Mari kita membaca Roma pasal 12: 8-11, “Jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas. Siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin. Siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita. Hendaklah kasih itu jangan pura-pura. Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat. Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor. Biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan”. Ayat yang ke-8, “Siapa yang membagi-bagikan sesuatu”, ini berarti orang itu adalah orang yang membagi-bagikan sesuatu. “Hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas”, berarti dia sedang menuju hati yang ikhlas. “Siapa yang memberi pimpinan”, ini orang yang sudah memberi pimpinan, “Hendaklah ia melakukannya dengan rajin”, berarti ada proses pembentukan menuju kondisi hati yang rajin. “Siapa yang menunjukkan kemurahan”, berarti dia sudah menunjukkan kemurahan dengan tindakan. “Hendaklah ia melakukannya dengan sukacita”, berarti dia menuju kondisi hati yang bersukacita. Dari 3 hal ini, kita melihat satu pengertian yang indah yang Paulus bagikan, yaitu apa yang kita kerjakan sebagai orang Kristen itu akan membentuk hati. Kita umumnya mempunyai cara berpikir terbalik, hati dulu baru tindakan. Tapi Paulus membahasnya dengan cara yang terbalik secara urutan. Dan di dalam bahasa Yunani, urutan itu penting, kata pertama yang ditaruh adalah kata yang dimaksudkan untuk diberikan penekanan. Ini yang kita lihat juga misalnya, contoh yang sangat klasik yang jadi perdebatan orang Kristen dan saksi Yehova, misalnya Yohanes pasal yang pertama. Di dalam Alkitab dikatakan “dan Allah adalah Sang Firman”. Kalau diterjemahkan di bahasa Indonesia “dan firman itu adalah Allah”. Di dalam Saksi Yehova punya terjemahan dikatakan firman itu semacam Allah. Waktu ditanya “mengapa kamu pakai semacam Allah, mengapa tidak langsung mengatakan firman itu adalah Allah seperti yang diterjemahkan LAI”. Dan alasan mereka adalah di dalam bahasa Yunani, kata firman itu pakai definit artikel, pakai kata the, the world, ho logos. Sedangkan kata Allah, Theos itu tidak pakai definit artikel, tidak pakai ho theos. Kalau begitu, Theos bukan ditekankan, melainkan logos yang ditekankan. Tapi itu cara berpikiran salah untuk memahami bahasa Yunani, karena bahasa Yunani memberikan penekanan kepada kata di depan. Kata yang ditaruh di depan adalah kata yang diberikan penekanan. Ini yang misalnya kita lihat di dalam bagian pertama, kalimat kedua dari ayat 8, “Siapa yang hendak membagi-bagikan sesuatu, atau lebih tepat lagi siapa yang membagi-bagikan sesuatu, siapa yang sudah melakukan tindakan ini, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas. Siapa yang sudah berbuat kemurahan, hendaklah dia punya hati yang murah”. Jadi kemurahan hati sedang terjadi, on going process. Sedangkan tindakan bermurah hati sudah dilakukan. Lalu bagian berikutnya “Siapa yang memberi pimpinan”, dia sedang melakukan, sudah melakukan, bahkan dia sudah adalah pemimpin di sini. “Hendaklah ia melakukannya dengan rajin”. Hati yang tekun adalah sesuatu yang sedang dibentuk. Demikian bagian selanjutnya “siapa yang menunjukkan kemurahan, dia sudah mempraktekan itu”, dia sudah melakukan, hendaklah ia belajar punya hati yang sukacita. Maka di sini tindakan dulu baru perasaan. Pembentukan manusia adalah tindakan lalu hati menyusul. Bukan hati dulu baru tindakan menyusul. Memang benar orang punya hati baik akan mengekspresikan hati yang baik. Orang yang hatinya jahat akan mengekspresikan hatinya yang jahat, itu betul. Tapi bagaimana cara perbaiki hati? Dengan tindakan. Tindakan mempengaruhi ke dalam, ini bagian yang ditekankan di dalam Roma 12 ini. Pada dalam zaman modern ada respons dari kelompok Romantik. Nama-nama tokohnya seperti Rousseau dari Perancis atau Schleiermacher dari Jerman. Mereka mengkritik zaman modern yang dianggap terlalu bersifat industri dan terlalu menekankan teknologi. Aspek pikiran misalnya, dikonsentrasikan untuk industri dan teknologi. Rasio adalah untuk mengembangkan teknologi, rasio dipakai untuk berpikir tentang kemajuan science yang akhirnya berguna untuk membangun teknologi. Orang-orang Romantik menganggap bahwa kehidupan manusia di zaman modern terlalu dipenuhi dengan dunia industri. Tidak ada tempat bagi manusia untuk menjadi manusia yang sejati. Bagi orang Romantik menjadi manusia modern adalah cara manusia untuk ikut kemajuan zaman dengan mengorbankan kemanusiaannya. Kemanusiaannya hilang demi menjadi orang yang ikut spirit zaman yang menekankan industri dan teknologi. Saudara bisa pikir berapa banyak dari kita yang sudah kehilangan kesempatan untuk menggali kemampuan menikmati keindahan, menggali pengertian yang bagus dari hidup. Karena kita sudah konsentrasi kejar apa yang kita harus kerjakan untuk hasilkan uang, mati-matian kerjakan itu dari pagi sampai malam pikirkan bagaimana menghasilkan uang, sehingga tidak lagi ada waktu untuk pikirkan bagaimana jadi manusia. Kita kehilangan cara menikmati keindahan karena tidak ada waktu untuk belajar, Saudara tidak bisa menikmati musik yang indah karena tidak ada waktu untuk memahaminya. Kita tidak bisa memahami keindahan pencapaian seni tertinggi manusia, baik itu lukis, musik, novel sastra, karena kita tidak ada waktu untuk melakukan. Mengapa bisa tidak ada waktu? Karena saya mesti beradaptasi dengan kemajuan yang cepat dari teknologi. Masyarakat kita bergerak cepat dan saya akan ketinggalan kalau saya tidak ikut lari bersama dengan masyarakat. Ini sudah dipikirkan oleh para Romantik di abad yang ke-19. Apa gunanya teknologi kalau itu mematikan manusia? Itu sebabnya sekarang menekankan kembali perasaan untuk menjadi manusia. Dalam pengertian Schleiermacher, kamu sadar dan kamu berpikir itu 2 aspek yang beda. Kesadaranmu tidak ditentukan oleh pikiranmu, sebaliknya pikiranmu ditentukan oleh kesadaranmu. Apa yang kamu pikir seringkali didistorsi oleh kehilangan kesadaran, maka perlu bergantung kepada Tuhan. Banyak orang mementingkan rasio dan akhirnya tidak sadar kemanusiaan dia sedang dihilangkan. Schleiermacher menekankan semua orang sebenarnya mempunyai perasaan kecil, perasaan lemah, perasaan sangat-sangat goncang di dalam dunia ini. Maka tiap kali dia sadar dirinya ada, dia juga sadar dirinya perlu bergantung kepada kekuatan yang mutlak. Kalau kita tidak ingat hal ini, maka kita sedang mengalami keterlupaan, kita lupa bahwa kita terbatas, kita lupa bahwa kita perlu bergantung, kita lupa bahwa kita tidak mutlak. Hal ini membuat kita tidak sadar bahwa kita sedang berpikir dan kita sedang merancang hidup dengan meniadakan aspek terpenting dari menjadi manusia. Manusia itu berarti saya ada dan saya sadar saya kecil, saya perlu bergantung kepada Tuhan. Di dalam pengertian Rousseau, semua manusia mempunyai tekanan kepada perasaan atau ekspresi perasaan, bukan kepada pikiran dan rasio. Ini yang di dalam zaman kita disebut sebagai sebuah ekspresi individu, menyatakan apa yang aku rasakan. Perasaan lebih penting dari pada pikiran. Jadi mulai ada perubahan, bukan komunitas adalah tujuan saya hidup. Tapi sebaliknya komunitas adalah tempat ekspresi hidup saya. Jadi saya tidak perlu berpikir apakah saya berguna bagi komunitas atau tidak. Tapi saya perlu berpikir, apakah ekspresi perasaanku diterima oleh komunitas atau tidak. Saudara lihat gerakan ini dari perasaanku di dalam dan ekspresiku keluar, ini yang jadi tren di dalam kemanusiaan pada zaman kita sekarang. Kita sekarang sangat butuh sekali untuk diakui waktu kita mengekspresikan sesuatu. Jadi kalau ditanya, “Apa itu menjadi manusia?”, jawaban zaman kita adalah “Menjadi manusia adalah diakui. Saya ada tempat di mana saya dianggap, saya ada tempat di mana saya bisa mengekspresikan diri dan ekspresi itu diterima. Saya perlu dianggap penting. Saya perlu dianggap manusia. Saya perlu dianggap bahwa perasaan saya penting”. Tentu tidak salah kalau kita pikir baik-baik semua kebutuhan ini. Bukankah kita memang perlu diterima, bukankah kita akan tertekan kalau lingkungan kita menolak kita? Bukankah kita tidak bisa hidup sendiri, bukankah kita perlu diakui? Maka kebutuhan untuk mengekspresikan diri, kebutuhan untuk diakui, kebutuhan untuk ada komunitas yang mengatakan “kamu bagian dari kami”, ini merupakan aspek yang sangat penting. Lalu apa yang salah dengan ekspresif individualism? Yang salah adalah kita mengasumsikan perasaan kita sudah utama dan sudah fix. Manusia berpikir bahwa perasaan dia sudah mutlak. Dia perlu mengekspresikan sesuatu yang sudah jadi. “Perasaanku tidak perlu diubah. Aku perlu expresikan ini”. Tapi Kitab Suci memberikan satu perspektif yang dunia tidak sadar, bahwa perasaanmu pun perlu dikoreksi, perasaanmu pun tidak tentu tepat. Itu sebabnya zaman kita adalah zaman yang mengabaikan kebutuhan pengudusan. Kita tidak ingat dan tidak sadar bahwa kita perlu dikoreksi. Itu sebabnya perlu sekali kita datang ke gereja, kemudian ada doa pengakuan dosa. Doa pengakuan dosa adalah sesuatu yang sangat penting. Bukan hanya kita diam mengaku dosa di hadapan Tuhan, tetapi kita juga dibimbing mengaku dosa oleh gereja, oleh liturgis. Liturgis akan menolong kita bagaimana mengaku dosa. Tentu bukan berarti liturgis minta Saudara mengaku dosa ke dia. Hal ini menunjukkan ada ekspresi komunal tentang pengakuan dosa. Di dalam gereja, Saudara mendapatkan “Dosa saya dibongkar oleh pengucapan pengakuan dosa yang dipimpin”. Saya harap liturgi kita juga seperti itu, pengakuan dosa meskipun ada bagian kita doa dalam hati, harus ada bagian yang dipimpin oleh liturgis. Liturgis memimpin dari ayat Kitab Suci. Kesadaran ini tidak bisa diberikan oleh apapun di luar. Saudara tidak bisa menemukan kesadaran ini selain di dalam pengenalan akan Tuhan. Sayangnya kita manusia tidak menganggap Tuhan penting. Kalau komunitasku tidak bisa terima saya, saya cari komunitas lain. Kalau komunitas lain tidak bisa terima saya, saya cari lagi yang lain”. Pertanyaannya adalah dirimu itu siapa? Kalau kamu menganggap dirimu seperti kamu sekarang, berarti kamu tidak sadar bahwa kamu sedang dalam proses. Kalau kita mengatakan kita sedang diproses Tuhan, kondisi finalnya seperti apa? Kita mengatakan “harusnya seperti Kristus”. Kita sudah punya bayangan seperti apa kita harusnya jadi dan tidak ada tempat di mana kita bisa dibentuk seperti yang seharusnya, kecuali di dalam gereja. Kristus adalah Kepala dan gereja adalah tubuhnya. Gereja itu tubuh Kristus dan siapa yang ada di dalamnya sedang dibentuk menuju pertumbuhan ke arah kepala, yang dariNya sumber, kekudusan dan sumber kehidupan kita miliki. Itu sebabnya zaman kita adalah zaman yang sama sekali tidak mengerti pengudusan. Kita selalu mengasumsikan bahwa kita sudah fix seperti ini. “Selera aku tidak bisa diubah, perasaanku tidak bisa diubah. Siapa saya tidak bisa diubah, I am who I am”, ini kalimat mengerikan kalau diucapkan manusia. Harusnya cuma Tuhan yang bicara begini seperti di Kitab Keluaran pasal 3. Musa bertanya “Siapa namamu Tuhan?”, Tuhan mengatakan “Aku adalah Aku”. Kalau kita tidak boleh mengatakan begitu, “Siapa kamu?”, “Saya ya saya”. Komunitas yang perlu berubah, lingkungan yang perlu berubah. Saya memang orangnya keras, mau apa kamu? Terima saya dengan segala kekerasan saya. Saya memang orangnya lembut, jangan singgung saya. Saya memang orangnya perasaan, jangan singgung perasaan saya. Saya memang kurang peka, terimalah saya. Di mana komunitas, saya minta diterima apa adanya. Tapi sekali lagi, konsep ini mengasumsikan kita tidak perlu dibentuk dan kita tidak perlu mendapatkan pengudusan. Kalau tidak perlu mendapat pengudusan berarti saya sudah fix, saya tidak perlu dibentuk. Itu salah, saya tidak bisa seperti itu. Saya mesti datang ke komunitas di mana saya dibentuk. Kita harus datang di dalam komunitas yang benar, kalau tidak dibentuk, saya makin ngawur. Saya tahu darimana kalau komunitas itu benar, bagaimana saya tahu kalau saya ada di tempat pembentukan yang benar? Surat Roma pasal yang kedua belas, Paulus menekankan bahwa setiap kali kita makin kenal Tuhan, kita akan makin peka terhadap komunitas yang kita perlukan untuk membentuk kita. Makin kenal Tuhan makin dapat pengertian kita mestinya dibentuk seperti apa. Maka itu sebabnya Saudara dan saya perlu terus doakan untuk gereja kembali kepada firman yang benar. Karena dengan firman Tuhan, manusia diberikan kepekaan untuk tahu manusia harusnya jadi seperti apa. Firman mengubah manusia. Ini yang Paulus katakan di awal pasal yang kedua belas, “kamu serahkan dirimu untuk beribadah kepada Tuhan, menjadi korban hidup. Apa yang terjadi ketika aku menyerahkan diri jadi korban hidup? Jangan jadi sama dengan dunia. Berubahlah oleh pembaruan pikiranmu”, jadi pikiran kita diperbarui dan itulah alasan mengapa kita makin mengerti seperti apa harusnya manusia itu. Dan ini hikmat yang Tuhan akan berikan kepada umatNya. Saudara dan saya dibimbing oleh Tuhan untuk makin tahu apa itu kemanusiaan sejati. Hans Rookmaker, seorang pendiri dari fakultas seni di Free University. Dia mengatakan Kristus datang untuk membuat saya jadi manusia. Sebelum saya terima Kristus, saya adalah manusia yang kacau, yang penuh dengan kerusakan. Sampai saya datang ke Kristus, baru saya makin tahu di mana rusaknya saya dan apa yang harus saya capai di dalam menjadi manusia. Firman, juga pengenalan akan Kristus itu tidak bisa lepas dari gereja Tuhan.

1 of 3 »