Gereja punya peran besar sekali di dalam pembentukan komunitas. Tetapi gereja sering tidak sadar akan hal ini. Banyak orang ada di dalam gereja, mereka tersesat, tidak tahu dibentuk seperti apa. Sayang kalau gereja juga tidak tahu bagaimana membentuk manusia. Gereja yang menampung kebutuhan orang untuk menonjolkan diri, gereja itu akan berhenti berfungsi sebagai gereja. Dan kalau gereja berhenti berfungsi sebagai gereja, maka dia tidak mungkin membentuk manusia dan manusia kehilangan harapan. Itu sebabnya sangat penting untuk gereja jaga jati dirinya. Gereja perlu mengakui dan belajar dari tradisi sebelumnya. Satu buku yang penting ditulis Carl Trueman judulnya adalah Creedal Imperative. Di dalam buku itu dia mengatakan orang-orang Injili sudah melupakan tradisi, tidak menganggap tradisi penting. Tradisi tidak dianggap penting, pengakuan iman tidak dianggap penting, pengenalan akan Kitab Suci yang sudah dibagikan Roh Kudus di dalam sejarah dianggap tidak penting. “Pokoknya penyelidikanku sekarang baca Alkitab dan pengertianku dari baca Alkitab saja itu cukup”. Itu bukan pengertian sola scriptura, sola scriptura bukan berarti “aku sendiri baca Alkitab cukup”, tidak, Saudara perlu komunitas penafsir. Ini yang dikatakan John Calvin, gereja adalah komunitas penafsir Alkitab. Gereja bukan kumpulan individu yang punya tafsiran masing-masing, lalu kumpul, lalu berantem sendiri, tidak. Memang benar bisa ada perbedaan, tapi setiap perbedaan mesti ditangani dengan kesadaran bahwa diri saya tidak mutlak. Gereja adalah komunitas penafsiran, tafsiranku akan diperbaiki oleh orang lain, dan tafsiranku akan memperbaiki tafsiran orang lain. Sehingga sebagai komunitas penafsir, gereja dipimpin Tuhan mengerti Alkitab bersama-sama, bukan sendirian. Ini pengertian penting dari Calvin ketika dia balas kritik dari seorang bernama Jacob Sadolet. Sadolet tulis surat kepada orang Jenewa “Orang Jenewa, ayo kembali lagi ke Katolik, karena Katolik penafsiran ditentukan satu, oleh Paus. Kalau kalian Protestan, semua orang tafsir Alkitab sendiri”. Calvin mengatakan “Kamu salah, orang Kristen Protestan tidak punya penafsiran individual. Kita punya penafsiran komunal. Lalu kalau kamu dari Katolik mengatakan kami lebih bagus, kami lebih terstruktur karena yang menafsir Paus langsung, dia tafsir apa kita semua ikut”. Tapi Saudara coba pikir kalau Paus menafsir, bukankah Saudara juga mesti tafsir tafsirannya Paus? Nanti tafsirannya Paus beda-beda juga lantas bagaimana. Ini yang Calvin ingatkan. Calvin mengatakan kepada Sadolet “Kami Protestan tidak menafsirkan secara individu, kami perlu komunitas gereja”. Dan gereja bukan berarti satu pemimpin mempunyai otoritas tunggal untuk menafsir, tidak. Karena pemimpin ini pun perlu dikoreksi, pemimpin perlu saling koreksi, pendeta mesti saling koreksi, hamba Tuhan mesti saling koreksi, sehingga kita tidak tafsir Alkitab sendiri. Tapi kita menjadi bagian dari komunitas penafsir yang teratur, yang belajar membagikan dan menghidupi tafsiran Alkitab yang benar. Kebanyakan ajaran bidat muncul dari orang yang tafsir sesukanya. Baca Alkitab lalu tafsir sendiri, lalu muncullah begitu banyak tafsiran yang “hebat-hebat”. Itu sebabnya kita tidak mungkin lepas dari kehidupan bergereja. Gereja menjadi komunitas pembentuk untuk kekudusan. Itulah yang harusnya kita sadari. Kalau gereja mengikuti tren dunia, semua jadi kacau. Kalau begitu pembentukan untuk kita jadi kudus, makin mirip Kristus, kita dapat di mana? Tidak mungkin di tempat lain. Gereja Injili seringkali memisahkan mana yang duniawi dan mana yang rohani. Yang duniawi di luar gereja, yang rohani di dalam gereja. Yang duniawi boleh dijalankan? “Tidak, itu dosa itu miliknya setan”. Yang milikNya Tuhan dimana? “Di gereja”, milik Tuhan sempit sekali, cuma di lingkungan gereja. Lalu yang di luar itu dosa? Dosa. Maka “Boleh tidak saya nonton film?”, “Itu dosa”, “Nonton konser?”, “Itu dosa”. Film, konser itu semua dosa. “Kalau itu dosa, padahal saya ingin, boleh tidak? Sekali-sekali saja”, “Tidak boleh”, ini Injili. Lalu dari tradisi Karismatik mengatakan apa? Orang Karismatik mengatakan “Sama, gereja tidak boleh nonton karena itu duniawi”, “Kalau begitu kami membuat tontonan Kristen. “Kamu tidak boleh nonton konser pop”, “Ya sudah, kita membuat pop Kristen”. Ini hebatnya Karismatik, apa yang Injili larang, Karismatik beri solusi, way out, makanya Injili kalah terus sama Karismatik. Karena Injili melarang dan Karismatik memberi solusi. “Apa yang kamu larang?”, “saya larang orang nonton film”, “ya sudah, kita buat show di dalam gereja. Kamu tidak boleh nonton konser? Kita membuat konser di dalam gereja. Kamu tidak boleh ke night club? Kita buat day club. Kamu bisa nikmati di dalam gereja, itu akan menguduskan”. Ini salah. Bukan semuanya dibawa ke gereja karena gereja tidak mungkin berfungsi sebagai segalanya. Gereja tidak harus melakukan eklesianisasi, gerejanisasi, semua mesti di gerejakan. GRII tidak harus terjun ke situ, tapi jemaatnya bisa terjun, bukan atas nama GRII. Jemaat terjun ke dunia marketing untuk memberikan sentuhan Kristen ke situ. Jemaat terjun ke dunia apapun, lalu memberi sentuhan Kristen ke situ, itu yang harusnya terjadi. Mengapa mandat budaya di dalam tradisi Injili macet? Karena mengatakan semua di luar gereja berdosa. Mengapa mandat budaya di dalam tradisi Karismatik macet? Karena mengatakan “Semua yang berdosa di luar memang kacau, kita membuat sendiri versi kita di dalam”, tidak bisa. Maka kita mesti pikir bagaimana orang Kristen menyadari kembali fungsi komunitas gereja sebagai yang menguduskan. Gereja adalah tempat kita berinteraksi untuk bertumbuh di dalam kekudusan. Gereja adalah tempat kita belajar firman, gereja adalah tempat kita menjalankan sakramen, gereja adalah tempat kita menjalankan liturgi ibadah. Hal ini sempurna di dalam tatanan Tuhan. Maka pikiran Kuyper itu penting sekali, dia menyadarkan jemaat Kristen akan pentingnya spehere of sovereignty. Setiap bidang itu milik Kristus dan setiap bidang saling berkait, tapi mandiri. Saling berkait tapi tidak harus jadi bidang lain. Gereja tidak harus buka bank, gereja tidak harus menjadi partai politik. Partai politik tidak harus urusi doktrin. Jadi semua punya sphere, lingkup, masing-masing. Kalau semua punya sphere masing-masing, semua harus tahu bahwa setiap sphere Tuhannya sama, yaitu Kristus. Kristus itu bukan cuma Tuhan atas gereja. Kristus Tuhan atas seluruh ciptaan. Bahkan Tuhan mengatakan, Bapa di sorga mengatakan “Kepada Kristus telah diberikan kuasa di sorga dan di bumi.” Kristus adalah Penguasa semua. Saudara tidak perlu takut dengan bidang sekuler, karena bidang sekuler pun milik Kristus. Namun orang Kristen perlu terjun serius di dalamnya. Sphere gereja adalah untuk ibadah, untuk liturgi, untuk menyembah Tuhan, untuk dengar firman, untuk berkomunitas di dalam menyembah Tuhan. Gereja tidak perlu juga jadi komunitas hobi. Itu sebabnya ketika Saudara membaca dari Roma 12, Saudara disadarkan, saya disadarkan, kita semua disadarkan “Kamu belum beres, kamu perlu dibentuk, kamu perlu dikuduskan.” Bagaimana saya dikuduskan? Dengan beraktivitas gerejawi yang benar. Semua orang perlu datang ibadah. Ibadah tidak perlu dibarengi dengan, misalnya keakraban komunitas. Karena ibadah punya setting sendiri untuk membuat secara komunal kita datang ke Tuhan dan konsentrasi kepada kehadiran Tuhan. Itu sebabnya di dalam ibadah tidak perlu ada. meningkatkan keakraban dengan saling sharing, misalnya. Kita tidak ada di liturginya, kalau saya baca di liturgi, kita tidak ada. Misalnya setelah khotbah, sekarang waktunya kita saling sharing, curhat-curhatan. Lalu bagaimana kita mengakrabkan diri satu dengan lain? Lakukan setelah ibadah, tidak mungkin mengakrabkan diri di ibadah. Jadi ada tempat di mana kita dilatih untuk menghargai kehadiran Tuhan. Tuhan hadir dan bagaimana cara engkau menghargainya itu dibentuk di gereja. Saudara diajar menghargai Tuhan, Saudara diajak untuk didesak untuk punya perasaan takut akan Tuhan. Bagaimana kalau tidak punya perasaan takut akan Tuhan? Rutinlah bergereja, Tuhan akan bentuk engkau di situ. Tidak mungkin Saudara punya perasaan takut akan Tuhan dibentuk di dalam suasana yang selain liturgi ibadah. Itu sebabnya “Saya perlu gereja, karena saya belum beres dalam hal menjadi seperti Kristus”.

Selain beribadah ada apa lagi? Ada fellowship, ada persekutuan, saya kenal orang gereja, saya mulai belajar berelasi. Ini penting, belajar berelasi. Banyak orang yang sudah punya kepahitan karena relasi akhirnya menolak berelasi. Menjadi tidak terlalu suka berelasi dengan orang lain, ada orang semaam demikian. Maka saya ingatkan dia “Justru kalau kamu pikir dirimu sudah fix seperti ini, orang yang tidak suka berkomunitas, inilah kamu orang yang tidak suka kehadiran orang lain karena orang lain juga tidak suka kamu, inilah kamu. Apakah kamu seperti ini yang final? Dia mengatakan “Tidak, saya harap saya bisa berubah”, “Kalau begitu bersekutulah”. “Tapi bersekutukan menyulitkan, orang tidak suka saya”, “Tidak apa-apa, kamu belajar untuk berubah juga mengapa orang tidak suka kamu”. Saya memberikan dia PR, “Coba cari tahu mengapa orang tidak suka kamu. Tanya dia mengapa dia tidak suka kamu.” Akhirnya dia balik ke saya mengatakan “Pak, saya baru tahu mengapa orang tidak suka saya. Hal itu karena mereka semua bodoh. Mereka semua tidak mengerti bidang saya. Saya ngomong apapun tidak nyambung. Lalu saya pikir-pikir “Sepertinya kalau Tuhan gayanya seperti kamu, kita semua tidak ada yang selamat. Kalau Tuhan bicara pakai gaya Tuhan, bukan gaya kita, kita tidak selamat”.  Lalu saya mesti bagaimana? Belajar juga ngomong pakai gaya orang, sekali-sekali. “Belajar dulu sekali-sekali, lama-lama lebih sering, sehingga kamu bisa lebih nyambung sama orang”. “Mengapa mesti nyambung sama orang, saya tidak nyaman nyambung sama orang. Jadi saya jadi diri saya saja, saya jadi who I am”. Ingat tidak boleh begitu karena perkataan I am who I am cuma Tuhan yang boleh mengatakan itu. Tidak bisa, Saudara mesti pikir “Apakah saya sudah final begini?” “Belum.” “Kalau begitu, bagaimana saya dibentuk?”, “Bertindaklah di dalam komunitas.” “Tapi hatiku tidak rela di situ”, tidak apa-apa tidak rela di situ, memang hatimu sedang dibentuk karena itulah sarana pembentuk hati. Hatimu dibentuk melalui kehidupan bersama. Berubah di dalam dengan kehidupan komunal. Kehidupan komunal mesti melakukan apa? Saudara tidak hanya melakukan apa yang Saudara suka, Saudara melakukan apa yang Tuhan perintahkan. Di dalam pasal 8 dikatakan saling membagi-bagikan sesuatu. Bagaimana hidup orang Kristen? Saling berbagi apa pun. Dan biasanya yang paling enggan Saudara bagikan, Saudara mesti belajar bagikan itu. Saya langsung dalam hati menghakimi orang itu, “Buku seperti ini diberikan untuk perpustakaan?”. Akhirnya saya tertegur sendiri “Kamu sendiri mau memberi apa?” Sampai rumah saya jadi tidak nyaman karena ada satu buku yang paling saya sayang yaitu Calvin Commentary, waktu itu untuk belinya mesti puasa beberapa lama. Saya lihat bukunya, belum terbuka, masih terbungkus rapih. Akhirnya saya lihat Calvin Commentaries, dalam hati mengatakan “berikan saja yang itu”. Lalu ada rasionalisasi, “Kalau berikan yang ini bagaimana saya bisa bertumbuh jadi berkat? Mau khotbah tapi tidak ada bahan, kan tidak boleh tidak bertanggung jawab bagi jemaat”. Jadi saya simpan saja bukunya. Tapi hati saya ini pintar, dia tahu ini tidak tulus maka hatinya ngomong lagi “Yakin itu alasannya, yakin alasannya adalah karena kamu nanti takut kurang bahan? Kalau takut kurang bahan, jangan khawatir, kan kamu berikan ke perpustakaan, jadi bisa nongkrong di situ dan baca”, “Benar juga, tapi kan lebih enak kalau bisa baca sendiri di kamar”, “apa bedanya dengan jalan sedikit ke perpustakaan? bisa dibagi dengan orang lain”, “Benar juga. Tapi kalau orang baca tidak tentu tangannya bersih. Kalau saya sebelum baca ini, cuci tangan 3 kali. Jadi nanti bukunya cepat rusak”, “yakin alasannya itu?” Akhirnya saya mengatakan “Sudah oke lah”, saya bawa buku yang belum dibuka itu, lalu berikan ke perpustakaan. Saya mengatakan ke petugas perpustakaan “Ini, sudah jangan bicara apapun”, saya takut dia ngomong “Yakin mau beri ini?”, nanti saya goyah lagi. Lalu saya pulang pulang, sesampainya di rumah, saya mengatakan ke hati saya “Sudah ya, diam ya, tenang ya hati nuraniku”. Ini cara Tuhan membentuk saya, kamu tidak mau beri apa, Tuhan latih saya memberi di situ. Kamu tidak mau beri waktu, Tuhan latih beri waktu. Kamu tidak mau beri uang, Tuhan latih beri uang. Kamu tidak mau beri apa, Tuhan latih beri di situ. Banyak orang kebanyakan waktu, beri waktu untuk gereja. Tapi banyak orang kebanyakan uang, beri uang untuk gereja, karena tidak ada kesulitan disitu. Tapi yang kesulitan, uang sulit tapi masih mau beri, itu pelatihan yang bagus. Waktu sulit, tapi saya masih mau beri, itu yang bagus. Saya lihat apa yang Tuhan kerjakan di dalam gerakan ini, GRII, orang yang sudah sangat sibuk di luar, itu juga yang Tuhan pakai sibuk di dalam. Mengapa yang sibuk di luar juga sibuk di dalam? Karena Tuhan mengatakan “Siapa yang punya akan ditambahkan”, jadi yang punya keahlian, akan ditambahkan kerjaan. Jadi gereja tidak membuka pelayanan bagi yang memang tidak ada kerjaan apa-apa. “Kamu diluar kerja apa?”, “Tidak ada apa-apa”, “Ya sudah, rajin saja pelayanan di gereja”, tidak bisa seperti itu. Siapa yang sibuk di luar, justru Tuhan latih, “Kamu juga mesti sibuk di gereja”. Tuhan mengatakan “Sekarang tambah, urusin gereja”. “Urusin gereja tidak mudah, susah bukan main”, memang. “Tapi mengapa saya mesti lakukan?”, “Aku sedang bentuk engkau, bentuk hatimu”. Maka kita lakukan, hati rela atau tidak? Tidak tahu rela atau tidak, tapi ini harus dilakukan. Saya belajar ini dari Pak Stephen Tong, dia pernah mengatakan setelah lulus sekolah teologi, rektornya mengatakan “Kamu akan ditempatkan di Surabaya. Bagaimana menurut kamu?”, dalam hati Pak Tong mengatakan “saya harap di Semarang, karena orang terima baik saya di Semarang”. Maka dia mengatakan “saya doakan dulu ya pak”, dia berdoa “Tuhan, saya harus ke Surabaya atau tidak? Akhirnya pada waktu yang sudah ditentukan untuk memberikan jawaban, rektornya panggil Pak Tong, waktu itu baru lulus sekolah teologi, “Bagaimana? Sudah mau pergi ke Surabaya?”, Pak Tong mengatakan “Masih belum tenang, bergumul lagi.” Minta waktu lagi, Pak Tong doa lagi. Setelah waktunya selesai, “Bagaimana? Sudah ada keputusan?”, Pak Tong mengatakan “Masih belum, saya perlu waktu doa lagi”. Rektornya mengatakan “Sudah tidak perlu doa, pergi saja. Saya perintahkan kamu ke Surabaya”.  Akhirnya orang tanya kepada Pak Tong, “Pak Tong pelayanan ke Surabaya itu kehendak Tuhan atau bukan?”, Pak Tong mengatakan “Saya tidak tahu itu kehendak Tuhan atau bukan, saya doa-doa belum ada kepastian. Tapi yang pasti bukan kehendak saya. Jadi pelayanan ke Surabaya kehendak Tuhan? Mungkin iya mungkin tidak. Tapi yang pasti bukan kehendak saya”, itu yang Pak Tong katakan. Lalu saya belajar, bagus juga, kadang-kadang gereja Tuhan pakai untuk membuat kita bertindak, misalnya saling memberi. Orang mengatakan “Saya mau belajar rela dulu baru memberi.” Tidak bisa, hatimu tidak akan pernah rela kecuali ada tindakan. Ini cara Tuhan membentuk kita. “Kalau belum rela bagaimana?”, “nanti jadi rela setelah kamu berikan”, “saya belum rela, tunggu rela dulu”, tidak akan rela-rela. Saudara belajar memberi baru bisa rela, ini yang ditekankan di bagian pertama.

« 2 of 3 »