NATAL BANDUNG 2024

Doakan Natal Bandung 2024 “Imanuel dalam Sejarah” dipimpin oleh Pdt. Dr. (H.C.) Stephen Tong, pada hari Senin, 2 Desember 2024, pk. 18.30 di Sudirman Grand Ballroom Jl. Jend. Sudirman no. 620. Web: www.natalbandung.org. Info: 0851-0507-1880(WA)

Kristus Menyembuhkan Hamba Centurion di Kapernaum

Bapak/Ibu/Saudara sekalian, ketika kita melihat satu hal yang baik, satu hal yang indah, kita bisa mengambil waktu cukup lama untuk menikmatinya. Suatu kali saya lihat sebuah lukisan Van Gogh yang judulnya Café Terrace at Night, gambarnya teras di pelataran begitu saja. Awalnya terlihat seperti bar biasa begitu, tetapi dilihat lagi suasana yang digambarkan begitu indah. Padahal Van Gogh hidup pada masa yang paling susah waktu di Belanda, ada kemiskinan, kemelaratan, dia juga depresi, tapi warna-warna yang dipakai warna-warna yang colorful. Tidak ada kesan bahwa dia itu depresi. Kemudian saya baca-baca lagi, ternyata lukisan yang terlihat sederhana seperti di pinggir pelataran sebuah bar begitu, itu ternyata adalah Last Supper-nya versi Van Gogh. Jadi di sana ada dua belas orang, lalu ada seorang pelayan yang bawa nampan lagi melayani itu ditafsirkan sebagai Tuhan Yesus. Dan semakin lama kita melihat satu karya yang indah kita bisa makin terpukau. Semakin kita menyelami, semakin tertarik, bukan karena mekanistiknya. Di sekolah, kita terbiasa dengan model menghafal semalam, hari itu ujian bagus besoknya sudah hilang, maka di dalam konteks Indonesia, banyak sekali orang yang kelihatan nilai bagus tapi pemahamannya tidak ada, sebentar saja lupa semuanya. Nah mirip dengan orang-orang yang belajar bahasa, orang-orang Indonesia bisa menghafal bahasa seperti di-recite, maka tidak heran nanti nilai-nilai Bahasa Ibrani itu bagus-bagus. Tapi tidak lama kemudian hilang, lupa. Jadi itu kekuatan hafalan. Namun tentu saja ada orang yang menikmati, dia terpukau lalu mengingatnya. Inilah salah satunya mengapa ibu-ibu itu lebih ingat sesuatu. Menurut riset, setiap hal itu dikaitkan dengan perasaan ya, jadi tidak pernah lupa. Ini bahaya juga Saudara, karena kalau tidak pernah dilupakan, bagaimana ada pengampunan, masih terus teringat yang lalu-lalu. Maka para suami hati-hati waktu ditanya-tanya sesuatu ya, karena kita sudah lupa sharing, dia ingat. Kamu dulu cerita ini begini dan begitu ya. Apalagi tanya-tanya mantannya dulu bagaimana, oh itu bahaya ya. “Nggak, saya cuma tanya tidak ada maksud apa-apa,” kita harus ada kepekaan. Contoh lain, ketika kita merasa terpukau berarti ada perasaan dan mencintai, dan tidak pernah dilupakan lagi. Sama seperti kita baca firman, kalau kita terpukau, terberkati, mencintai, maka kita tidak pernah lupa, akan ingat terus firman itu. Nah ini salah satu poinnya ya. Jadi kalau bicara lukisan saja kita boleh terpukau, ada keindahan, ada beauty, dan kita bisa ingat, harusnya lebih lagi dengan firman Tuhan.

Keindahan firman Tuhan ini sebetulnya ada beberapa lapisan ya, karena memang ada gap juga di dalam penerjemahan sehingga kadang mengalami kesulitan untuk memahami keindahan secara tulisan. Kalau misalnya puisi, itu ‘kan ada keindahannya. Di dalam Bahasa Indonesia saja waktu kita SD belajar puisi ya, misalnya ada rima, belakangnya A-B-A-B; ada bunyi yang sama diulang. Jadi dari kata-katanya pun sudah ada keindahan. Sehingga kalau misalnya kita nyanyi tidak sembarangan ambil suku kata. Terputus di tengah bukanlah sesuatu hal yang baik, ada keindahan-keindahan yang hilang. Salah satunya keindahan nada, ada tone atau pronunciation. Bagian berikutnya yang hilang adalah struktur. Ketika kita baca begitu saja, kita akan kehilangan keindahan struktur. Apalagi kita baca sambil mengantuk ya, kalau dijadikan kewajiban maka tidak ada perasaan cinta, akhirnya lupa yang dibaca. Seperti Saudara yang lagi kuliah harus membaca paper akan ada perasaan mengantuk atau boring, atau lagi tidak ingin membaca. Saudara baru baca satu paragraf saja sudah lupa apa yang barusan dibaca ya. Apalagi kalau tulisannya dalam bahasa asing, bahasa Indonesia paling tidak akan mengerti. Kadang membaca Alkitab juga bisa jadi demikian karena ini sebuah kewajiban. “Tadi baca apa ya? Tapi yang penting hari ini saya sudah baca Alkitab,” akhirnya seperti melegakan hati nurani sedikit. Saya pikir ini sesuatu gejala yang kita juga alami sehari-hari.

Jikalau kita membaca begitu saja, kita akan kehilangan keindahan di dalam struktur, dan nanti juga kehilangan isi di dalam. Dalam konteks bahasa asli akan kehilangan keindahan tata bahasa dan lain-lain, ini memang agak teknis, tetapi kita mau coba melihat saja mengenai struktur. Kita melihat satu struktur yang lebih besar di dalam Matius 8 mengenai hamba seorang perwira. Pada minggu-minggu sebelumnya, saya sudah menjelaskan tentang struktur Khotbah di Bukit, itu berbicara mengenai otoritas Kristus di dalam menyatakan pengajaran yang lebih besar dari Musa, bahkan menyatakan Dia itu adalah Allah sendiri. Ini yang sudah kita bahas. Dan bagian yang kedua bicara mengenai mukjizat yang Dia lakukan kepada tiga orang, yaitu orang kusta yang tidak kudus secara fisik, orang non-Yahudi yang tidak kudus secara etnis, dan ibu mertua dari Petrus yang tidak kudus secara gender. Dan kita bisa melihat nanti angin ribut diredakan, orang kerasukan setan disembuhkan, itu berbicara apa? Menegaskan otoritas Kristus yang menyatakan diri sebagai Allah di dalam pengajaran dan sekarang sebagai alat di dalam pelayanan. Tapi hari ini pertama-tama saya akan ajak kita melihat kerangka yang sedikit lebih luas lagi. Mari kita membaca Matius 4, dan nanti kita juga akan lihat bagian yang terakhir dari Matius 9. Saudara juga di dalam pembacaan ini bisa mencoba untuk membaca berulang-ulang sampai Saudara menemukan sebuah pola. Ketika mengetahui polanya, karena sudah terbiasa membaca dan semakin cinta dan akan menggali terus-menerus. Kita akan lihat di dalam Matius 4:12-17, 23-25, “Tetapi waktu Yesus mendengar, bahwa Yohanes telah ditangkap, menyingkirlah Ia ke Galilea. Ia meninggalkan Nazaret dan diam di Kapernaum, di tepi danau, di daerah Zebulon dan Naftali, supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yesaya, Tanah Zebulon dan tanah Naftali, jalan ke laut, daerah seberang sungai Yordan, Galilea, wilayah bangsa-bangsa lain, bangsa yang diam dalam kegelapan, telah melihat Terang yang besar dan bagi mereka yang diam di negeri yang dinaungi maut, telah terbit Terang.’ Sejak waktu itulah Yesus memberitakan, ‘Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!’” Ayat 23-25, “Yesus pun berkeliling di seluruh Galilea; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Allah serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu. Maka tersiarlah berita tentang Dia di seluruh Siria dan dibawalah kepada-Nya semua orang yang buruk keadaannya, yang menderita pelbagai penyakit dan sengsara, yang kerasukan, yang sakit ayan dan yang lumpuh, lalu Yesus menyembuhkan mereka. Maka orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia. Mereka datang dari Galilea dan dari Dekapolis, dari Yerusalem dan dari Yudea dan dari seberang Yordan.”

Yesus Menyembuhkan Seorang yang Sakit Kusta

Hari ini kita akan merenungkan firman Tuhan, kita akan berbicara sekali lagi kelanjutan dari Khotbah di Bukit. Mari kita membaca dari Matius 8:1-4, “Setelah Yesus turun dari bukit, orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia. Maka datanglah seorang yang sakit kusta kepada-Nya, lalu sujud menyembah Dia dan berkata, ‘Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.’ Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata, ‘Aku mau, jadilah engkau tahir.’ Seketika itu juga tahirlah orang itu dari pada kustanya. Lalu Yesus berkata kepadanya, ‘Ingatlah, jangan engkau memberitahukan hal ini kepada siapa pun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah persembahan yang diperintahkan Musa, sebagai bukti bagi mereka.” Ini adalah bagian awal di dalam Injil Matius. Kita sudah melihat satu perikop panjang dari Matius 5 dan Matius 7. Kita melihat bahwa Matius 5-7 ini adalah penggambaran otoritas Kristus bukan saja lebih besar dari Musa, tetapi bahkan menyatakan otoritas Allah sendiri, itu penting sekali. Karena kita tahu bahwa Musa naik dan menerima 10 Hukum di Sinai. Sekarang Kristus naik dan menyatakan sepuluh ucapan bahagia. Kita sudah merenungkan bagian ini dan saya akan menyoroti hal yang penting lagi. Sebagaimana orang Israel punya hukum Taurat untuk hidup di Tanah Perjanjian yang menyatakan mereka adalah umat Tuhan yang sejati, demikian juga Khotbah di Bukit dan seluruh pengajaran rangkuman pengajaran ini. Inilah intisari yang menyatakan bagaimana orang seharusnya hidup di dalam Kristus, lalu ditutup dengan kesan pendengar atau respons, ini kita sudah bahas juga.

Matius 7:28-29, ayat 29, “Sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka.” Jadi ini menyatakan kuasa yang berbeda. Tiba-tiba Kristus muncul dan tentu saja ini menggetarkan, menggemparkan seantero Israel pada hari itu. Siapa yang bisa menafsirkan dan bahkan di dalam bagian sebelumnya kalau Saudara baca pasal 5-7, Dia mengatakan, “Ada tertulis demikian, tetapi aku mengatakan demikian demikian kepada kamu.” Itu tidak lazim formulanya. Biasanya rabi ini mengatakan begini, rabi itu mengatakan begini, tapi Kristus menyatakan otoritas yang berbeda, karena Dia mengetahui apa yang benar karena Dia sendiri adalah kebenaran. Oleh sebab itu, Firman Tuhan berkuasa karena mengacu kepada diri-Nya sendiri, itu Firman Tuhan. Kalau kita mau tahu bagaimana mungkin saya sebagai manusia memiliki kuasa dalam hidup? Jawabannya adalah kalau kita menghidupi Kristus, karena waktu menghidupi Kristus itu kita menghidupi kebenaran dan Kristus itulah pernyataan kuasa-Nya. Jadi sekali lagi, waktu kita mengatakan apa yang benar, kita tidak kompromi, di situ ada kuasa. Karena itu menyatakan Kristus sendiri sebagai Sang Benar. Benar itu bukan konsep abstrak. Di dalam kekristenan kita tahu kebenaran itu personal, siapa itu? Kristus. Kalau kita mengajarkan kebenaran kepada anak, nanti di dalam pertumbuhan dan perkembangan itu akhirnya kita mengenalkan Sang Benar itu siapa. Sekali lagi, kita mengantarkan anak kita sekolah, dia belajar segala macam, sebetulnya paling puncak itu adalah mengenal siapa yang benar, siapa kebenaran itu. Sama nanti kita bicara mengenai suci, suci itu bukan abstraksi, suci itu personal. Kristus yang suci, Allah itu adalah Allah yang kudus. Nanti kita bicara cinta, love, itu semua bicara mengenai personal. Jadi jangan membuat hal-hal ini seperti abstrak dan tidak ada model. Love itu ada modelnya, cinta itu ada modelnya. Dan itu berbicara mengenai Allah sendiri, Allah adalah kasih dan seterusnya. Jadi kalau kita bicara, ini adalah satu pernyataan di dalam rangkaian Khotbah di Bukit itu menyatakan bahwa Dia memiliki otoritas, seakan-akan mengatakan, “Kamu baca ini dan Aku mengatakannya kepadamu.” Ada kuasa di sini karena berbicara kebenaran.

Di dalam bagian ini kita melihat pada akhirnya dibandingkan dengan seluruh pengajar-pengajar Israel. Semuanya berbeda, karena orang Israel, ahli-ahli Taurat atau orang Farisi, mereka itu menafsirkan firman Tuhan tidak sesuai dengan apa yang Tuhan inginkan. Dan ini adalah peringatan bagi kita, di satu sisi harus hati-hati dalam mengutip ayat. Kadang kita kalau ngobrol-ngobrol sama orang tertentu, sepertinya menguasai sekali, tiba-tiba comot ayat di sini, nanti kutip ayat sana. Salah satunya adalah Saksi Yehova. Saudara kalau mengobrol dengan mereka, bisa tiba-tiba banyak kutip ayat. Tetapi coba kalau kita telusuri satu per satu, perikop demi perikop, mereka akan loncat ke tempat lain. Mereka tidak akan tahan membahas satu perikop yang sama. Ambil contoh di dalam Kejadian 1:2, “Dan Roh Allah melayang-layang,” mereka mengatakan ini tenaga aktif Allah. Tetapi kalau kita bahas satu per satu, mereka tidak akan tahan, karena mereka tidak mempelajari apa yang benar. Seperti dalam Kejadian 1:2 ada “tenaga aktif Allah”, siapa yang terjemahkan begitu? Di dalam sejarah penafsiran Alkitab tidak pernah ditulis tenaga aktif Allah, tidak ada kata tenaga, tidak ada kata aktif di dalam bahasa asli, adanya Roh Allah. Jadi kalau kita lihat pengajar-pengajar Israel juga seperti itu, mereka menafsirkan bagian Alkitab secara sembarangan dan memberikan banyak law sehingga kelihatannya merekalah orang yang menguasai Alkitab. Jadi gambaran seperti ini, kalau kamu mau hidup sebagai orang Yahudi sejati dengarkanlah kami. Sehingga orang atau umat Israel tidak memiliki akses kepada firman Tuhan. Ini adalah sesuatu hal yang ironis kalau ini sekali lagi terjadi di dalam zaman kita.

Fondasi Iman & Pelaku Firman

Kita akan merenungkan Matius 7: 23-29, dan kita akan membaca terlebih dahulu sampai ayat yang ke-27. “Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata, ‘Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!’ ‘Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya.” Kita sudah beberapa minggu merenungkan Matius 7. Kita sudah mengetahui ada dua jalan, jalan lebar dan jalan sempit. Kita juga sudah merenungkan mengenai pohon yang menghasilkan buah yang baik dan menghasilkan buah yang jahat. Kita juga sudah merenungkan tentang bagaimana manusia itu ahli menipu diri. Ini menakutkan, manusia itu ahlinya apa? Menipu diri dengan mengatakan “semuanya baik-baik saja”, “saya percaya Tuhan”, atau “saya melakukan kehendak Tuhan”, padahal yang dilakukan manusia itu adalah melakukan kehendak diri atas nama Tuhan. Kita sudah renungkan banyak nabi palsu yang melakukan penipuan atas nama Tuhan. Ternyata waktu kita renungkan secara mendalam, kita juga punya kecenderungan yang sama. Padahal bukan nabi atau guru, tetapi kita juga punya kecenderungan yang sama untuk mengklaim apa yang kita mau atas nama Tuhan, dan ini menakutkan juga. Sekali lagi, manusia yang dalam keadaan seperti ini adalah manusia yang pada akhirnya akan terkejut pada waktu Tuhan berterus terang kepada kita. Jadi sebelum penghakiman itu datang, kita ada ruang untuk merasakan sepertinya kita baik-baik saja karena belum diberi tahu kepada kita. Seolah-olah apa pun yang kita lakukan, kita bisa mengatakan, “Saya baik-baik saja, kalau saya mati diselamatkan.” Tetapi akan ada waktunya Tuhan berterus terang kepada kita dan berkata, “Aku tidak kenal kamu.” Saya bukan mengatakan kita akan binasa, tetapi coba saja bayangkan, kalau kita hari ini ditanya, “Bapak/Ibu/Saudara sekalian percaya di dalam Tuhan? Punya iman?” Jawabannya, “Iya.” “Percaya kalau mati di dalam Kristus, kita akan diselamatkan?” “Percaya.”  Kemudian, kita yang memiliki iman yang seperti ini tiba-tiba meninggal, “Puji Tuhan, saya mau ketemu Tuhan.” Di sini digambarkan kita seperti masuk ke dalam sebuah pengadilan, terus sepertinya merasakan kalau pada akhirnya akan ketemu Tuhan, tapi Tuhan mengatakan, “Aku tidak kenal kamu.” Inilah ratap dan kertak gigi, penyesalan yang tidak bisa kita jelaskan. Justru inilah momen Tuhan Yesus mengatakan, ada masa Dia menyatakan bukan penerimaan, bukan pengampunan, tapi menyatakan kebenaran. Tuhan Yesus berterus terang, ini adalah moment of truth yang paling susah dipahami, karena orang-orang itu adalah orang-orang yang saat ini sedang menipu diri kalau mereka kenal Tuhan, padahal dari awal mereka tidak punya saving relationship dengan Kristus. Tuhan tidak kenal dia, ini ironis sekali. Saya pernah juga membicarakan bagian ini meskipun tidak secara mendalam.

Menentukan Buah Pengajaran yang Sejati

Di sepanjang zaman, kita melihat bagaimana Tuhan menggerakkan umat-Nya. Dan apa yang Tuhan kerjakan di dalam diri umat Tuhan sepanjang sejarah itu menjadi berkat yang kita rasakan sampai hari ini. Misalnya, baru saja kita menyanyi lagu Jangan Engkau Lalu, ini adalah suatu teriakan, suatu permohonan, suatu doa yang bisa mewakili kita juga pada waktu kita bergumul, “Yesus dengar doaku. Jangan Engkau lalui, berilah berkat-Mu.” Jadi, apa yang kita bisa lihat bagaimana Tuhan bekerja, bagaimana Tuhan memberkati umat-Nya di sepanjang sejarah, dan bagaimana Tuhan mengubah umat-Nya yang mungkin sedang berada dalam pergumulan. Kita mengenal siapa Fanny Crosby, dalam pergumulan dan kegagalannya sebagai orang tua, maksudnya dia gagal membesarkan anak, sehingga anaknya meninggal. Dalam banyak pergumulan yang terjadi dalam hidupnya, dia tentu saja bukan orang sempurna, tetapi Tuhan melibatkan dia, memakai dia, memberkati dia, sehingga pada akhirnya apa yang dia kerjakan boleh menjadi berkat bahkan bagi kita saat ini. Dan ini sesuatu yang indah. Mengapa indah? Sekali lagi, di dalam kedaulatan-Nya, Tuhan melibatkan umat-Nya untuk berbuah dan buah itu punya nilai yang kekal. Apa yang dikerjakan oleh umat Tuhan di dalam Dia pada masa mereka hidup tidak akan pernah sia-sia. Sekali lagi, banyak hal yang dikerjakan itu tidak ada arti sama sekali. Tetapi yang dikerjakan di dalam Dia itu punya satu nilai dan nilai itu kekal, karena apa yang dikerjakan itu melakukan kehendak Bapa di surga. Hari ini kita akan merenungkan satu tema penting, lanjutan dari khotbah dua minggu yang lalu. Waktu itu kita berbicara tentang melakukan kehendak Bapa dan hari ini kaitannya atau sub tema adalah di dalam memiliki satu dessertment, untuk melihat buah itu buah sejati atau buah palsu. Pertama, dari pengajar palsu atau nabi palsu. Kedua, kita mau merenungkan lebih dalam lagi, yaitu apa yang kita hidupi hari ini, apakah ini kepalsuan di dalam dunia fantasi dan tidak real atau sesungguhnya kita sedang hidup benar di dalam Dia, melakukan kehendak-Nya dan berbuah bagi kemuliaan bagi nama Tuhan. Dan yang pada akhirnya hal itu bisa jadi berkat, bukan hanya untuk kita, tetapi untuk orang di sekitar kita, bahkan sampai ke masa yang akan datang, Tuhan akan pakai itu jadi kemuliaan di tangan-Nya. Kalau kita membicarakan tentang buah, maksudnya adalah berbuah di dalam Tuhan, tentu salah satu hal yang kita perlu adalah memahami buah yang asli itu bagaimana. Tanpa memahami buah yang asli, kita akan susah sekali melihat apa yang benar, kita melihat yang palsu dan malah akhirnya kita gagal memahami buah itu. Karena kita tidak tahu yang aslinya. Sama juga kalau kita tidak memahami firman Tuhan dengan sungguh-sungguh, tidak menggali Firman, pada akhirnya kita tidak tahu yang berdiri itu sedang memberitakan Firman atau bukan. Apakah satu hal kita perlu tahu? Apa itu kita orang Kristen tidak bisa menebaknya atau seperti beli kucing dalam karung? Kita beli handphone saja ada analisisnya, handphone ABC, kita baca dengan teliti karena tidak kelihatan apa yang ada di dalamnya. Memang ironis, pada bagian pertama kita ingin memahami terlebih dahulu natur buah yang salah itu apa, bagaimana penyesatan itu. Dan jangan sampai akhirnya ini mempengaruhi hidup dan kita menghidupi buah yang salah. Kita pikir inilah buah sejati dan memuliakan Tuhan, namun ternyata ini bukan yang Tuhan maksudkan. Itu namanya celaka. Jadi, bagian pertama yang akan kita renungkan adalah membedakan buah asli dan palsu.

Hati-hati kepada Anjing-anjing

Kita akan melanjutkan pembahasan dari Kitab Filipi 3:1-12, “Akhirnya, saudara-saudaraku, bersukacitalah dalam Tuhan. Menuliskan hal ini lagi kepadamu tidaklah berat bagiku dan memberi kepastian kepadamu. Hati-hatilah terhadap anjing-anjing, hati-hatilah terhadap pekerja-pekerja yang jahat, hati-hatilah terhadap penyunat-penyunat yang palsu, karena kitalah orang-orang bersunat, yang beribadah oleh Roh Allah, dan bermegah dalam Kristus Yesus dan tidak menaruh percaya pada hal-hal lahiriah. Sekalipun aku juga ada alasan untuk menaruh percaya pada hal-hal lahiriah. Jika ada orang lain menyangka dapat menaruh percaya pada hal-hal lahiriah, aku lebih lagi: disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi, tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat. Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan. Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati. Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena aku pun telah ditangkap oleh Kristus Yesus.”

Saudara sekalian, kita melihat di dalam ayat-ayat ini tema yang sangat klasik di dalam teologi Reformed yaitu mengenai pembenaran. Ini tema yang kembali diulang oleh Paulus di dalam bagian ini dan tema pembenaran. Sebenarnya ini merupakan tema yang sangat beragam sudut pandang dan kali ini kita melihat satu sudut pandang yang penting, yaitu mengenai pengenalan diri. Paulus mengingatkan bahwa pengenalan diri yang benar itu adalah satu aspek yang sangat penting bagi iman Kristen, sudahkah saya tahu siapa saya. Di dalam pengenalan diri tentu kita bisa mengenal diri kita sebagai bagian dari kemanusiaan. “Siapa kamu?” “Manusia.” Tetapi ini tidak akan menjelaskan kita secara detail siapakah saya atau secara personal siapakah saya sebagai orang Kristen. Di dalam pengertian dari tradisi gereja sebelum Reformasi, keselamatan manusia adalah keselamatan yang diadministrasikan atau dilayani oleh gereja. Dengan demikian semua orang yang bergereja mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengenal Tuhan melalui pelayanan yang diberikan oleh gereja. Tetapi apa yang kurang dari ini? Ini bukan berarti salah, bahwa pelayanan keselamatan dilayani oleh gereja bukan hal yang salah, kita percaya bahwa baptisan maupun sakramen Perjamuan Kudus adalah esensial bagi keselamatan kita. Baptisan memang tidak menyelamatkan, tapi tidak ada orang beriman yang menolak dibaptis, karena jika dia menolak hal-hal yang fisik berarti dia menolak Tuhan yang bekerja secara fisik, dan ini berarti dia menolak inkarnasi dan menolak Kristus juga menolak gereja-Nya. Maka di dalam buku empat dari Institute of Christian Religion, Calvin mengingatkan bahwa tidak ada orang dapat memperoleh seluruh keuntungan dari Kristus sebagai kepala jika dia tidak termasuk ke dalam tubuh, yaitu gereja kelihatan. Gereja yang kelihatan penting bagi keselamatan. Tidak ada orang mengaku selamat benar selamat jika dia bukan bagian dari gereja yang kelihatan. Itu sebabnya gereja yang kelihatan dan pelayanan yang dilakukan untuk mengadministrasikan keselamatan, seperti khotbah, perjamuan kudus dan juga baptisan. Ini memang benar dan diakui bukan cuma oleh tradisi Katolik, melainkan juga oleh para reformator. Mereka tidak menentang hal ini dan tidak mencabutnya dari pemikiran mereka. Namun mereka sadar ada satu yang kurang yaitu bahwa tradisi Katolik lupa melihat respons pribadi terhadap keselamatan yang Tuhan berikan. Bukan cuma sekedar sebuah usaha untuk memperolehnya secara pribadi. Karena di dalam tradisi Katolik kebanyakan pemikir atau teolog akan melihat bahwa kehidupan Kristen itu jadi seperti skema besar, yaitu skema memahami Allah yang mencipta, kemudian memahami bagaimana saya harus menjadi bajik, menjadi virtues, hidupnya begitu baik di dalam dunia. Baru setelah itu bagaimana saya bisa berharap dan mengerti bahwa saya bukan bagian dari dunia ini, melainkan saya bagian dari Kristus. Dan inilah yang menjadi skema besar di dalam pengertian dari teologi tradisi Katolik. Maka di dalam tradisi Katolik gambaran besar ini yang menjadi sistem teologi yang juga diambil dan diakui oleh Reformasi menjadi sebuah sistem di mana kita belajar untuk menghidupi kebajikan, bukan supaya saya dapat menikmati keselamatan, tapi supaya saya dapat menghidupi anugerah yang menyelamatkan dan pada akhirnya mendapatkan konfirmasi keselamatan. Ini yang disebut sebagai konfirmasi keselamatan di dalam bagian akhir dari perjalananku di dunia ini. Ini juga yang disebut sebagai fide yang kemudian dipertentangkan dengan fide oleh Martin Luther. Jadi saya punya kebajikan yang saya terus pelihara, supaya pada akhir hidup saya di dunia ini saya dapat kembali memperoleh natur saya yaitu natur Ilahi dan surgawi. Saya bukan berasal dari dunia ini, saya hanyalah seorang yang sedang menjadi musafir, yang sedang berjalan di dalam dunia dan akan kembali kepada Tuhan. Ini jadi satu gambaran tentang perjalanan iman Kristen, saya mengenal Allah sebagai yang mencipta, saya mengenal Allah sebagai yang menuntun saya untuk hidup dengan bajik, dengan virtue. Lalu, saya menjadi orang yang mengharapkan natur sejati saya, yaitu natur bahwa saya milik surga dan milik Tuhan, ini terbukti dan terkonfirmasi pada akhir hidup saya. Maka akhirnya pada waktu akhir hidup saya bisa berharap saya kembali kepada Tuhan. Ini berarti ada kehidupan yang berjalan untuk memperjuangkan kebajikan, memperjuangkan moral.

Pribadi yang Memberkati

Kita melanjutkan pembahasan dari Surat Filipi dan di dalam bagian ini kita melihat ada keindahan dari tema pengutusan. Di dalam Alkitab tema pengutusan ini tema yang mendominasi terutama di dalam Perjanjian Baru. Di Perjanjian Lama kita lihat ini terjadi, Tuhan mengutus nabi untuk berbicara kepada umat Tuhan. Tuhan juga yang mengangkat para imam untuk menjadi pemimpin ibadah di tengah-tengah Israel. Lalu di dalam Perjanjian Baru, Kristus adalah yang diutus oleh Tuhan. Kristus datang karena Dia diutus oleh Tuhan. Lalu ketika Kristus akan naik ke surga, Dia jugalah yang mengutus para murid untuk menyebar ke seluruh bumi. Jadi tema pengutusan ini tema yang dominan, orang diutus oleh satu orang yang lain. Di dalam artikel yang ditulis oleh seorang bernama Richard Gavin, dia adalah mantan profesor Perjanjian Baru dari Westminster Theological Seminary. Dia menulis sebuah artikel yang mengaitkan istilah Aramaik yang namanya syalia, ini istilah dari bahasa Aramaik yang lazim dipakai oleh orang Yahudi. Syalia ini adalah utusan, dan utusan ini bukan utusan hanya sekadar mewakili pendapat atau mewakili urusan yang akan dia tangani ketika dia berhubungan dengan orang lain. Tapi utusan ini adalah seorang yang benar-benar membawa kehadiran yang mengutus. Kalau satu orang mengutus orang lain, orang lain itu menjadi syalia dan syalia ini artinya dia menyatakan kehadiran si pengutus. Misalnya kalau saya mau membeli sebuah properti di tempat yang jauh, saya akan utus seorang syalia dan dia berhak menentukan harga menggantikan saya. Dia hadir menggantikan saya yang tidak bisa hadir. Jadi utusan bukan cuma seorang yang membawa pesan, bukan cuma message barrier, bukan cuma messenger, tapi utusan itu menyatakan kehadiran dari si pengutus. Tidak ada yang sadar dari tema ini lebih dalam dari pada Paulus, karena kalau kita lihat di dalam Surat Filemon dia menekankan tentang kehadiran dia, lewat kehadiran dari orang yang dia utus. Dan di dalam Surat Filipi pun sama dia menyatakan kehadiran dia melalui kehadiran orang yang dia utus. Ini merupakan pola yang pastinya Paulus pelajari dari Kristus, karena Kristus mengutus orang dan siapa menerima orang itu, dia menerima Kristus. Tema pengutusan ini sangat penting sehingga kita bisa belajar untuk menghargai Tuhan melalui menghargai utusanNya. Di dalam Kitab Suci siapa yang menerima seorang nabi, menerima upahnya nabi. Karena waktu dia menerima seorang nabi, dia menerima Allah yang hadir dengan diwakilkan oleh nabi. Demikian juga siapa yang menerima berita para rasul, mereka tidak menerima berita manusia tapi mereka menerima beritanya Kristus. Dan kalau mereka menolak para rasul mereka tidak menolak seorang manusia, mereka menolak Kristus. Jadi perkataan “terimalah dia seperti kamu akan terima saya”, ini merupakan konsep umum di dalam budaya Yahudi yang dipengaruhi oleh Bahasa Aramaik, bukan lagi Bahasa Ibrani. Tetapi tema ini menjadi tema yang sangat kuat oleh orang Kristen, karena orang Kristen menyadari ada pengutusan dari Kristus. Dan siapa terima utusan Kristus, dia menerima Kristus. Di dalam dunia ini Kristus mengidentikan diriNya dengan berbagai kelompok, Dia mengidentikan diriNya dengan para rasul, “jadi siapa terima berita rasul dia, terima berita dariKu”. Lalu Kristus juga mengidentikan diriNya dengan orang-orang miskin dan lemah, sehingga Yesus pernah berkata di dalam salah satu ucapan keras tentang penghakiman akhir “kamu Aku enyahkan, Aku tidak mengenal kamu hai pembuat kejahatan”. Lalu orang-orang yang berbuat kejahatan bingung “kami lakukan kejahatan apa? Kami tidak merasa jahat, kami tidak mengingat pernah berbuat kejahatan”. Yesus Kristus mengatakan “waktu Aku lapar, kamu tidak memberi Aku makan. Waktu Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum. Waktu Aku telanjang, kamu tidak memberi Aku pakaian. Waktu Aku dalam penjara, kamu tidak mengunjungi. Apa yang kamu tidak lakukan untuk orang paling kecil di tengah-tengah kamu, kamu tidak lakukan untuk Aku”. Lalu Dia berkata kepada yang sebagian “mari masuk nikmati sukacita bersama dengan tuanmu”, dan orang-orang itu pun kaget “mengapa kami berhak mendapatkan sukacita ini? Apa yang kami lakukan? Kami tidak merasa baik”. Orang yang masuk surga tidak pernah merasa dirinya baik, tapi dia sudah jauh lebih baik dari orang-orang yang Tuhan buang. Orang baik tidak rasa baik, ini orang baik yang sejati. Orang-orang ini tidak merasa mereka baik “kami tidak melakukan apa-apa, mengapa kami mendapatkan perlakuan demikian istimewa?”, lalu Yesus mengatakan “karena pada waktu Aku lapar, kamu memberi Aku makan. Pada waktu Aku haus, kamu memberi aku minum. Pada waktu Aku telanjang kamu memberi Aku pakaian. Pada waktu Aku dipenjara, kamu mengunjungi Aku”. Dan mereka bingung “Engkau kan Tuhan, Engkau tidak mungkin berada dalam keadaan lemah”. Tapi Tuhan Yesus mengidentikan diriNya dengan orang-orang miskin, ini berarti orang-orang miskin adalah utusan Kristus, dimana kehadiranNya diwakili oleh mereka. Ini sesuatu yang menakjubkan, Kitab Suci melampaui budaya lokal meskipun mengadopsi sebagiannya. Maka kalau sudah baca Kitab Suci, Saudara akan menemukan budaya lokal dinyatakan ulang, tetapi dengan cara yang jauh lebih indah, jauh lebih superior. Di dalam tulisan-tulisan Paulus, Paulus banyak mengakomodir bahasa-bahasa dari ajaran stoisisme yang populer pada waktu itu. Tapi ketika kita pelajari, nanti kita akan lihat itu di dalam surat Filipi, ternyata apa yang Paulus mengerti tentang firman, yang mirip ajaran stoisisme, jauh lebih dalam dimengerti dan dipahami lewat firman Tuhan, dari pada apa yang kita bisa pahami lewat stoisisme. Jadi apa yang Alkitab nyatakan selalu melampaui budaya. Ini satu pengertian yang saya terima dari Pendeta Stephen Tong, saya waktu bertobat ada di dalam sebuah gereja yang sangat anti filosofi, pokoknya baca Alkitab. Bahkan buku teologi pun dicurigai “jangan terlalu banyak baca buku teologi, kapan kamu baca Alkitabnya? Baca Alkitab lebih penting dari baca buku teologi”, tentu kita tidak menyanggah itu, memang membaca Kitab Suci lebih penting daripada membaca buku teologi. Tapi membaca buku teologi itu dalam rangka kita membaca Alkitab, saya makin menikmati membaca Alkitab justru karena menghabiskan banyak waktu membaca buku teologi. Maka saya sedikit bingung mengapa pendeta terus berkhotbah “hati-hati terhadap buku-buku lain, hati-hati terhadap ajaran dunia”. Lalu saya ikut KKR dari Pendeta Stephen Tong dan dia banyak kutip dari filsuf, dari John Locke, dari Plato, dari Aristotle, dari Immanuel Kant, dari Konghucu dan lain-lain. Saya kaget ada pendeta yang begitu berkuasa tapi kutip-kutip pemikir-pemikir non-Alkitab, berarti boleh. Maka saya mulai terpengaruh untuk pelajari dan saya mendapatkan kekayaan yang limpah dari mempelajari apapun yang sangat berpengaruh dan penting di dalam dunia. Tapi yang saya terima dari Pendeta Stephen Tong, apa pun yang sangat berpengaruh dan penting di dalam dunia tetap dilampaui oleh Kitab Suci. Justru kita sangat kagum kepada kelimpahan Alkitab setelah kita mempelajari hal lain di luar Alkitab. Demikian juga ketika kita membaca Stoisisme lalu membandingkan dengan tulisan Paulus kepada Jemaat Filipi, baru kita tahu ajaran Paulus jauh lebih superior dari pada ajaran Stoisisme. Nanti kita bahas di pasal 3, kita akan melihat bagaimana Paulus memberikan pengajaran yang sangat mirip Stoik tapi yang sangat jauh melampaui ajaran Stoik. Ketika kita mempelajari Kitab Suci kita lihat budaya lokal diekspresikan ulang, tetapi dengan cara yang jauh lebih baik. Maka bodoh kalau orang Kristen terlalu kagum sama budaya di luar Alkitab, lalu lupa menggali Kitab Suci dan menikmati apa yang Kitab Suci bisa bagikan. Tadi kita berdoa mengenai gereja-gereja Tuhan dan kita berharap gereja Tuhan bebas dari pengaruh yang terlalu membutakan gereja sehingga menikmati apa yang dunia tawarkan, tapi tidak tahu kelimpahan dari tradisi gereja sendiri. Tradisi musik sendiri dibuang tapi tradisi musik di luar gereja yang sebenarnya jauh lebih dangkal, ditarik ulang dan dibawa masuk, ini merupakan kebodohan. Kalau kita lihat di dalam Kitab Suci ada banyak gambaran yang mencerminkan budaya sekitar, budaya kontemporer, budaya sezaman, tetapi punya pengertian yang jauh melampaui. 

Gereja, Sang Pengantin Kristus

Efesus adalah surat yang sangat indah, di dalamnya nyata berapa besar cinta kasih yang Tuhan berikan kepada kita. Orang percaya tidak bisa dibandingkan dengan orang-orang lain. Kadang-kadang ketika kita memahami doktrin pilihan, kita dengan salah melihat sorotan tentang orang-orang yang tidak dipilih, ini sesuatu yang membuat kita gagal menikmati keindahan doktrin pilihan. Doktrin pilihan bukan mengajarkan tentang bagaimana kita makin mencurigai Tuhan, “mengapa Tuhan cuma pilih sebagian, mengapa tidak pilih lebih banyak orang, mengapa tidak semua dipilih, mengapa ada orang-orang yang diluputkan dari keselamatan, mengapa Tuhan tidak mengizinkan ada orang-orang yang mendapatkan keselamatan dari seluruh dunia? Mengapa ada yang binasa, mengapa ada yang tidak percaya”, ini semua adalah tuduhan-tuduhan yang tidak adil karena kita tidak bisa menimpakan kepada Tuhan kesalahan kita sekalian. Ketika kita sudah cemar, ketika kita hidup di dalam kehendak kita, ketika kita serong, ketika kita abaikan Tuhan, kita tidak berhak menerima berkat Tuhan. Tetapi Tuhan memutuskan untuk memperpanjang hidup manusia bahkan memperpanjang tradisi dan sejarah dari kemanusiaan. Tuhan tidak cut manusia ketika manusia pertama jatuh dalam dosa. Dia mengizinkan adanya keturunan demi keturunan yang akhirnya memenuhi bumi. Dan Tuhan bukan tidak memperhatikan orang-orang ini, Tuhan memberikan mereka tanah, Tuhan memberikan mereka pemeliharaan yang mirip dengan apa yang ditemukan di Taman Eden, tanaman yang menghasilkan buah yang melimpah, dan keindahan dari alam, keindahan dari sungai, keindahan dari batu permata yang ada di dalam dunia ini, di dalam bumi, semua Tuhan berikan di seluruh bumi. Sehingga ketika manusia tinggal di bumi, manusia bisa menikmati kelimpahan tersebut meskipun sebenarnya manusia tidak layak untuk hidup di dalam tempat suci yaitu ciptaan Tuhan ini. Tuhan menciptakan bumi sebagai tempat suciNya. Tetapi ketika manusia melanggar, manusia tidak punya hak untuk tinggal di tempat ini, manusia tidak berhak untuk mendiami tanah yang Tuhan berkati dengan kesuburan. Tetapi manusia tetap menerima kesuburan, tetap menerima berkat, inilah yang disebut dengan anugerah umum yang Tuhan berikan, anugerah yang Tuhan berikan dengan sama. Tetapi jangan lupa karena dunia ini sudah ditinggalkan oleh kehadiran Tuhan. Tuhan tetap topang, Tuhan tetap hadir, tapi Tuhan tidak lagi menyatakan kehadiranNya secara intim. Sehingga di dalam pengertian yang tepat, kita juga harus lihat bahwa dunia ini ditinggalkan oleh Tuhan. Tuhan tidak lagi tinggal di dunia ini seperti Dia mendiami tempat suciNya. Maka di tengah-tengah dunia pun banyak kesulitan, banyak kekacauan, banyak kerusakan, kuasa kegelapan masuk, kuasa dosa meneror dan menghancurkan hidup manusia. Kuasa kematian membuat kita seperti tidak ada pengharapan, dan kuasa gelap, kuasa kacau, kuasa dosa, kuasa jahat, kuasa kematian itu merusak hidup kita. Tanpa topangan Tuhan kuasa-kuasa ini akan dominan dan menghancurkan kita semua. Tapi Tuhan mengatakan “Aku tidak akan membiarkan kuasa kegelapan merajalela. Aku akan tahan kejahatan”, sehingga anugerah umum Tuhan memampukan kita untuk menikmati hidup di dunia ini. Tanpa anugerah umum Tuhan semua manusia akan sangat jahat, akan saling membunuh satu dengan yang lain. Tapi karena anugerah umum Tuhan menahan, Tuhan memberikan pemerintah yang meskipun kejam dan bengis tapi bisa menghakimi rakyat yang berlaku sewenang-wenang. Maka kekacauan di dalam rakyat ditangani dengan adanya pemerintahan, kekacauan di dalam alam ditangani dengan adanya topangan Tuhan dalam alam. Alam yang bisa rusak, yang bisa bertindak dengan cara yang mematikan manusia adalah juga alam yang memberikan hasilnya untuk dinikmati oleh manusia. Jadi Tuhan begitu baik, masih menopang orang-orang yang ada di dalam dunia ini, masih memberikan kepercayaan untuk hidup, masih memberikan pengaturan untuk dijalani, bahkan masih memberikan hikmat dan pengertian dan hati nurani. Hati nurani adalah bagian dari anugerah umum Tuhan. Hati nurani tidak hanya dimiliki oleh orang Kristen tapi oleh semua orang. Dan ini sebabnya kita bisa melihat ada pikiran-pikiran yang brilian tentang etika, tentang sosial, tentang bagaimana manusia harus hidup dari orang-orang yang tidak Kristen sekalipun. Jangan jadi orang yang kerdil, jangan jadi orang yang cuma perhatikan hal-hal kecil untuk kenikmatan hawa nafsu. Jadilah orang yang rela kehilangan kesenangan hawa nafsu demi mendapatkan keadaan yang lebih baik, stabil dan adil bagi orang lain. Ini merupakan berkat-berkat yang Tuhan berikan, menunjukkan Tuhan mencintai manusia dan memberikan cinta kasihNya secara umum. Tapi meskipun manusia dicintai secara umum, tetap orang yang tidak diselamatkan beda jauh dengan orang yang diselamatkan. Perbedaan ini bukan karena kita lebih baik, bukan karena kita lebih saleh, bukan karena kita lebih suci, bukan karena kita lebih pintar, tapi perbedaan ini adalah karena Tuhan sudah mencintai kita, memutuskan untuk menyelamatkan kita sejak sebelum dunia dijadikan. Ini merupakan kalimat yang sangat indah. Dan di dalam pengertian yang tepat kita membaca ini adalah kalimat tentang ekspresi cinta kasih yang besar. Apa yang membuat Tuhan mencintai kita? Bukan karena kita baik, karena waktu Dia memutuskan untuk mencintai kita, karena Allah mengatakan “dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula”, berarti alasan Tuhan memilih kita adalah cinta kasihNya. Cinta kasih Tuhan rela berikan kepada kita. Sebesar apa cinta kasih itu? Gambaran dari Kitab Suci begitu banyak diberikan untuk memberikan penjelasan sebesar apa cinta kasih Tuhan. Tuhan mencintai kita sehingga apapun yang Dia jadikan tidak ada yang melampaui cinta kasih Tuhan kepada kita, tidak ada yang mengambil posisi kita sebagai ciptaan yang paling dicintai. Tuhan menciptakan banyak hal sebelum Dia menjadikan manusia, tapi tidak satupun yang Dia Jadikan mengubah fakta bahwa Dia memilih kita sebelum dunia dijadikan. Kalau ada dua orang mempunyai relasi kasih satu sama lain, lalu ditanya “sebesar apa engkau mencintai aku?”, di dalam tradisi orang Yahudi, kadang-kadang perbandingan adalah cara untuk menunjukkan cinta kasih. “Berapa besar engkau mencintai aku?”, mereka akan mengatakan “saya mencintai engkau dan membenci yang lain”. Membenci bukan karena ada alasan yang membuat orang lain dibenci. Tapi membenci adalah untuk perbandingan, “dibandingkan dengan cinta kasih yang kuberikan kepadamu, maka yang lain perasaan adalah seperti benci”. Apakah orang ini membenci yang lain? Tidak, tetapi dia mempunyai derajat Cinta kasih yang sangat ekstrem beda, sehingga orang yang dicintai, dicintai dengan cinta sedemikian besar, sedangkan yang lain diberikan keadaan relasional yang jauh berbeda, sehingga memakai kata benci. Ini merupakan satu gambaran yang sangat mengagumkan, Tuhan mencintai kita dan perbandingannya adalah dengan orang-orang lain yang tidak dipilih, dengan malaikat jatuh yang tidak dipilih, bahkan dengan malaikat pilihan pun kita tetap memiliki prioritas di dalam hati Tuhan. Tuhan mencintai manusia sekalipun manusia hanya debu saja. Tuhan mencintai manusia, sekalipun manusia adalah sumber sakit hati Tuhan. Tuhan mencintai manusia, sekalipun manusia adalah sumber kekacauan di dalam bumi yang diciptakan oleh Tuhan. Ini yang harus kita renungkan baik-baik, alasan Tuhan mencintai bukan terdapat pada kita, tapi terdapat pada diri Tuhan. Dan Tuhan menyatakan perbandingan yang sangat ekstrem, manusia dicintai bahkan sebelum dunia dijadikan, orang pilihan maksud saya. Siapa yang jadi orang pilihan akan menyadari bahwa Tuhan mencintai orang pilihan sebelum dunia dijadikan. Maka semua yang Tuhan kerjakan di bumi, yang Tuhan kerjakan di alam semesta adalah untuk mewujudkan kaum pilihan. Inilah bahasa yang agung, yang Tuhan nyatakan lewat Surat Efesus. Penulis Surat Efesus yaitu Paulus menyadari berapa besar cinta kasih Tuhan karena dia adalah orang yang mulai merenungkan tentang apa itu cinta kepada Tuhan dan sesama. Paulus adalah seorang yang mengambil kesimpulan sangat ekstrem, ketika ditanya tentang Taurat, Paulus mengatakan “di dalam Taurat Kesimpulannya adalah kasihilah sesamamu”, mengasihi manusia adalah kesimpulan dari seluruh ajaran Taurat. Paulus menyoroti kecintaan satu sama lain, relasi, juga kerelaan memberi diri bagi yang lain, ini bagi Paulus adalah sangat krusial bagi hidup manusia. Maka ketika kita belajar untuk berelasi satu dengan yang lain, kita mulai berinteraksi, kita mulai berhubungan, kita mulai menyadari “bahwa saya bisa menemukan orang yang mempunyai kesenangan kepada saya sama besar dengan saya punya kesenangan kepada dia”.  Saudara mulai belajar punya kelompok dimana di dalamnya Saudara akrab. Waktu bicara tentang hobi, sama, waktu bicara tentang pandangan hidup, juga sama. Waktu bicara tentang cita-cita ke depan, juga sama. Maka Saudara merasa senang ada orang lain yang sehati sepikir dengan Saudara. Maka relasi yang Saudara miliki mulai diperketat bukan hanya dengan kesetiaan, tapi juga dengan cinta kasih yang makin bertumbuh. Kita diciptakan untuk mencintai. Dan Tuhan menempatkan banyak orang di sekeliling kita supaya kita belajar mencintai. Maka ketika kita berkumpul di dalam gereja, kita mulai belajar untuk cinta satu dengan yang lain. Kita mulai belajar untuk menempatkan bagaimana cinta itu harus diberikan. Karena cinta kasih adalah hal kompleks, tapi memerlukan ekspresi yang tepat. Cinta kasih begitu kompleks tapi memiliki ekspresi yang spesifik. Maka waktu kita berelasi, kita mulai belajar apa itu cinta kasih dan bagaimana mengekspresikannya. Di dalam Bahasa Yunani, agave, di dalam bahasa Ibrani ahafa, ini keduanya memiliki arti yang mirip yaitu bagaimana aku mengekspresikan tindakanku kepada yang lain, itulah cinta kasih. Cinta kasih bukan cuma sekedar perasaan di dalam, cinta kasih adalah tindakan yang aku berikan keluar. Itu sebabnya perintah mencintai itu bukan perintah untuk merubah perasaan. Perintah mencintai adalah perintah untuk mengekspresikan dengan tepat apa itu cinta kasih. Maka di dalam Kitab Suci mengekspresikan cinta kasih harus spesifik. “Apakah engkau mencintai istrimu?”, “iya”, ekspresikan cinta kasih kepada istrimu. “Apakah engkau mencintai guru di sekolah?”, “iya”, ekspresikan cinta kasih dengan cara yang berbeda dengan seorang suami mengekspresikan cinta kasih untuk istrinya. Kalau seorang suami mencintai istri, dia akan berhubungan intim dengan pasangannya, dia akan dekat, dan dia akan mempunyai kaitan baik di dalam emosi maupun fisik. Tapi seorang murid mencintai guru tidak boleh diekspresikan dengan hal yang sama. Maka ada penghormatan, ada perasaan hierarkikal, “dia lebih tinggi dari saya dan saya belajar menghormati dia”. Waktu Saudara bertemu teman ekspresinya pun beda, Saudara bisa mengungkapkan perasaan Saudara dengan kata-kata yang mungkin lebih biasa, lebih normal, lebih sehari-hari, bahkan mungkin cenderung agak sedikit kasar, dibandingkan ketika kita berbicara dengan orang-orang yang lebih tinggi dari kita. Maka seumur hidup kita sebenarnya sedang dilatih untuk mengekspresikan kasih. Bagaimana mencintai? “Begini caranya”. Bagaimana mengasihi? “Beginilah caranya”. Kalau saya mengasihi teman, ini cara mengekspresikan. Aku mencintai orang tua, begini cara mengekspresikan. Aku mencintai guru, begini cara mengekspresikan. Aku mencintai Tuhan, untuk yang ini bagaimana mengekspresikan? 

KELAS PRANIKAH

Kelas Pranikah setiap hari Minggu, mulai hari Minggu, 7 Mei 2023, pk. 19.00 (6x pertemuan). Yang ingin melaksanakan pemberkatan pernikahan di GRII (dengan syarat sudah menjadi anggota GRII) wajib mengikuti kelas ini secara onsite. Terbuka untuk umum dan akan disiarkan di Youtube GRII Bandung: griibdg.org/live. Info & pendaftaran:0851-0507-1880 (WA)

7 Mei – “Maksud Tuhan tentang Pernikahan” (Pdt. Jimmy Pardede)
14 Mei – “Karakterisitik Pernikahan Kristen” (Pdt. Jack Kawira)
21 Mei – “Ordonansi dalam Keluarga” (Pdt. Jack Kawira)
4 Juni – “Peranan Iman dan Kerohanian dalam Keluarga” (Pdt. Jimmy Pardede)
11 Juni – “Keunikan dan Tanggung Jawab Suami Istri” (Pdt. Jimmy Pardede)
18 Juni – “Membina Keutuhan dan Kesatuan Suami Istri” (Pdt. Jack Kawira)

PEMAHAMAN ALKITAB

Dengan tema Seri Natal “Spiritualitas Natal: Menyingkap Makna Kelahiran Kristus” oleh Vik. Hanslaveda pada hari Rabu, 6 November 2024 pk. 19.00 WIB di GRII Bandung, Jl. Moh. Toha no. 229. Info: 0851-0507-1880(WA)