Kita akan membahas ayat-ayat ini dan saya akan membaginya dalam 4 bagian. Kita masuk dulu di bagian pertama, apa yang kita pikir menjadi isu dalam bagian ini. Kalau kita baca ayat-ayat tadi, ayat 21-26, kita mungkin berpikir bahwa ini adalah seruan atau pergumulan dari orang yang mengalami permasalahan di dalam batinnya. Ada hati nurani yang terganggu, mengapa hati nurani terganggu? Karena dia tahu apa yang benar, tapi dia tidak sanggup lakukan. Ada hukum jangan mencuri, tapi apa boleh buat, kita terus merasa diri kurang lalu menipu orang. Jadi Tuhan punya aturan tapi saya tidak sanggup lewati. Karena itu hati nurani saya terganggu. Maka saya akan mengatakan saya manusia celaka, siapa yang akan melepaskan saya dari tubuh maut ini?”, ini yang bisa kita pikirkan. Tapi saya ingin memberi tahu problem dari tafsiran ini adalah kita melihat hukum sebagai set of rules, sebagai aturan-aturan untuk dijalankan demi sebuah tujuan lain. Jadi Taurat adalah aturan hukum, saya jalankan supaya saya dapat sesuatu yang lain. Sedangkan aturan itu sendiri hanya berhenti sebagai set of rules, hanya berhenti sebagai aturan saja. Dan sangat sulit kita memahami aturan, dan menyanyikan sebuah pujian karena aturan itu. Saudara tentu pernah membaca di dalam Mazmur 119 dimana pemazmur memuji Taurat, menyukainya, menginginkannya, menjalankannya dengan sukacita. Ada sesuatu yang agak lain dengan pengertian kita, karena pemazmur bisa dengan sangat penuh sukacita menyanyikan tentang aturan. Tidak ada di antara kita yang memikirkan tentang aturan dan menyukainya. Kita akan melihat aturan dan kita mengatakan “saya terpaksa jalankan karena saya ingin dapat sesuatu yang lain”. Mengapa kamu atur jadwal lalu taati? “Supaya saya bisa dapat apa yang saya mau, jadi aturan itu adalah cara untuk mendapatkan apa yang saya inginkan”. Aturan ada dimana-mana, aturan ketika Saudara mengemudi, aturan di dalam masyarakat, aturan dimana pun. Dan kita tidak pernah memperlakukan aturan dengan hati yang penuh kesukaan, tidak ada delight dalam hati kita untuk semua peraturan yang ada. Saudara melihat ini sebagai sesuatu yang menghalangi Saudara untuk menjalankan sesuatu yang Saudara inginkan tapi terpaksa Saudara jalani supaya Saudara dapat tujuan, mendapat apa yang Saudara inginkan. Apakah ini yang dimaksudkan Paulus, “ada Hukum Taurat saya harus jalani tapi saya gagal, karena saya gagal, saya tidak dapat apa yang saya inginkan. Dan yang saya inginkan hanya mungkin didapat dari Hukum Taurat”, apa pun itu yang diinginkan. Mungkin yang diinginkan itu keselamatan “saya ingin selamat, tapi gagal gara-gara Hukum Taurat”. Atau yang diinginkan itu adalah dekat dengan Tuhan, “saya ingin dekat dengan Tuhan tapi gagal, karena syarat dekat dengan Tuhan itu adalah jalankan Hukum Taurat. Dan saya sudah berusaha jalankan Hukum Taurat tapi gagal”, kegagalan itu membuat Paulus frustasi misalnya, sehingga dia mengatakan “aku manusia celaka, aku tidak bisa dapatkan apa yang aku ingin karena Hukum Taurat yang menjadi syarat untuk mendapatkan apa yang aku inginkan, gagal aku jalankan. Andai aku berhasil jalankan Taurat, aku bisa mendapat apa yang aku inginkan, tapi sayangnya aku gagal”. Problemnya apa? Problemnya adalah Saudara akan bentur dengan ekspresi iman orang Israel mengenai Taurat. Tidak ada dari mereka yang akan melihat Taurat sebagai aturan yang terpaksa dijalani demi mendapat sebuah tujuan. Kalau Saudara dengar Taurat dan mengatakan “ini adalah aturan”, itu hal yang wajar, Saudara akan menganggap wajar Taurat sebagai aturan hukum. Tapi Saudara tidak akan melakukan hal yang sama untuk Mazmur atau Amsal, adakah yang mengatakan “wah, Mazmur itu adalah aturan, saya harus taati Mazmur”, tidak demikian, meskipun sebenarnya sama, Saudara harus menaati Mazmur sama seperti Saudara harus menaati Taurat. Saudara membaca Amsal dan Saudara mengatakan “wah, bijaksana sekali, saya ingin menjalankan hidup seperti ini”. Jadi kita memperlakukan Mazmur atau Amsal atau membaca kisah Israel dengan cara yang beda waktu kita baca Taurat, padahal seharusnya tidak. Sama seperti kita bisa mengatakan “Mazmur itu indah”, demikian kita bisa mengatakan “Taurat itu indah”. Seperti kita mengatakan “Amsal itu sangat bijaksana sekali”, demikian harusnya kita bisa mengatakan “Taurat itu bijaksana sekali”. Jadi apa problem Paulus? Dia pasti tidak sedang mengatakan “saya ingin mencapai sebuah tujuan dan syaratnya Taurat”, Taurat itu hanya syarat, hanya serangkaian aturan untuk saya jalankan supaya saya dapat apa yang saya inginkan. Tapi Paulus tidak begitu. Problem dari Paulus bukanlah melihat Taurat sebagai syarat aturan dan dia gagal lewati. Ini sesuatu yang seringkali kita pikirkan mengenai Taurat. Kita selalu berada dalam mindset bahwa Taurat adalah penghalang untuk kita selamat, karena kita kurang cukup syarat untuk menjalankan. Tapi puji Tuhan ada Injil, Injil adalah alternatif lain untuk selamat, yang tidak ada kaitan dengan Taurat. Tapi saya akan beri tahu siapa yang bisa jalankan, kebanyakan orang Israel yang setia sudah jalankan. Di dalam Surat Korintus, Paulus mengatakan “saya jalankan Taurat dan tidak ada cacat”. Taurat bukan tidak mungkin dijalankan. Bisa dikatakan Taurat itu identitasnya Israel, atau lebih tepat lagi, Taurat adalah pertunjukan identitas Israel. Israel mesti jalankan, tidak ada pilihan lain. Tuhan tidak memberikan aturan yang mustahil dijalankan, karena dengan demikian Tuhan memberikan kepada Israel suatu kondisi yang mustahil untuk jalankan identitas mereka. Kalau begitu apa yang salah, mengapa Paulus mengatakan “aku manusia celaka, siapa dapat melepaskan aku dari tubuh maut ini?”.

Kita masuk dalam bagian kedua, kalau bukan yang pertama tadi yaitu Taurat sebagai hukum yang harus kita jalankan demi mendapatkan sesuatu. Paulus sedang berbicara seperti seorang yang berhadapan dengan kemuliaan Tuhan lalu dia bilang “aku manusia celaka”, ini merupakan respon penting yang harus kita pahami. Dan ini merupakan tema yang berulang di dalam Perjanjian Lama. Di dalam Perjanjian Lama, Yakub melihat pemandangan surga dan bumi disatukan oleh sebuah tangga yang tinggi. Lalu dia menjadi takjub dan gentar, ini reaksi ketika melihat kemuliaan surga dinyatakan. Kita dapat melihat pernyataan yang sama dari orang Israel, waktu mereka memandang puncak Gunung Sinai penuh dengan kemuliaan Tuhan, mereka langsung mengatakan “kami akan celaka kalau datang ke sana, kami tidak mau mendekat. Biar Musa saja yang pergi sebagai wakil, pengantara”. Israel menyadari perlunya pengantara karena dia melihat kemuliaan Tuhan. Kemuliaan Tuhan adalah pemandangan yang merefleksikan diri dan membuat kita sadar betapa tidak layaknya kita datang dekat kemuliaan Tuhan. Bagian yang paling populer mengenai kalimat celaka, itu dikatakan oleh Yesaya. Waktu Yesaya datang ke Bait Suci, waktu itu Tuhan menyatakan kemuliaanNya, ada seraphim yang terbang kemudian menyanyi memuji Tuhan dengan sayap yang dipakai untuk terbang, untuk menutup kaki, dan dipakai untuk wajah. Kemudian tahta Tuhan penuh dengan kemuliaan Tuhan, lalu jubah Tuhan memenuhi Bait Suci. Waktu Yesaya lihat kemuliaan yang besar ini, reaksi dia adalah “aku celaka, karena aku adalah orang yang najis bibir dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun aku melihat kemuliaan Tuhan. Kemuliaan Tuhan saya lihat dan saya rasa saya celaka”, karena waktu manusia bertemu dengan kemuliaan Tuhan, berjumpa dengan kemuliaan Tuhan, baru pada waktu itu mereka sadar mereka sangat hina, sangat rendah, sangat penuh dosa, sangat cemar dan sangat penuh dengan ketidak-layakan. Ini ketidak-layakan yang baru disadari ketika seseorang menjumpai kemuliaan Tuhan. Lalu apa kaitannya dengan Paulus? Paulus ingin mengatakan bahwa kemuliaan Tuhan bukan hanya dinyatakan lewat penuhnya Bait Suci dengan asap atau penuhnya Bait Suci dengan pemandangan menakjubkan. Kemuliaan Tuhan juga dinyatakan lewat Taurat. Taurat adalah cara Tuhan menyatakan siapa Dia dan karena itu kita tidak bisa memperlakukannya sebagai set of rules. Kita harus memperlakukannya sebagai pernyataan Tuhan. Sehingga ketika kita membaca Taurat, kita tidak hanya melihat ada aturan untuk dijalankan, kita sedang melihat Tuhan mengekspresikan diriNya. Gambaran paling indah mengenai hal ini adalah ketika Saudara membaca buku harian seseorang. Misalnya buku harian dari David Brained yang diterbitkan Jonathan Edwards. Jonathan Edwards mempunyai anak perempuan yang jatuh cinta sama David Brained. Dan ketika dia selidiki ternyata David Brained adalah seorang misionaris yang sangat cinta Tuhan. Satu kali dia datang ke rumah Edwards karena sudah kena sakit paru-paru yang parah, dan dia mengatakan “bolehkah saya tinggal di sini dulu sampai saya sembuh?”, anak Jonathan Edwards mengatakan “saya akanrawat dia sampai dia sembuh”. Dan Edwards mengizinkan. Sambil orang muda ini dirawat di rumah Edwards, Edwards banyak berbicara dengan anak muda ini dan tahu passion dia untuk orang-orang Indian. Tapi tidak lama kemudian orang ini meninggal karena penyakitnya semakin parah, dan anaknya perempuannya tertular penyakit itu dan akhirnya meninggal. Hati Edwards sangat hancur, tapi dia ingat beban dari David Brained untuk misi. Maka dia segera mengambil buku harian dari David Brained dan dipublish. Harapan dia hanya satu, waktu orang membaca buku harian David Brained, orang jadi ingin memberitakan Injil kepada orang Indian. Dia ingin passion, gairahnya David Brained untuk orang Indian menyebar ke orang lain yang membaca buku hariannya. Maka ketika orang membaca buku harian David Brained, mereka tidak menganggap itu sebagai set of rules “untuk menginjili, saya harus begini”. Mereka akan membacanya dengan penuh kesenangan, penuh delight. Dan semakin mereka baca, semakin mereka menjadi semakin komplit pemahaman akan siapa David Brained. Kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Yosua, terus sampai Wahyu adalah seperti buku harian. Tuhan mengekspresikan diriNya, sehingga waktu kita membaca, kita semakin melengkapi pengenalan kita akan Tuhan dan semakin mendapatkan beban yang Tuhan miliki di dalam hatinya. Saudara semakin menyadari siapa Tuhan dan dengan demikian Saudara semakin menyadari lukisan kemuliaan Dia yang dipaparkan juga oleh Taurat. Yang Paulus katakan bukan “saya gagal menjalankan Taurat”, justru sebaliknya, semakin orang sanggup jalankan Taurat, semakin dia mempunyai kesan akan kemuliaan Tuhan dan dia semakin berkata “celakalah aku”. Ini terbalik, Hukum Taurat bukan syarat untuk dapat sesuatu. Sebenarnya kata hukum adalah pengertian dari orang Yunani, orang Yahudi tidak kenal kata hukum, mereka pakai kata Torah untuk menunjukan ini adalah teaching, pengajaran-pengajaran dari Tuhan. Jadi bagi mereka ini bukan syarat untuk lulus atau syarat untuk dijalankan supaya mendapat sesuatu. Taurat adalah pernyataan kemuliaan Tuhan. Makin saya baca semakin saya mengerti, semakin saya jalankan makin saya dapat gambaran yang lebih utuh tentang kemuliaan Tuhan. Kemuliaan Tuhan dilukiskan, dipaparkan semakin jelas kepada saya. Dan semakin jelas saya memahami kemuliaan Tuhan, makin jelas juga saya memahami betapa cemar, jelek dan rendahnya saya. Jadi gap-nya semakin besar. Dan sebaliknya, justru orang yang gagal menjalankan Taurat tidak merasakan ada gap itu. Ini yang Calvin katakan dalam Institut buku yang ke-1, semua hikmat, merely all wisdom, hampir semua hikmat yang kita mesti miliki dalam hidup itu akan terkandung dalam dua hal yaitu mengenal Allah dan mengenal diri kita sendiri. Semakin kenal Allah, semakin merasa diri bobrok. Semakin sadar diri bobrok, semakin sadar Allah mulia dan pengharapan kita adalah berbagian di dalam kemuliaan itu. Jadi gambarannya bukan gambaran orang putus asa gagal menjalankan Taurat, ini adalah gambaran dari orang yang semakin mengerti kemuliaan Tuhan. How glorious Thou art, betapa mulianya Engkau Tuhan. Dan semakin aku melihat Engkau, semakin aku hancur di dalam kesadaran bahwa aku bukan siapa-siapa.

1 of 4 »