Dan Kekristenan percaya Allah bukan cuma inkarnasi di dalam level bahasa, tapi Allah benar-benar inkarnasi menjadi daging, Allah benar-benar menjadi manusia. Dan karena itu saya percaya cuma Kristen yang benar. Karena agama lain tidak ada inkarnasi di dalam bentuk yang paling sempurna, hanya Kekristenan. Yang lain bisa kita katakan sebagai percikan bayang-bayang inkarnasi, tapi bukan penggenapan inkarnasi. Tuhan berinkarnasi, Tuhan datang, Tuhan hadir ini konsepnya Kristen. Maka kadang-kadang ketika kita diskusi dengan orang lain, kita mengingatkan orang lain bahwa agama sejati adalah agama yang mampu memahami manusia dengan sepenuhnya. Dan kalau Saudara baca Alkitab dengan serius, bukan cuma sekedar baca untuk menyelesaikan pembacaan hari itu supaya setahun bisa selesai membaca seluruh Alkitab. Tapi Saudara melakukan pembacaan yang membuat Saudara yang tenggelam di dalamnya. Kalau ada orang tanya saya “bapak satu hari baca beberapa pasal?”, tidak tentu kadang satu, kadang tiga, kadang tidak sampai satu pasal, kadang 10. Mengapa? Karena ada pembacaan yang menarik. Ada pembacaan yang membuat saya tidak bisa maju lagi. Ada pembacaan yang membuat saya mau mengulang lagi bacaan itu. Saya tidak menyelesaikan target mesti baca beberapa pasal dalam sehari, saya mau menyelesaikan hati saya disentuh oleh Tuhan. Kalau Tuhan masih mau sentuh hati saya dengan satu ayat untuk saya baca ulang, saya akan baca itu. Jadi waktu Saudara baca Saudara coba pahami, coba berusaha untuk lihat apa yang sebenarnya Tuhan sedang cerminkan, yang sedang Tuhan nyatakan tentang kita. Di situ Saudara sadar buku ini buku yang sangat manusiawi. Saudara melihat di situ pergumulan nabi-nabi, Saudara melihat di situ kejatuhan dalam dosa dari raja andalan Israel. Saudara melihat di situ kebodohan Salomo, orang yang paling berhikmat. Saudara tahu orang yang paling berhikmat itu identik dengan orang yang pintar pilih pasangan, orang berhikmat tidak akan salah pilih pasangan dalam pengertian orang Israel. Karena laki-laki berhikmat akan mencari perempuan berhikmat. Dan hikmat itu seringkali dipersonifikasikan sebagai seorang istri yang baik. Jadi kalau orang dianggap paling berhikmat, dia pasti pilih istri yang juga paling baik. Tapi Salomo sudah kebanyakan istri, lalu istri-istrinya juga penyembah berhala, ini kontradiksi dengan posisi dia sebagai orang paling berhikmat. Jadi Saudara sambil baca sambil heran, ini kalau Salomo mau digambarkan sebagai orang paling berhikmat, mengapa mesti dicatat kegagalan dia pilih istri? Tapi ini bukan menjadi alasan Saudara mengatakan “saya juga mirip Salomao. Saya orang berhikmat cuma memang salah pilih istri”, engkau bukan Salomo, terima faktanya. Jadi Alkitab menunjukkan inilah keadaannya, ini yang terjadi, inilah pergumulan manusia. Dan ketika Saudara baca, Saudara sadar Allah bekerja di dalam keadaan ini. Allah tidak meninggalkan manusia karena Allah tetap menyatakan janjiNya. Itu sebabnya ketika kita melihat realita dan kita melihat Alkitab menggambarkan realita, kita seperti dihadapkan pada 2 sisi. Sisi yang ke satu, sisi ciptaan yang menuju kehancuran. Sisi yang lain, ada iman berpengharapan di dalam janji Tuhan, iman yang makin baik dan ciptaan yang makin buruk. Keduanya ini membuat kita seperti terpisah, “ya sudahlah kalau lihat bumi ini memang makin jelek. Kalau lihat ciptaan memang makin buruk. Tapi untung aku punya Tuhan. Maka aku akan pegang Tuhanku. Aku akan beriman kepada Dia dan aku akan cling to Him, aku akan berpaut pada Dia. Sehingga aku makin suka cita dan senang”. Tapi apakah itu realistis? Kalau kita mengatakan “saya tidak bergantung lagi sama ciptaan ini, aku punya iman kepada Tuhan”. Pertanyaan, sekali lagi saya tanyakan apakah itu realistis? Lagu-lagu hymn kita banyak yang diambil dari abad 19 dan ada beberapa hal dalam abad 19 yang saya kurang setuju sebenarnya, yaitu abad yang terlalu menekankan kalau aku berpaut pada Tuhan, dunia tidak penting lagi. Kalau aku sudah punya Tuhan, dunia tidak penting. Tapi apakah itu realistis? Kadang-kadang nyanyikan lagu itu membuat kita minder, “mengapa penulis lagu itu spiritualitasnya tinggi sekali, tidak seperti kita”. Kita waktu mau menyanyikan langsung mengatakan “apa yakin kamu sanggup nyanyikan ini?”, pernah merasa seperti itu tidak? Kalau tidak Saudara terlalu tebal hati, tegar tengkuk. Waktu Saudara menyanyi, Saudara mengatakan “mana bisa saya seperti ini?”. Kalau Saudara mundur agak lebih lama, Saudara mundur misalnya di zaman Reformasi misalnya, lagu-lagunya lebih banyak menggambarkan kemuliaan Tuhan, kita tidak miner menyanyi karena memang Tuhan itu agung. Tidak menyatakan kehebatan si penulis untuk berpaut pada Tuhan. “Aku tidak peduli dunia. Aku tidak peduli dunia mau seperti apa, aku pegang Tuhan”, di nyanyian yang lebih lama itu lebih realistis. “Aku memang lemah, tapi thank God, Tuhan kita mulia”, itu nyanyinya lebih enak, lebih lega. “Aku bersyukur karena Engkau adalah Penebusku yang besar”, saya setuju, saya bisa menyanyikan itu dengan tenang. “Engkau adalah Raja dari segala belas kasihan dan anugerah”, itu amin, saya juga setuju. “Engkaulah sumber hidup, hanya dariMu kami mendapat hidup”, kita nyanyi dengan tenang. Tapi kalau kita nyanyi “Tuhan Yesus Engkau lebih agung dari apapun, apapun kesedihan yang aku alami, aku tidak peduli, yang penting aku berpaut padaMu. Dunia bisa memberikan aku tangis. Tapi aku tidak peduli karena aku berpegang pada Tuhan”, waktu kita mau nyanyi kita menjadi stress, “saya tidak di situ. Aduh nyanyian ini tinggi banget ya”. Maka orang Reformasi lebih rendah daripada orang Injili abad 19 ya? Tapi ya itulah, menyanyi lagu yang mengagungkan Tuhan itu menyenangkan. Menyanyi lagu yang menunjukkan kehebatan kita berpaut pada Tuhan itu tidak menyenangkan, membuat kita bingung “apa yakin saya boleh nyanyi ini?”. Maka Saudara coba kita pikir, apakah benar kalau kita mengatakan seluruh ciptaan memang akan buruk dan kita tidak peduli, yang penting kita berpaut pada Tuhan. Berpaut pada Tuhan tapi tidak berpengaruh, tidak mendapat pengaruh dari dunia, itu tidak realistis. Kalau Saudara ditanya adakah sukacita? Lalu Saudara mengatakan “saya mau punya sukacita, tapi sulit”, mengapa sulit? “Karena bisnisku lagi hancur, aku tidak bisa bersukacita kalau bisnisku lagi hancur”. Lalu kira-kira respon hamba Tuhan akan bagaimana? Mungkin Saudara pikir hamba Tuhan akan berespons “tidak boleh begitu, mengapa sukacitamu bergantung bisnis? Kamu harus bersukacita bergantung Tuhan”. Tapi kalau ada orang tanya saya, saya tidak akan mengatakan seperti itu. Saya akan mengatakan “kiranya Tuhan menguatkan engkau ini memang menyulitkan”, realistis kan. Kalau usaha saya hancur, terus saya bisa pura-pura senang di dalam Tuhan, itu caranya bagaimana? Orang sering bertanya seperti itu “bagaimana caranya tetap bersukacita meskipun kehidupan saya lagi buruk?”. Apalagi di tengah kedukaan misalnya, kehilangan orang yang dicintai, bagaimana caranya tidak sedih di dalam Tuhan? Tidak ada, karena Tuhan memang tidak mengatakan tidak perlu sedih. Tuhan mengatakan “berdukalah, tapi jangan tidak berpengharapan”, itu kan yang ditekankan. “Jangan berdukacita seperti orang yang tidak berpengharapan”, bukan jangan berdukacitanya yang ditekankan, tapi tidak berpengharapannya yang ditekankan. Itu sebabnya Kitab Suci menggambarkan pengharapan yang realistis. Ketika orang mengatakan “saya sedang sakit fisik, saya tidak bisa mencintai Tuhan dengan perasaan syukur. Saat ini saya sedang tanya mengapa begini”. Saya mengalam ini, ini pertanyaan dari mama saya ketika dia mengalami kanker yang makin parah, dia mengatakan “apakah saya sudah berdosa? Karena saya tidak bisa mengatakan saya senang, saya sangat-sangat sulit menghadapi ini. Dan saya tanya mengapa Tuhan tidak langsung membuat saya meninggal saja, supaya saya bisa ke surga. Mengapa dibuat lama keadaan seperti ini?”. Saya tidak bisa jawab, “ini kurang beriman”, tidak bisa, ini realistis. Mana ada orang fisiknya sakit lalu mengatakan “rohaniku tidak terpengaruh”, kan tidak bisa. Itu sebabnya perkataan Paulus di 2 Korintus itu penting, Kristus membawa bukan cuma iman kita selamat, tapi ciptaan baru. Konteks yang kita miliki sekarang, ciptaan realita di sekeliling kita, bahkan tubuh kita itu akan Tuhan perbarui. Tuhan tidak mengabaikan fakta bahwa kita sangat berpaut juga dengan tempat. Itulah sebabnya Tuhan menyatakan “Aku mengirim Kristus bukan hanya untuk memberikan kamu keselamatan secara status, tapi memberikan ciptaan baru”, new creation. “Saya ciptaan baru?”, bukan cuma kamu, seluruh ciptaan akan diperbarui.