kristen itu akan membentuk hati. Kita umumnya mempunyai cara berpikir terbalik, hati dulu baru tindakan. Tapi Paulus membahasnya dengan cara yang terbalik secara urutan. Dan di dalam bahasa Yunani, urutan itu penting, kata pertama yang ditaruh adalah kata yang dimaksudkan untuk diberikan penekanan. Ini yang kita lihat juga misalnya, contoh yang sangat klasik yang jadi perdebatan orang Kristen dan saksi Yehova, misalnya Yohanes pasal yang pertama. Di dalam Alkitab dikatakan “dan Allah adalah Sang Firman”. Kalau diterjemahkan di bahasa Indonesia “dan firman itu adalah Allah”. Di dalam Saksi Yehova punya terjemahan dikatakan firman itu semacam Allah. Waktu ditanya “mengapa kamu pakai semacam Allah, mengapa tidak langsung mengatakan firman itu adalah Allah seperti yang diterjemahkan LAI”. Dan alasan mereka adalah di dalam bahasa Yunani, kata firman itu pakai definit artikel, pakai kata the, the world, ho logos. Sedangkan kata Allah, Theos itu tidak pakai definit artikel, tidak pakai ho theos. Kalau begitu, Theos bukan ditekankan, melainkan logos yang ditekankan. Tapi itu cara berpikiran salah untuk memahami bahasa Yunani, karena bahasa Yunani memberikan penekanan kepada kata di depan. Kata yang ditaruh di depan adalah kata yang diberikan penekanan. Ini yang misalnya kita lihat di dalam bagian pertama, kalimat kedua dari ayat 8, “Siapa yang hendak membagi-bagikan sesuatu, atau lebih tepat lagi siapa yang membagi-bagikan sesuatu, siapa yang sudah melakukan tindakan ini, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas. Siapa yang sudah berbuat kemurahan, hendaklah dia punya hati yang murah”. Jadi kemurahan hati sedang terjadi, on going process. Sedangkan tindakan bermurah hati sudah dilakukan. Lalu bagian berikutnya “Siapa yang memberi pimpinan”, dia sedang melakukan, sudah melakukan, bahkan dia sudah adalah pemimpin di sini. “Hendaklah ia melakukannya dengan rajin”. Hati yang tekun adalah sesuatu yang sedang dibentuk. Demikian bagian selanjutnya “siapa yang menunjukkan kemurahan, dia sudah mempraktekan itu”, dia sudah melakukan, hendaklah ia belajar punya hati yang sukacita. Maka di sini tindakan dulu baru perasaan. Pembentukan manusia adalah tindakan lalu hati menyusul. Bukan hati dulu baru tindakan menyusul. Memang benar orang punya hati baik akan mengekspresikan hati yang baik. Orang yang hatinya jahat akan mengekspresikan hatinya yang jahat, itu betul. Tapi bagaimana cara perbaiki hati? Dengan tindakan. Tindakan mempengaruhi ke dalam, ini bagian yang ditekankan di dalam Roma 12 ini. Pada dalam zaman modern ada respons dari kelompok Romantik. Nama-nama tokohnya seperti Rousseau dari Perancis atau Schleiermacher dari Jerman. Mereka mengkritik zaman modern yang dianggap terlalu bersifat industri dan terlalu menekankan teknologi. Aspek pikiran misalnya, dikonsentrasikan untuk industri dan teknologi. Rasio adalah untuk mengembangkan teknologi, rasio dipakai untuk berpikir tentang kemajuan science yang akhirnya berguna untuk membangun teknologi. Orang-orang Romantik menganggap bahwa kehidupan manusia di zaman modern terlalu dipenuhi dengan dunia industri. Tidak ada tempat bagi manusia untuk menjadi manusia yang sejati. Bagi orang Romantik menjadi manusia modern adalah cara manusia untuk ikut kemajuan zaman dengan mengorbankan kemanusiaannya. Kemanusiaannya hilang demi menjadi orang yang ikut spirit zaman yang menekankan industri dan teknologi. Saudara bisa pikir berapa banyak dari kita yang sudah kehilangan kesempatan untuk menggali kemampuan menikmati keindahan, menggali pengertian yang bagus dari hidup. Karena kita sudah konsentrasi kejar apa yang kita harus kerjakan untuk hasilkan uang, mati-matian kerjakan itu dari pagi sampai malam pikirkan bagaimana menghasilkan uang, sehingga tidak lagi ada waktu untuk pikirkan bagaimana jadi manusia. Kita kehilangan cara menikmati keindahan karena tidak ada waktu untuk belajar, Saudara tidak bisa menikmati musik yang indah karena tidak ada waktu untuk memahaminya. Kita tidak bisa memahami keindahan pencapaian seni tertinggi manusia, baik itu lukis, musik, novel sastra, karena kita tidak ada waktu untuk melakukan. Mengapa bisa tidak ada waktu? Karena saya mesti beradaptasi dengan kemajuan yang cepat dari teknologi. Masyarakat kita bergerak cepat dan saya akan ketinggalan kalau saya tidak ikut lari bersama dengan masyarakat. Ini sudah dipikirkan oleh para Romantik di abad yang ke-19. Apa gunanya teknologi kalau itu mematikan manusia? Itu sebabnya sekarang menekankan kembali perasaan untuk menjadi manusia. Dalam pengertian Schleiermacher, kamu sadar dan kamu berpikir itu 2 aspek yang beda. Kesadaranmu tidak ditentukan oleh pikiranmu, sebaliknya pikiranmu ditentukan oleh kesadaranmu. Apa yang kamu pikir seringkali didistorsi oleh kehilangan kesadaran, maka perlu bergantung kepada Tuhan. Banyak orang mementingkan rasio dan akhirnya tidak sadar kemanusiaan dia sedang dihilangkan. Schleiermacher menekankan semua orang sebenarnya mempunyai perasaan kecil, perasaan lemah, perasaan sangat-sangat goncang di dalam dunia ini. Maka tiap kali dia sadar dirinya ada, dia juga sadar dirinya perlu bergantung kepada kekuatan yang mutlak. Kalau kita tidak ingat hal ini, maka kita sedang mengalami keterlupaan, kita lupa bahwa kita terbatas, kita lupa bahwa kita perlu bergantung, kita lupa bahwa kita tidak mutlak. Hal ini membuat kita tidak sadar bahwa kita sedang berpikir dan kita sedang merancang hidup dengan meniadakan aspek terpenting dari menjadi manusia. Manusia itu berarti saya ada dan saya sadar saya kecil, saya perlu bergantung kepada Tuhan. Di dalam pengertian Rousseau, semua manusia mempunyai tekanan kepada perasaan atau ekspresi perasaan, bukan kepada pikiran dan rasio. Ini yang di dalam zaman kita disebut sebagai sebuah ekspresi individu, menyatakan apa yang aku rasakan. Perasaan lebih penting dari pada pikiran. Jadi mulai ada perubahan, bukan komunitas adalah tujuan saya hidup. Tapi sebaliknya komunitas adalah tempat ekspresi hidup saya. Jadi saya tidak perlu berpikir apakah saya berguna bagi komunitas atau tidak. Tapi saya perlu berpikir, apakah ekspresi perasaanku diterima oleh komunitas atau tidak. Saudara lihat gerakan ini dari perasaanku di dalam dan ekspresiku keluar, ini yang jadi tren di dalam kemanusiaan pada zaman kita sekarang. Kita sekarang sangat butuh sekali untuk diakui waktu kita mengekspresikan sesuatu. Jadi kalau ditanya, “Apa itu menjadi manusia?”, jawaban zaman kita adalah “Menjadi manusia adalah diakui. Saya ada tempat di mana saya dianggap, saya ada tempat di mana saya bisa mengekspresikan diri dan ekspresi itu diterima. Saya perlu dianggap penting. Saya perlu dianggap manusia. Saya perlu dianggap bahwa perasaan saya penting”. Tentu tidak salah kalau kita pikir baik-baik semua kebutuhan ini. Bukankah kita memang perlu diterima, bukankah kita akan tertekan kalau lingkungan kita menolak kita? Bukankah kita tidak bisa hidup sendiri, bukankah kita perlu diakui? Maka kebutuhan untuk mengekspresikan diri, kebutuhan untuk diakui, kebutuhan untuk ada komunitas yang mengatakan “kamu bagian dari kami”, ini merupakan aspek yang sangat penting. Lalu apa yang salah dengan ekspresif individualism? Yang salah adalah kita mengasumsikan perasaan kita sudah utama dan sudah fix. Manusia berpikir bahwa perasaan dia sudah mutlak. Dia perlu mengekspresikan sesuatu yang sudah jadi. “Perasaanku tidak perlu diubah. Aku perlu expresikan ini”. Tapi Kitab Suci memberikan satu perspektif yang dunia tidak sadar, bahwa perasaanmu pun perlu dikoreksi, perasaanmu pun tidak tentu tepat. Itu sebabnya zaman kita adalah zaman yang mengabaikan kebutuhan pengudusan. Kita tidak ingat dan tidak sadar bahwa kita perlu dikoreksi. Itu sebabnya perlu sekali kita datang ke gereja, kemudian ada doa pengakuan dosa. Doa pengakuan dosa adalah sesuatu yang sangat penting. Bukan hanya kita diam mengaku dosa di hadapan Tuhan, tetapi kita juga dibimbing mengaku dosa oleh gereja, oleh liturgis. Liturgis akan menolong kita bagaimana mengaku dosa. Tentu bukan berarti liturgis minta Saudara mengaku dosa ke dia. Hal ini menunjukkan ada ekspresi komunal tentang pengakuan dosa. Di dalam gereja, Saudara mendapatkan “Dosa saya dibongkar oleh pengucapan pengakuan dosa yang dipimpin”. Saya harap liturgi kita juga seperti itu, pengakuan dosa meskipun ada bagian kita doa dalam hati, harus ada bagian yang dipimpin oleh liturgis. Liturgis memimpin dari ayat Kitab Suci. Kesadaran ini tidak bisa diberikan oleh apapun di luar. Saudara tidak bisa menemukan kesadaran ini selain di dalam pengenalan akan Tuhan. Sayangnya kita manusia tidak menganggap Tuhan penting. Kalau komunitasku tidak bisa terima saya, saya cari komunitas lain. Kalau komunitas lain tidak bisa terima saya, saya cari lagi yang lain”. Pertanyaannya adalah dirimu itu siapa? Kalau kamu menganggap dirimu seperti kamu sekarang, berarti kamu tidak sadar bahwa kamu sedang dalam proses. Kalau kita mengatakan kita sedang diproses Tuhan, kondisi finalnya seperti apa? Kita mengatakan “harusnya seperti Kristus”. Kita sudah punya bayangan seperti apa kita harusnya jadi dan tidak ada tempat di mana kita bisa dibentuk seperti yang seharusnya, kecuali di dalam gereja. Kristus adalah Kepala dan gereja adalah tubuhnya. Gereja itu tubuh Kristus dan siapa yang ada di dalamnya sedang dibentuk menuju pertumbuhan ke arah kepala, yang dariNya sumber, kekudusan dan sumber kehidupan kita miliki. Itu sebabnya zaman kita adalah zaman yang sama sekali tidak mengerti pengudusan. Kita selalu mengasumsikan bahwa kita sudah fix seperti ini. “Selera aku tidak bisa diubah, perasaanku tidak bisa diubah. Siapa saya tidak bisa diubah, I am who I am”, ini kalimat mengerikan kalau diucapkan manusia. Harusnya cuma Tuhan yang bicara begini seperti di Kitab Keluaran pasal 3. Musa bertanya “Siapa namamu Tuhan?”, Tuhan mengatakan “Aku adalah Aku”. Kalau kita tidak boleh mengatakan begitu, “Siapa kamu?”, “Saya ya saya”. Komunitas yang perlu berubah, lingkungan yang perlu berubah. Saya memang orangnya keras, mau apa kamu? Terima saya dengan segala kekerasan saya. Saya memang orangnya lembut, jangan singgung saya. Saya memang orangnya perasaan, jangan singgung perasaan saya. Saya memang kurang peka, terimalah saya. Di mana komunitas, saya minta diterima apa adanya. Tapi sekali lagi, konsep ini mengasumsikan kita tidak perlu dibentuk dan kita tidak perlu mendapatkan pengudusan. Kalau tidak perlu mendapat pengudusan berarti saya sudah fix, saya tidak perlu dibentuk. Itu salah, saya tidak bisa seperti itu. Saya mesti datang ke komunitas di mana saya dibentuk. Kita harus datang di dalam komunitas yang benar, kalau tidak dibentuk, saya makin ngawur. Saya tahu darimana kalau komunitas itu benar, bagaimana saya tahu kalau saya ada di tempat pembentukan yang benar? Surat Roma pasal yang kedua belas, Paulus menekankan bahwa setiap kali kita makin kenal Tuhan, kita akan makin peka terhadap komunitas yang kita perlukan untuk membentuk kita. Makin kenal Tuhan makin dapat pengertian kita mestinya dibentuk seperti apa. Maka itu sebabnya Saudara dan saya perlu terus doakan untuk gereja kembali kepada firman yang benar. Karena dengan firman Tuhan, manusia diberikan kepekaan untuk tahu manusia harusnya jadi seperti apa. Firman mengubah manusia. Ini yang Paulus katakan di awal pasal yang kedua belas, “kamu serahkan dirimu untuk beribadah kepada Tuhan, menjadi korban hidup. Apa yang terjadi ketika aku menyerahkan diri jadi korban hidup? Jangan jadi sama dengan dunia. Berubahlah oleh pembaruan pikiranmu”, jadi pikiran kita diperbarui dan itulah alasan mengapa kita makin mengerti seperti apa harusnya manusia itu. Dan ini hikmat yang Tuhan akan berikan kepada umatNya. Saudara dan saya dibimbing oleh Tuhan untuk makin tahu apa itu kemanusiaan sejati. Hans Rookmaker, seorang pendiri dari fakultas seni di Free University. Dia mengatakan Kristus datang untuk membuat saya jadi manusia. Sebelum saya terima Kristus, saya adalah manusia yang kacau, yang penuh dengan kerusakan. Sampai saya datang ke Kristus, baru saya makin tahu di mana rusaknya saya dan apa yang harus saya capai di dalam menjadi manusia. Firman, juga pengenalan akan Kristus itu tidak bisa lepas dari gereja Tuhan.

Apakah Karuniamu?

Saudara kita melanjutkan pembahasan kita dari Surat Roma 12: 6-8. Saya bacakan ayat yang ke-6  “demikian firman Tuhan: Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita. Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan standar iman. Jika karunia untuk melayani baiklah kita melayani, jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar. Jika karunia untuk menasihati baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas. Siapa yang memberi pimpinan hendaklah ia melakukannya dengan rajin. Siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita”. Bagian awal perikop ini membahas bahwa kehidupan orang Kristen adalah kehidupan satu tubuh, bagaimana kehadiran orang lain dan saya sendiri adalah satu kesatuan yang tidak mungkin terpisahkan. Sehingga gambaran satu di dalam contoh tubuh itu sangat penting, sebab tubuh tidak dirancang untuk terpisah, tidak dirancang untuk tidak saling memedulikan satu dengan lain. Kehidupan orang Kristen dirancang untuk menjadi satu di dalam aspek cinta kasih dan juga saling melayani. Di dalam pengertian orang Yahudi, kasih adalah sesuatu yang lebih berkait kepada tindakan dari pada perasaan. Sehingga ketika Tuhan memerintahkan untuk seseorang mengasihi, orang Yahudi tidak perlu bertanya bagaimana cara mengubah hati kalau mereka belum mengasihi jadi mengasihi. Sebab pertanyaan itu kurang relevan. Pertanyaan yang lebih jelas adalah apakah yang disebut dengan tindakan kasih. Ketika Kristus mengatakan kepada orang yang bertanya kepada Dia, “hukum utama adalah, kasihilah Tuhan, Allahmu dan kasihilah sesamamu”. Orang tersebut tidak bertanya balik bagaimana bisa mempunyai perasaan kasih. Tapi ia langsung bertanya “Siapakah sesamaku? Saya kalau mau mengasihi, siapa orang yang akan mendapatkan kasih itu?”. Tuhan Yesus lantas memberikan contoh yang sangat terkenal mengenai orang Samaria yang baik hati. Apakah orang Samaria ini mempunyai afeksi yang besar sehingga dia mampu melakukan perbuatan baik? Tentu, tetapi bukan afeksi itu yang mau ditekankan di dalam ajaran “Hendaklah kamu saling mengasihi”. Bukan afeksinya melainkan tindakannya. Maka tindakan kasih adalah kasih. Tidak relevan apakah kita sudah punya hati untuk itu atau tidak. Tindakan adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Tuhan. Itu sebabnya mengerti kasih ada di dalam banyak penjabaran di dalam Kitab Suci. Misalnya ketika seterumu lapar, beri dia makan, ketika seterumu haus beri dia minum. Berarti di dalam Kitab Suci tekanan untuk bertindak adalah tekanan yang menggambarkan apa itu kasih. Sehingga jika kita bergumul mengatakan “Saya belum sanggup mengasihi”, itu pergumulan yang harus diselesaikan dengan tindakan, bukan dengan perubahan hati. Tidak peduli apakah hati kita menyenangi orang tersebut atau tidak, tindakan kita harus sesuai dengan apa yang Tuhan inginkan. Inilah pengertian kasih yang sebenarnya bersifat sangat praktis. Hal ini juga tertulis di dalam Imamat 19. Imamt 19 memberikan contoh penekanan tentang bagaimana beribadah kepada Tuhan merupakan bagian dari mengasihi Tuhan. Penekanan berlaku adil kepada sesama, juga bagian dari mengasihi. Pengertian bagaimana harus mempunyai kekudusan hidup, menghormati pasangan, menghormati pasangan orang lain juga, ini merupakan bagian dari pengertian kasih. Kasih dan kekudusan bukan hal yang bisa dipisah, sehingga kadang-kadang kita memahami perintah untuk kudus, tetapi sebenarnya yang Alkitab tekankan bukan kekudusan saja, melainkan juga kasih. Maka kasih adalah tindakan yang merupakan bagian dari tuntutan Tuhan bagi umatNya. Umat Tuhan harus mempraktekan kasih, umat Tuhan tidak terlalu disorot mengenai kondisi hati dan perasaan. Kita sering mengatakan “Perasaan saya sulit diubah”, itu terserah, tapi tindakan kita tidak boleh tidak bisa diubah oleh Tuhan. Tindakanmu harus mendahului. Kadang-kadang orang menafsirkan ini sebagai sebuah pengertian yang stoik, yaitu bertindak tanpa didorong oleh perasaan, bertindak meskipun hati belum rela. Sehingga sebagian orang akan melawan ini dengan mengatakan “Tidak bisa, kita tidak bisa terpecah. Siapa saya di dalam dan tindakan saya keluar itu harus satu. Kalau saya di dalam tidak rela melakukan, maka tindakan saya yang di luar itu menjadi tidak penting”. Tapi Kitab Suci membagikan pentingnya tindakan sehingga tindakan itu bahkan akan mempengaruhi kondisi hati. Pembentukan hati terjadi dari tindakan juga. Ini sesuatu yang disadari oleh Agustinus dan digali kembali pemikirannya oleh orang-orang seperti James Smith misalnya. Waktu Saudara bertindak, Saudara sedang membentuk hati. Hati tidak dibentuk dengan cara diberikan penjelasan berulang-ulang. Hati dibentuk dengan adanya sebuah liturgi hidup, adanya sebuah pengulangan di dalam hidup. Apakah yang paling sering kita ulangi? Hal apa yang paling sering kita lakukan setiap hari itu akan membentuk ke dalam. Itu sebabnya banyak orang sulit untuk menguduskan hidup karena dia pikir hatinya bisa diberi tahu, hatinya bisa dinasehati untuk berubah. “Pokoknya kalau saya mau hidup suci mesti begini, begini, begini, mesti tinggalkan segala dosa. Mesti lakukan apa yang baik”, terus kita cekoki hati lalu tunggu hati berubah dulu baru bertindak. Nanti kalau hati sudah berubah, baru saya ubah tindakan. Kita punya konsep ideal tentang cara berlangsungnya tindakan baik, dari hati mengalir keluar. Saudara memang benar, Yesus sendiri mengatakan “Apa yang keluar dari mulutmu itu berasal dari pikiranmu”. Dirimu di dalam diekspresikan keluar itu memang benar, ada bagian itu juga di dalam Kitab Suci. Tapi ekspresi keluar membentuk ke dalam juga ada. Ekspresi keluar membentuk ke dalam, Saudara tidak niat menolong orang, tapi Saudara paksa diri tolong orang, itu akan membentuk ke dalam juga. Maka perintah untuk bertindak adalah sesuatu yang sangat jelas diperintahkan di dalam Kitab Suci. Itu sebabnya kalau Saudara mau idealis dengan mengatakan “saya nanti akan lakukan kalau hati sudah rela. Kalau tidak, nanti saya jadi munafik”, bukan munafik, engkau sedang membiasakan diri untuk sebuah liturgi, tindakan keluar yang akan membentuk kedalam. Seringkali hati kita justru disiapkan oleh tindakan. Jadi sudah siap untuk mencintai orang, tidak relevan. Sudahkah kamu mengekspresikannya? Itu yang lebih penting.

Maka di dalam Kitab Suci ditekankan sekali bagaimana seseorang harus bertindak kepada orang lain di dalam kondisi tertentu. Misalnya di dalam Roma 12 bagian akhir, ditekankan sebuah keharusan untuk menolong seterumu kalau dia berada dalam keadaan kasihan. Kalau musuhmu lapar, beri dia makan. Hal ini menceritakan tentang kondisi musuh yang sudah hancur. Kita tidak menambah kehancuran dia dengan balas dendam, melainkan kita lakukan tindakan belas kasihan karena orang ini adalah orang yang lapar atau orang yang haus. Bagian ini dengan teliti mengatakan kita tidak punya kewajiban apapun kepada orang yang memperlakukan kita tidak adil selama dia belum berbalik dan bertobat. Tapi kalau dia berada dalam kesulitan, dia bertobat atau tidak, kita harus menolong dia. Saudara mungkin tidak tergerak oleh belas kasihan, tapi Saudara tergerak oleh kewajiban bertindak. “Siapa yang wajibkan saya bertindak, siapa punya hak atas hidup saya?” yang punya hak atas hidupmu adalah PenciptaMu dan PenebusMu. Dia yang sudah menciptakan engkau dan Dia yang sudah menebus engkau berhak atas tindakanmu melayani Dia. Maka segala tindakan kita adalah tindakan yang diperintahkan oleh Tuhan untuk dikerjakan dibaca sebagai kasih. Apakah hatiku sudah mengasihi? Mungkin belum, tetapi tindakan itu dikerjakan. Tindakan itu akan membentuk hati saya. Jika Saudara belajar untuk bertindak demi orang lain, meskipun hatimu tidak rela, engkau pelan-pelan akan terbentuk ke dalam, pembentukan melalui tindakan. Ini bukan sesuatu yang baru, banyak pemikir termasuk pemikir Kristen sudah mulai memikirkan tema ini. Thomas Aquinas misalnya, di dalam sebuah konsep yang dalam bahasa latin disebut habitus yang diambil dari pengertian Aristotle, heksis, ini merupakan sebuah tindakan berulang yang akan membentuk ke dalam. Jadi tindakanku di luar membentuk saya ke dalam. Hati mengikuti tindakan. Hati mengikuti tindakan atau tindakan mengikuti hati? Keduanya benar, sekali lagi, hatimu dibentuk oleh tindakanmu dan ketika hatimu terbentuk pada akhirnya engkau akan mengerjakan dengan dorongan hati apa yang engkau harus kerjakan. Ini yang disebut kebebasan Kristen. Orang Kristen punya kebebasan mencintai karena hatinya memang ingin mencintai. Orang Kristen hidup suci karena hatinya memang mau hidup suci. Orang Kristen berlaku adil karena hatinya memang mau berlaku adil. Tapi sebelum hati mau, tindakan adil, tindakan kudus, tindakan penuh kemurahan, tindakan penuh cinta kasih harus dikerjakan. Itu sebabnya waktu Tuhan ciptakan manusia, Dia tempatkan manusia di dalam konteks harus bertindak bagi sesamanya. Tuhan mengatakan kepada Adam “Tidak baik kalau dia seorang diri saja”, mengapa tidak baik? Yang pertama tidak ada yang tolong dia, itu yang pertama. Yang kedua, tidak ada yang dia tolong, ini juga penting. Manusia harus ditolong dan harus menolong. Tanpa ditolong dan tanpa menolong, dia tidak mungkin jadi manusia dan tidak mungkin jalani hidup sebenarnya. Maka relasi manusia di dalam hidup sebenarnya adalah relasi ketersalingan, saling melindungi, saling menjaga, saling mempertumbuhkan, saling membuat limpah, saling memberi diri, ini bagian dari sebuah sistem yang namanya creational order, keteraturan ciptaan. Seluruh ciptaan saling ada bagi yang lain. Saudara tidak mungkin mampu memahami fungsi matahari jika Saudara tidak lihat matahari di dalam sistem tata surya yang ada. Saudara tidak mungkin memahami apa gunanya tanah tanpa mengaitkan itu dengan tanaman yang tumbuh ataupun juga dengan makhluk yang hidup di dalam tanah. Saudara tidak mungkin mengaitkan satu orang tanpa ada orang lain. Seorang pelatih sepak bola tidak ada guna jika tidak ada tim sepak bolanya. Seorang yang melakukan tindakan tertentu tidak akan berguna kecuali ada masyarakat yang mendukung dia dan yang perlu didukung oleh tindakan dia. Itu sebabnya menolak bertindak adalah fatal karena kita sedang mencabut diri dari konteks. Banyak orang tidak sadar kita perlu bertindak kasih, bukan hanya karena ini perintah Tuhan, bukan karena hanya orang lain perlu, tapi karena kita memang dirancang untuk berbagian melalui tindakan. Itu sebabnya tidak ada orang bisa mengabaikan keharusan untuk bertindak mengasihi. Seorang yang menjadi orang Kristen mendapatkan kewajiban untuk bertindak yang merupakan bagian dari ekspresi kasihnya.

Kaum Sisa

Di ayat yang ke-19 pasal 10, Paulus mengutip dari Kitab Ulangan yaitu “aku menjadikan kamu cemburu terhadap orang-orang yang bukan umat dan membangkitkan amarahmu terhadap bangsa yang bebal”. Ini perkataan dari dari Musa dan yang dimaksudkan adalah ketika Israel membangkitkan cemburu Tuhan, Tuhan akan melakukan hal yang sama kepada mereka. Apa yang membangkitkan cemburu Tuhan? Tentu ketika Israel punya allah lain ya itu para berhala. Apa yang Tuhan akan lakukan? Di dalam Kitab Ulangan ada hint bahwa Tuhan akan mencintai bangsa-bangsa lain. Jadi ada sesuatu yang terjadi, Israel meninggalkan Tuhan demi berhala dan Tuhan meninggalkan Israel demi bangsa-bangsa lain. Ini ancaman, ini satu pernyataan yang adil di dalam sebuah perjanjian. Kalau kita ikat perjanjian pasti ada hal yang menjadi ikatan untuk kita lakukan dan itu juga yang Tuhan lakukan terhadap diriNya, Tuhan memberikan kewajiban kepada diriNya untuk bertindak dan Tuhan meletakkan kewajiban kepada Israel juga untuk bertindak. Dan kalau kita melihat perjanjian atau covenant itu sebagai sesuatu yang bersifat hukum, bersifat kewajiban, bersifat aturan, itu kurang akurat atau tidak sepenuhnya menjelaskan tentang perjanjian. Karena perjanjian juga sebenarnya melibatkan cinta kasih dan tindakan-tindakan yang menunjukkan cinta kasih. Maka relasi yang paling tepat untuk menggambarkan perjanjian sebenarnya adalah pernikahan. Di dalam sebuah pernikahan ada kewajiban untuk melakukan, tetapi kewajiban ini tidak dilakukan diluar kasih. Sehingga covenant dari Tuhan menunjukkan keindahan dari kesatuan cinta dan juga kewajiban, ada kewajiban tapi ada cinta kasih. Itu sebabnya Tuhan menyatakan pelanggaran Israel membangkitkan cemburu Tuhan. Demikian juga pelanggaran Israel itu akan membuat Tuhan membangkitkan cemburu di dalam Israel. Tentu cemburu ini bukan sesuatu yang kita bisa lihat terjadi waktu Israel dibuang oleh Tuhan, tetapi cemburu yang dimaksud itu yang justru Paulus rasakan ketika dia melayani, karena orang-orang Yahudi sangat anti waktu Injil diberikan kepada bangsa-bangsa lain. Tapi Paulus mengingatkan “kika kamu marah karena saya beritakan Injil ke bangsa lain, jangan-jangan kamu sedang dibangkitkan cemburunya sama Tuhan, jangan-jangan kamu orang buangan”, jadi ada gambaran yang kita mengerti untuk menunjukkan hukuman Tuhan, apakah Israel benar-benar cemburu Tuhan mencintai bangsa lain? Mereka tidak terlalu peduli karena ternyata Injil ditolak oleh mereka. Tapi orang-orang yang percaya Kristus mereka justru menjadi cemburu ketika Paulus memberitakan Injil ke bangsa lain. Mengapa bangsa lain tidak dibiarkan menjadi Israel, mereka tidak disunat, mereka tidak mempertahankan aturan makan kita, mereka tidak mempertahankan tradisi kita? Waktu Paulus memberitakan Injil ke tempat lain, ke Asia Minor, kemudian ke Korintus, “mengapa kamu tidak mengajarkan kepada mereka tradisi kita?”, Paulus mengatakan “karena mereka punya tradisi bangsa sendiri”, “tidak bisa, bangsa lain bangsa kafir, mereka tidak seharusnya dibiarkan menjalankan praktek bangsa mereka”. Tetapi Paulus mengatakan “mereka tidak melakukan praktek cemar secara seksual, mereka tidak melakukan penyembahan berhala, mereka tidak ikut makan makanan persembahan berhala di dalam kuil, mereka tidak pergi ke kuil, lalu salah mereka apa?”, “mereka masih kurang meskipun mereka tidak melakukan hal-hal itu, mereka mesti disunat, mereka mesti kerjakan apa yang menjadi tradisi kita”. Tetapi Tuhan menyatakan bahwa yang mereka kerjakan adalah baik, Tuhan tidak menginginkan mereka untuk merubah segala sesuatu. Dan karena itu segala sesuatu yang mereka jalankan sebenarnya adalah baik. Ini menjadi pengertian yang kita bisa pahami dari dari apa yang Kitab Suci sampaikan. Jadi waktu Israel menjalankan praktek bangsa mereka, mereka menjalankannya sebagai umat Tuhan. Waktu bangsa lain menjalankan praktek bangsa mereka, minus penyimpangan seksual, penyembahan berhala, mereka sedang menjalankan praktek dari Tuhan. Dan ini membuat orang Israel heran “kok praktek bangsa lain Tuhan terima?”. Dan Paulus mengatakan “selama itu bukan dosa, mengapa tidak?”, “bagaimana kamu dapat tahu itu dosa atau tidak kalau bukan sesuai Taurat?”. Tapi Paulus justru menjelaskan bangsa-bangsa lain yang tidak punya Taurat menjalankan Taurat juga, jika mereka menjalankannya di dalam Tuhan, ini dari Roma 2, Paulus menyatakan. Jadi ada gambaran yang utuh dari kerangka berpikir Paulus disampaikan di dalam Surat Roma mengenai bangsa-bangsa lain. Mereka juga menjalankan hidupnya untuk Tuhan. Kamu tidak makan untuk Tuhan, mereka makan untuk Tuhan. Kamu disunat mereka, kamu tidak bersunat juga untuk Tuhan, kamu menjalankan praktek bangsamu untuk Tuhan, mereka menjalankan praktek bangsa mereka dengan bertobat dari penyimpangan seksual dan penyembahan berhala, itu pun untuk Tuhan. Jadi mengapa kamu menghakimi orang lain? Mengapa kamu tidak mengizinkan mereka yang sudah diterima oleh Tuhan, menjadi milik Tuhan di dalam segala kelimpahannya? Dan inilah yang sebenarnya menjadi perbandingan antara Ulangan, Ulangan menyatakan apa dan yang Paulus nyatakan. Di dalam Kitab Ulangan dikatakan Tuhan akan bangkitkan cemburu kamu terhadap bangsa lain, ini tentu kiasan, tidak benar-benar terjadi Israel dibuang dan banyak dari mereka yang menyembah berhala, tidak sadar kalau mereka perlu setia kepada Tuhan. Jadi apa yang dinyatakan di dalam Kitab Ulangan adalah suatu bahasa kiasan, Tuhan ingin pembaca dari Kitab Ulangan sadar sakit hati Tuhan. Kalau kamu tidak tahu Tuhan sakit hati karena kamu khianati dengan menyembah berhala, maka coba pikirkan kalau kamu yang dikhianati, perasaan cemburu yang muncul itu perasaan seperti apa. Ini gambaran untuk memahami mengapa Tuhan murka. Jadi Israel tidak benar-benar merasa cemburu ketika mereka dibuang dan Tuhan panggil bangsa-bangsa lain, Yang marah justru adalah orang-orang Kristen Yahudi. Maka Paulus pakai ayat ini untuk menyindir mereka, “bukankah Tuhan sendiri menyatakan Aku akan bangkitkan cemburu dalam dirimu, waktu Aku panggil bangsa-bangsa lain”. Jangan sampai kamu yang menggenapi ayat ini, jangan sampai kamu orang Kristen Yahudi yang marah ketika Tuhan memanggil bangsa lain. Jadi ada gambaran yang sangat indahm sangat indah dalam pengertian perjanjian, bahwa Tuhan serius mengikat perjanjian dengan manusia dan Tuhan mengikat hatinya juga kepada manusia, kepada Israel. Hati yang sudah diikat akan mungkin terluka dan dialami oleh Tuhan. Tuhan mengikat hatinya kepada umatNya dan ketika umat yang meninggalkan Dia, Dia hancur hatinya dan murka. Ini kutipan pertama

Kutipan kedua dilanjurkan di dalam ayat 20. Ini dari Yesaya 20-21 dan di dalam Yesaya dikatakan “Tuhan berkenan ditemukan oleh mereka yang tidak cari dan Tuhan sudah lelah mengulurkan tangan kepada bangsa yang tidak taat”. Intinya Paulus mau mengatakan Tuhan berpaling ke bangsa-bangsa lain. Dan bangsa-bangsa lain di dalam pasal yang ke-10 akan mendengar. Tapi apakah Tuan membuang Israel? Tidak, Tuhan tidak membuang Israel. Berarti Israel masih umat Tuhan? Tidak semua, hanya kaum remnant atau hanya kaum sisa. Ini yang kita lihat di dalam ayat yang ke 1-5 dari pasal yang ke-11. Di dalam pasal 11: 1-5 dikatakan bahwa Tuhan akan memanggil umatNya tetapi yang dipanggil adalah kaum sisa. Ini dibagikan oleh Paulus dan dia mengutip peristiwa Elia ketika Elia pergi ke gunung Horeb, ini juga unik karena di dalam Kitab Keluaran dikatakan bahwa gunung Horeb tidak berarti lagi. Sebab Tuhan sudah pindahkan kehadiranNya ke Bait Suci, dai Kemah Suci. Dari Gunung Horeb ke Tabernakel, ke Kemah Suci. Dari Tabernakel ke Bait Suci di Yerusalem tapi Elia adalah nabi dari Israel Utara dan Tuhan murka kepada Israel Utara sama seperti Tuhan marah kepada Israel Selatan, Yedua. Maka Yerusalem, Yerusalem tidak terlalu signifikan di dalam kehidupan Elia. Ketika Elia mau mengadukan umat, dia tidak pergi ke Yerusalem, tapi dia pergi ke Horeb. Ini tentu sindiran besar ternyata Elia pun tidak pergi ke Bait Suci. Elia mempersembahkan korban di Gunung Karmel. Kemudian Elia memberikan pengaduan kepada Tuhan terhadap umatnya, bukan di Yerusalem, tapi di Gunung Sinai atau Gunung Horeb. Berarti apa yang dibanggakan oleh orang Israel sekarang jadi tidak penting, di dalam pengertian dari kisah Elia. Jadi Elia adalah nabi Tuhan, melayani umat Tuhan yang ada di utara dan Tuhan menunjukkan panggilan Tuhan “kembalilah kepada Tuhan kepada Israel Utara”, Tuhan mengasihi mereka sama seperti Tuhan mengasihi Israel Selatan atau Yehuda. Tetapi Tuhan juga murka kepada Israel Selatan sama seperti Tuhan murka kepada Israel Utara. Saudara baca Kitab Raja-raja, Saudara akan tahu ini kitab yang ujungnya sangat pesimis, dimulai dengan megah, dimulai dengan pengangkatan anak Daud. Dan Kalau Saudara baca Samuel maka Saudara akan lihat kitab raja-raja diharapkan sebagai kitab yang Puncak. Inilah kitab yang menunjukkan kesempurnaan dari rencana Tuhan, tetapi ketika Saudara baca ternyata puncaknya hanya di awal karena setelah itu Tuhan menyatakan ada penurunan, Israel memberontak, anak Daud yaitu Salomo di akhir hidup menyembah berhala. Lalu anak Salomo yaitu Rehabeam membuat kerajaan terpecah, karena mereka tidak setia maka Tuhan pecah. Sebagian diberikan kepada 11 suku, sebagian diberikan kepada 1 suku yaitu yang Yehuda. Maka yang Selatan cuma Yehuda, yang utara adalah bangsa-bangsa atau suku-suku bangsa Israel yang lain. Utara sudah menolak Tuhan dari awal karena Yerobeam langsung mendirikan lembu emas untuk disembah. Sedangkan di selatan meskipun masih lebih baik, tapi lama-lama keadaannya juga makin parah. Mereka menyembah berhala, mereka menolak Tuhan dan Tuhan murka kepada mereka. Jadi sama seperti Tuhan marah kepada Selatan demikian Tuhan marah kepada Utara. Sama seperti Tuhan masih mau panggil Israel Utara, demikian Tuhan masih mau panggil Israel Selatan. Jadi baik Utara maupun Selatan akan Tuhan satukan melalui sang Mesias. Dan ini janji yang Tuhan berikan untuk mereka harapkan. Di dalam kekacauan orang yang beriman tetap berharap. Dan Tuhan menyatakan lewat Kitab Raja-raja yaitu Elia dan lewat Kitab Yesaya. Melalui kisah Elia di dalam Kitab Raja-raja, Tuhan mengatakan “Aku tidak akan buang Israel”. Waktu Elia mengadukan “Israel sudah jahat, mereka membunuh nabi-nabiMu, mereka sudah mengkhianati Engkau”. Tuhan mengatakan “kamu kembalilah. Kamu lantik nabi meneruskan engkau, lantik Raja Israel untuk membersihkan orang Israel. Berarti Tuhan masih memberikan pengampunan. Elia mungkin bingung mengapa masih ada harapan bagi Israel? Dan Tuhan mengatakan “karena masih ada 7.000 orang yang tidak menyembah Baal”, ada kaum sisa yang tetap setia kepada Tuhan. Lalu dari Kitab Yesaya dikatakan apa? Di dalam Kitab Yesaya pasal 6, ketika Yesaya bertanya “Tuhan, saya dipanggil menjadi hambaMu, apa yang harus saya lakukan?”, dan Tuhan mengatakan “beritakanlah”, tugas Yesaya berkhotbah. Tapi kotbahnya buruk, “beritakanlah sampai Aku hancurkan mereka sama sekali, Aku tidak akan berhenti menghancurkan Israel”. Jadi ada kabar buruk dari Yesaya. Tetapi kabar buruk ini dilanjutkan dengan kabar baik. Tuhan masih menyisakan di Israel ada kaum sisa. Dikatakan di bagian awal dari Kitab Yesaya bahwa Tuhan membuat Israel banyak seperti debu, seperti pasir di pinggir laut, seperti bintang-bintang di langit, tetapi hanya remnant, hanya kaum sisa yang diselamatkan. Di dalam Kitab Yesaya tema remnant atau kaum sisa ini penting sekali, berulang berkali-kali dari awal sampai akhir, kaum sisa.