Jadi apakah rencana Tuhan bergantung pada kelangsungan dari kesetiaan Israel supaya rencanaNya jadi? Ternyata tidak. Tuhan tidak perlu kelangsungan rencanaNya terjadi karena Israel setia terus. Bahkan ketidak-setiaan Israel pun Tuhan pakai untuk menggenapi rencanaNya memanggil bangsa-bangsa lain. Ini menjadi sebuah peringatan bagi Saudara dan saya, biar kita punya hati yang takut akan Tuhan. Kita terus senang mendengarkan pernyataan bahwa Allah itu adalah Allah yang penuh cinta kasih, Allah yang penuh belas kasihan, Allah yang penuh kesabaran. Tapi harap kita juga terima peringatan-peringatan seperti ini bahwa Allah adalah Allah yang akan memakai rancanganNya di dalam pekerjaan di dalam sejarah. Dan akan membawa rancanganNya kepada kesempurnaan. Dimanakah kita? Apakah kita punya niat supaya pekerjaan kita dilibatkan oleh Tuhan? Jika iya, maka belas kasihan Tuhan akan berlimpah atas Saudara. Apa yang Saudara usahakan, Tuhan akan pakai. Ini yang saya bahas di pertemuan minggu lalu, dalam Perjamuan Kudus kita diingatkan bahwa Roh Kudus memakai semua pekerjaan kita yang kecil sekalipun dan menjadikannya sesuatu yang signifikan untuk kesempurnaan rencana Tuhan. Jadi kalau kita mau datang kepada Tuhan dan mengatakan “Tuhan, pakai hidup saya, pakai apa yang selama ini saya kerjakan, di dalam segala kelebihan maupun kekurangannya. Mahkotai kelebihannya, ampuni kekurangannya. Tolong nyatakan pekerjaanMu dan pakai apa yang saya kerjakan untuk menggenapkan rencanaMu. Karena saya sangat ingin ketika Sang Raja dari Sion menyatakan kerajaanNya, saya sangat ingin dilibatkan. Meskipun hanya kecil, saya sangat ingin berbagian, meskipun seperti tidak berarti”. Di dalam Confession, Agustinus berdoa seperti itu, dia mengatakan “Tuhan, jika ada hal yang buruk dan itu pasti banyak dari pekerjaanku, mohon pengampunanMu karena saya hanya bisa menghasilkan yang buruk. Orang cemar seperti saya mana bisa mengerjakan hal yang baik, orang yang berdosa seperti saya mana bisa memberikan yang baik bagi Tuhan. Tapi jika Engkau menemukan ada yang baik, ada yang mulia, ada yang berharga di mataMu, segera mahkotai sebab itu pekerjaanMu”. Ini kerinduan besar yang saya sangat ingin panjatkan kepada Tuhan. Dari segala hal yang saya kerjakan, banyak yang gagal, banyak cemar, banyak salah, banyak bodoh, banyak tidak mengerti, banyak salah ambil keputusan, banyak salah strategi, banyak kurang pintar, banyak kurang tepat. Tapi mohon jika ada Tuhan menemukan baik di dalam segala pekerjaan yang saya buat, segera mahkotai supaya semua orang tahu ini adalah Tuhan yang kerja dan libatkan ketika Tuhan menyatakan kegenapan rencanaNya. Saya ingin berbagian. Ini namanya anak-anak kerajaan. Anak-anak dari Kerajaan Allah ingin berbagian di dalam kerajaan itu. Petrus mengatakan “kita ini adalah batu yang Tuhan akan pakai untuk sebuah bangunan Bait yang Tuhan sudah mulai dari Kristus ketika Dia mati dan bangkit”. Berarti kita sudah pasti dilibatkan. Tapi bukankah kita ingin supaya lebih banyak lagi hal yang bisa kita kerjakan untuk dipakai Tuhan? Sehingga ketika Tuhan menyatakan kegenapan rencanaNya, pada waktu itu kita melihat Tuhan sudah memakai kita juga, kecil, sedikit, tapi sangat mulia oleh karena Tuhan yang mengerjakannya. Hidup kita tidak ada arti ketika kita lihat pada ujungnya yang kita kerjakan adalah sesuatu yang menguap begitu saja. Ini yang menjadi pergumulan di dalam Kitab Pengkhotbah. Kitab Pengkhotbah mengingatkan bahwa hidup yang sia-sia akan menguap begitu saja, seperti embun yang habis ketika matahari sudah bersinar. Ketika Tuhan membawa pekerjaan finalNya datang, ketika Tuhan sempurnakan pekerjaanNya di bumi, lalu kita merenung “Tuhan, yang Engkau kerjakan begitu mulia. Apakah yang saya kerjakan akan tetap Engkau pakai?”. Ketika Tuhan mengatakan “yang kamu kerjakan tidak Aku pakai, tapi perlawananmu tetap Aku pakai untuk memuliakan Aku”, itu yang paling mengerikan. Jadi kelompok pertama adalah orang yang ketika Kerajaan Tuhan dilibatkan, Tuhan mengatakan “yang engkau kerjakan, Aku sudah terima. Dan Saudara akan kaget “mengapa Tuhan terima?”, saya sudah mengadakan evaluasi sendiri dan ketika saya mengevaluasi saya menemukan banyak yang salah di dalam pekerjaanku. Tapi Tuhan akan mengatakan “Aku yang akan menyempurnakan. Pekerjaanmu seperti sia-sia karena kegagalanmu. Tapi karena hatimu tulus di hadapanKu, Aku memurnikannya”, ini yang dihargai oleh Tuhan. Dunia menghargai hasil akhir yang terlihat. Orang akan melihat kalau pekerjaanmu menghasilkan, kalau kamu mempunyai strategi membuat keuntungan yang besar, kalau apa yang kamu kerjakan membuat banyak orang langsung mendapat berkat, maka kita langsung memberikan penghargaan, itu wajar. Karena Saudara tidak bisa menilai motivasi, tapi Saudara bisa menilai hasil yang dinyatakan, ada hasil yang bisa menjadi bukti dari keseriusan dan ketekunan seseorang. Tapi Tuhan punya penilaian jauh lebih dalam, ada orang-orang yang kita anggap tidak berhasil, ternyata Tuhan angkat. Ketulusan hatinya Tuhan hargai. Maka ketika orang dengan tulus hati mengatakan “Tuhan, pakai hidup saya, pakai hari-hari saya, pakai bakat saya, pakai keputusan saya di dalam dunia kerja saya, pakai pelayanan saya di gereja, pakai apa yang saya nyatakan untuk memberkati orang, pakai apa yang saya lakukan untuk menolong orang, pakai apa yang saya berikan untuk menolong orang. Strategi saya sering salah, yang saya kerjakan seperti berhenti karena saya tidak pintar, tapi saya persembahkan bagi Tuhan”, dan Tuhan akan memberikan mahkota karena Tuhan tetap pakai. Itu orang pertama.

Lalu orang kedua adalah orang-orang yang mengabaikan rencana Tuhan karena memikirkan diri. Terus pikir “bagaimana saya bisa hidup bagi diri, bagaimana kepenuhan itu didapatkan di dalam hidup saya?”. Dan kadang-kadang Tuhan mengizinkan kita mencapai apa yang kita mau, tetapi tanpa niat untuk mengekspresikan kasih, tanpa niat untuk mengerjakan hidup bagi Tuhan maka kita akan menjadi orang yang sangat menyesal. Ketika Tuhan menggenapi pekerjaanNya, Tuhan mengatakan “engkau boleh berbagian, tapi pekerjaanmu tidak layak masuk”. Dan kita kaget “mengapa pekerjaan saya tidak layak masuk? Saya sudah kerjakan begitu banyak hal”, dan Tuhan akan mengatakan “semua yang kamu kerjakan untuk dirimu, apa pun yang kamu kerjakan untuk dirimu”. Ketika kita mengatakan “mahkotai aku, ini menujukkan betapa hebatnya aku”, Tuhan akan mengambil mahkota itu dan mengatakan “oke, sampai ini saja, Aku tidak akan memakai ini”. Kadang-kadang ada satu kekhawatiran ketika masuk ke dalam keadaan final, kita bertanya “bagaimana saya sudah menjalani hidup?”. Tapi waktu Saudara tanya itu di dalam keadaan final, sudah terlambat. Leonard Ravenhill pernah mengatakan bahwa 1 menit pertama di dalam kekekalan akan kita pakai dengan menyesal. Jadi menit pertama terus menyesal “mengapa kurang rajin, mengapa kurang giat, mengapa terlalu malas, mengapa terus menahan diri untuk berbagian, mengapa egois, mengapa tidak peduli, mengapa mengabaikan, mengapa terlalu sabar dengan diri yang sangat egois dan perhatikan diri saja”, ini 1 menit pertama katanya akan begitu. Lalu Ravenhill mengatakan “menit kedua akan menangis”, jadi menit pertama sadar “saya kurang giat”, menit kedua menangisi, kemudian menit ketiga menyadari sudah tidak bisa diubah, mau bagaimana? Ini 3 menit paling mengerikan di dalam hidup. Ravenhill mengatakan 3 menit paling mengerikan, jauh lebih menakutkan dari semua hal yang pernah engkau alami dalam hidup. Engkau pernah mengalami bahaya, kesedihan, kegalauan, pernah mengalami segala bentuk hal yang menggentarkan karena kehidupan yang berat. Tapi Ravenhill mengatakan tidak ada yang lebih berat dari 3 menit pertama ini, ketika engkau menyadari “saya kurang hidup bagi Tuhan”, ketika engkau menyadari “saya menangis pun percuma dan menyesal”, tidak ada yang bisa mengubah itu. Ini sesuatu yang harusnya dipikir sekarang. Mari mulai pikir, kita hidup untuk siapa, untuk Tuhankah? Kalau untuk Tuhan, mari doa kepada Tuhan “Tuhan, apa yang saya kerjakan, yang saya usahakan sangat-sangat remeh dan cemar. Kadang-kadang saya salah, terlalu memikirkan diri. Tapi saya tahu seharusnya tidak begini”, dan Saudara mau kembali kepada Tuhan. Tuhan kita penuh belas kasihan, Tuhan tidak menuntut standar sempurna dulu baru kemudian Dia mengatakan “sudah sempurna atau belum? Kalau sudah sempurna, baru Aku mau pakai”, tidak seperti itu. Kesempurnaan itu tidak indah, ini mungkin mengagetkan, karena kita terbiasa dengan ideal beauty dari Yunani. Ini juga yang dipahami dalam neo-classic. Orang neo-classic dan Yunani-classic, neo-classic itu abad 18 akhir sedangkan Yunani-classic itu abad ke-5 sebelum Masehi, jauh sekali bedanya. Neo-classic menggali kembali Yunani-classic, dan di dalam konsep Yunani-classic, keindahan itu adalah kesempurnaan. Ada ideal beauty, kesempurnaan yang tak bercacat, ada proporsi yang akurat, ada segala sesuatu yang sangat tepat. Ketepatan, proporsional dan keakuratan, inilah keindahan. Tapi di dalam sejarah seni, ini sering dikritik karena kesempurnaan itu bukan keindahan. Keindahan itu adalah penggabungan antara keterbatasan dan pergumulan di dalam ciptaan dengan pengharapan penggenapan dari Tuhan. Ini namanya beauty menurut Kristen. Menurut Kristen, beauty bukan mendekat ideal. Menurut orang Kristen, beauty adalah penggambaran realita di dalam pengharapan akan kesempurnaan. Seni yang sejati itu tidak berusaha untuk menjadi sempurna. Seni sejati menunjukkan realita yang berpengharapan. Ini beda dengan idealnya Yunani, karena Yunani tidak mengerti penebusan, mereka tidak punya pengharapan. Mereka cuma tahu dunia itu terbagi menjadi 2, yang cemar atau yang terbatas dan yang sempurna. Yang terbatas dan yang sempurna, yang jelek dan yang bagus, kita di tempat yang jelek dan ingin loncat ke tempat yang bagus. Tapi Tuhan tidak punya dua dunia begini, Tuhan punya satu alam, satu ciptaan yang Dia akan tebus. Maka orang Kristen mengerti keindahan sebagai keterbatasan, ketidak-mampuan yang berpengharapan. Maka kalau Saudara lihat di dalam ekspresi seni Kristen, yang membuat kita kagum bukan karena gambaran yang sempurna, termasuk ketika keindahan dari tokoh Alkitab dipresentasikan oleh Kitab Suci. Kitab Suci tidak menggambarkan orang ideal yang tidak bercacat, selain Kristus tentunya. Kitab Suci tidak menggambarkan tokoh-tokoh yang tidak pernah bersalah. Kitab Suci menggambarkan tokoh-tokoh yang mati-matian bergumul untuk hidup tepat di hadapan Tuhan, tapi menemukan diri mereka terlalu lamban, terlalu bodoh, terlalu cemar untuk bisa tepat di hadapan Tuhan. Kesalahan demi kesalahan diberikan, dan Tuhan yang Pemurah, Tuhan yang Pengasih tetap mengatakan “Aku libatkan pekerjaanmu. Nanti ketika KerajaanKu datang, mari bersukacita bersama dengan Aku, mari menikmati semua persembahan yang engkau berikan untuk menyatakan kemuliaan Tuhan”. Mari punya kehidupan seperti ini. Ini tipe yang pertama, berikan untuk Tuhan dan setiap kegagalan, kelemahan, Tuhan tetap akan mahkotai. Kadang-kadang kita memberikan penghakiman kepada orang lain jauh lebih kejam dari pada Tuhan. Tapi saya senang ada satu kalimat yang saya baca dua hari yang lalu, dikatakan “mengapa penghakiman manusia lebih ketat dari pada Tuhan, lebih kejam, standarnya lebih tinggi?”, karena manusia tidak bisa menebus. Jadi ketika saya melihat orang, saya sudah melihat dia seperti itu, saya sudah menghakimi dia seperti itu. Tapi tidak demikian Tuhan, Tuhan melihat kita rendah tapi Tuhan punya kekuatan menebus, maka Dia akan memproses kita lebih baik. Kalau Saudara melihat orang, mungkin mudah kecewa. Tuhan tidak kecewa, karena Tuhan bisa ubah orang itu, bisa memberikan penebusan. Makanya kadang-kadang manusia lebih kejam menilai orang lain, dari pada Tuhan. Waktu kita berikan penghakiman, sudah selesai, sudah final, pokoknya manusia seperti ini, “saya sudah nilai kamu, kamu orang gagal. Gereja sudah salah, orang ini sudah salah”. Semua kita berikan penilaian yang sangat ketat dan kita lupa menilai diri kita dengan standar yang sama. Kasihan sekali, kita sering mendengarka khotbah, lalu mulai persalahkan orang, “seperti di dalam khotbah, demikian kesalahanmu”. Tapi kita lupa koreksi diri dan kita tidak punya kekuatan menebus. Tuhan melihat kita, Tuhan tahu lemahnya kita. Tapi ketika hati kita ada pada Tuhan dan mengatakan “Tuhan, saya tahu yang paling penting itu KerajaanMu, dan saya sedang berbagian di dalam hal yang kecil. Bolehkah Tuhan pakai”, atau seperti doa Agustinus, “mahkotailah ya Tuhan”. Ini kelompok pertama.

« 3 of 4 »