Filipi 2: 12 “Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya. Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia, sambil berpegang pada firman kehidupan, agar aku dapat bermegah pada hari Kristus, bahwa aku tidak percuma berlomba dan tidak percuma bersusah-susah. Tetapi sekalipun darahku dicurahkan pada korban dan ibadah imanmu, aku bersukacita dan aku bersukacita dengan kamu sekalian. Dan kamu juga harus bersukacita demikian dan bersukacitalah dengan aku. Kita sudah membahas mengenai ketaatan dan sekarang kita melihat apa yang Paulus tekankan di dalam mengerjakan keselamatan. Ini merupakan hal yang sangat penting karena ayat yang ke-13 mengatakan “Allah lah yang mengerjakan di dalam kamu, baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaanNya”. Ini Paulus katakan setelah sebelumnya Paulus mengatakan “kerjakanlah keselamatanmu dengan takut dan gentar”. Jadi Paulus memerintahkan orang Filipi untuk punya keinginan untuk taat, keinginan untuk hidup benar, tapi Paulus mengatakan “alasan engkau harus hidup benar adalah karena Roh Kudus yang menggerakkan”. Ada prinsip yang orang-orang pada abad pertama Kekristenan sangat mengerti, tetapi kita yang di dalam zaman modern kurang bisa mengerti. Ada hal yang luput karena cara berpikir yang beda. Di dalam pengertian dari orang-orang di abad pertama, kedaulatan Tuhan dan kerelaan kita, pengaturan Tuhan dan kebebasan kita, ketetapan Tuhan dan tanggung jawab kita, itu tidak pernah dilihat sebagai dua hal tapi selalu dilihat sebagai satu kesatuan. Ini tidak lagi terjadi ketika kita masuk ke dalam zaman modern, karena orang modern punya cara berpikir yang sekarang kita warisi yang beda dengan cara berpikir dari orang-orang di abad pertama. Jadi kadang-kadang kita mesti pahami dulu hal apa yang jadi cara berpikir orang dulu dan hal apa yang sekarang kita sudah tidak lagi anut dan tanpa sadar membuat kita sulit memahami Kitab Suci. Di dalam zaman modern ditekankan bahwa otonomi manusia atau kebebasan manusia berarti kemampuan manusia untuk lepas dari determinisme atau dari penentuan apapun. Binatang tidak bebas, karena binatang sangat ditentukan oleh alam. Tetapi manusia bebas karena manusia bisa memanipulasi alam. Binatang tidak bebas karena binatang tergantung lingkungan. Manusia bebas karena manusia bisa mengatur ulang lingkungan. Manusia masuk hutan lalu mengatakan “saya tidak cocok di sini”, dia akan tebang hutan, dia akan membuat pondok, dia bersihkan dari segala yang kotor, baru dia mengatakan “ini baru saya nyaman di dalamnya”. Manusia bisa melakukan itu dengan sangat ekstrim sehingga muncul kota, bukan lagi hutan. Muncul peradaban dan bukan lagi rimba. Ini sesuatu yang membedakan manusia dari binatang menurut orang modern. Kita lepas dari penentuan di luar kita, itu tandanya kita bebas, itu tandanya kita manusia, itu tandanya kita maju. Apakah kamu masih diatur oleh kuasa-kuasa alam? Tidak, berarti kamu orang modern. Orang zaman dulu masih primitif, dia tidak bisa lepas dari apapun yang alam diktekan kepada dia. Kalau alam sudah diktekan, dia tidak bisa lakukan apapun yang lain. Tapi manusia modern bisa mendikte alam. Jadi tidak ada kekuatan di luar manusia yang akan intervensi kepada manusia, ini pengertian modern. Tanpa sadar pengertian ini membuat orang sulit menempatkan Tuhan karena Tuhan dianggap sebagai pihak luar yang intervensi kepada saya. “Berarti kalau saya masih primitif, saya diintervensi Tuhan pun tidak akan masalah. Saya orang kuno, saya orang yang belum maju, saya orang modern, saya belum mengalami modernisme, maka kalau Tuhan intervensi, saya tidak masalah. Kalau Tuhan mengatur hidup saya, saya tidak merasa ada masalah. Kalau Tuhan yang membuat saya melakukan apapun, saya taat”, ini pengertian kuno. Tapi kita orang modern tidak mau itu lagi. Maka orang modern tidak mau langsung menolak Tuhan, tapi mereka interpretasi ulang Tuhan. Mereka menekankan, “Tuhan itu tidak akan mengganggu kita, Tuhan tidak akan ambil kebebasan kita, Tuhan tidak akan membuat kita menjadi makhluk primitif lagi, karena kita orang bebas”. Maka orang modern tidak suka tema predestinasi, orang modern tidak suka tema kedaulatan Allah, karena mereka merasa ini adalah bentuk intervensi terhadap kebebasannya “masa Tuhan pilih saya? Saya yang pilih Tuhan, karena saya bebas. Masa Tuhan menentukan siapa selamat siapa tidak? Manusia yang menentukan dengan pilihan bebas dia. Kalau dia mau selamat, berjuanglah percaya Tuhan. Kalau dia tidak mau selamat, silakan jangan percaya Tuhan, ini tergantung manusia”. Jadi orang modern sulit mengatakan tergantung Tuhan, lebih suka mengatakan tergantung manusia dan Tuhan ikut saja program manusia. Jadi ketika ditanya kepada orang modern “seperti apa Allahnya orang Kristen?”, mereka interpretasi ulang doktrin dengan mengatakan “Allah kita adalah Allah yang memberikan niat di hati, tapi yang tidak mencampuri apapun yang menjadi keputusan kita. Silahkan putuskan sendiri, Dia di luar, Dia tidak intervensi, karena kita orang modern”. Tetapi cara berpikir seperti ini bukan cara berpikirnya Paulus, bukan cara berpikir pembaca mula-mula dari Surat Filipi dan bukan cara berpikir semua manusia di abad yang pertama. 

Bagaimana cara mereka berpikir dulu? Mereka menganggap bahwa kesatuan antara kehendak Tuhan dan pilihanku itu hal yang normal dipahami. Dan Saudara akan sadar lebih rumit memahami apa yang orang dulu pahami dibandingkan kita. Sulit menjelaskan bagaimana engkau menerima Allah berdaulat, tapi engkau tetap bebas. Maka kadang-kadang saya merasa teori yang terlalu di-simple-kan membuat pikiran kita jadi terlalu simple juga. Kita orang modern mempunyai kemampuan berpikir rumit di dalam hal teknologi, tapi punya kemampuan berpikir yang payah di dalam filosofi dan pengertian hidup. Kita diberikan teori, pengertian, filosofi atau teologi, pikiran kita sulit mengolahnya, karena kita sebenarnya tanpa sadar sudah lebih bodoh dari orang dulu, kecuali dalam hal teknologi. Orang dulu mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi, mengambil dan membangun cara berpikir atau wawasan kalau tadi dikatakan oleh liturgis, membangun cara berpikir yang rumit, yang tidak mudah untuk dijelaskan. Bagaimana engkau percaya Allah mengatur segala sesuatu tapi engkau tetap merasa bebas? “Kalau engkau menolong orang, ini kamu atau Tuhan?”, “Tuhan”. “Kalau begitu kamu tidak ada niat?”, “ada”. “Jadi ini dari kamu atau dari Tuhan?”, “dari Tuhan dan dari saya”, “bagaimana menyatukan ini?”, “itu memang satu kan”, dan mereka bingung. Jadi mereka akan bicara begitu, dan kita heran “tidak ini tidak satu, ini dua hal. Kalau Tuhan yang tentu tentukan berarti kamu tidak punya bagian. Kalau kamu yang tentukan berarti Tuhan tidak punya bagian”. Hatimu ambil keputusan itu dari Tuhan atau dari dirimu? Orang pembaca Filipi akan mengatakan “dua-duanya, dari Tuhan dan dari diri, mana bisa cuma salah satu?”, ini yang orang dulu akan pikir. Tapi orang modern akan heran dengan jawaban itu “mana bisa dua-duanya”, tapi orang Perjanjian Baru akan mengatakan “mana bisa cuma salah satu”. Akhirnya kita berdebat di situ. “Siapa yang mengatur hatimu, Tuhan atau kamu?”, “dua-duanya, mengapa kamu aneh?” kita orang modern mengatakan “kamu yang aneh, masa bisa dua-duanya, harus pilih salah satu”. Maka orang kuno akan mengatakan “ini bukan multiple choice, ini pilih semua, ini semua jawaban benar”, itu bedanya kita dengan mereka. Maka kita sulit mengerti doktrin-doktrin seperti kedaulatan Allah, “kalau Allah berdaulat, di mana kebebasanku?”, ini pertanyaan khas modern. “Kalau Tuhan memilih untuk saya diselamatkan, di mana tanggung jawab iman saya?”, orang kuno akan mengatakan “di situ, di kamu”, “katanya Tuhan yang melakukan”, “memang Tuhan”, “kalau begitu Tuhan, bukan saya”, “ya kamu juga”, “maksud kamu bagaimana?”, mereka balik tanya, “kamu yang bagaimana?”. Ini susah, untung kita tidak punya mesin waktu, kalau tidak perdebatan tidak habis-habis dengan orang abad pertama. Kita main ke tempat mereka dan debat hal ini sampai kita pusing dan mereka juga pusing. Kita heran sama mereka “mengapa kamu berpikir begini?”, dan mereka heran sama kita “kok kamu berpikir begini?”. Kita yang terlalu lalai mempelajari sejarah akhirnya lupa bahwa cara berpikir manusia di dalam sejarah itu beda. Kita sudah terlalu nyaman dengan cara berpikir kita di zaman ini sehingga kita mengasumsikan semua orang sepanjang zaman dari Adam sampai Adam Smith dan Adam West, semua bicara, berpikir dan punya konsep yang sama dengan saya, tidak. Kita punya konsep di zaman kita dan zaman lampau tidak tentu memiliki konsep yang sama dengan zaman kita sekarang. Itu sebabnya ada kesulitan memahami ayat yang ke-12 dan ke-13, “Hai saudara-saudaraku yang kekasih”, kata Paulus di ayat 12 “kamu senantiasa taat karena itu tetaplah Kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar”, Paulus memerintahkan ini kepada orang Filipi. “Mengapa saya mesti kerjakan keselamatanMu dengan takut dan gentar?”, ayat 13 Paulus menjawab “karena Allahlah yang mengerjakan”. “Jadi siapa yang mengerjakan, Allah atau saya?”. Paulus mengatakan “kamu kerjakan”, “mengapa?”, “karena Allah mengerjakan”, “jadi siapa yang kerjakan?”. Kita bingung, tapi orang Filipi tidak bingung. Di sini kita mesti mengakui, kita mesti bertobat dan menjadi mirip dengan mereka dalam cara berpikir. Jadi siapa yang kerjakan keselamatan? Tuhan, maka saya mesti bergiat. Kamu harus hidup suci karena Tuhan yang kerjakan, “Tuhan yang kerjakan berarti saya harus hidup suci”. Mengapa konsep ini ada pada mereka? Karena mereka melihat ada kesatuan antara Tuhan dan jiwa manusia. Ini sesuatu yang orang modern sudah tidak punya. Kesatuan antara Tuhan dan jiwa manusia. Tuhanlah pencipta jiwa dan Tuhanlah penopang jiwa manusia. 

1 of 4 »