Taurat tidak memberikan kepada kita tuntutan untuk liturgi Kristen, tetapi yang Paulus pahami Taurat itu mengaitkan antara liturgi dan etika. Liturgi dan etika itu berkait. James Smith mengingatkan bahwa etika itu digerakkan oleh estetika. Ini yang kita lupa tahu, karena kita tahunya etika itu digerakkan oleh epistemologi atau pengertian layaknya zaman modern. Orang modern percaya pengetahuan membentuk tingkah laku. Tapi James Smith, yang tentu dia gali dari Agustinus menemukan yang menggerakkan etika itu estetika. Saudara suka maka Saudara jalankan, bukan Saudara tahu maka Saudara jalankan. Kalimat-kalimat penting ini kadang-kadang kita gagal paham karena kita sudah punya konsep yang kita tidak tahu terbentuk di dalam kita. Kita punya konsep kuno yang mengatakan “tahu jalankan. Makanya dengar khotbah cari pengetahuan. Kalau saya sudah tahu saya bisa jalankan”. Tapi berapa banyak dari kita yang mengaitkan mendengar khotbah dengan dua hal yaitu pengetahuan dan keindahan? Ketika Saudara selesai dengan khotbah, harusnya Saudara kejar ini, “saya mengetahui dan menikmati”, dua ini harus ada. Di dalam Mazmur dikatakan bahwa orang yang benar adalah orang yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan. Tidak dikatakan orang benar adalah orang yang tahu Taurat Tuhan. Bukan pengetahuan yang menggerakkan etika, estetika yang menggerakkan etika. Sekarang banyak teolog yang bidang utamanya itu estetika. Misalnya di dalam tradisi Reformed ada Calvin Servlet, Jeremy Begbie, dan Lambert Zuidervaart. Mereka teolog dan sosiolog tapi mereka melihat teologi dan sosiologi dari sudut pandang estetika atau keindahan. Sehingga mereka menyadari satu hal yang disadari James Smith dan jauh sebelumnya disadari oleh Agustinus, estetika menggerakkan etika. Lalu dimana kita bisa mempunyai estetika yang menggerakkan kita taat kepada Tuhan? Keindahan Tuhan itu diperoleh di mana? Di dalam Taurat, keindahan itu berpusat di Bait Suci. Aktivitas Bait Suci adalah yang membuat orang Israel terpukau dengan Tuhan. Keindahan apa dipamerkan di sana? Keindahan betapa sadisnya dosa, binatang dibantai, mungkin bagi kita sekarang adalah konsep yang asing, bagaimana maksudnya binatang disembelih? Bayangkan di dalam ibadah ada pemandangan traumatik seperti ini. Pemandangan traumatik itu bersifat antisipatif, ini mengantisipasi salib. Di atas kayu salib ada manusia hidup yang dimatikan dengan cara sadis. Ada orang disiksa, darahNya tertumpah jadi aliran sungai darah di bawah salib. Salib itu benda yang sangat mengerikan. Mengingat salib mempunyai efek traumatis ke dalam diri manusia. Tetapi ketika Saudara melihat salib, Saudara melihat efek ngeri yang ternyata berbuahkan keselamatan, ini beautiful. Keindahan itu bukan keindahan yang cuma indah dalam pengertian bagus dan tidak violent. Keindahan tidak bisa tidak violent, tapi keindahan tidak bisa bersifat tidak menebus. Kalau Saudara melihat keindahan yang bagus tapi tidak ada pergumulan, itu keindahan untuk anak kecil. Tapi bagi orang yang sudah mengerti bagaimana hidup di dalam dunia, dia kan tahu bahwa keindahan yang paling diperlukan manusia adalah keindahan yang bersifat menebus. Ini hanya mungkin diberikan di atas kayu salib. Maka dari awal keindahan sejati ditawarkan oleh ibadah. Ini kalau orang Kristen tidak mengerti, mereka ubah ibadah katanya kurang indah. Jelas kurang indah bagi orang yang tidak pernah renungkan salib. Ibadah Kristen membosankan bagi orang yang tidak renungkan Kristus. Maka ketika orang menghadap Bait Suci, mereka menikmati keindahan. Bukan keindahan anak kecil, keindahan yang tidak ada violent-nya, keindahan yang tidak ada pergumulan. Keindahan di tengah-tengah pergumulan bahkan, keindahan yang bersifat penebusan. Jadi mereka dibiasakan lihat itu, mereka membawa pengalaman Bait Suci keluar. Mereka mengerti bahwa kalau mereka berbuat salah kepada orang lain, kalau mereka merebut tanah orang lain, kalau mereka menghalangi gaji orang lain, mereka akan kembali datang ke Bait Suci dan mereka seperti melihat diri mereka diwakili oleh korban yang disembelih, dan mereka sadar ini mengerikan. Maka estetika mendorong etika. Pandangan Bait Suci membuat mereka mulai tergerak untuk berubah. Banyak orang Kristen susah berubah karena tahu tidak merubah karena tahu perlu keindahan. Saudara perlu mengaitkan pengertian dengan kesan, dengan sesuatu yang membekas di hati, baru ada kemungkinan berjuang untuk berubah. Itu sebabnya ketika Paulus membahas tentang etika tentang bagaimana engkau harus bertindak, tidak mungkin tidak ada gambaran Kristus atau ibadah di situ. Paulus mengatakan “Inilah ibadah yang sejati, persembahkanlah tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan berkenan kepada Allah.” Ini etika sekaligus ibadah. Paulus memakai bahasa ibadah waktu dia menggerakkan orang untuk bertindak etis. Paulus bisa saja mengatakannya “orang Kristen jangan nakal, hidup suci, jangan lakukan kejahatan”, itu bisa dilakukan, tapi mengapa dia pakai kata “persembahkan tubuhmu”? itu bahasa Bait Suci. “Persembahkan tubuhmu sebagai korban”, itu bahasa ibadah. Maka dari pengertian orang Yahudi dan juga dari pengertian Paulus, kita akan mengaitkan antara ibadah, keindahan dengan etika. Maka sekali lagi estetika akan menggerakkan etika. Apa yang engkau anggap indah itu akan menggerakkan engkau ke situ, jika engkau belajar melihat Tuhan sebagai yang indah, engkau akan tergerak untuk mengejar Dia. Jika engkau melihat dunia ini indah, engkau akan mengejar dunia ini. Bagaimana kejar keindahan yang sejati? Ingat Taurat. Di dalam pengertian Paulus, dia tidak akan pisahkan antara etika dengan ibadah. Maka dia mengatakan “Barangsiapa mengasihi sesama manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat.”
“Kamu memenuhi hukum Taurat”, maksudnya apa memenuhi Hukum Taurat? Ini bukan cuma sekadar menunaikan kewajiban. Memenuhi berarti Saudara menjalankan bagian dari perasaan berhutang yang kita miliki. Bukan cuma sekedar dorongan atau saran untuk melakukan “ayo kamu kasihi sesamamu”, “mengapa?”, “ini saran saya”, bukan sekedar saran tapi ada tuntutan. Tuntutan itu diberikan kalau orang yang menuntut merasa dia memberi sesuatu bagi yang dituntut. Saudara tidak bisa tuntut orang kalau Saudara tidak punya hak untuk tuntut dia. Saudara bisa menuntut manusia karena apa? Karena Tuhan membagikan keindahanNya. Jadi keindahanNya membuat kita mengagumi Tuhan. Itu sebabnya kita mesti belajar melihat bagaimana Paulus melukiskan liturgi Taurat sebagai yang sudah berlalu, namun yang terus muncul di dalam kehidupan kita hari demi hari. Saudara dan saya sedang menjalankan kehidupan etika sambil mencicipi estetika ibadah. Ini membingungkan, teologinya dalam, tetapi sangat aplikatif. Saya harap kita belajar punya teologi yang dalam tetapi mempunyai pengertian aplikatif. Biasanya kita kaitkan aplikasi dengan teologi yang dangkal, “teologinya dalam, bagaimana aplikasinya?”. Saya sarankan hal yang terbalik, makin dalam teologi, makin aplikatif sifatnya. Mengapa begitu? Karena kalau teologinya dangkal Saudara tidak akan pakai teologi itu untuk aplikasi. Contohnya kalau saya tidak gali tentang siapa Kristus, ketika saya memerintahkan kepada Saudara “harap kamu berlaku adil”, kira-kira yang mendorong Saudara berlaku adil itu apa? Kalau saya mengatakan kepada Saudara “hei suami, kasihilah istrimu”, kira-kira yang Saudara dengar dari kalimat itu “saya mesti mengasihi istri”, yang mendorong Saudara kira-kira apa? Jadi kalau Saudara dengar khotbah, lalu Saudara tangkap bahwa ini memang biasanya dilakukan, Saudara tidak belajar tentang teologi dan hidup. Kita perlu belajar mengaitkan teologi dan hidup. Ada sesuatu yang mengubah pikiran, mengubah hidup di dalam teologi yang dalam. Kita menjadi sadar ternyata hidup itu berarti, ternyata tindakanku yang kudus itu diartikan sangat dalam karena ini berkaitan dengan Tuhan. Maka jangan malas belajar teologi, jangan malas belajar teologi untuk dikaitkan dengan hidup. Saya tahu memang ada juga kelemahan dari teologi yang tidak terlalu memikirkan kedalaman dari Alkitab, cuma memikirkan bolak-balik ke sistem teologi yang kita anut. Ini kan yang dikritik salah satunya oleh Leonard Ravenhill, apa yang dilakukan oleh para ahli sejarah dari gereja, mereka mengembangkan keyakinan bahwa doktrin benar dengan membuktikan dari sejarah. Alkitab tidak demikian, teologi yang dalam, yang mau kembali kepada Alkitab adalah teologi yang melihat ternyata hidup saya kalau diaplikasikan berdasarkan Kitab Suci akan indah sekali. Maka Paulus mengatakan ibadah, keindahan dikaitkan dengan etika. Argumen pertama ibadah di Bait Suci, pusatnya di Bait Suci, korban, mendengarkan firman, menyanyi, berdoa, semuanya di Bait Suci. Ini semuanya berkait dengan estetika, nanti dikaitkan dengan etika. Kalau Bait Suci tidak ada, orang Kristen tidak berkait ke Bait Suci lagi. Orang Kristen berpusat ke Kristus.