Maka sekarang kita lihat perpaduan kata-kata yang Paulus bagaikan, di dalam ayat 9 dikatakan “Hendaklah kasih jangan pura-pura”, di dalam bahasa asli pakai kalimat singkat “Sang kasih atau dalam kasih”, kata dalam tambahan supaya kita bisa mengerti ada ketidak-pura-puraan. Dalam kasih tidak ada kepura-puraan. Kasih sejati itu seperti apa? Saudara kita mesti mengerti dulu konteks dalam Perjanjian Baru, kasih adalah tindakan. Saudara tidak bisa bilang “Aku punya perasaan kasih”. Di dalam pengertian dari Ibrani, ahava maupun di dalam pengertian Yunani, agave, dua-duanya punya prinsip menilai lewat tindakan. Jadi kalau Saudara mengatakan “Orang itu sangat penuh kasih”, ini tidak bicara soal perasaan di dalam, ini bicara soal tindakan di luar. Kalau Saudara bersegera tolong orang, kalau Saudara segera sediakan telinga untuk keinginan, untuk keluh kesah orang lain, Saudara sediakan diri untuk tolong orang lain, Saudara sediakan diri untuk kesusahan orang lain, maka Saudara adalah orang yang mengasihi. Setiap tindakan kasih adalah kasih. Maka kalau ditanya “Apakah kamu sudah mengasihi?” kita tidak bilang “Perasaan saya masih di ambang. Saya kadang merasa mengasihi, kadang tidak”. Ini bukan tentang perasaan, kita hidup di dalam zaman yang sangat menekankan perasaan. Kita tidak melatih diri untuk menundukkan perasaan kepada prinsip etika yang benar. Kita terlalu mengabaikan prinsip Alkitab yang memerintahkan kita untuk bertekun. Dan bertekun berarti Saudara dan saya melatih perasaan kita, bukan tunduk kepada perasaan. Di dalam zaman kita, segala sesuatu ditafsirkan sebagai berbasis pada perasaan. Tapi bagi tradisi dari orang Israel, tindakan adalah kasih. Maka Paulus sedang menasehati dalam tindakan kasih belajar punya ketidakpura-puraan, ini yang mau dia tekankan. Kamu sudah lakukan tindakan kasih, kamu terbiasa melakukan tindakan kasih, awasi dirimu terhadap kepura-puraan. Ini sesuatu yang harus dijaga terus, akan ada saat dimana Saudara mungkin menjadi pura-pura, mau bertindak baik kepada orang lain tapi hatinya tidak sejahtera, terpaksa menolong. Ini yang Paulus katakan tidak boleh ada. Biasanya kita kan salah mengerti “Kalau belum tulus jangan lakukan. Saya sih mau menolong orang, tapi belum tulus, jadi tidak dulu”, itu salah. Menolong itu harus, tidak peduli engkau ingin atau tidak, namun keinginan menyusul. Ini jadi hal yang Paulus mau tekankan, dalam kasih tidak pura-pura, ini ayat 9, “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura.” Berarti mengasihi adalah sesuatu yang harus. Saudara tidak bisa tunggu ingin dulu, baru mengasih. Saudara punya keaktifan di gereja adalah keharusan sebagai orang Kristen sebenarnya. Tetapi Saudara belajar untuk punya kerelaan, kerelaan menyusul. Saudara bisa lihat cerita-cerita dari banyak misionaris besar, misalnya salah satunya adalah Nommensen, dia sebenarnya sangat ingin pergi ke manapun, salah satunya Afrika, tapi Tuhan Yesus utus dia ke Sumatera. Lalu dia belajar mencintai orang-orang di Sumatera, belajar bahasa dan budaya dan akhirnya melakukan penginjilan di Sumatera, dan menjadi salah satu misionaris paling sukses di dalam level pekerjaannya di dalam sejarah gereja. Dia tidak punya beban yang harus ditaati karena ini perasaannya, tapi dia mempunyai ketaatan. Demikian juga dengan tindakan kasih, kita harus kerjakan dan ketulusan harus dilatih kemudian. Ini seharusnya menjadi catatan kita setiap hari atau setiap minggu mungkin, kita evaluasi hari-hari yang sudah lewat di dalam minggu ini, saya sudah lakukan tindakan kasih apa saja. Bagaimana kalau aku belum rela? Tidak boleh. Kalau begitu tunggu rela dulu? Bukan Lakukan terus dan ketidak-pura-puraan menyusul. Di dalam tindakan kasih jangan pura-pura, di dalam tindakan menolong orang, jangan pura-pura, di dalam tindakan membantu kesulitan orang lain, jangan pura-pura. Berarti kalau saya sudah melakukan tindakan kasih, saya masih harus belajar hal lain? Itu yang benar, betul, setelah saya menjalankan tindakan kasih, jangan sombong, masih ada hal lain yang harus saya pelajari, yaitu hati yang tidak pura-pura. Ini yang pertama, dalam kasih belajar tidak pura-pura.

Kemudian yang kedua dikatakan di dalam menjauhi kejahatan, menimbulkan rasa benci. Ini yang kedua, jauhilah yang jahat. Prinsip ini, jauhilah yang jahat kalimatnya bagus dan sangat dimengerti. Tapi di dalam istilah Yunani katanya agak sedikit diubah, di dalam menjauhi kejahatan, bencilah. Jadi Saudara sedang bertindak menjauhi yang jahat, Saudara belajar tidak berlaku curang kepada orang lain, Saudara belajar untuk tidak berdosa, Saudara belajar untuk tidak melanggar perintah Tuhan. Tapi itu belum cukup, Paulus mengatakan “Bencilah”, muncul perasaan benci tindakan yang dosa, yang jahat, yang penuh dengan penghancuran bagi orang lain. Kita gampang sekali benci kepada orang, tapi Paulus mengatakan “kamu mesti belajar mengasihi, kalau orang yang kamu benci karena dia bertindak jahat, ditimpa kesulitan, lalu dia mengemis makanan karena keadaannya, maka kalau seterumu lapar, berilah dia makan. Kalau seterumu haus, berilah dia minum. Jadi jangan benci orangnya, tapi benci tindakan. Maka Paulus katakan di dalam menghindarkan diri dari yang jahat, belajar benci yang jahat. Saudara mulai belajar benci hal apapun yang mendegradasi kemanusiaan. Apa pun yang merendahkan perempuan misalnya dalam pornografi atau secara umum manusia, apapun yang meremehkan kemanusiaan, itu dosa yang besar. Mengapa besar? Karena manusia kita rendahkan, manusia kita anggap sampah. Belajar membenci dosa, dosa menghancurkan kamu dan saya, maka kita belajar benci dosa. Belajar konsentrasikan perasaan benci kepada tindakan jahat yang menghancurkan kemanusiaan. Saudara benci kepada dosa, ini membuat kita punya kerinduan berperang, mau supaya segala kejahatan dimusnahkan dari seluruh bumi. Menanti Tuhan datang kembali untuk musnahkan kejahatan. Selalu ada sense mau perang, tetapi kepada yang jahat. Saudara jangan salah musuh, Saudara lihat saudara seiman lalu mengatakan “kamukah musuhku?”, bukan, musuh kita adalah tindakan jahat itu sendiri. Jadi Paulus mengatakan di dalam menghindarkan diri dari yang jahat, belajar benci yang jahat. Hal ini karena menyembah Tuhan itu berarti kita harus hidup kudus dan kudus berarti mendedikasikan kepada Tuhan dan membenci yang Tuhan benci. Mencintai yang Tuhan cintai, membenci yang Tuhan benci, ini definisi indah dari kekudusan. Maka konsentrasi kepada Tuhan membuat kita membenci yang Tuhan benci.

« 2 of 4 »