Demikian juga Yesaya, Yesaya seperti foreshadowing, seperti menampilkan di bagian awal tentang siapa Kristus lewat kehidupan dia. Maka Yesaya bergumul “saya ini siapa?”, “nabi”, “apa tugas nabi?”, ini kalimat penting di dalam Yesaya pasal 50, tugas nabi paling utama adalah jadi murid. Demikian berkhotbah, Saudara tidak bisa belajar teori berkhotbah, Saudara belajar mendengarkan khotbah. Mendengar pengkhotbah dengan mendengar jemaat itu lain, seorang pengkhotbah waktu mendengar khotbah (ini lelucon dari teman saya), itu salah. Maka apa yang membedakan pengkhotbah dengan jemaat biasa? Waktu pengkhotbah dengar seorang berkhotbah, dia mulai berpikir “bagaimana caranya saya mengaplikasikan apa yang baik dari apa yang saya dengar? Apa yang menarik, apa yang beda, apa yang penting untuk saya pelajari, apa yang salah yang dia lakukan yang harus saya hindari?”, ini semua penting sekali. Maka siapa belajar dengar khotbah baik, lalu dia mendapat begitu banyak masukan tentang khotbah, ini orang akan jadi pengkhotbah. Demikian siapa yang mau jadi nabi, kira-kira begitu di dalam Yesaya 50. Siapakah nabi? Orang yang pintar ngomong, orang yang pintar khotbah, orang yang pintar menyatakan Firman, orang yang pintar menyatakan dengan retorika yang baik, urutan-urutan argumen yang baik? Bukan, Yesaya mengatakan “Tuhan Allah telah memberikan kepadaku lidah seorang murid”. Lidah seorang murid, ini merupakan sesuatu yang sangat unik karena lidah murid adalah lidah yang mengulangi apa yang dia dengar. Ini bedanya lidah murid dengan lidah biasa, di dalam kebiasaan rabi-rabi Yahudi, ini kebiasaan tentu sudah dari Perjanjian Lama, para pengajar biasanya akan meminta pendengar atau murid untuk mengulangi dan menghafal apa yang dia katakan. Ini agak mirip dengan metodenya Pak Tong, Pak Tong sering suruh kita untuk mengulangi kalimat dia, kecuali ketika dia lagi bicara Bahasa Mandarin, kita kesulitan untuk mengulangi. Tapi kadang-kadang dia mengatakan kalimat lalu dia mengatakan “semua ulangi”, lalu kita ulangi. Ini metode mirip dengan rabi-rabi Yahudi karena rabi Yahudi akan meminta pendengarnya mengulangi apa yang dikatakan. Berarti apa yang didengar langsung diaplikasikan di dalam bentuk pembicaraan, ini lidah seorang murid. “Apa yang saya dengar, itu yang saya bagikan. Apa yang saya ketahui, itu yang saya bagikan”. Dan seorang nabi dituntut oleh Tuhan untuk peka. Kita berpikir jadi nabi itu adalah anugerah khusus karena Tuhan nanti akan memberi penglihatan, memberi apa, tapi bukan itu. Nabi punya tugas utama menafsir, bukan cuma dengar dan ngomong. Lidah seorang murid berarti dia menangkap dengan tepat lalu dia membagikan dengan tepat, itu namanya lidah seorang murid. Tapi lidah yang bodoh atau murid yang kurang peka, dia dengar apa, hal penting apa disampaikan, dia akan disampaikan hal yang kurang penting. Kadang-kadang orang tidak peka seperti itu, tidak tahu mau menangkap apa. Mengapa? Karena tidak punya kemampuan menangkap seperti seorang murid. Jadi siapa dengar khotbah, apakah dia dengar hal yang paling esensial atau tidak. Orang yang mau dengar hal yang paling esensial, dia mesti belajar untuk mengerti apa yang ditekankan oleh gurunya, bukan apa yang jadi tekanan di dalam hidup dia. Sama seperti ketika Saudara membaca Alkitab, Saudara membaca Yesaya, Saudara mesti tahu apa yang Yesaya tekankan lebih daripada apa yang Saudara butuhkan, atau yang Saudara pikir Saudara butuhkan. Tapi seringkali kita mendekati Alkitab dengan punya kebutuhan, dan kita ingin kebutuhan itu dipenuhi. “Saya mau cari pacar, Tuhan. Apa yang Yesaya katakan tentang pacaran?”, tidak ada. Yesaya tidak bicara apa-apa soal pacaran. Kalau begitu bagaimana pacaran dari Yesaya? Tidak ada, paling Saudara baca Yesaya 53, lalu Saudara menerapkan itu dalam berpacaran, “pacarku kalau kamu mau dicambuk, aku yang tanggung. Kalau kamu mau disakiti aku yang tanggung, tapi ini kan bukan untuk pacaran. Jadi ketika Saudara baca Yesaya, Saudara mulai menangkap apa yang jadi tekanannya Yesaya. Yesaya peduli apa, itu yang saya mau pedulikan. Guruku peduli apa, itu yang saya mau pedulikan. Lidah seorang murid (kalau dia adalah nabi) adalah orang yang mengerti dengan tempat beban hatinya Tuhan, apa yang membuat hati Tuhan sedih, apa yang membuat Tuhan bergumul, apa yang membuat Tuhan hancur hati, apa yang membuat hati Tuhan sangat-sangat terluka, ini yang membuat kita peka dan kita tangkap apa yang Dia mau katakan, karena kita tahu apa yang jadi beban hatiNya. Itu sebabnya lidah seorang murid perlu untuk membuat Saudara tahu dulu apa yang jadi beban hatiNya Tuhan. Di dalam bagian ini Yesaya mengatakan “saya diberikan lidah seorang murid”, bagian berikut “supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu”, berarti nabi tahu, Yesaya tahu bahwa dia harus jadi murid yang baik supaya dia bisa mengeluarkan kata-kata yang sesuai dengan yang Tuhan mau, dan kata-kata ini menghiburkan orang-orang di sekeliling dia. Kata-kata yang memberikan kekuatan, kata-kata yang memberikan perubahan berpikir yang membuat orang merasa ada pengharapan, ini yang Yesaya pikirkan, “saya mesti berikan ini kepada jemaat Tuhan, saya harus peka mendengar suara Tuhan demi kebutuhan mereka”. Di dalam perjumpaan pembicara SPIK atau acara apa, Pak Tong selalu tanya “temanya apa dan mengapa pilih tema ini? Apakah kamu pikir pendengar perlu ini atau tidak”. Dia terus ingatkan para pembicara “jangan buang-buang waktu pendengar, kalau mereka bisa dapat berkat lebih banyak dengan pergi ke tempat lain, mengapa mereka harus pergi ke SPIK? Kalau mereka bisa dapat berkat lebih banyak dengan pergi ke tempat lain, mengapa mesti dengar khotbahmu? Jadi sebelum kau berkhotbah, engkau mesti pikirkan kebutuhan jemaat, jangan buang waktu mereka karena mereka akan singkirkan semua alternatif yang lain, mengkhususkan waktu untuk mendengarkan engkau, ini tidak boleh diremehkan”. Ini yang saya sangat belajar dari Pak Stephen Tong karena dia mengingatkan “hargai pendengarmu”, dan pendengar dihargai bukan dengan dipuji-puji. Saudara bayangkan kalau sepanjang khotbah saya cuma puji-puji Saudara “engkau kelihatan bagus, engkau juga bagus, engkau kelihatan agak putihan”, apa gunanya Saudara dipuji? Saudara tidak perlu pujian, saya buang waktu Saudara kalau saya hanya mengatakan hal-hal untuk menyenangkan Saudara. Demikian nabi menyadari hal ini, dia mengatakan “Tuhan Allah memberikan aku lidah seorang murid, saya peka terhadap kehendak Tuhan karena kehendak Tuhan akan berguna bagi jemaatNya. Maka saya tidak boleh sensor hati Tuhan, saya tidak boleh men-twist kalimat Tuhan, saya tidak boleh menafsir dengan salah kalimat Tuhan. Saya mesti singkirkan diriku dalam menafsir, lalu mempertebal kemampuanku menangkap isi hati Tuhan untuk saya bagikan”, inilah yang akan membuat seorang menjadi nabi atau menjadi wakil Tuhan yang menyatakan perintah Tuhan. “Setiap pagi Dia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid”, tiap pagi, ini sesuatu yang sangat unik. Di dalam pagi ada kebutuhan untuk menangkap sesuatu dari Tuhan, sesuatu yang berulang di dalam pola kehidupan Tuhan Yesus. Yesus berkali-kali dicatat di dalam Injil, Dia pagi-pagi benar sudah pergi menyendiri lalu berdoa. Berdoa itu untuk apa? Seringkali kita berpikir berdoa adalah untuk mempertajam pengertian Tuhan akan kebutuhan kita, tapi itu salah. Doa justru mempunyai efek mempertajam hati Saudara untuk peka terhadap keinginan Tuhan. Mengapa bisa peka? Karena di dalam doa, Saudara akan panjatkan beban hati Saudara, dan sambil Saudara panjatkan, Saudara akan berinteraksi tentang apa yang Saudara tahu tentang Tuhan, pernah alami ini? Misalnya Saudara mendoakan orang tuamu yang sakit atau anakmu sakit atau siapa yang kau kasihi sakit, lalu Saudara mulai berdoa untuk kesembuhannya. Saudara sambil berdoa sambil berinteraksi dengan teologi Saudara, “Tuhan sembuhkanlah orang tuaku, sembuhkanlah ayahku”, misalnya Saudara doa seperti itu. Lalu Saudara mulai berinteraksi dengan teologi yang Saudara tahu, “apakah doa ini bisa membuat papa saya sembuh? Bagaimana kalau tidak? Kalau ternyata papaku tidak sembuh, padahal aku sudah memohon, apakah aku yang salah minta? Bolehkah aku minta seperti ini? Akankah Tuhan mendengar doa saya?”, Tuhan akan dengar. Maka doa akan mempertajam Saudara karena di dalam berdoa Saudara akan memilah teologi yang Saudara tahu dan memberikan konteks yang tepat untuk segala pemahaman teologis.