Orang Farisi sudah salah melihat Taurat, mereka tidak melihat Taurat sebagai pelukis kemuliaan Tuhan, mereka melihat Taurat sebagai syarat. Ini adalah aturan-aturan, semakin dijalankan makin berhasil. Itu sebabnya ketika mereka berhasil menjalankan Taurat tanpa cacat, mereka langsung menganggap diri mereka sudah lulus dan sudah masuk di dalam level rohani yang tinggi. Sayangnya banyak orang membaca Taurat dengan cara seperti itu juga, memperlakukannya sebagai set of rules, serangkaian aturan yang harus kita jalani demi menunjukan identitas kita. Yang berhasil akan sombong, yang gagal akan mengalami trouble conscience, hati nurani yang terganggu. “Kok hidup saya seperti ini”, pukul diri dan mengatakan “saya orang yang berdosa”. Tapi merasa diri berdosa karena gagal menjalankan hukum Tuhan, itu tidak sama dengan merasa diri berdosa karena mengerti kemuliaan Tuhan. Ketika Saudara menyadari kemuliaan Tuhan, tidak ada yang bisa menolong Saudara dari perasaan ini. Tidak peduli prestasi kita, tidak peduli berapa banyak kita sudah melakkan Taurat, tidak peduli berapa rohaninya kita, begitu kita menyadari kemuliaan Tuhan yang ada adalah “celakalah aku”, itu yang menjadi reaksi. Ini merupakan bijaksana yang sangat penting. Calvin mengatakan bahwa ini adalah the some of all wisdom, ini adalah dalam istilah yang dia pakai summa sapientia, totalitas dari hikmat. Kamu ingin berhikmat, ini totalnya yaitu kesadaran bahwa “saya bukan siapa-siapa, karena saya berhadapan dengan kemuliaan Tuhan”. Tapi kalau kita masih menganut pola lama yang dianut oleh orang Farisi, tidak heran kalau kita menjadi kacau karena gagal dan menjadi sombong kalau berhasil. Dan mungkin ini juga yang kita pakai waktu menjalankan tugas kita, pelayanan kita dan kewajiban kita, ada imbal baliknya. “Saya sudah setia”, maka kesetiaan dianggap sebagai sesuatu yang berat, yang terpaksa dijalankan, kalau boleh tidak perlu dilakukan, tapi kalau terpaksa ya harus, demi mendapatkan sesuatu di ujung sana. Ini adalah investasi, ini adalah keinginanku untuk menjalankan yang terpaksa saya jalankan untuk mendapatkan apa yang saya harap dari Tuhan”. Tapi Paulus tidak melihat Taurat dengan cara seperti itu. Bagian kedua ini, Paulus sedang membahasakan kembali seruan dari orang-orang Perjanjian Lama ketika melihat kemuliaan Tuhan. Bisakah Saudara mengatakan “mati saya, saya melihat kemuliaan Tuhan”, kalau kita tidak lihat kemuliaan Tuhan? Tidak mungkin. Kita tidak akan mengatakan mati karena kita rasa kita tidak berada dalam keadaan yang hancur oleh sebab kita berjumpa dengan kemuliaan Tuhan. Karl Barth pernah menjelaskan dengan clear sekali mengenai hal ini, dia pernah mengatakan encounter dengan Tuhan, perjumpaan dengan Tuhan adalah sesuatu yang akan membawa kesulitan dalam batin setiap orang. Semua orang akan hancur dan mengatakan “kalau begini, saya harusnya mati”. Ketika Karl Barth mengatakan “saya berjumpa Tuhan, saya tergoncang sekali”, ini sesuatu yang diremehkan oleh banyak orang. Sebenarnya atheis di dalam posisi hidup, di dalam pilihan di dalam hidupnya, tapi tidak merasa atheis karena dia pikir dia sudah beragama. Dia sudah punya Kekristenan, sudah dibaptis, sudah ke gereja, tapi tidak pernah merasa perjumpaan dengan Tuhan ada hal yang menggentarkan. Tidak rasa ada sesuatu yang perlu diubah dari bertemu dengan Tuhan. Bertemu dengan Tuhan seperti cuma bertemu satpan di depan pintu atau orang-orang yang kita temui di pinggir jalan, “Tuhan sama saja”, ini tidak bisa terjadi. Paulus sendiri mengatakan “saya celaka, karena saya sendiri melihat lukisan kemuliaan Tuhan”.
Dimana lukisan kemuliaan Tuhan? Apakah Paulus mengalami pengalaman Yesaya? Bukan, dia membaca Taurat. Ini pengertian yang indah sekali, dia membaca Taurat dan dia lihat kemuliaan Tuhan dipamerkan. Waktu dia melihat kemuliaan Tuhan dipamerkan, dia merasa “celakalah saya”, mengapa celaka? “Karena saya tidak layak bersatu dengan Tuhan. Kemuliaan Tuhan dinyatakan, tapi saya tidak boleh bersatu dengan Dia”. Bayangkan berapa jauhnya dengan tafsiran “ada set of rules saya coba jalankan, kalau gagal, saya mati. Kalau berhasil, puji Tuhan”, bukan begitu. Taurat diberikan supaya orang Israel tahu betapa mulianya Tuhan. Tapi Taurat diberikan bukan hanya untuk orang Israel memandang kemuliaan Tuhan, Taurat diberikan supaya orang Israel berbagian di dalam Taurat Tuhan. Maka ada kalimat penting di dalam Kitab Imamat, “kuduslah kamu karena Aku Tuhan Allahmu adalah kudus”, ini bukan perintah tapi pernyataan. “Kuduslah kamu”, bukan perintah supaya kudus, Saudara bisa baca dalam bahasa asli, itu bukan perintah. “Kuduslah kamu” artinya Tuhan memberi tahu kamu kudus. “Tuhan, mengapa saya kudus?”, “karena Aku Tuhan Allahmu kudus”, “kalau Engkau kudus, mengapa kami jadi ikutan kudus?”, “karena engkau berbagian di dalam Aku”. Tapi Paulus tidak pernah merasa bisa “mana bisa?”, berbagian di dalam Tuhan berarti apa yang ada pada Tuhan juga ada pada saya. Kemuliaan dari kesucian, keadilan, kesabaran, kemurahan yang ada pada Tuhan harusnya ada pada saya. Tapi waktu saya mencoba menikmati kemuliaan Tuhan dengan menjadi gambarNya, saya gagal. Ini menunjukan bahwa kemuliaan Tuhan dipaparkan, dan “saya bukan saja gagal berbagian, saya bahkan gagal untuk bertahan di hadapan Dia”, dan ini yang membuat Paulus mengatakan “saya manusia celaka, siapa dapat melepaskan aku?”, ini bagian kedua, ini problemnya.