Paulus mengatakan “hai saudara-saudaraku yang kekasih”, dia mulai dengan pernyataan kasih, “saya sayang kamu dan saya ingin kamu taat”. Paulus tidak mengatakan “saya bosmu maka saya perintahkan kamu taat”. Dia mengatakan “hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu selama ini taat”, mengapa bisa taat? “Karena saya korbankan diri untuk menangkan hatimu”. Hai orang tua, kamu sudah korbankan diri untuk menangkan hati anak? Atau cuma membuat undang-undang di pintu kulkas? Aturan nomor 1 tidak boleh pulang malam, nomor 2 kalau pulang kemalaman lebih baik pulang pagi sekalian. Saya pernah seperti itu, papa saya mengatakan “kalau pulang lewat dari jam 11 malam, saya tidak mau bukakan pintu, tidak perlu pulang sekalian”, saya tidak pulang selama seminggu, itu dulu waktu belum bertobat. Begitu pulang, papa juga malas bicara dengan saya. Saya tidak mengatakan anak boleh nakal, anak boleh memberontak. Tapi saya ingin memberi tahu, tidak ada anak yang tidak ingin taat, tapi ada sesuatu dalam hati mereka yang merasa tidak nyaman “mengapa mesti begini?”. Lalu waktu dinyatakan mengapa mesti begini, mereka kurang setuju, jadi bagaimana? Kadang-kadang kita mengatakan “kamu taat dulu, pokoknya taat dulu baru nanti mengerti”, itu cara paling mudah, itu cara paling tidak ada penderitaan, itu cara paling tidak perlu berkorban. “Pokoknya taat dulu”, mengapa mesti begini? “Tidak peduli, saya tidak mau berikan penjelasan. Pokoknya taat dulu, kamu masih kecil bagaimana bisa mengerti?”. Saya tidak mengatakan ini tidak berlaku untuk anak kecil. Saudara tidak mengatakan ke anak kecil “jangan jalan-jalan keluar”, Saudara tidak perlu menjelaskan. Tapi anak tidak kecil selamanya, manusia bukan manusia kecil. Manusia tidak kecil selamanya, rohani manusia bukan rohani kecil, jiwa manusia bukan jiwa anak kecil terus-terusan. Ada kalanya manusia perlu penjelasan, ada kalanya manusia perlu diyakinkan hatinya. Dan seringkali manusia perlu dimenangkan hatinya, baru dia taat. Paulus memenangkan hati dengan cara apa? Paulus mengatakan “seperti seorang imam mengorbankan diri, saya korbankan diri supaya kamu taat kepada Tuhan”. Sedangkan kita punya pendekatan lain, “saya korbankan kamu kalau kamu tidak mau taat kepada Tuhan”, bukan ini caranya. Mari belajar apa itu taat, mari belajar apa itu menjadi imam yang memberi diri supaya orang tahu bagaimana taat kepada Tuhan. Ketaatan itu penting tetapi ketaatan tidak bisa muncul begitu saja. Ketaatan itu penting, tapi ketaatan diinspirasi oleh kerelaan berkorban. Rela berkorban membuat orang mau taat. “Mengapa aku mau taat kepada Tuhan? Karena Juru selamatku mati di atas kayu salib. Karena Dia dipaku, tanganNya dipaku, kakiNya dipaku, darahNya dicurahkan, badanNya dipecah untuk saya. Jika saya sudah terima pengorbanan demikian besar, apakah mungkin saya tidak menaati Dia?”. Pengorbanan itu perlu karena pengorbanan menunjukkan setiap prinsip yang keluar dari mulut orang yang berkorban adalah demi kebaikan bersama, tidak ada yang untuk diri. Kalau dia marah, ini untuk kepentingan bersama. Kalau orang tua marah hanya karena dia emosi, orang tua itu sudah membuat rugi dirinya dan otoritasnya. Kalau engkau marah bukan untuk hal yang penting, engkau sudah merugikan otoritasmu sendiri. Dalam kalimat yang pernah dikatakan oleh kakek saya, kakek saya itu teolog yang awam, bahasa-bahasa sederhana tapi dalam, dia mengatakan “kamu kalau jadi orang tua, kamu ada jatah marah, jangan sembarangan dihabiskan untuk hal tidak penting”. Misalnya, ini contoh dari saya, satu bulan ada jatah marah 8x, kira-kira Saudara habiskan untuk apa? Anak tumpahkan air “mengapa tumpahkan air? Akhirnya mejanya rusak, tahu tidak kayu ini mahal? Kamu ini bagaimana sih?”, jatah marah tinggal 7. Jatah marah ini perlu dikeluarkan atau tidak? Anak cuma tumpahkan air, tapi marahnya seperti Hitler. Mungkin kalau Saudara punya tentara, Saudara akan memasukkan anakmu ke kamp konsentrasi. Jatah marah tinggal 7, lalu Saudara marah lagi karena sedang kesal “saya sedang stress, banyak pekerjaan di kantor, saya dimarahi bos karena itu saya marah-marah di rumah”, tinggal 6. Lalu marah lagi, tinggal 5. Dan dari jatah yang diambil itu, engkau semakin berwibawa di mata anakmu atau tidak? Makin berwibawa atau tidak atau semakin seperti badut? Orang marah untuk hal tidak penting, semakin dianggap seperti badut.

Maka mari pikirkan baik-baik bagaimana membentuk ketaatan. Paulus membentuk ketaatan jemaat Filipi dengan rela berkorban, di mana dia pergi, dia menjadi imam yang mengorbankan diri. Lalu orang sadar “mengapa engkau datang ke Filipi?”, “supaya kamu mendapat Injil”. “Mengapa engkau siang malam kerja?”, “supaya engkau menjadi gereja yang bertumbuh”. “Mengapa engkau mati-matian berjuang?”, “supaya engkau bertumbuh menjadi komunitas yang menikmati Tuhan dan menikmati kasihNya”, ini komunitas yang menyenangkan. “Berarti engkau bekerja keras untuk saya, yang engkau kerjakan untuk saya. Kalau begitu engkau menyanyangi saya”. Begitu orang sadar “orang ini menyanyangi saya maka saya akan mulai taat kepadanya, karena dia sayang saya”. Itu sebabnya anak gampang taat kepada orang tua karena dia tahu orang tuanya akan melakukan apa pun untuk dirinya. Ada hal-hal yang dia tidak taat, tapi tetap mau tutup mulut “baik, saya akan taat dulu”, karena dia tahu orang tuanya mengasihinya. Tapi orang tua paling baik bukan orang tua yang menunjukkan “saya mengasihi kamu”. Orang tua paling baik adalah orang tua yang menunjukkan “Tuhan mencintai kamu. Karena Tuhan mencintai kamu, maka cinta Tuhan kepadamu itu yang aku berikan”, orang akan jauh lebih penuh sukacita dan kedamaian karena diperkenalkan dengan kasih yang paling besar. Jadi Paulus bekerja untuk menggerakkan orang-orang Filipi supaya taat, “hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu saya sayang. Dan karena saya mencintaimu maka saya berjuang bagi kamu, sekarang mari taat”. Orang Filipi mengatakan “saya siap taat”. Tidak ada seruan yang lebih menggetarkan hati dari pada seruan dari orang yang rela berkorban demi orang-orang yang dia cintai. Paulus mengatakan “kamu senantiasa taat, waktu ada saya, kamu taat, karena kamu melihat saya rela berkorban bagi kamu. Kamu lihat tiap hari saya seperti apa, kamu melihat apa yang saya kerjakan setiap hari”. Waktu Saudara kerja keras untuk seseorang, orang sadar rela berkorban demi dia, tiap melihat Saudara dalam keadaan lelah, tiap kali melihat Saudara mau bekerja keras, langsung dia punya hati mau tunduk. “Kamu pemimpinku yang berkorban demi kami, kami rela taat kepadamu”. Saya tidak tahu apakah Saudara punya pengalaman menuntun Pdt. Stephen Tong naik ke mimbar atau tidak, tapi itu pengalaman yang mengharukan sekali. Karena Saudara akan memegang tangan yang gemetar terus, yang seperti mau jatuh kalau tidak ada yang menopang. Setiap kali menuntun selalu ada perasaan di dalam hati “ini kalau tidak dituntun, apakah dia bisa berdiri atau tidak. Di mimbar siapa yang bisa pastikan dia bisa berdiri? Perlukah di belakangnya ada orang yang siap-siap tahan atau bagaimana?”, setiap kali ada perasaan seperti itu. Lalu sesampainya di mimbar, bertahan dan bertumpu, tiap kali dia berkhotbah langsung ada perasaan terharu, ini yang membuat kita taat. Bukan penjilat, bukan dipaksa taat, tidak ada yang paksa untuk taat. Tapi melihat cinta kasih yang rela dinyatakan dalam pengorbanan, ini membuat orang taat. Tapi orang yang rela berkorban, orang yang tunjukkan pengorbanan dalam kasih, orang yang adil dan sabar di dalam menangani orang lain, orang seperti ini akan mendapatkan kasih dan ketaatan. 

« 2 of 5 »