Roma 11: 11-15, kemudian kita melanjutkan ke ayat 25-29. Kita baca 2 bagian ini, saya akan bacakan kedua bagian ini, “maka aku bertanya, adakah mereka tersandung dan harus jatuh sekali kali tidak, tetapi oleh pelanggaran mereka, keselamatan telah sampai kepada bangsa-bangsa lain supaya membuat mereka cemburu. Sebab jika pelanggaran mereka berarti kekayaan bagi dunia dan kekurangan mereka, kekayaan bagi bangsa-bangsa lain, terlebih-lebih lagi kesempurnaan mereka. Aku berkata kepada kamu, hai bangsa-bangsa bukan Yahudi, justru karena aku adalah rasul untuk bangsa-bangsa bukan Yahudi. Aku menganggap hal itu kemuliaan pelayananku yaitu kalau kalau aku dapat membangkitkan cemburu di dalam hati kaum sebangsaku menurut daging dan dapat menyelamatkan beberapa orang dari mereka. Sebab jika penolakan mereka berarti pendamaian bagi dunia, dapatkah penerimaan mereka mempunyai arti lain dari pada hidup dari antara orang mati”. Lalu kita membaca ayat yang ke 25-29 “sebab saudaras-saudara supaya kamu jangan menganggap dirimu pandai. Aku mau agar kamu mengetahui rahasia ini. Sebagian dari Israel telah menjadi tegar sampai jumlah yang penuh dari bangsa-bangsa lain telah masuk. Dengan jalan demikian, seluruh Israel akan diselamatkan seperti ada tertulis dari Sion akan datang penebus dan ia akan menyingkirkan segala kefasikan dari pada Yakub. Dan inilah perjanjianku dengan mereka, apabila aku menghapuskan dosa mereka. Mengenai Injil mereka adalah seteru Allah oleh karena kamu, tetapi mengenai pilihan, mereka adalah kekasih Allah oleh karena nenek moyang. Sebab Allah tidak menyesali kasih karunia dan panggilanNya. Di dalam ayat yang ke 11-15 Paulus memberikan pembahasan yang sangat mengagetkan. Kalau mau dibilang karena dia menekankan tentang bangsa lain, membangkitkan cemburu Israel. Ini bukan cemburu dalam pengertian cemburu iri hati atau ingin supaya apa yang jadi berkat bangsa lain dimiliki juga. Tapi cemburu ini konteksnya adalah di dalam Perjanjian Lama, yaitu ketika Tuhan bangkitkan Israel, lalu Israel mentaati Taurat, maka kehidupan mereka akan diinginkan oleh bangsa-bangsa lain. Siapa yang hidupnya tunduk kepada firman, dia akan menjalankan hidup yang diinginkan oleh orang lain. Kekristenan seharusnya juga seperti ini, kita tidak menjadi orang yang makin aneh dengan mentaati firman. Tetapi perbedaan itu adalah perbedaan yang membuat orang yang tidak percaya menjadi ingin percaya, bukan sebaliknya membuat orang yang sudah tidak percaya dari awal menjadi menghindar, mengambil jarak dan menjauh. Misalnya di dalam 1 Korintus, Paulus mengingatkan jika kamu bersekutu berkumpul di dalam pertemuan ibadahmu, lalu ada nubuat, nubuat maksudnya khotbah, khotbah yang menegur, yang membongkar hati manusia, yang menunjukkan siapa kamu sebenarnya. Maka kalau ada orang tidak percaya datang, mereka akan mengatakan “ini tempatnya, di sini ada Tuhan, di sini ada Allah”. Tapi kalau kamu berbahasa aneh, berbahasa asing yang tidak ada orang mengerti, mereka akan datang dan mengatakan “ini perkumpulan orang gila”. Jadi Paulus sendiri menekankan Kekristenan yang baik, yang sejati adalah Kekristenan yang akan menarik orang lain. Di sini Paulus membalikkan, bukan Israel yang akan diinginkan oleh bangsa-bangsa lain. Bangsa-bangsa lain tidak datang mencari hikmat ke Israel seperti pada zaman Salomo, tetapi sebaliknya orang Israel akan cari hikmat ke bangsa-bangsa lain. Jadi mereka akan cari ke bangsa-bangsa lain yang percaya Kristus. Ini di satu sisi adalah kalimat yang aneh bagi orang Yahudi, “kami kan umat pilihan, kami punya Taurat. Kami menjalankan kehidupan yang Tuhan mau. Kalau kami benar menjalankan, maka harusnya pertobatkan kami dan nanti bangsa-bangsa lain akan ikut kami”. Kalau Israel benar-benar mampu jalankan Taurat, maka bangsa lain akan tertarik lagi. Jadi yang jadi harapan tetap pertobatan Israel dulu baru bangsa lain. Tapi Tuhan menyatakan hal sebaliknya melalui Paulus yaitu Tuhan tidak tunggu Israel bertobat dulu, sebagai bangsa maksudnya. Tuhan tidak tunggu mereka bertobat, tapi Tuhan panggil bangsa-bangsa lain mengenal Mesias lalu Tuhan akan perintahkan Israel, “kalau kamu benar-benar mau kenal Mesias, belajar dari mereka yang sudah lebih dulu kenal Mesias yaitu bangsa-bangsa lain”, jadi bangsa lain akan jadi terang bagi Israel. Ini tidak pernah ada di dalam Perjanjian Lama. Bangsa-bangsa lain jadi terang bagi Israel, itu sesuatu yang aneh. Bangsa-bangsa lain selalu tertarik kepada Israel waktu mereka setia tapi tidak pernah ada keadaan di mana Israel tertarik bangsa-bangsa lain, itu tidak Alkitabiah, tidak sesuai Perjanjian Lama. Maka Paulus menjelaskan yang menarik orang Israel belajar dari bangsa-bangsa lain bukan bangsa-bangsa lain itu. Yang menarik Israel untuk belajar dari bangsa-bangsa lain adalah sang Israel sejati yaitu Kristus yang sekarang menjadi terang bangsa-bangsa lain. Itu sebabnya Paulus mengatakan “saya mau membangkitkan cemburunya Israel, membuat mereka mau belajar dari bangsa lain”. Belajar dari bangsa lain itu tidak ada di dalam Perjanjian Lama, tidak ada di dalam Kitab Suci. Tapi Paulus menegaskan yang ditekankan dari belajar dari bangsa lain adalah karena bangsa lain itu disatukan dengan Sang Pokok, yaitu Kristus. Jadi mereka, Israel maksud saya, adalah orang-orang yang tetap ditarik untuk belajar kepada Kristus, belajar kepada Kristus yang sekarang dinyatakan lewat bangsa-bangsa lain. Jadi sebenarnya tidak ada yang aneh, Israel tetap mencari Sang Mesias. Namun sekarang Mesias itu sudah dimiliki oleh orang-orang Kristen, orang-orang yang percaya kepada Kristus, meskipun mereka bukan orang Israel. Itu yang jadi dasar awal.
Kemudian kita lihat ayat 25 dan seterusnya. Sekarang Paulus berbicara tentang konteks Israel lagi. Jadi di dalam ayat 11-15 Paulus mengatakan sekarang bangsa-bangsa lain yang punya Mesias dan kalau Israel mau punya Mesias, mereka belajar dari bangsa-bangsa lain. Ini sangat menegaskan bahwa siapapun yang kenal Sang Mesias, hidupnya akan berubah. Ini mirip dengan pernyataan di dalam Kitab Taurat, siapa pun yang menjalankan Taurat hidupnya berubah dan hidup yang berubah ini berubah menjadi baik. Bangsa lain akan tertarik dan mengatakan “kami ingin belajar hikmat”. Kalau kita bandingkan apa yang ditulis di dalam Taurat, lalu coba di paralelkan, disejajarkan dengan kebiasaan dan kitab atau aturan dari bangsa-bangsa lain yang sezaman Israel, Saudara akan melihat bahwa memang yang diajarkan di dalam Taurat itu sangat maju. Salah satunya adalah kesetaraan misalnya, Tuhan menegaskan bahwa Israel itu setara, mereka adalah bangsa imam, dan imam menjadi wakil bagi umat dengan sebuah upacara korban. Mereka baru boleh jadi imam kalau ada korban yang mengesahkan mereka sebagai imam. Ini berarti menekankan bahwa kekudusan mereka yang membuat mereka dekat Tuhan adalah kekudusan yang dibayar dengan korban, ada pembakaran. Mengapa perlu korban? Karena mereka sama tidak layaknya dengan umat yang lain. Jadi imam tidak lebih baik dari orang lain. Mereka boleh dekat ke Tuhan karena ada korban, menunjukkan bahwa aslinya kalau mereka nekat mendekat tanpa korban, mereka juga mati. Jadi orang Israel tidak bisa mendekat ke Tuhan, imam juga sama. Tapi mengapa dia bisa bawa darah dari korban dibawa ke mezbah, bahkan imam besar bisa masuk ruang Maha Suci. Bukankah ini menunjukkan mereka lebih tinggi dari umat yang lain. Tapi di dalam Kitab Taurat sendiri ditekankan mereka bisa masuk tempat yang suci itu karena mereka memberikan korban. Jadi korban adalah alasan mereka boleh mendekat. Kalau begitu mereka tidak lebih baik dari yang lain? Betul, mereka tidak lebih baik dari yang lain. Bukan hanya tidak ada yang lebih tinggi, Tuhan juga menekankan di dalam Taurat tidak ada yang lebih rendah. Tidak ada manusia yang kemanusiaannya lebih rendah dari orang lain. Misalnya orang-orang asing yang tinggal di tengah Israel, Saudara jangan pikir orang asing itu sama seperti zaman sekarang. Orang-orang asing yang bekerja di Indonesia sebagai tenaga ahli misalnya tidak. Orang asing itu adalah orang-orang yang kesulitan bertahan hidup di negara mereka, di kerajaan mereka, lalu mencoba peruntungannya, mencoba siapa tahu ada nasib baik di negara lain, di bangsa lain, dan mereka datang ke Israel misalnya. Dan mereka orang miskin, mereka adalah orang yang tidak punya tempat yang disepelekan, yang dianggap hina karena tidak sebangsa dengan yang lain. Tapi Tuhan mengatakan perhatikan mereka, berikan tumpangan kepada mereka. Ini yang Tuhan mau tekankan juga, budak-budak tidak boleh terus dijadikan budak, tapi orang bekerja sebagai budak mau tidak mau harus diizinkan karena sistem zaman itu. Tapi Tuhan mengatakan “6 tahun saja mereka jadi budak tahun ketujuh. Kamu harus berikan modal untuk mereka bisa hidup sendiri”, bukan cuma dibebaskan, tapi diberikan harta yang cukup, seperti seorang ayah melepas anak diberikan harta yang cukup supaya dia bisa kembangkan dan bertahan hidup. Demikian para budak, tahun ketujuh mereka dilepaskan, diberikan harta yang cukup supaya mereka tidak terpaksa balik lagi jadi budak. Dan kalau mereka bilang “saya tetap mau jadi budak” itu kerelaan. Jadi Tuhan tidak meniadakan budak karena Tuhan menekankan kerelaan orang memperhamba diri bagi orang lain. Itu sebenarnya bentuk dari ibadah. Ibadah adalah rela memperhamba diri untuk orang lain, membuat diri jadi punya kewajiban bagi orang lain, meskipun orang lain tidak berhak dapat, sebenarnya ini namanya bekerja. Maka ketika Tuhan memanggil Israel, Tuhan tidak mau ada yang lebih rendah, para budak kalau mau jadi budak melayani itu karena kasih bukan karena terpaksa. Maka di tahun ketujuh, pemilik budak mesti berikan harta yang cukup, membebaskan budaknya dan biarkan dia punya hidup sebagai orang bebas, setara dengan yang lain. Bagaimana dengan anak-anak? Tuhan menekankan anak-anak harus menghormati orang tua. Mengapa? Karena mereka adalah pewaris yang akan umur panjang di tanah yang dijanjikan Tuhan. Mereka adalah kelompok yang sebenarnya jadi sasaran mengapa orang tuanya setia kepada Tuhan. Jadi anak-anak tidak lebih rendah, mereka adalah targetnya. Mengapa ketaatan orang tua harus dijalankan? Karena anak-anak ini yang akan berumur panjang di dalam waktu yang lama. Waktu mereka ada di tanah perjanjian itu. Bagaimana dengan perempuan? Di dalam Kitab Suci sepertinya perempuan mendapatkan tempat lebih rendah. Di dalam kisah penciptaan sudah ditekankan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dan tekanan akan kesetaraan itu juga diberikan di dalam relasi pernikahan antara suami dan istri. Ditekankan bahwa seorang perempuan tidak boleh diceraikan kecuali diberikan surat cerai. Kita mungkin berpikir di dalam zaman sekarang, jadi boleh cerai? Tadi kita sudah baca di dalam Markus harusnya tidak begitu, tapi mengapa Musa mengizinkan ada surat cerai? Karena kalau perempuan zaman dulu diusir laki-laki, ini konteks zaman dulu, perempuan itu tidak bisa apa-apa. Dia tidak bisa menikah lagi karena tidak ada kejelasan “kamu benar diusir”. Mengapa laki-laki bisa mengusir istri itu apa? Tapi pada zaman itu terjadi. Perempuan sangat rendah sehingga levelnya hanya sedikit di atas budak kalau dia adalah dari keluarga orang baik, keluarga orang penting. Kalau perempuan itu dari keluarga biasa, dia seperti budak. Lalu laki-laki menikah dengan seorang perempuan, laki-laki bisa ambil beberapa perempuan menjadi istrinya. Kemudian dia mengatakan “saya ada masalah sama kamu”, apapun itu, karena masakannya kurang enak, atau badannya jadi kurang bagus atau bagaimana, “saya sekarang akan tidak lagi menjadikan kamu istri, silahkan pergi”. Terus perempuan ini bingung “kalau saya tidak punya suami, saya hidup di mana?”. Zaman itu tidak lazim perempuan bekerja. “Kalau begitu, nasib saya seperti pelacur, saya melacurkan diri supaya bisa hidup atau saya jadi pengemis. Saya tidak ada kemungkinan untuk hidup normal”. Itu yang Tuhan larang, maka diizinkan ada surat cerai sehingga perempuan itu bisa menikah lagi. Kemungkinan perempuan menikah lagi karena dia berhak, itu sesuatu yang tidak pernah dibayangkan ada di dunia kuno. Jadi Saudara bisa lihat Alkitab itu membuat zaman yang sudah sangat serong pelan-pelan lurus, bukan mendadak lurus, tapi pelan-pelan lurus. Mengapa pelan-pelan? Mengapa Tuhan membelokkan budaya dengan sabar? Sehingga waktunya panjang sekali sebelum akhirnya Tuhan menekankan apa yang menjadi rencanaNya semula, misalnya di dalam pernikahan. Mengapa Tuhan begitu sabar kepada kebudayaan yang sudah serong sehingga Tuhan arahkan pelan-pelan? Jawabannya adalah karena itulah cara Tuhan mempertobatkan kita juga. Kalau Tuhan itu ketat pada zaman pokoknya perempuan dan laki-laki kalau menikah harus begini, langsung begini, maka Saudara dan saya juga tidak akan punya kemungkinan selamat karena kita punya standar terlalu rendah. Dan kalau Tuhan tidak bersabar kepada kita, tidak ada dari kita yang akan selamat. Alasan satu-satunya kita bisa selamat adalah karena Tuhan sabar kepada kita. “Mengapa Tuhan sabar kepadaku?” itu sifat Dia dari dulu. Kebudayaan sudah sangat melenceng tapi Tuhan bersabar arahkan pelan-pelan. Ini yang ditekankan oleh John Calvin. John Calvin mengatakan Tuhan berikan Taurat sebagai tanda sabarnya Dia. Tuhan tidak berikan aturan yang sempurna, ideal yang tidak menyentuh pergumulan kebudayaan yang digeser pelan-pelan, tidak. Makanya kalau Saudara tanya “mengapa di Perjanjian Lama perbudakan diizinkan” berarti Saudara salah fokus bacanya. Mengapa salah fokus? Karena yang mau ditekankan di Perjanjian Lama bukan izin perbudakan, karena izin perbudakan ada di mana-mana, tidak perlu diizinkan lagi perbudakan itu umum. Tapi yang unik dari Perjanjian Lama adalah hak budak, ini tidak pernah ada sebelumnya. Budak punya hak, apakah budak berhak? Budak berhak untuk bebas, orang miskin berhak untuk makanan di tahun ke-7. Tahun ketujuh itu tahun Sabat. Dan tahun Sabat itu berarti orang tidak boleh ambil hasil ladang yang dia tidak kerjakan. Ladang dibiarkan, lalu apapun yang menjadi hasil dari ladang itu boleh dimakan oleh orang-orang miskin. Jadi hak bagi budak itu yang aneh di Taurat, Mengapa ada hak bagi budak tapi Tuhan mau mengajarkan pelan-pelan, “budayamu sudah sangat kacau, maka kita bereskan pelan-pelan”. Itu sebabnya perintah-perintah Taurat yang terdengar aneh di zaman sekarang adalah langkah awal Tuhan memperbaiki budaya. Sehingga sekarang bisa terjadi budaya yang kita perjuangkan ini. Kalau Saudara mengatakan sekarang perempuan sudah boleh berkarier, sekarang tidak ada lagi perbudakan, tidak seperti Perjanjian Lama. Itu namanya kita kurang mengerti proses bahwa yang membuat zaman sekarang seperti sekarang dalam kebaikan, yang membuat kebaikan zaman sekarang muncul adalah karena kesabaran Tuhan menata melalui umat melalui firman, melalui orang-orang yang memperjuangkan prinsip yang dia dapat dari Kitab Suci. Kalau lihat demokrasi itu tidak pernah cocok untuk zaman modern kalau demokrasi itu diambil dari Yunani. Di dalam tradisi Yunani ada banyak hal bagus, tapi begitu banyak fondasi begitu rapuh. Misalnya perbudakan adalah keharusan di dalam tradisi dari Yunani. Orang-orang di dalam kelompok sparta itu mempunyai keinginan untuk menyetarakan perempuan dan laki-laki, tidak aneh bagi mereka untuk perempuan ikut jadi tentara, atau berkarier, dan itu sangat maju. Tetapi mereka juga mengekalkan fakta bahwa orang-orang lemah boleh dibunuh. Jadi kalau kamu punya badan tidak terlalu kuat, ya sudah jangan anggap kamu punya posisi di masyarakat. Hukuman mati bagi orang lemah itu bisa, orang-orang bisa diadu dengan binatang liar dan kalau dia tidak mampu kalahkan binatang liar berarti tidak layak hidup ini sparta. Jadi kalau Saudara bilang “bagus kan sparta, kesetaraan laki-laki dan perempuan” iya, tapi tidak ada kesetaraan antara orang berfisik kuat dengan orang berfisik lemah. Orang berfisik lemah boleh tidak ada, boleh mati. Di Athena terbalik, perempuan dan budak itu sangat direndahkan tetapi demokrasinya seperti bagus. Kita pikirkan bagaimana rakyat bisa mempunyai suara lewat orang-orang yang bijak dan lain-lain. Jadi Saudara bisa lihat demokrasi yang ditawarkan Yunani tidak mempunyai keutuhan pemahaman tentang siapa manusia. Demokrasi yang sekarang berkembang bukan dari Yunani. Kalau kita mengatakan “kita berhutang pada Yunani”, think again, pikir lagi baik-baik konsep manusia dari tradisi Yunani tidak pernah cukup untuk membangun kebudayaan demokratis yang kita kenal sekarang. Kebudayaan demokratis yang paling muncul paling jelas pengaruhnya adalah dari tradisi Kristen. Tradisi Kristen yang menginginkan raja tunduk kepada Tuhan. Tradisi Kristen yang menginginkan raja dihargai sebagai manusia dan rakyat juga dihargai sebagai manusia. Kalau kita mengerti dengan tuntas sabarnya Tuhan membentuk budaya, maka kita tahu Taurat punya keunggulan yang luar biasa. Makanya kalau baca apa-apa jangan dipisahkan dari zaman.