Menarik sekali bahwa hukum adalah tema yang sering berulang di dalam Surat Roma. Paulus mengadopsi pemikiran Yahudi abad pertama, meskipun itu bukan pemikiran di zaman Perjanjian Lama. Paulus mengadopsi pemikiran orang bahwa Taurat adalah hukum, harus ditaati kalau tidak akan binasa. Paulus mengingatkan, hukum lebih dari sekedar hanya menaati, bukan menaati set of rules. Tapi Saudara berkomitmen dalam sesuatu yang Saudara tidak jelaskan karena Saudara tidak sadari. Tendensi kita untuk bertindak dikuasai oleh sesuatu yang sifatnya pra kondisi dari pengertian kita tentang hidup. Ada banyak hal yang membuat kita sadar siapa kita sebenarnya. Ada pepatah yang mengatakan di dalam keadaan darurat baru kelihatan orang itu seperti apa. Di dalam keadaan terjepit, kita baru tahu natur dosa dari manusia yang selama itu tersembunyi sekarang muncul. Jadi kita tidak tahu siapa kita sebenarnya sampai kita dijepit dalam keadaan dan pra kondisi tentang hidup itu mengambil kemungkinan untuk ditunjukan “ini dirimu yang sebenarnya, kamu memilih jalan dosa, jalan cemar, kamu memilih mementingkan diri, kamu pilih untuk korbankan orang lain demi keselamatanmu”. Banyak orang melakukan ini, banyak orang berpikir “yang penting saya aman, biarkan orang lain yang menderita, itu urusan mereka”. Pra kondisi itu yang menghancurkan dan Paulus mengatakan bahwa ada hukum roh, Mengapa bisa begitu? Jawabannya di ayat 2 “karena hukum roh telah diberikan”. Hukum roh hidup di dalam Kristus, itu satu penjelasan. Hukum roh hidup di dalam Kristus memastikan Saudara dan saya tidak berada dalam keadaan netral meninggalkan hukum yang lama, lalu hidup tanpa ada pimpinan. Hukum roh hidup di dalam Kristus adalah hukum yang membuat Saudara menjadi baik. Maka, Saudara tidak boleh mempertentangkan Injil dengan perbuatan baik, tapi Saudara harus jelas mana duluan mana belakangan. Apakah Injil tidak perlu ditambah perbuatan baik? Jawabannya adalah Injil dulu sepenuhnya, baru kemudian perbuatan baik. Kalau kita salah mengerti ini, bahaya sekali, Saudara akan menjadi antinomian, tidak peduli aturan, dosa pun tidak apa-apa. Injil tidak pernah diberikan belakangan, Injil diberikan dulu, pembenaran, keselamatan, cinta Tuhan, itu diberikan dulu sebelum Saudara melakukan apa pun. Setelah itu diberikan, Saudara dimampukan untuk hidup baik. Jadi hidup baik menjadi isu, karena Roma 1 mengatakan manusia tidak baik. Lalu bagaimana supaya bisa jadi baik? Pasal 2 mengatakan ada Hukum Taurat, jalani saja. Manusia tidak bisa menjalaninya, karena secara pra kondisi sudah dikuasai oleh dosa dan maut. Jadi manusia itu kasihan sekali, mau hidup beres tidak bisa, mau hidup benar tidak bisa. Yang paling mungkin dia lakukan adalah hidup secara menegasi kejahatan, hidup secara menegasi kejahatan itu mungkin. Tapi Tuhan tidak ingin manusia meninggalkan dosa demi berada dalam satu keadaan yang sifatnya kosong, itu tidak ada gunanya. Lalu yang kedua, baik didefinisikan sebagai keadaan tanpa gejolak atau tanpa konflik misalnya. Baik itu bukan hanya keadaan moral, baik itu keadaan diri juga, keadaan jiwa. Aristotle pernah mengingatkan bahwa jiwa yang baik adalah jiwa yang mencapai kelimpahan yang mungkin dicapai di dalam essensi dari jiwa. Jadi ada sedikit keunikan, Plato mengatakan bahwa baik itu berfungsi sebagaimana mestinya, sedangkan Aristotle mengingatkan baik itu adalah menikmati keadaannya semungkin dia bisa. Baik berarti Saudara menyukai diri Saudara, menyukai hidup Saudara. Dan manusia tidak pernah di-design untuk menyukai dosa dan maut. Manusia tidak mungkin suka hidup cemar, itu kesukaan palsu. Hukum roh membuat manusia berada dalam keadaan baik, bukan netral, bukan kosong, bukan hanya sekedar moral baik. Saudara akan menikmati hidup, ini sebenarnya yang dibawa oleh poin berita Injil. Injil adalah tawaran bahwa kalau kamu ikut Tuhan, ada cara untuk hidup lebih limpah, hidup yang lebih bahagia, itu baik. Maka Aristotle memperkenalkan kata eudaimonia/evdaimonia, artinya adalah jiwa yang berada dalam keadaan ev atau eu, baik. Berita Injil, evangelion atau euvangelion. Apa itu baik? Para filsuf bergumul tentang apa itu baik karena mereka tahu ini konsep tidak bisa sembarangan didefinisikan. Lalu orang Kristen dengan sembarangan mengatakan “Injil tidak boleh ditambah perbuatan baik”, “apa itu perbuatan baik?”, “menolong nenek-nenek menyeberang jalan, pokoknya perbuatan baik itu kamu membuat orang lain senang”. Bukan hanya itu, baik adalah keadaan jiwa. Apakah engkau baik? Baik bukan hanya sekedar tidak ada hal negatif, ini poin kedua yang mau saya tekankan. Baik tidak ada kaitan dengan negasi keburukan, baik adalah keadaan yang sempurna, limpah, yang penuh dengan tujuan yang memang Tuhan siapkan. Demikian juga dengan kerohanian, kerohanian baik bukan berarti Saudara tidak berbuat dosa, tapi kebaikan dalam kerohanian adalah hidup yang berkepenuhan. Yesus Kristus mengatakan “Aku memberikan hidup yang berkelimpahan”, itu baik. Tidak ada yang disebut baik kalau kurang dari itu. Maka kehidupan yang baik itu yang seharusnya kita cari, kesempurnaan hidup itu yang seharusnya kita inginkan. Kita ingin hidup yang baik, tapi kita pikir hidup yang baik itu bisa dilakukan tanpa Tuhan. Lagi-lagi pra kondisi tentang hidup baik kita jalankan tanpa sadar dengan cara yang memberontak melawan Tuhan. Dan ini adalah faktanya, kita adalah orang yang gagal terus, terus-menerus jatuh, terus-menerus salah, karena secara instinctive kita telah mengabaikan Tuhan. Tapi Paulus sudah mengingatkan di dalam ayat 1, tidak ada penghukuman bagi mereka yang berada dalam Kristus Yesus. Saudara tidak mungkin dikuasai lagi oleh kuasa kematian dan dosa. Saudara bisa jatuh dalam dosa, itu benar, tapi bukan kuasa itu lagi yang sekarang menjadi pra kondisi hidup Saudara. Sekarang pra kondisi hidup Saudara adalah ber-Tuhan. Saudara sekarang ber-Tuhan dan itu sampai pada bagian ketiga, apa kaitannya dengan Taurat?

Kondisi kita sekarang ber-Tuhan, dan kalau ber-Tuhan kita perlu Tuhan. Kita perlu dituntun oleh Tuhan melalui menggumulkan firman. Sehingga ini yang akan kita otomatis lakukan tanpa sadar, kita ingin tahu apa yang diperkenan Tuhan, meskipun kita tidak selalu dapat jawabannya. Kita bukan orang yang sempurna, kita bisa jatuh dalam bertindak kasar, jatuh dalam kemalasan, jatuh dalam dosa yang menguasai kita dalam amarah, hawa nafsu atau apa pun, kita bisa jatuh. Tapi Surat Roma 8 mengingatkan engkau tidak akan dikuasai lagi. Jadi ini yang penting untuk kita pahami, kejatuhan Saudara di dalam dosa bukanlah kejatuhan di dalam prinsip dosa, ini yang harus dibedakan. Kalau tidak, kita selamanya berada dalam kegalauan atau kegelisahan yang tidak jelas. Ketika orang bertanya “apakah kamu sudah selamat?, Saudara jangan takut menjawab “sudah’, jika Saudara benar-benar beriman kepada Tuhan. “Mengapa berani mengatakan sudah? Padahal hidupmu masih jatuh bangun seperti itu”, Saudara dengan hati yang hancur dan kepala yang tertunduk mengatakan “iya, hidup saya masih jatuh bangun. Maka saya semakin mengagumi cinta Tuhan kepada saya”. Karena Surat Roma mengingatkan bahwa orang pilihan dicintai Tuhan ketika mereka masih memberontak. Ketika Saudara berada dalam titik paling jahat dalam hidup Saudara, saat itu Saudara harus tahu Tuhan cinta Saudara saat itu juga. Tuhan cinta kaum pilihanNya, murka iya tapi juga cinta. Dan Tuhan ingin balikan kita. Tuhan mencintai kita pada waktu kita jahat, pasal 5 menjelaskan itu. Dengan demikian Saudara mempunyai ketenangan bahwa keadaan dipimpin oleh hukum roh itu bukan kemampuan kita, itu pemberian Tuhan. Tuhan yang berikan sehingga kita mampu dipimpin oleh roh. Jadi waktu Saudara membaca bagian ini, Saudara mendapat penghiburan. Masihkah mungkin Saudara jatuh dalam dosa? Masih dan kita setiap minggu akan mengakui “kami berdosa, kami cemar”. Mungkinkah tidak perlu lagi berubah? Tidak mungkin, kita masih perlu berubah. Masih banyak hal buruk yang terjadi dalam hidup kita, dalam pikiran kita, dalam tingkah laku kita. Kadang kita bertindak seolah-olah hukum lama itu yang menguasai kita. Tapi Tuhan mengingatkan di pasal 8 bahwa tidak ada penghukuman, maksudnya adalah tidak ada lagi condemnation, tidak ada lagi pembuangan seperti di pasal 1. Di pasal 1 Tuhan membuang manusia, di pasal 8 tidak ada pembuangan. Tuhan sudah mengambil kita menjadi milikNya. Lalu kalau kita menjadi milik Tuhan dan masih berdosa, bagaimana? Tuhan memberikan hukum yang baru, prinsip. Dan yang namanya prinsip itu selalu ada di awal untuk dikembangkan dan dijalankan kemudian. Saudara akan bertindak berdasarkan prinsip baru, makin lama makin jelas, makin baik dan makin sanggup melakukan. Itu sebabnya poin kedua ini sangat penting, Tuhan memberikan hukum roh hidup di dalam Kristus supaya Saudara punya kehidupan yang limpah, bukan sekedar tidak berdosa. Kebiasaan Kekristenan dalam tradisi kita adalah membuang dosa, tapi tidak ambil kebaikan. “Saya buang dosa, selesai”, belum selesai. Lalu mana kebaikanmu? Ini yang tidak ada. Sehingga orang menafsirkan suci sebagai tidak berdosa lagi. “Kamu sudah hidup dalam kekudusan?”, “saya masih berdosa”, itu terus jawabannya. Memang benar kekudusan bukan berarti Saudara boleh sembarangan berdosa, tapi kekudusan juga berarti Saudara punya mode hidup yang baru, yang didedikasikan untuk Kekristenan, didedikasikan untuk Tuhan. Karena hidup di dalam roh berarti hidup ber-Tuhan. Karena ingat di dalam pasal 1, Tuhan membuang orang berdosa. Di dalam pasal 8, tidak ada lagi pembuangan, no more condemnation, “tidak ada lagi, sekarang Aku mengambil engkau menjadi milikKu”. Dan kalau manusia sudah menjadi milik Tuhan, maka sekarang dia ber-Tuhan. Kalau sekarang dia ber-Tuhan, mode hidupnya berubah. Ini poin kedua, jadi hukum roh membawa kelimpahan, bukan cuma kekosongan karena dosa telah dibuang.

« 3 of 5 »