Lalu, di dalam abad yang keempat awal, Kaisar Konstantin Agung, waktu itu dia belum jadi Kristen, mulai menyadari dampak besar dari Kekristenan. Orang Kristen ini adalah orang-orang yang menyebarkan ajarannya dengan sangat efektif. Kaisar Konstantin sadar, penyebaran Kekristenan adalah penyebaran paling besar di dalam Kekaisaran Roma. Tidak ada agama yang menyebar sebesar dan secepat agama Kristen. Tidak ada iman yang sangat sulit dimengerti seperti iman Kristen. Percaya Allah Tritunggal, mengerti inkarnasi, dwi natur Kristus, sebenarnya sangat sulit, tetapi menyebar begitu cepat. Tidak ada ajaran yang asing karena menyembah satu Allah yang tidak ada image-nya, yang bisa mempengaruhi Kekaisaran Roma seperti agama Kristen. Itu sebabnya dengan kecerdikan dari Kaisar Konstantin, dengan bijaksana yang dia miliki tahu bahwa orang Kristen tidak boleh dianggap remeh, harus dirangkul. Karena mereka makin besar, jumlahnya makin banyak, makin banyak orang-orang hebat, petinggi petinggi militer dan juga orang-orang kunci di dalam bidang politik menjadi Kristen. Kalau Kristen bisa masuk ke tempat ini, lalu kita hina mereka, kita desak mereka, kita aniaya mereka, kerajaan ini bisa pecah. Itu sebabnya, di tahun 300-an awal, sekitar 312, Kaisar Konstantin bersama dengan kaisar dari wilayah belahan lain Roma (waktu itu Roma sengaja dibagi 2 demi efektivitas administrasi), mereka menandatangani perjanjian di Milan bahwa orang Kristen sama seperti warga lain harus diterima. Tidak boleh ada yang didiskriminasi karena iman Kristennya. Agama Kristen menjadi agama yang bukan terlarang lagi.

 Bayangkan dari awal menyebar sampai hampir 300 tahun, agama Kristen terus dikucilkan, terus dianggap tidak penting, terus dianiaya, menunggu ratusan tahun, baru akhirnya diterima sebagai agama yang bisa dianut di Kekaisaran Roma. Tidak lama setelah itu, Kaisar Konstantin pun masuk Kristen. Meskipun dia tidak mau dibaptis (sampai saat dia mau mati baru dia minta dibaptis), Kaisar Konstantin menjadi Kristen tetapi dia bukan pendukung ajaran Kristen yang utama. Dia adalah pendukung ajaran sesat karena dia banyak dipengaruhi oleh Arianisme. Namun, karena dia tidak mengerti teologi, tidak mengerti doktrin, maka dia tidak membela ajaran tertentu, sehingga tetap Tuhan pakai untuk membuat agama Kristen menjadi agama yang stabil di seluruh Kekaisaran. Maka penganiayaan demi penganiayaan mulai berhenti, orang Kristen tidak lagi dipersulit, tidak lagi ditangkap, tidak lagi dibakar, tidak lagi dihukum mati. Tetapi, seorang bernama Richard Mouw, seorang yang pernah menjabat sebagai presiden dari Fuller Theological Seminary  membuat tulisan yang mengatakan bahwa Kekristenan mempunyai zaman keemasan sebelum Konstantin. Ketika mereka dianiaya, ini zaman keemasan. Waktu mereka diberikan tempat bagus, ini zaman keruntuhan. Tulisan ini membuat kaget, mengapa waktu orang Kristen sudah diterima, dianggap baik, dianggap stabil, dianggap penting, bahkan menjadi agama resmi dari Kekaisaran Roma, di sini Kekristenan menjadi keropos dan menjadi menurun? Kita tidak mengerti argumen apa yang mau diberikan Richard Mouw. Lalu, Richard Mouw memberikan argumen bahwa sebelum Kekristenan menjadi agama resmi, Kekristenan adalah agama yang dianut karena pengertian. Siapa mau jadi Kristen, dia akan timbang-timbang. Kalau jadi Kristen hidup menderita, dianiaya, mungkin haknya untuk hidup dicabut, mungkin tidak bisa punya karier di politik, mungkin tidak bisa melakukan apa-apa karena pemerintah menekan. Kalau begitu untuk apa saya jadi Kristen? Untuk apa menjadi orang yang dikucilkan dari kekaisaran? Tapi,  mengapa Kekristenan menyebar?  Ini yang ditanyakan oleh Richard Mouw, mengapa agama yang sangat direndahkan, sangat diremehkan dan didiskriminasi bisa punya pengikut begitu besar? Apa yang menarik dari Kekristenan? Mengapa orang lebih pilih dianiaya asal jadi Kristen dari pada hidup enak tapi bukan Kristen? Mengapa Kekristenan begitu punya daya tarik besar? Ini perlu kita selidiki.

Paulus mengatakan kalimat yang sangat penting di dalam Filipi 1, “Kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus tetapi juga untuk menderita bagi Dia.” Kalimat yang sulit. Kalimat yang tidak bisa kita aplikasikan dengan rela, tetapi mengapa Paulus menulis begini? Apakah orang Kristen orang-orang yang suka menderita? Tidak! Apakah orang Kristen lebih suka dianiaya daripada hidup bebas? Tentu tidak! Apakah orang Kristen lebih suka mati karena martir dari pada hidup tua dengan sejahtera? Tentu mereka lebih suka hidup sampai tua dengan sejahtera! Hidup melihat anak cucu baik-baik bertumbuh menjadi sehat. Tidak ada orang yang suka aniaya. Tidak ada orang yang suka hidup di dalam ancaman kematian. Orang Kristen bukan orang bodoh yang tidak peduli hidup. Orang Kristen bukan orang gila yang tidak suka hidup. Orang Kristen bukan orang tidak normal yang tidak suka kestabilan. Mereka suka kestabilan, mereka senang hidup yang baik, mereka ingin hidup damai, mereka ingin sejahtera, mereka ingin sukses, mereka ingin mapan.

« 2 of 8 »