Sekarang ini yang kita perhatikan adalah bukan hal yang penting. Yang jadi fokus, yang dicari, yang dikejar, yang dialami, yang dihidupi itu banyak yang tidak ada maknanya. Sebetulnya, semua itu boleh tidak ada, tetapi yang harus ada justru tidak dikerjakan. Apa itu? Kalau kita melihat pertumbuhan dari anak-anak sampai dewasa, manusia itu haus akan penerimaan. Kita bukan mau social experiment, contohnya kalau Anda punya anak dua atau tiga, yang satu Anda puji, yang satu lagi bagaimana? Iri hati. Sedari kecil saja anak sudah merasakan iri hati. Contoh yang sederhana, waktu orang tua memeluk anak, yang satu dipeluk, yang satu juga mau dipeluk. Jadi kita bisa lihat ada perasaan mau diterima dari anak kecil, ini sesuatu wajar. Saya tidak mengatakan ini sesuatu yang jelek, jangan langsung asosiasikan itu, tetapi kalau dalam perkembangan anak usia itu tidak memahami penerimaan yang paling penting itu dari Tuhan, maka dia akan selalu haus akan penerimaan. Sekarang kalau kita mengatakan secara gamblang, gambaran pernikahan yang tidak ideal, misalnya ayahnya itu KDRT, tidak bertanggung jawab, lalu dia punya anak perempuan. Biasanya akan ada tantangan besar bagi anak perempuan ini, mengapa? Dia haus akan figur seorang laki-laki. Nanti di dalam proses pacaran akan mempengaruhi banyak hal dan mengakibatkan pacaran yang tidak sehat. Sekarang kita lihat ini baru dalam hal relasi, sama seperti kita di kantor atau di kampus. Kalau di kampus ada anak-anak kesayangan dosen. Kita sudah agak iri, misalnya kita angkat tangan duluan tapi yang dipilih dia. Kita paham ada sense yang haus untuk diterima dan diakui. Dan kita juga lihat kebanyakan orang memang membanggakan dia punya daftar orang yang dia kenal. Zaman dulu orang pasang foto-foto presiden, menteri atau siapa pun, ketemu dengan Pak Amien Rais, ada fotonya. Ketemu dengan Presiden Soeharto, ada fotonya. Kalau dia cukup panjang umur, mungkin dari zaman Soekarno, Soeharto, terus sampai sekarang, foto dengan tujuh presiden dipajang semua. Sekarang sudah tidak zaman foto, tapi tetap saja ada Instagram, ada media sosial yang lain. Coba lihat, kita ada observasi, bukan judgemental, bukan dalam sense itu, kita lihat yang ditampilkan itu sesuatu hal yang selalu saja kelihatan indah. Jadi jangan buru-buru cemburu sama teman-teman kita, lihat foto teman, “Teman saya kelihatan happy, kerjaannya foto-foto, jalan-jalan terus. Mengapa saya menjadi pembantu di rumah?” Terus terang saja, sesuatu yang kelihatannya nyaman itu yang dipajang. Dia mungkin juga mengerjakan pekerjaan rumah, tapi itu tidak difoto. Apakah ada yang selfie sambil menyapu di rumah? Ibu-ibu rumah tangga itu kalau mau selfie dalam keadaan yang cantik dulu, bukan yang baru bangun tidur, terus cuci piring lalu selfie. Memang biasanya yang ditampilkan memang sesuatu hal yang exceptable bagi masyarakat, kita juga tidak ingin lihat si ibu ini lagi selfie waktu lagi cuci piring. Dan itu semua ada eskalasinya, eskalasinya di dalam seluruh aspek hidup itu bisa menakutkan. Kita ingin mengenal, kita ingin dikenal, kita ingin terkenal, haus akan hal ini tetapi kalau kita tidak paham esensinya kalau hidup kita ini akan dihabiskan dengan urusan ini. Kalau dia pintar, dia akan pakai kepintarannya supaya dia diterima. Kalau dia tidak pintar, dia pakai kehebatannya, ini tipikal. Kalau laki-laki atau perempuan yang pintar, dia pakai kepandaian, kalau tidak ada kepandaian, dia pakai apa? Otot. Soalnya tidak ada pilihan lain. Kalau otot sama otak tidak ada, dia pakai apa? Dia akan pakai style. Kalau ganteng lumayan pakai style. Orang-orang di sini mungkin tidak ada yang jabrik, dia mulai jabrik. Tidak ada yang pakai celana butut yang robek-robek. Kita bingung juga mengapa celana robek-robek dijual? Karena ada orang-orang yang mau pakai itu supaya menyatakan dia punya identitas, inilah gambaran sederhana. Sehingga kita mulai melihat, kalau tidak ganteng, tidak pintar, tidak ada otot, mulai cari yang lain, sebenarnya ini agak menyedihkan. Karena dia sendiri melihat kalau dirinya itu tidak memiliki apa-apa, itu berarti gagal memahami esensi diri. Esensi diri itu bukan untuk dikenal orang, tapi esensi diri sebetulnya adalah apakah kita dikenal Tuhan atau apakah kita mengenal Dia atau tidak, itu yang paling penting. Kalau seorang dari muda mengetahui hal yang paling penting itu relasi dengan Tuhan, dia akan jaga hidupnya suci. Kalau tidak tahu ini, dia lakukan pergaulan bebas, maling, nyontek, korupsi dan segala macam jenis kejahatan yang lain, dia tidak peduli. Karena dia tidak tahu ini yang paling penting. Sekali lagi, ini sama kalau kita tahu sesuatu nilai (value), kita akan korbankan segala yang kita punya untuk ambil itu. Itu gambaran perumpamaan di Alkitab sudah jelas. Ada orang tiba-tiba datang lalu dia lihat ada mutiara terpendam, tidak diketahui apakah dia petani yang sedang menggali atau apa, dia menemukan mutiara yang terpendam. Maka apa yang dia lakukan? Dia jual semua yang dia punya karena dia tahu ini bernilai (valuable), ini berharga, ini layak untuk diperjuangkan. Dia jual semua, yang lain tidak ada harganya, tidak ada artinya. Dia beli dari uang yang sudah dia punya, dia beli itu semua, inilah Kerajaan Surga. Seberapa besar keinginan kita untuk menggali, mencari, mengenal Dia? Dan sayang sekali Saudara kalau kita lakukan observasi saja, mungkin tidak banyak orang yang betul-betul kenal siapa Kristus.

Di dalam kacamata postmodern hari ini, di dalam kacamata orang-orang zaman ini, Kristus tidak dipandang sebagai Hakim yang adil. Oleh sebab itu fenomenanya apa? Ini sedikit terminologi, muncul pemahaman neo-Marcion. Ajaran Marsion (Marcion) itu adalah satu bidat zaman mula-mula yang gagal memahami Allah di dalam PL itu sama dengan Allah di dalam PB. Marsion melihat Allah di dalam PL itu kejam, Allah yang di dalam PB ini penuh cinta kasih. Kristus itu mencintai, mengampuni, menerima sejak zaman dahulu. Abad mula-mula itu ada yang bernama Marsion yang gagal memahami siapa Kristus. Dia waktu itu hanya menerima tulisan Lukas dan Paulus, sedangkan tulisan lainnya dia buang. Dari zaman itu saja, Marsion itu sudah tidak mau menerima Yesus sebagai Hakim yang adil. Justru di dalam PB, penghakiman yang paling akhir itu akan Kristus laksanakan waktu Dia datang kedua kali. Kalau kita membaca PL dan merasa terganggu, banyak akan yang seperti orang yang menganut paham humanistik sekarang ini waktu membaca PL muncul pertanyaan, “Mengapa banyak kekerasan, kekejaman?” Orang tersebut gagal memahami natur keadilan Tuhan. Orang itu melihat kekerasan sebagai sesuatu yang tidak bisa diterima. Sekali lagi, dia melihat kekerasan itu sesuatu yang tidak dapat diterima. Tetapi dia gagal memahami kalau hidup tidak kudus itu sesuatu yang jauh lebih tidak dapat diterima. Orang dengan paham humanistik saat ini keterlaluan, karena segalanya atas nama cinta, cintanya sembarangan, homoseksual, pergaulan bebas, dan lain sebagainya. “Atas nama cinta”, mereka mengatakan ini hak asasi manusia. Tapi mereka tidak paham bahwa dasar pertama adalah kesucian dan kekudusan. Penghukuman Tuhan yang begitu keras di dalam Perjanjian Lama juga nanti di dalam Perjanjian Baru, itu justru berkaitan erat dengan kekudusan Tuhan yang dilanggar oleh orang Israel. Dalam Imamat 18-19 dan seterusnya, kita akan menemukan Tuhan yang panjang sabar. Contohnya, Tuhan menghakimi Kanaan, padahal sebelumnya Tuhan sudah memberikan masa 400 tahun dari zaman Abraham, namun kesabaran Tuhan itu diabaikan begitu saja. Mereka sudah diperingatkan tetapi mereka tidak mengerti. Marsion adalah orang atau bidat yang tidak memahami pentingnya kekudusan Tuhan. Sekarang Neomarsion bangkit di dalam kemasan yang baru. Kita mau menerima Kristus yang murah hati, penuh cinta, mengampuni, memberi diri dan seterusnya, tetapi tidak bisa melihat Kristus yang adil. Apa dampaknya? Dampaknya adalah zaman ini Kekristenan melihat cinta yang murahan dari Tuhan. Kita saja, manusia, kita punya cinta kalau dianggap remeh dan murahan, apa yang kita lakukan? Marah, kira-kira begitu atau kalau tidak kapok. Misalnya ada teman yang minta tolong kepada kita sambal menangis, “Saya ini ada masalah keuangan, boleh tolong tidak?” Biasa kalau orang-orang yang mau menipu itu meyakinkan. Kalau tidak meyakinkan mana mungkin kita tolong? Jadi kita waktu menolong, kita sering ketipu gara-gara ini. Baik, kita tolong, kita beri sekian juta atau sekian puluh juta. Lalu dia pakai untuk apa? Untuk judi online, bagaimana? Marah, begitu tahu akan kecewa, marah, pahit hatinya. Terus dia datang lagi, “Aduh, saya menyesal, kali ini tolong ampuni saya.” Kita pun tertipu lagi. Misalnya kali ini uangnya dipakai untuk main perempuan. Kita merasa lebih marah lagi. Kali ketiga apakah diberi? Tidak, kenal pun mungkin sudah tidak mau, sudah kapok memberikan ini itu. Dan ekstrimnya ada sesuatu excess, excess-nya apa? Jadi tidak percaya sama manusia, kecewa. Dulu saya pernah kehilangan sepeda di Belanda, lapor polisi. Setelah lapor ada bagian tim seperti konseling. Inti konseling itu supaya kita itu tidak antipati dengan manusia, seperti kecewa dengan manusia. Saya pikir jangan-jangan kasus ini benar-benar bisa membuat orang jadi tidak percaya sama manusia, itu sisi ekstrim. Tapi ekstrimnya akhirnya kasus yang satu membuat kita menggeneralisasi segala hal, sehingga kita tidak lagi memiliki empati kepada orang lain. Contohnya, di lampu merah ada orang jualan, ada pengemis, secara peraturan kita tidak boleh memberi, itu peraturan tapi tidak tahu peraturan daerah atau negara. Kadang waktu kita mau bantu, tiba-tiba kita lihat seperti ada pengepulnya, itu sesuatu yang merusak kemanusiaan kita. Akhirnya kita sudah generalisasi lain kali tidak akan mau bantu lagi yang seperti ini, padahal mungkin memang ada satu dua yang benar. Kembali lagi, jadi kita melihat apa? Ini cinta yang murahan hari ini, yang orang pikir mengenai Kristus, tetapi mereka tidak memahami jikalau ada satu waktu Dia akan berterus terang mengatakan kepada orang-orang yang palsu itu, “Aku tidak kenal kamu”, dan itu adalah ratap dan kertak gigi, penyesalan yang paling dalam. Hari ini banyak orang merasa tidak ada masalah ketika tidak melakukan kekudusan dan tuntutan Tuhan. Apakah orang yang korupsi waktu tertangkap, menangis di hadapan Tuhan? Seperti Daud, “Aku sudah berdosa kepada Tuhan.” Jarang. Adanya fenomena tiba-tiba jadi rohaniawan semua, tiba-tiba ada pendeta datang, atau ada ustad kalau itu muslim, tiba-tiba yang tidak pakai jilbab jadi pakai jilbab, kira-kira seperti itu. Itu juga pencitraan, mengapa kita bisa tahu pencitraan? Itu karena modus. Misalnya ada orang yang tertangkap, tiba-tiba jadi pakai jilbab, atau yang tidak rohani tiba-tiba ada pendeta yang mendampingi, itu aneh. Kita sudah tahu ini pencitraan. Banyak orang yang ditangkap itu tidak sungguh-sungguh mengakui dosanya di hadapan Tuhan. Sedikit orang yang menangis setelah ketahuan selingkuh, “Tuhan, saya sudah berdosa di hadapan Engkau.” Apa yang dilakukan? Cari alasan. Contoh, sebenarnya istri tidak perhatikan saya, ini pembenaran. Itu tidak bisa dicampur antara  perasaan dia dan istrinya, tidak bisa dijadikan pembenaran untuk dia lakukan kejahatan. Contoh lain, “Saya lapar maka saya mencuri.” Seharusnya, “Saya lapar maka saya kerja, dan saya beli makanan.” Jadi memang manusia itu ahli menipu diri. “Saya menyontek karena saya belum belajar.” Seharusnya apa? “Belajarlah!” Apa kaitan menyontek dengan tidak belajar? Kita memang biasa melakukan hal seperti demikian. Sebenarnya banyak orang-orang yang bahkan sudah ketahuan berzinah, sudah tertangkap korupsi, tapi tidak ada hati yang gentar di hadapan Tuhan. Mereka tetap jahat. Coba lihat, koruptor keluar masuk tetap jadi koruptor lagi, tertangkap lagi, masuk penjara lagi. Maling juga sama, masuk penjara, lalu keluar, maling lagi nanti masuk lagi, kali kedua maling lagi. Yang kena narkoba juga sama, bolak-balik itu orangnya. Mengapa seperti itu? Karena tidak ada rasa gentar di hadapan Tuhan. Jadi kita mau mengatakan kalau zaman ini adalah zaman yang tidak peduli dengan kekudusan hidup, zaman yang menggampangkan anugerah Tuhan. Ini seperti orang-orang songong hari ini, mengapa? Karena mereka tidak takut dengan penghukuman. Kita ambil contoh sederhana, mengapa mendidik anak remaja hari ini susah? Jawaban sederhana, karena dia tahu guru tidak berani lakukan apa pun. Kekerasan, viralkan, langsung dipecat gurunya. Coba saja guru-guru zaman dulu, generasi-generasi tua tahu yang mana guru killer, ada guru yang baik, kita berani agak sembarangan kalau guru baik. Tapi kalau guru killer, jangankan berani di hadapan dia, tidak mengerjakan PR saja, lutut kita gemetar, mengapa? Kita tahu ada hukuman menakutkan. Guru-guru dulu tidak karu-karuan, itu hukumannya bisa sangat menakutkan, sulit untuk dibayangkan. Kalau saat ini guru-guru yang seperti itu pasti masuk penjara semua, pengalaman mulai dari kapur, penghapus terbang, penggaris patah, itu sudah biasa. Belum lagi di luar dipukul, di sekolah dia diam saja, tapi nanti di luar, “tunggu kamu waktu pulangnya”, sekarang tidaklah demikian. Kepada guru yang seperti itu, anak-anak tunduk, hormat sampai cium-cium tangan. Mengapa? Karena mereka tahu ada keseriusan pada waktu guru ini mengajar. Tapi kembali lagi, orang yang mengabaikan bagian ini, mereka pada akhirnya akan dibuka secara terus terang. Satu ilustrasi lagi, saya kebetulan juga sebagai dosen mengajar STT, waktu saya terima mahasiswa-mahasiswa baru, saya mood-nya adalah mentor, menjadi mentor mereka. Jadi memberi tahu ini namanya plagiat, mau intentional atau unintentional biasanya plagiat itu terjadi seperti ini, buku bahasa Inggris di kanan, di kiri laptop, dikutip diterjemahkan, lalu langsung masuk. Tidak ada catatan kaki, tidak ada kutip, itu plagiat semua. Ini mood-nya memang mentoring, “Saudara-saudara, kalau plagiat itu berkaitan dengan hukum, ini tidak boleh, ini salah, revisi.” Mereka akan revisi, masih ada salah, revisi sekali lagi, sudah diberi tahu yang namanya plagiat itu bisa kategori kriminal dan yang kedua selain dari kelas ini kalau engkau lakukan itu bisa kena DO, karena sudah diberi tahu itu poinnya. Tapi apa yang terjadi? Dipikirnya baik, ini ‘kan sekolah teologi, penuh cinta kasih dan pengampunan, mungkin itu yang dipikir, saya tidak tahu apa yang ada di benak mereka. Kita sudah beri tahu dari awal jangan lakukan, tapi kena kali kedua, kena kali ketiga, DO. Coba bayangkan, mereka masuk sebagai hamba Tuhan, masuk sekolah teologi, tapi ini pencurian, sesuatu hal yang tidak bisa diterima. Waktu mereka melakukan, mungkin mereka pikir, “Dosen kita semuanya sibuk, mana sempat mereka baca paper kita, kerjakan saja, copy-paste yang penting jadi, nanti dapat nilai juga. Mereka sibuk sekali, mana sempat baca.”, tapi ternyata dibaca. Akhirnya ada beberapa yang kena SP, ada yang kena DO, ini kampus teologi. Kita lihat ini suatu fenomena yang mengkhawatirkan. Dan melalui hal di ini jelas terlihat ada penghakiman Tuhan, jangan anggap sepi kemurahan Tuhan. Maka kita semua itu harus evaluasi diri tiap waktu dan bertobat di hadapan Dia. Ini yang menjadi urgensi, ini yang menjadi satu tuntutan supaya kita jaga hidup itu suci dan bersih dalam anugerah-Nya. Ini adalah kemutlakan, kalau seseorang menipu diri, pada waktu itu Tuhan akan mengatakan, “Aku tidak kenal kamu, engkau pembuat kejahatan.” Secara implisit orang yang dikenal Tuhan itu terus diubahkan, di sini terlihat implicit meaning juga, selain explicit meaning.

« 2 of 6 »