Pada zaman itu, tidak semua orang punya perkamen untuk menulis Kitab Suci. Tulisan-tulisan itu di dalam gulungan kertas (scroll) atau namanya perkamen (parchment).Perkamenitu biasanya dari kulit domba yang sudah diolah dan kemudian digunakan sebagai media menulis. Tidak semua orang bisa menulis, tidak semua orang mempunyai kemampuan finansial yang cukup untuk membuat satu perkamen. Perkamen itu bisa meteran, bahkan berapa belas meter panjangnya. Kitab Yesaya saja bisa berapa belas meter, itu besar sekali. Jadi tidak semua jemaat itu bisa memiliki akses untuk membaca firman Tuhan. Kalaupun mereka punya akses, tidak semua orang mengerti tulisan Ibrani kuno. Makanya tidak heran pada zaman abad ke-2 SM, Alkitab Perjanjian Lama diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani atau yang dikenal sebagai Septuaginta. Hal ini yang membuat orang-orang Israel pada waktu itu yang tidak terlalu fasih di dalam bahasa Ibrani, karena mereka berbahasa Aram. Bahasa Aram itu beda dengan Ibrani, dan mereka familiar dengan bahasa Yunani karena sudah dijajah oleh Alexander. Jadi Helenistik itu sudah mempengaruhi budaya mereka sehingga mereka tidak bisa lagi bahasa asli Ibrani. Atau contohnya apa yang dialami orang-orang Tionghoa di Indonesia yang mengalami masa-masa sukar, yaitu saat nama Chinese mereka nama tiba-tiba harus diganti, ini salah satunya nama saya. Jadi kakek itu namanya marganya Kwee, tiba-tiba harus ganti nama jadinya Kawira. Kadang orang pikir ini dari Makassar atau dari mana, Kawira asal-usulnya itu karena marga Kwee harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Nanti yang marga Lim jadi Limantoro atau Halim, nanti marga ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Jadi masa itu adalah masa-masa orang-orang Tionghoa tidak boleh berbahasa Mandarin. Akhirnya banyak generasi yang sudah tidak bisa lagi berbicara Bahasa Mandarin. Kalau dilihat secara wajah sepertinya orang Tionghoa banget, matanya sipit dan seterusnya, tapi kalau bicara sudah tidak ada lagi kemampuan berbicara bahasa asli. Ini juga yang terjadi dengan orang Israel hari itu, mereka banyak yang bisa Bahasa Yunani dan tidak bisa Bahasa Ibrani. Sehingga ini menjadi satu konteks kalau kita bicara mengenai saat itu. Oleh sebab itu, ini ironis kalau mereka saat itu diberi akses Septuaginta untuk baca firman Tuhan supaya mereka bisa mengerti kebenaran. Hari ini kita kalau tidak membaca Firman, ini keterlaluannya dobel. Kalau mereka tidak semua orang punya Firman maksudnya tidak semua orang bisa punya akses bahkan akses kepada bahasa Yunani sekalipun tidak ada. Tetapi sekarang kalau ditanya di rumah kita, ada tidak yang tidak punya Alkitab? Jawabannya tidak. Satu orang punya dua buah Alkitab, mungkin lebih, kalau saya mungkin tidak tahu sudah berapa, banyak sekali ada yang bahasa ini bahasa itu. Kita bisa punya banyak sekali, tetapi kalau kita tidak baca, ini keterlaluan. Inilah yang dilakukan oleh ahli Taurat orang Farisi itu, mereka membuat seperti seolah-olah firman Tuhan ini menjadi satu seperti rahasia yang hanya boleh ditafsirkan oleh para ahli Taurat. Dan tradisi ini berlanjut sampai zaman Kekristenan mula-mula yang mana secara ironis eksesnya adalah Alkitab hanya boleh dibaca di dalam Bahasa Latin atau fullgata. Jadi orang-orang awam tidak bisa baca Alkitab. Mereka tidak tahu hamba Tuhan itu sedang mengatakan apa. Sekarang harusnya setelah Reformasi, yaitu masa Luther tahun 1500-an, setelah reformasi Alkitab ini menjadi akses yang bisa dimiliki oleh semua keluarga. Oleh sebab itu, harusnya tidak ada alasan bagi orang Kristen untuk tidak memahami apa yang dikhotbahkan oleh hamba Tuhan yang ada di atas mimbar. Kalau hamba Tuhan salah khotbah, salah menyampaikan firman, harusnya seluruh umat Tuhan itu tahu. Tapi pertanyaannya apakah ini yang terjadi? Jawabannya tidak, balik lagi ini hal yang ironis karena tidak semua orang membaca Firman. Bahkan Alkitab ini tanpa segan-segan dijadikan alas untuk tatakan. Saya punya teman orang Pakistan, orang Pakistan itu salah satu orang Muslim yang taat, dia taruh Kitab Sucinya di mana? Kalau kita ‘kan taruh di mana saja, kira-kira begitu. Mereka itu selalu taruh di tempat yang paling tinggi dalam satu ruangan. Saya bukan mengatakan kita harus ikuti mereka, tapi paling tidak kita bisa melihat attitude mereka itu agak sungguh-sungguh. Maksudnya sungguh-sungguh merespons itu. Dia taruh di atas dan kalau dia menulis, ini agak ekstrim, saya agak syok waktu itu, dia memberikan dakwah kepada saya waktu itu, saya masih mahasiswa umum, bukan mahasiswa STT, dia menulis beberapa huruf dalam Bahasa Arab. Dia kutip, dia sudah tulis, dia jelaskan, lalu apa yang dia lakukan setelahnya? Dia tidak bisa buang kertas itu, karena itu ada Firman di dalam kertas itu. Apa yang dia lakukan? Dia lipat kertasnya lalu dimakan, karena dia tidak rela kutipan ayat suci itu diinjak-injak atau dibuang, dia tidak rela. Saya tidak mengatakan kita perlu ikuti itu, tidak. Tapi yang saya katakan ini adalah ini orang sungguh-sungguh untuk menghormati Firman yang dia lihat itu Firman Tuhan, tapi ironisnya kita Kristen sepertinya pendulum ekstrem yang lain. Makanya Alkitab kita sering hilang, kalau Alkitab hilang bisa beli lagi dengan mudah. Sedangkan kalau handphone hilang saja dicari, dan banyak hal ironis yang kita lihat. Seharusnya orang Kristen hari ini punya akses kepada Firman dan bisa mengetahui mana yang benar, karena kita semua punya firman. Poin yang ironi adalah tidak semua baca, ini salah satu. Sekarang kita lihat, setelah Kristus memberikan pengajaran semua, Dia menyatakan diri sebagai orang yang paling berotoritas. sekarang di dalam pasal 8-9 dalam perikop selanjutnya berbicara tentang satu pernyataan yang menyatakan dia siapa, tadi otoritas menyatakan khotbah, mengajar. Sekarang otoritas di dalam siapa diri-Nya.  Poin kedua dalam pasal 8-9 menyatakan bagaimana orang harusnya memberi respons karena Dia sudah menyatakan siapa diri-Nya. Dan harusnya kita yang sudah mengenal Dia itu siapa dan memberikan respons yang tepat. Sekali lagi, kalau kita tahu Dia adalah Tuhan, bagaimana respons yang tepat? Membuat Dia bertahta dalam hidup kita. Kalau Kristus misalnya mengatakan, “Suci hati, menderita oleh karena nama-Ku, haus dan lapar akan kebenaran.” Dia sudah mengatakan dan ini bukan opsi, bukanlah saran supaya kamu sebaiknya hidup untuk mengejar kebenaran. Ini dalam konteks perintah, ini bukan sesuatu hal yang boleh iya atau boleh tidak. Tetapi ini sesuatu yang Dia nyatakan. Oleh sebab itu, kalau kita melihat Dia sebagai Tuhan, harusnya respons yang tepat adalah memikul salib, sangkal diri. Nanti kita lihat dua hal ini yaitu yang pertama melihat Dia sebagai Allah, Dia menyatakan diri-Nya sebagai Allah melalui rangkaian yang Dia lakukan, baik itu mujizat, pelayanan atau pengajaran, dalam semuanya itu menyatakan diri-Nya sebagai Allah. Oleh sebab itu, kita tidak boleh sembarangan meniru apa yang dilakukan oleh Kristus. “Kristus melakukan mujizat, saya juga.” Kalau begitu sekalian saja, Kristus membangkitkan orang mati, kita juga bangkitkan orang mati.  Tidak ada yang berani melakukan KKR kebangkitan orang mati, karena tidak bisa ditiru. Jadi itu semua satu tipu muslihat yang tidak dipahami orang-orang. Seperti slogan “what would Jesus do”, kalau bertemu pemuda di Nain yang meninggal, yang dilakukan oleh Yesus adalah membangkitkannya. Apakah bisa kita melakukan itu? Tidak bisa. Ada yang buta dari lahir, apakah bisa celikan? Tidak bisa. Ada yang kaki lumpuh dari lahir, bisa disembuhkan? Tidak bisa. Mengapa orang-orang ini tidak bisa disembuhkan? Karena mereka tidak punya adrenalin untuk menguatkan kaki yang tidak pernah dipakai untuk jalan. Sementara banyak KKR kesembuhan yang banyak tipu-tipu, karena mereka menggerakkan adrenalin seseorang. Kalau Saudara pernah kecelakaan atau pernah jatuh, menghadapi bahaya genting itu ada adrenalin yang membuat jantung Saudara berpacu dan mata itu jadi kuat. Saya dulu agak cepat kalau setir motor, kalau hujan turun itu ban belakang bisa bukan jalan vertikal, bukan jalan ke arah depan, ban itu bisa menyamping. Bagaimana bisa tidak jatuh? Itu adrenalin. Jadi adrenalin itu membuat kita bisa menghadapi situasi yang bahaya. Adrenalin juga yang dimanipulasi sehingga orang itu berpikir bahwa kakinya kuat dan dia paksa berdiri. Belum lagi ada sorak-sorai orang-orang, akhirnya dia berdiri, tongkatnya sudah dibuang, kursi rodanya dibuang, jalan beberapa lama sampai mobil, pulang rumah sudah tidak ada kekuatan, itu bisa terjadi. Jadi itu sesuatu yang kita bisa lihat terus berulang. Sekarang kita akan melihat di dalam konteks ini Kristus sedang menyatakan diri-Nya sebagai Tuhan, kita akan lihat nanti di dalam konteks Perjanjian Lama juga.

« 2 of 7 »