Sehingga dari Abraham ada perjanjian yang Tuhan buat. Perjanjian yang terus turun-temurun dari satu kepada yang lain, dari generasi Abraham kepada Ishak, kepada Yakub, kepada seluruh Israel. Dan Israel menjadi bangsa yang sangat diberkati Tuhan oleh karena Abraham. Di dalam tafsiran para rabi terhadap Kitab Keluaran ada kata yang berulang, ada kalimat yang berulang, yaituIsrael adalah pohon zaitunnya Tuhan, the olive tree of God. Mengapa Israel jadi pohon zaitunnya Tuhan? Karena Tuhan menginginkan mereka menjadi pohon yang mewah untuk dinikmati oleh bangsa-bangsa lain. Ini kalimat yang sangat indah dan sebenarnya sangat sejalur dengan apa yang Paulus ajarkan di dalam Surat Roma. Israel harusnya menjadi berkat, kemuliaan Tuhan dipamerkan oleh kehidupan mereka. Dan iman mereka adalah iman yang akan membuat seluruh bangsa menikmati. Bangsa-bangsa menikmati berkat Tuhan karena bangsa-bangsa melihatTuhan memberkati Israel dengan sangat limpah. Berkat apa yang Israel miliki dari Tuhan? Tentu bukan berkat tanah yang subur, bukan berkat ada begitu banyak hasil pertanian. Berkat yang Tuhan berikan itu berkat yang akan menyebar, membuat mereka seperti minyak dari pohon zaitun yang bisa dipakai untuk banyak kegunaan, termasuk untuk menyalakan pelita. Sehingga apa yang dihasilkan oleh pohon zaitun akan dipakai untuk menerangi orang-orang di dalam kegelapan. Jadi view ini sudah dipahami oleh orang Yahudi, Israel itu jadi berkat, Tuhan beri berkat supaya orang lain menikmati berkat yang dipancarkan lewat Israel. Seringkali kita menafsirkan berkat itu sebagai sesuatu yang kita bisa nikmati. Tapi sesuatu yang kita nikmati ini belum tentu dinikmati orang lain. Bukan itu berkat yang Tuhan maksud. Berkat ini adalah berkat yang memamerkan Allah itu baik, Alalh itu sabar dan Allah itu merubah, ini 3 hal sangat penting. 3 Hal ini kalau kita pamerkan, kita menjadi terang yang menerangi bangsa-bangsa dalam kegelapan. “Allahku baik”, tahu dari mana Dia baik? “Karena Dia bersabar kepada saya”. Apa tanda Dia bersabar? “Karena saya berubah karena Dia. Lihat hidup saya dan kau akan tahu perubahan apa yang Tuhan sudah kerjakan. Itulah yang akan menjadi terang bagi orang-orang yang lain”. Ini membuat kita mengerti ketika Tuhan memanggil Israel, pameran seperti ini yang Tuhan mau disebarkan oleh bangsa ini. Jadi Saudara bisa tafsirkan sebagai bangsa Israel itu seperti individu-individu orang percaya. Dia adalah bangsa, tetapi dia seperti individu orang percaya. Tuhan berkati tiap orang untuk kenal Dia dan Tuhan pakai berkat yang Tuhan berikan itu untuk menjadikan tiap orang percaya jadi berkat bagi yang lain. Ini bukan sesuatu yang kita pelajari saat ini. Ini sesuatu yang kita pelajari dari harapan Tuhan bagi Israel. Mengapa Tuhan panggil Israel jadi bangsa? Karena Tuhan mau mereka menjadi terang, menjadi terang yang memamerkan “Allahku baik”. Israel sebagai bangsa akan melakukan itu “Allah kami adalah Allah yang baik”. Mengapa Israel bisa mengatakan demikian? “Karena Allah kami menyertai kami, menjawab kami dan hadir ketika kami berseru kepada Dia”. Kadang-kadang orang bisa berubah, bukan karena dia diancam dengan hukuman, orang yang diancam dengan hukuman baru berubah adalah orang yang perubahannya masih kanak-kanak. Tapi orang yang dewasa adalah orang yang berubah hidupnya karena dia lihat “Tuhan begitu baik kepada saya. Tuhan sabar kepada saya. Kesabaran itu membuat saya ingin senangkan hati Dia”. Itu sebabnya di dalam tulisan Bernard dari Clairvaux, dia mengatakanketika orang mengenal Tuhan dan belajar mengasihi Tuhan, orang akan belajar mengasihi Tuhan dengan perasaan yang sangat-sangat berpusat ke diri. Dia cinta Tuhan demi diri, tapi dia akan terus bertumbuh dia, lama-lama dia tidak akan cinta Tuhan demi diri. Dia akan balikan itu, dia akan cinta dirinya demi Tuhan, sesuatu yang mungkin agak aneh. Maksudnya apa cinta diri demi Tuhan? Maksudnya adalah segala hal yang dirinya alami untuk diri adalah segala hal yang juga sinkron dia kerjakan untuk Tuhan. Ini kedewasaan di dalam mencintai, “yang saya cintai dan yang Tuhan cintai sudah sinkron sehingga apa yang saya mau juga sama dengan yang Tuhan mau, apa yang aku sukai dalam hidup saya adalah hal yang juga Tuhan sukai”. Ini kedewasaan mencintai bagi Bernard dari Clairvaux. Cinta yang lebih tinggi adalah “aku senang yang memang Tuhan senang”. Jadi kalau ditanya mengapa kamu tidak suka berdosa? “Saya sudah tidak suka lagi”, ini tentu tahap dewasa, jangan pikir semua otomatis sudah di situ tentunya. Saya tidak lagi harus memaksa diri untuk tidak melakukan, saya memang sudah tidak suka. Ini yang kita lihat akan Tuhan kerjakan dalam diri kita. Kita akan belajar untuk bertumbuh, mencintai yang Tuhan cintai, meskipun kita tidak menyukainya. Tapi lama-lama kita akan ada di dalam kedewasaan ini. Jadi Tuhan membentuk Israel dengan kesabaran sampai akhirnya ada remnant yaitu orang-orang sisa yang di pembuangan tetap cinta Tuhan. Di dalam keadaan sulit tetap cinta Tuhan, di dalam keadaan tidak punya tanah air tetap cinta Tuhan. Kalau Saudara lihat janji Tuhan bagi Israel, “Aku akan membebaskan kamu dari Mesir. Aku akan berikan kamu tempat di Israel di Kanaan, Aku akan memberkati engkau”, ada tanah, ada milik, ada tanah air, ada berkat besar dari tanah yang subur itu, sekarang semuanya diambil. Mereka dibuang ke Babel, mereka adalah warga kelas 2, tidak boleh beribadah kepada Tuhan, dipaksa berbudaya di dalam kebudayaan yang mereka tidak miliki. Tapi ada orang-orang yang kesukaannya adalah Tuhan, “bagaimana kamu tetap menyembah Tuhan?”, “iya”, “apa yang Tuhan berikan kepada kamu?”, “diriNya, Tuhan memberi diriNya dan aku menikmati itu”. “Kamu kan tidak punya tanah air, tidak ada berkat Tuhan yang kelihatan”, “memang, tapi aku menyukai apa yang Dia putuskan untuk berikan kepadaku”. Ini yang kita lihat sebagai keindahan. Tuhan membentuk Israel bukan hanya dengan berkat-berkat yang mereka nikmati untuk perut mereka, tapi Tuhan memberkati Israel dengan kemungkinan menjadi terang bagi bangsa-bangsa. Ada artikel ditulis Soo Jin Park, mengatakan kalau kita mau pelajari budaya para rabi, lalu lihat tulisan Paulus, banyak yang mirip. Jadi dia sangat melihat penginjilan bagi orang Yahudi itu sebenarnya terbuka lebar. Itu mempunyai banyak kemiripan dengan yang Paulus ajarkan. Sehingga kalau Saudara mempelajari yang Paulus tulis, lalu mempelajari tafsiran dari para rabi ini, Saudara akan melihat jalur yang sebenarnya mirip. Bedanya tafsiran dari para rabi ini tidak punya kesimpulan yang sempurna di dalam Kristus, lain dengan apa yang Paulus ajarkan. Sehingga ada jalur yang sebenarnya sama. Kita tinggal perlu connecting the dots, lihat apa miripnya, kemudian lihat apa yang sempurna dari dari Kristus. Ini metode kalau kita ketahui, membuat kita tahu Paulus itu seorang jenius, jenius penginjilan. Karena cara dia memberitakan Injil sangat mirip dan sangat meyakinkan untuk orang Yahudi. Saudara mungkin berpikir mengapa orang Yahudi membaca tapi tidak mau percaya? Karena orang Yahudi keras hati, tegar tengkuk, itu alasannya. Bukan karena Injil itu keterlaluan rumit atau I keterlaluan sulit dimengerti, tidak. Karena waktu Yesus bukakan kepada murid-murid Alkitab memakai kata Tuhan membuka pikiran mereka. Membuka pikiran itu bukan membuat jadi pintar, membuka pikiran itu berarti mengangkat tudung, membuka tutup yang menghalangi. “Saya tidak bisa membaca”, karena ada penghalang. Waktu dibuka “oh iya jelas”, ternyata di dalam Perjanjian Lama berita tentang Kristus sudah jelas, Dia harus mati dan bangkit. Itu yang tidak kelihatan oleh orang Yahudi dan Yesus membuka pikiran mereka. Jadi orang Israel sebenarnya mempunyai kesiapan dari Tuhan untuk menyambut Sang Mesias, mereka harus menjadi terang, mereka mesti hidup untuk memancarkan apa yang Tuhan berikan di dalam segala situasi. Itu sebabnya Salomo mengatakan “Tuhan, jika umatMu dibuang karena mereka bersalah kepadaMu, lalu mereka minta ampun, jadikanlah mereka kesayangan orang-orang yang menangkap mereka. Jadikanlah mereka kesayangan”, pikiran Salomo ini tentu berkait ke Yusuf. Yusuf ada di penjara dan dia disayang oleh pemimpin di penjara itu. Lalu waktu dia di penjara, dia disayang oleh kepala penjara itu. Waktu dia dijadikan penasihat Firaun, Firaun mengasihi dia sampai mendudukkan dia jadi wakilnya. Bukankah ini yang Salomo pikirkan tentunya? Kalau Israel harus dibuang karena dosa mereka, biarlah mereka tetap menjadi terang.
Maka isu dari Roma 11 ini adalah siapa umat sejati? Israel masih umat sejati atau tidak? Karena sekarang bangsa-bangsa lain yang Tuhan panggil. Paulus mengingatkan baik Israel maupun bangsa-bangsa lain berbagian di dalam roti sulung, berbagian di dalam pohon zaitun. Roti sulung, kita membaca Kitab Bilangan, adalah persembahan pertama Israel, mereka masuk Tanah Kanaan lalu mereka langsung membuat roti pertama dari tanah itu untuk Tuhan. Roti pertama dari tanah itu untuk Tuhan, ini makna persembahan sulung. Persembahan sulung berarti ini persembahan yang pertama kali akan kita berikan untuk Tuhan. Lalu Paulus mengambil konsep dari Bilangan, karena roti sulung untuk Tuhan, maka seluruh gandum dan seluruh roti yang dihasilkan di Tanah Kanaan itu menjadi milik Tuhan. Karena persembahan sulung itu wakil, semua milik Tuhan dan ini diwakilkan oleh persembahan sulung. Bagaimana dengan roti yang lain? Juga milik Tuhan, tapi milik Tuhan yang boleh saya nikmati. Persembahan sulung untuk Tuhan, yang lainnya boleh saya nikmati, tapi ini milik Tuhan. Paulus memakai gambaran ini “kamu umat milik Tuhan”, “iya”, “kamu Israel”, “bukan kami dari bangsa lain”, “kalau begitu kamu maupun Israel berbagian di dalam roti sulung, berbagian di dalam pohon zaitun”. Maksudnya adalah sama seperti roti sulung itu kudus, demikian kamu juga kudus. Sekarang pertanyaannya adalah roti sulungnya siapa? Kemudian pohon zaitunnya siapa? Saudara bisa tafsirkan Kristus, tapi kalau kita membaca bagian selanjutnya, kita melihatKristus itu adalah yang menopang seluruhnya. Dia bukan roti sulung dan bukan pohon zaitunnya. Lalu siapa roti sulung dan pohon zaitun? Saya setuju tafsiran yang mengatakan Abraham adalah roti sulung dan pohon zaitun itu. Kristus adalah yang menerima bukan persembahannya. Kristus adalah yang terima roti sulung itu, Kristus adalah yang membuat pohon zaitun itu mempunyai getah dan minyak yang berguna. Kalau begitu pohon zaitun atau roti sulung yang utama bukan Israel, tetapi Abraham. Maka Surat Roma mengarahkan semua orang percaya untuk melihat perjanjian yang mereka miliki sebagai perjanjian yang diwakili oleh Abraham. Abraham tidak hanya mewakili Israel, mewakili bangsa-bangsa lain juga. Karena Tuhan berjanji kepada Abraham, “Aku akan membuat keturunanmu menjadi berkat bagi banyak bangsa”. Jadi banyak bangsa sudah diinklusikan, sudah dimasukkan oleh Tuhan ke dalam perjanjianNya dengan Abraham. Di sini kita mengerti berapa besarnya tokoh namanya Abraham ini. Tapi kalau kita lihat kehidupan Abraham, kita tidak terlalu lihat ada kehebatan iman yang dipamerkan. Kalau Saudara membaca kehidupan Abraham, Saudara sadar Abraham tidak kerjakan mujizat apa apa. Berapa orang disembuhkan oleh Abraham? Apa sumbangsih Abraham? Kalau kita bandingkan Abraham dengan Musa, Saudara langsung tahu Musa jauh lebih spektakuler dari Abraham. Abraham tidak pernah membelah apa pun yang berbentuk cairan. Musa diizinkan Tuhan membelah Laut Merah. Musa punya posisi begitu penting, begitu hebat. Waktu orang Israel ada di padang gurun, lewat siapa Tuhan memberkati mereka dengan makanan? Meskipun dari Tuhan, tapi Tuhan izinkan Musa. Tapi heran, di dalam tradisi Israel yang sombong itu, yang sukanya tanda, entah mengapa mereka tetap menghargai Abraham lebih daripada Musa. Seringkali kita menjadi orang Kristen yang ingin spektakularitas kita menonjol “kamu jadi orang Kristen yang harus berprestasi”. Kalau kamu gagal, kamu akan minder. Tapi, Tim keller pernah mengatakan jangan menjalankan kehendak Tuhan dengan dosa, tidak bisa. Kalau orang mengatakan “saya mau PI”, itu bagus. “Betul pak, saya mau penginjilan ke pacar yang belum Kristen”, “mengapa kamu pacaran dengannya kalau belum Kristen?”, “karena jiwa PI saya besar”, tidak, jangan bohong. Bukan jiwa PI-nya yang besar, tapi jiwa memandang wajah cantiknya yang tidak bisa hilang. Jangan melakukan hal yang benar dengan cara yang salah, righting the wrongs by the wrong, ini istilah etika. Membuat yang benar jadi benar dengan cara yang salah, righting the wrongs by the wrong. Kalimat ini lumayan lucu, ini terkenal sekali di dalam pelajaran etika. Waktu Saudara melihat sepertinya ada baiknya punya ambisi menjadi baik, tapi yang Tuhan inginkan kita waspada adalah 2 hal kemalasan dan ambisi pribadi yang akan mematikan kita. Kemalasan jelas tidak boleh ada, sekarang kita perlu skill, perlu kerohanian yang tepat untuk meniadakan kemalasan, mengerjakan dengan tekun, tapi bukan dengan motivasi ambisi pribadi. Bagaimana caranya? Itu yang cara Kristen. Cara Kristen bukan malas. Kita tidak boleh begitu, tidak boleh mengatakan “saya tidak ada ambisi, saya rendah hati”, benar tidak ada ambisi itu bagus, tapi malasnya itu tidak baik. Malas bergaul, malas berelasi dan membangun komunikasi. Kemalasan kita membuat kita enggan melakukan apa yang kita tidak suka. Kalau kita tidak mau melakukan yang kita tidak suka, karena itu kita tidak suka, padahal itu penting, kita malas. Jadi Tuhan tidak mau dosa kemalasan, tapi Tuhan juga tidak ingin kita mematikan kemalasan dengan ambisi pribadi yang yang kacau. “Aku ingin jadi orang Kristen terbaik”, tidak ada orang Kristen terbaik. Stanley Hauerwas diberikan penghargaan sebagai teolog terbaik, lalu dia bingung “saya tahunya teolog itu teolog biblika, theolog sistematika, teolog historika, teolog filosofi, tidak ada teolog terbaik”, jadi dia menolak penghargaan itu. Jadi Saudara dan saya ini tidak bisa pakai ambisi untuk mengatakan “saya mau jadi rajin, maka saya punya ambisi untuk jadi hebat”. Begitu Saudara hebat, Saudara sombong. Begitu gagal hebat jadi minder atau jadi putus asa. Ini tentu bukan sesuatu yang baik. Ketika kita mengatakan “saya ingin dipakai Tuhan”, keinginan untuk menjadi hebatnya itu yang mungkin kita harus hati-hati. Karena kita lihat Abraham, bukan pameran spektakuler yang Tuhan nyatakan lewat dia. Waktu Tuhan memanggil Abraham, pamerannya itu adalah kebaikan Tuhan. Abraham jadi tokoh paling besar karena kebaikan Tuhan yang Tuhan utamakan. Mengapa Musa tidak sebesar Abraham? Karena waktu Tuhan menyatakan kesetiaannya kepada Musa, kesetiaan kepada Israel itu berdasarkan kesetiaan Tuhan kepada Abraham. Abrahamlah yang sulungnya. Mengapa Tuhan membebaskan Israel dari Mesir? Ada 2 alasan utama yang pertama “Aku kasihan melihat kamu”, Tuhan tidak tahan melihat ketidak-adilan. Tuhan tidak tahan melihat penindasan, siapapun yang melakukan penindasan, Tuhan akan marah. Suami menindas istri, Tuhan marah kepada suami itu. Istri menindas suami dengan kata-kata pedas, Tuhan marah kepada istri itu. Mesir menindas Israel, Tuhan marah kepada Mesir. Tetapi bukan cuma itu, Tuhan mengatakan “Aku juga mengingat janjiKu kepada Abraham, Ishak dan Yakub”. Siapa yang utama dari Abraham, Ishak dan Yakub? Tentu Abraham. Jadi kita melihat Abraham adalah tokoh yang tidak spektakuler, tetapi menjadi tokoh utama di dalam kisah Israel. Di dalam pengharapan Israel, di akhir zaman nanti, Saudara akan makan per meja, ini seperti kalau pemberkatan nikah pakai buka meja. Lalu kepala meja itu ada banyak, salah satunya Abraham, meja paling utama itu Abraham. Jadi siapa duduk di mejanya siapa itu penting. Ini secara unik dijadikan perumpamaan oleh Tuhan Yesus, Lazarus mati dan dibawa oleh para malaikat kepangkuan Abraham atau ke sebelahnya Abraham, ke tempatnya Abraham, mejanya Abraham. Mengapa Lazarus di tempat utama? Para imam mengejar tempat itu. Orang-orang hebat mengejar tempat itu, tapi mengapa Lazarus yang mendapatkannya? Kalimat dari Yesus di dalam Injil Lukas simpel, “karena ya anakKu, kamu sudah terima semua yang baik di bumi, sedangkan dia tidak. Dia dikecualikan dari segala berkat Tuhan di bumi, sekarang dia boleh dapat”, kalimat ini jarang kita pikirkan. “Kamu sudah senang hidupnya di bumi, maka Aku tidak berikan apa-apa lagi nanti. Dia tidak senang hidupnya di bumi, maka Aku akan memberikan kelimpahan nanti”. Kadang-kadang kita tidak mengerti ini, kita mencari kesenangan di bumi. “Saya mau punya uang banyak, saya mau punya rumah yang bagus, saya mau punya keadaan yang menyenangkan, mengapa Tuhan tidak berikan?”. Lazarus tidak dapat, tapi dia dapat di tempat utama nantinya. Maka saya ingin kita reconsider our happiness, mempertimbangkan lagi kesenangan kita. Apa yang membuat kita senang? Kalau Saudara mengatakan “kehidupanku sekarang harusnya membuat saya senang”. Lihat Lazarus, dia setiap hari berjuang untuk mendapat roti buangan. Orang-orang Yahudi mengikuti budaya Yunani, kalau mau membersihkan tangan mereka pakai roti karena itu yang paling mungkin untuk dibuang. Tidak mungkin membersihkan pakai kain, kain lebih mahal dan mengotori kain itu tindakan yang rugi sekali. Ini yang dikejar Lazarus, dia tidak bisa punya makanan, dia kejar sampah. Lalu dia harus bersaing dengan anjing, bayangkan ya anjing juga mengejar ini biasanya. Di tempat sampah orang Yunani dan juga di dalam tradisi Israel mungkin ada sebagian, tapi jarang mereka izinkan anjing berkeliaran. Dalam tradisi Yunani, anjing itu berkeliaran di dekat tempat sampah untuk membuang roti bekas ini dan Lazarus ada di situ, di tempatnya anjing. Dia bertarung dengan anjing untuk mendapat roti dan tidak sanggup. Maka akhirnya dia mati. Kasihan sekali, ini keadaan sangat kasihan. Lalu Tuhan mengatakan “kamu sudah enak di bumi, masih mau enak juga di sini? Tidak, Aku mau memberikan yang enak kepada mereka yang sengsara di bumi ini”. Kalimat ini mungkin kita mesti pikirkan lebih baik lagi karena di satu sisi Injil menekankan siapa beriman diselamatkan. Tapi di sisi lain didalam kerajaan yang baru ada keseimbangan, siapa yang terlalu mencari hidup enak dan terlalu menikmati hidup enak, bahaya. Saudara dan saya bisa punya uang banyak, tapi menikmati uang banyak terus itu membuat Saudara terlena, mengecualikan diri Saudara dari berkat yang Tuhan mau siapkan di dalam kelimpahanNya nanti. Yang punya uang banyak, simpan uangmu, lalu belajar hidup sulit. Belajar hidup seperti uangnya kurang. Jangan terlalu enak dengan limpahnya uang. Saudara jauh dapat berkat lebih besar ketika Saudara membiasakan hidup di dalam level yang perlu untuk apa yang perlu ke luar dan di dalam level yang minim untuk hal yang tidak perlu banyak uang keluar. Kadang-kadang orang habiskan begitu banyak uang hanya untuk makan, makan tidak perlu pakai uang banyak. Tidak perlu bayar terlalu mahal untuk dapat makanan yang baik. Demikian juga di dalam banyak kemewahan yang tidak perlu, terlalu banyak kita kejar hal-hal tersebut. Tapi Tuhan mengingatkan yang sengsara, yang sulit, yang miskin, yang menderita, yang terus sulit bergumul dengan kemiskinannya, mereka lebih diingat Tuhan dari pada orang yang foya-foya senang hidup di dalam dunia ini. Berkat Tuhan adalah uang banyak, termasuk itu berkat Tuhan, tapi siapa yang terlalu terbiasa hidup pakai uang banyak, dia akan dikecualikan dari berkat yang Tuhan mau konsentrasikan di dalam zaman yang baru. Kalimat ini ada di dalam contohnya Tuhan Yesus juga, kata Tuhan dalam cerita itu memakai perkataannya Abraham “anakku engkau sudah dapat terlalu banyak kebaikan di dalam hidupmu sebelumnya, Lazarus tidak. Sekarang aku perhatikan dia, sedangkan kamu tidak”, seharusnya itu tidak apa-apa, ini kehendak Tuhan. Abraham menjadi tokoh utama. Mengapa dia menjadi tokoh utama? Karena Tuhan baik bukan karena Abraham spektakuler. Siapa mau jadi anak Abraham? Pamerkan baiknya Tuhan bukan spektakulernya kamu. Israel pamerkan spektakulernya mereka menaati Taurat, tapi mereka gagal, “kami ini umat yang hebat”, “hebat apanya? Kamu gagal”.