Yang pertama saya kutip dari seorang bernama David Morgan. Dia adalah profesor seni dan Kekristenan. Dia tulis buku yang sangat populer, The SacredGaze. Dia mengatakan bahwa budaya, visual, religi, religius, religius visual culture itu sangat penting. Kalau ini tidak ada, Saudara akan terbiasa melihat tapi baca hal yang lain. Jadi dia menekankan pentingnya punya religius visual culture. Dikatakan di dalam bukunya, kita perlu untuk punya sense bahwa dunia ini teratur. Jadi Saudara dan saya perlu memahami bahwa dunia ini teratur. Kalau tidak, kita akan error, kita akan rasa ada yang salah. Kalau Saudara melihat ada yang tidak teratur, Saudara coba tafsirkan. Saudara coba lihat dari gambaran lebih besar mengapa tidak teratur, “ini tidak teratur karena sementara”, tapi di dalam gambaran total teratur, ini yang membuat kita tenang. Kalau ternyata dunia kita tidak acak, tidak random, tidak kacau, tidak tidak teratur. Jadi kalau kita tahu dunia ini teratur, kita akan tenang. Kalau dunia tidak teratur atau tidak bisa dipahami, kita akan gelisah. Makanya saya tidak mengerti mengapa orang Agnostik bisa tenang hidupnya. Kalau orang mengatakan “saya tidak percaya Tuhan ada”, mengapa ada keteraturan di dunia? “Di dunia tidak ada keteraturan. Kita cuma anggap ini keteraturan, padahal tidak teratur”, “mengapa kamu tenang hidupnya?”. Saya tidak mengerti orang kadang-kadang begitu terpecah, dia tetap tenang meskipun konsep dia tentang dunia begitu kacau. Kalau dunia ini begitu kacau, maka Saudara tidak lagi punya sense, Saudara tidak akan punya kewarasan, ini sesuatu yang penting untuk dipahami. Jika saya tidak percaya dunia ini teratur, saya akan jadi gila. Saya tidak mungkin waras. Jadi kalau ada orang agnostik atau orang ateis bahkan, dan dia masih waras, ada yang salah dengan dia. Dia harusnya gila. Mengapa dia harusnya gila? Karena tidak ada lagi yang teratur. Kalau kamu mengatakan keteraturan itu ilusi, berarti tidak ada keteraturan, berarti Saudara bisa bangun pagi dan Saudara ada di planet lain atau Saudara bisa bangun pagi dan Saudara adalah seekor serigala. Mengapa harus bangun pagi sebagai manusia? “Karena kemarin malam saya tidur manusia, masa bangun-bangun serigala”, kan tidak ada keteraturan. Mengapa engkau tetap mengasumsikan keteraturan “kalau saya tidur sebagai manusia, bangun-bangun harus manusia. Kalau saya tidur di sebuah kamar, saya bangun-bangun harus di kamar yang sama. Kalau tidak, berarti ada yang pindah kan saya”. “Mengapa harus ada yang pindah kan? Mengapa tidak terima fakta bahwa kamar memang bisa berubah-berubah otomatis”, kan tidak bisa ya? Jadi Saudara tidak bisa menghidupi worldview tanpa Tuhan. Ini yang orang sering kali tidak mengerti. Ketika berdiskusi dengan anak-anak muda yang mulai terganggu imannya, saya sering tekankan hal ini. Tapi heran ini seperti sulit sekali dimengerti, seperti ada yang menghalangi mereka untuk berpikir nalar, berpikir waras, berpikir biasa. “Kalau kamu mengasumsikan ada keteraturan berarti ada yang mengatur”. Tapi orang mengatakan “keteraturan itu pasti harus ada. Tapi yang mengatur tidak boleh ada”, itu aneh, mengapa begitu? Mengapa orang begitu menentang ide tentang Tuhan, tapi menerima ide tentang keteraturan? Bagaimana bisa klop dua hal ini, tidak ada Tuhan tapi ada keteraturan, saya tidak mengerti. Jadi tolong berikan pengertian kepada saya yang sederhana ini. Tapi orang yang tidak ber-Tuhan, mau coba memberi pengertian, saya juga tidak mau dengar, takut saya jadi gila seperti mereka. Karena “pokoknya saya tidak mau terima Tuhan, tapi saya terima keteraturannya”, bagi saya itu tidak masuk akal sama sekali. Maka David Morgan mengatakan, yang terjadi pada kita, orang-orang sekuler, sebenarnya bukan karena kita menolak Tuhan, tapi karena kita terbiasa menafsirkan alam dengan menyingkirkan Tuhan. Agama-agama menyingkirkan kita dari Tuhan, tapi agama yang saya maksud disini Kekristenan. Kalau agama disingkirkan, Kekristenan diabaikan orang akan berusaha pahami alam dengan alternatifnya. Ini yang sebenarnya dibangun di dalam dunia sekuler. Dunia sekuler sedang berusaha membangun alternatif dari Kekristenan. “Pokoknya apapun asal jangan Kristen. Ayo kita pikirkan segala sesuatu asal bukan Kristen”. Sayangnya orang Kristen ikut-ikutan ide ini dengan mengatakan “tidak yang benar itu Kristen kita singkirkan science”, ini kebodohan level 2. Kalau kebodohan agnostik, kebodohan level 1, ini kebodohan level 2. Masih beriman tapi maaf, bodoh. Bodohnya di mana? Karena tidak mengakui signifikansi penyelidikan scientific. Ilmu itu penting. Kalau kita bilang “ilmu tidak penting, yang penting iman kepada Kitab Suci. Kitab Suci mengatakan alam ini ciptaan Tuhan dan karena Tuhan ciptakan, maka Tuhan memberikan sifatNya di dalamnya. Ada kutipan bagus sekali dari Calvin, dia punya institusi itu saya pikir, itu karya yang harusnya dibaca oleh para hamba Tuhan. Tapi saya pikir jemaat juga harus baca. Di dalam buku satu di bab yang keempat, Calvin mengatakan, cobalah belajar menyenangi pekerjaan Tuhan di dalam teater yang indah. namanya alam ini, cobalah. Jadi Calvin suruh kita coba menikmati seolah-olah Calvin mengatakan “saya sudah, sekarang kamu cobalah”. Seperti orang baru dengar konser di concert hall ASJ lalu bilang “bagus banget, ayo kamu mesti nonton”. Ini yang  Calvin katakan “saya baru nonton”, “nonton apa?”, “nonton di teater”, “teater apa?”, “teater kemuliaan Tuhan”. Kemuliaan Tuhan maksudnya bagaimana? Seluruh alam, saya menyaksikan kesenangan yang suci. Kesenangan suci dari mengamati seluruh alam ciptaan Tuhan. Dan Calvin mengatakan ini dibuka oleh Tuhan untuk kita masuk. Saudara diundang untuk menikmati. Calvin bisa punya pikiran ini, dia melihat alam dan dia melihat hal yang indah di dalamnya. Apakah ini cuma Calvin? Tidak. Sejarah Kristen sudah mempunyai ide ini dari awal. Dari sejak Agustinus, Agustinus di dalam Confessions mengatakan, dia selalu tiap kali lihat alam, dia selalu merasa seperti anak kecil masuk ke bengkel atau workshop papanya. Papanya punya workshop, begitu banyak barang-barang yang dia tidak ngerti. Tapi dia tahu papanya orang ahli jadi alat-alat yang dia tidak mengerti pasti berguna. Sayang saya belum tahu. Ini yang Agustinus bilang waktu dia lihat alam, dia lihat banyak hal yang dia belum mengerti, tapi dia tahu “Bapaku menggunakannya untuk kemuliaanNya”. Itu sebabnya bagi Agustinus, cara menafsir hermeneutika, cara menafsir apapun, menafsir tulisan, menafsir hidup, menafsir alam selalu harus berujung pada kemuliaan Tuhan, menikmati kemuliaan Tuhan, take delight in God’s glory, menikmati Tuhan itu mulia. Itu yang saya mau nikmati, saya mau belajar menikmati kemuliaan Tuhan, maka saya menyelidiki alam. Saya ingin menikmati kemuliaan Tuhan, maka saya melakukan penyelidikan ilmu pengetahuan. Jadi saya belajar supaya saya bisa tahu kemudian Tuhan. Kalau orang melakukan tindakan ilmiahnya dengan tujuan ini, maka dia akan menikmati Tuhan sebenarnya. Kita tidak bisa abaikan fakta bahwa alam ini dari Tuhan, seperti yang Bavinck katakan. Di dalam ide dan pikiran Tuhan itu ada, Tuhan sudah rancang semuanya dan sekarang Dia nyatakan. Maka tidak mungkin yang Tuhan nyatakan bisa dipahami terpisah dari Tuhan yang punya ide tentang ciptaan ini. Ini mirip dengan kalau Saudara lihat lukisan yang agung, Saudara ingin tahu apa artinya. Kalau Saudara ingin memahami alam ciptaan, tapi Saudara mengatakan “pokoknya tidak ada pencipta ini. Alam ini natur, natural, alami, saya naturalis. Saya tidak percaya ada Tuhan”, kamu tidak akan bisa punya pengertian tentang alam. Tidak mungkin bisa, omong kosong kalau bisa. Tapi kalau Saudara mengatakan ada Tuhan, maka karakterNya Tuhan, sifatNya Tuhan, adilNya Tuhan, setiaNya Tuhan akan tercermin di dalam alam ciptaan ini. Ini sesuatu yang gampang, sebenarnya. Pikiran kita lebih gampang tertata kalau kita memahami hal seperti ini. Tapi orang itu memang senangnya rumit, hidup sudah rumit, dibuat rumit lagi. Kalau Saudara bilang “khotbah bapak juga rumit”, tidak, kalau Saudara sudah mengerti yang saya maksudkan, Saudara akan jauh lebih gampang menerima. “Berarti alam perlu Allah, harus ada Pencipta, tidak bisa ciptaan tanpa Pencipta, tidak bisa natural ada sendiri, harus ada Pencipta. Mengapa? Karena kalau tidak, kamu harus sulap pikiranmu, berpikir sedemikian kreatif dan cenderung gila untuk memahami ciptaan. Saudara bayangkan keindahan menerima ada Allah dan ada ciptaan, makin Saudara belajar 2 kaitan ini antara Allah dan ciptaan, itu makin erat kelihatan. Tapi mengapa zaman sekarang orang sulit sekali menerima fakta bahwa Allah itu mencipta. David Morgan mengatakan, karena kita dilatih untuk tidak mempunyai religius visual culture, kita tidak terbiasa untuk punya pemandangan yang sifatnya agama. Kita terbiasa menafsirkan segalanya tanpa Tuhan. Kebiasaan ini dari mana? Dari budaya sekeliling kita. Misalnya sekarang kalau musik, Saudara akan mulai dengan musik yang sifatnya sekuler. Saudara dengar musik apapun, sekularitas musik itu yang kelihatan. Musik itu tidak mereferensikan diri ke Tuhan. Jadi Saudara mendengarkan musik yang tidak mengklaim diri sebagai musik untuk pengagungan Tuhan. Kita terbiasa dengan musik seperti ini, Saudara dengar musik es krim, pasti musik es krim tidak sedang mengagungkan Tuhan, “Allah pencipta sapi, sapi memberikan susu, susu diolah jadi es krim ini”, tidak ada seperti. Jadi Saudara mendengarkan musik yang tidak langsung berkait ke Tuhan. Saya tidak bilang tidak boleh, jadi musik es krim pun harus pakai Amazing Grace, tidak. Saudara bisa mendengarkan musik-musik yang memang tidak ada referensi ke Tuhan. Tapi yang utama harus musik yang referensinya ke Tuhan. Kalau ini tidak ada, Saudara tidak akan punya tulang punggung untuk memahami musik sekuler. Jadi sekali lagi, saya tidak mengatakan Saudara tidak boleh dengar musik sekuler musik di dunia ini atau nonton film yang temanya bukan Kristen? “Pak, kalau nonton film temanya Kristen, sepertinya 10 tahun sekali baru keluar”, Paulus, Musa, The Ten Commandments. The Ten Commandments kalau saya tidak salah 20 tahun sekali baru keluar film tema begitu, berarti saya nonton 20 tahun sekali. Kalau begitu nonton diharamkan. Kita jadi Kirsten syariah, syariah Kristen mana haram mana halal, lalu kita membuat 2 ini. Kita tanya ke pendeta pun pertanyaan yang bolak-balik itu, “ini haram apa halal?”. Waktu Saudara memahami musik, musik yang sifatnya sekuler, silahkan nikmati tapi itu tidak boleh jadi backbone. Bermusik yang sejati adalah untuk pengagungan Tuhan. Itu sebabnya karya-karya seni di awal awal-awal sekularisme mungkin, awal-awal bertema biasa, seperti Vermeer misalnya. Jan Vermeer itu lukis seorang pembantu sedang tuang susu, ini kan tema yang sangat biasa dan tidak ada Kristen-kristennya sebenarnya, cuma seorang pembantu lagi tuang susu. Tapi Vermeer mengatakan ada keindahan Tuhan di dalam wujud orang sederhana. Tidak harus lukis bangsawan. Ketika itu lukisan yang paling terkenal adalah Night Watch. Night Watch ini adalah lukisan tentang orang-orang kaya di sebuah kota yang latihan militer, bukan untuk perang, karena Belanda pada zaman keemasan sedang tidak perang waktu itu. Mereka latihan militer untuk gaya-gayaan, latihan nembak untuk gaya-gayaan, klub menembak ,lalu pegang senjata. Nanti mereka minta difoto, karena tidak ada foto jadinya dilukis. Mereka mau foto, dilukis, kemudian pelukis-pelukis terkenal yang dibayar dengan bayaran mahal untuk lukis mereka sedang pegang senjata. Vermeer menolak itu, dia lukis orang pembantu, pembantu mana kuat bayar dia untuk lukis dirinya. Tidak ada yang bayar, dia lukis itu secara rela untuk menunjukkan kemuliaan Tuhan pun dinyatakan di dalam kesederhanaan. Tapi lukisan yang bertema bukan agama hanya mungkin bisa dinikmati di dalam kerangka di mana lukisan utama itu bertema agama. Kalau tidak, tidak bisa. Sekarang kita lihat kebalikannya kan? Semua lukisan akan bertema sekuler dan tidak ada agamanya sama sekali. Lalu lukisan utama di mana? Tidak ada, kita kehilangan arah. Maka kalau Saudara punya jiwa seni, coba pikirkan untuk me-redeem kembali lukisan-lukisan bertema agama harusnya jadi dominan, baru nanti yang variasinya bisa muncul. Itu sebabnya zaman ketika lukisan-lukisan dari zaman Baroque, zaman seperti Rembrandt dan lain-lain, itu sangat mungkin untuk melukiskan hal yang sifatnya sekuler, karena backbone utamanya, yang utamanya adalah lukisan bertemakan Kristen. Jadi kalau budaya kita tidak menyadari pentingnya memahami Tuhan lewat seni, kita akan menciptakan seni yang tak ber-Tuhan. Dan seni tak ber-Tuhan ini yang akhirnya membuat kita jadi sekuler. Saya kutip dari seorang bernama Catherine Albanese, dia profesor dari Chicago University, dia juga mengajar religius study. Dia mengatakan agama itu punya 3 unsur penting. Kalau salah satu tidak ada tidak bisa. Yang pertama itu creed, pengakuan iman. Yang kedua codes, etika, yang ketiga adalahcultuses ini adalah ibadah, termasuk seni. Kalau 3 ini cuma salah satu yang ditekankan, tidak bisa. Agama kalau cuma codes, moral, dia habis, Kekristenan jadi liberal. Mengapa liberal? Karena cuma menekankan moral. “Ayo kamu orang Kristen, bersikaplah baik, saling mengasihi, bersikap adil”, tapi cuma di situ, Kekristenan mati. Jadi kalau Saudara heran mengapa zaman begitu sekuler? Mengapa orang tidak mau beragama? Mengapa orang tidak serius di dalam kehidupan Kristen? Karena dihantam dengan melakukan segala hal tanpa Tuhan di situ. Tidak ada religius gaze, kata David Morgan. Tidak ada pemandangan yang kudus. Karena melihat segala sesuatu kita melihatnya dengan tafsiran bahwa segala sesuatu ini tidak harus ada Tuhan. Lalu Tuhan dimana? Tuhan di surga. Mirip anak-anak kalau sudah punya kamar sendiri, “ini kamar bebas orang tua, di sini tidak ada orang tua. Kalau di ruang makan saya mesti sopan. Kalau di ruang tamu saya mesti sopan. Kalau di kamar ”aku bebas”, ada tanda forbodden “papa mama dilarang masuk, papa mamaku dan papa mama orang lain”, ini namanya ruang bebas papa mama. Bumi itu ruang bebas Tuhan, tidak ada Tuhan di sini, Tuhan di surga itu , Tuhan lebih bagus di surga, sudah Tuhan dikurung di surga”, ini yang Calvin bilang orang Kristen akan jadi sangat sangat anti Tuhan. Jika Tuhan dikurung di surga, dimana Tuhan di bumi ini?  Saya mau tanya, Saudara kerja ada Tuhan tidak di situ? Jangan cuma tempel stiker Filipi satu ayat berapa, Yohanes 3:16 tidak ada gunanya. Taruh gambar Yesus di kantormu, tidak ada gunanya. Tapi Saudara punya belas kasihan? Kalau Saudara tahu pengertian bisnis apa, atau pengertian bidang pekerjaan Saudara apa pun itu, waktu Saudara perjuangkan hal yang bersifat teologis, yang bersifat biblika, yang bersifat Kristen, Saudara sedang menjadi orang Kristen. Tapi kalau tidak, Saudara akan melanjutkan tradisi melihat segala sesuatu tanpa Tuhan, non religius gaze. Waktu melihat alam menyadari ada yang indah, tapi keindahan itu berhenti di dalam level natural. Tidak ada yang supra, tidak ada Allah disitu. Ini yang terjadi kalau Saudara menikmati apapun yang ditawarkan dunia ini, hiburan-hiburan dunia ini. Hiburan dunia ini bukan dosa yang artinya secara etika salah. Tapi hiburan dunia ini adalah abstraksi dari iman. Abstraksi maksudnya tidak salah secara moral, tetapi melatih kita untuk tidak ber Tuhan jadinya. Kalau tidak ber-Tuhan, memang mengapa? Problem, karena seluruh ciptaan tidak bisa dipahami tanpa Tuhan. Itu sebabnya David Morgan mengingatkan jalan masuk sekularisme itu bukan teologi yang salah. Jalan masuk sekularisme itu bukan tidak ada khotbah. Jalan masuk sekularisme adalah kenikmatan yang paling umum dirasakan itu dirasakan tanpa Tuhan, terbiasa terhibur tanpa Allah. Tanya sama anak muda sekarang, apa yang paling menghiburmu? Apakah Tuhan ada di situ? Mungkin tidak. Hobimu apa? “Hobi saya ini dan ini”, dan tidak ada Tuhan di situ. Bukan jangan salahkan anak mudanya, kalau Saudara bilang “tidak boleh begitu, papa baru dengar khotbah Pak Jimmy, kesenanganmu harus baca Roma atau baca Institute Calvin”, kalau anak Saudara suruh baca Institute Calvin, dia tanya balik “papa sudah baca belum?”, “sudah”, “apa yang papa dapatkan?”, “mengagumkan, karena begitu mengagumkannya, papa tidak mengerti itu, yang saya dapat”. Saudara jangan salahkan anakmu, yang salah itu problem dari kebudayaan kita. Jadi kalau Saudara mati-matian marah kepada anak remaja, “mengapa kamu tidak bisa menyukai hobi-hobi yang mulia”, memang dunia di set seperti ini. Dunia di set untuk membuat kita menyenangi hal yang kita bisa senangi tanpa harus ada Tuhan di situ.

« 2 of 4 »