Dan kemudian muncul perdebatan di dalam perikop ini ayat 24-27, perdebatannya adalah apakah ini berbicara hal yang langsung mengacu pada penghakiman terakhir atau ini berbicara mengenai sesuatu yang diizinkan Tuhan terjadi berulang-ulang? Ini ada dua penafsiran yang saya pikir ini bisa saling melengkapi. Penafsiran pertama, hal yang terjadi secara berulang-ulang itu justru adalah kesempatan kita untuk melakukan evaluasi. Jadi ada pergumulan, badai yang datang di dalam hidup, permasalahan kehidupan yang datang itu justru kita harus lihat sebagai anugerah Tuhan, memahami iman kita ini sebenarnya otentik atau tidak, asli atau tidak, sejati atau tidak di dalam Tuhan. Kita patut bersyukur, karena kalau ujian itu tidak pernah datang, kita tidak pernah tahu kita ahli. Sama kalau dokter jantung tidak pernah ujian satu kali pun, dia tidak pernah ada praktek satu kali pun, tapi nilainya mungkin dianggap lulus. Kalau Saudara ada masalah jantung, apakah mau datang ke dokter itu? Dia tidak pernah bedah jantung sekalipun. “Pak, saya serahkan jantung saya kepada bapak,” mungkin dia sudah depresi dalam hidup, jadi kalau mati bagus juga, mungkin cuma pasien ini yang datang, yang lain tidak datang. Sama, kita juga diberikan kemungkinan ujian demi ujian supaya kita mengevaluasi iman kita. Jangan pikir kalau ujian datang, pergumulan datang, badai datang, “Aduh, saya bukan orang beriman.” Ini salah paham.
Penafsiran kedua melihat hal ini berkaitan erat dengan penghakiman terakhir. Bagian ini mengacu pada apa yang pernah ditulis di dalam Yehezkiel 13. Di dalam Yehezkiel 13 ada gambaran bagaimana nabi-nabi palsu itu setelah menipu, gambarannya supaya meyakinkan tembok yang sudah dibangun itu mereka beri kapur putih. Tapi Tuhan mengatakan, “Aku akan singkapkan perbuatanmu supaya orang jadi tahu akan ada badai besar, akan ada hujan batu es, akan ada angin topan. Setelah itu terjadi apakah kapur kamu tetap bertahan?” Jawabannya tentu tidak. “Aku akan menyatakan Aku sebagai Allah.” Ini gambarannya. Jadi sama di dalam bagian ini, bagaimana Tuhan melakukan pengujian terakhir, dua gambaran ini kita bisa lihat saling melengkapi. Karena teks sendiri ada sedikit dinamika sehingga kita bisa ada ruang penafsiran. Di dalam bagian ini kita melihat bagaimana harusnya, seserius sekali kita harus melihat membangun fondasi itu tidak main-main.
Pertanyaan sederhana untuk kita renungkan hari ini, “Apakah saya sungguh-sungguh serius dalam membangun fondasi iman di hadapan Tuhan?” Karena suka atau tidak pergumulan pasti datang, kesusahan pasti datang. Kita akan tahu bahwa godaan itu ketika datang sangat susah untuk dihadapi kalau tidak di dalam Kristus. Di dalam Kristus saja menghadapinya susah. Makanya Petrus mengatakan, kita ini yang duluan dihakimi, kita yang duluan mengalami pengujian. Kalau kita saja hampir-hampir tidak diselamatkan, apalagi orang yang tidak percaya Tuhan, bagaimana nasib mereka? Seseorang yang sudah di dalam fondasi iman saja, itu dikategorikan hampir-hampir tidak diselamatkan dari sudut pandang fenomena bagaimana orang yang tidak melakukan sama sekali. Orang yang sudah mempertahankan kesucian hidup dari awal itu pun bisa tergoda. Ada masalah keluarga bisa tergoda untuk berpikir ke sana paling tidak, itu yang sudah sungguh-sungguh dalam Tuhan. Kalau yang dari awal pacaran saja sudah pergaulan bebas, bagaimana mungkin bisa mempertahankan kesucian pada waktu godaan itu datang? Jangan pikir tidak akan pernah lagi terjadi, tidak pernah mungkin karena tidak ada kesempatan. Kalau ada kesempatan mungkin jatuh juga. Ini gambaran yang kita perlu melihat sisi ini secara serius.
Sekarang kita masuk ke bagian yang berikutnya, ayat 28-29. Ini adalah bukan bicara respons tapi bicara mengenai kesan. Dan ini agak sedikit menyedihkan juga. Di dalam ayat 28-29, “Dan setelah Yesus mengakhiri perkataan ini, takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka.” Sekali lagi di dalam bagian ini, kata “mengakhiri” itu sebenarnya di dalam bahasa aslinya punya makna “digenapi”, jadi perkataan yang ultimate itu sudah diselesaikan. Dan kata ini juga menjadi satu tanda di dalam discourse. Di dalam Matius ini ada lima bagian besar discourse. Discourse itu adalah komunikasi langsung atau pengajaran seperti itu. Ada 5 bagian dan setiap bagian itu ada interupsi-interupsi-interupsi, jadi ini tandanya. Tetapi saya mau kita memahami kalau Khotbah di Bukit ini sudah selesai. Lalu, sekarang apa? Setelah Firman itu digenapi, diberitakan, ini jadi seperti pedang bermata dua, satu memberi penghiburan, satu akan menghakimi. Sekali lagi tidak ada yang netral, ketika Firman diberitakan, maka Firman itu akan menghakimi kita, menghakimi semua orang. Ini otoritas Firman. Sekarang mengapa mereka takjub? Secara positif, kita melihat mereka takjub karena Yesus mengajar tidak seperti ahli Taurat. Orang-orang zaman itu, di zaman ini, di zaman Tuhan Yesus, itu adalah masa ketika Yudaisme itu dalam keadaan yang low karena mereka dirongrong oleh penjajah Romawi, jadi mereka tidak signifikan. Oleh sebab itu di dalam zaman-zaman seperti ini biasanya pengajar-pengajar itu selalu kutip rabi-rabi terkenal. Tiga rabi yang terkenal di zaman itu ada Hilel, Samai dan Gamaliel. Dan pada masa keemasan Yahudi sejak abad enam sampai awal abad pertama, orang-orang, tokoh-tokoh dan ahli-ahli Taurat itu kalau mengajar mereka selalu mengutip para rabi itu supaya mereka kelihatan punya otoritas. Karena mereka tidak baca Firman, jadi otoritas mereka harus ambil dari orang yang lebih terkenal. Seperti kita misalnya, kita bukan siapa-siapa, hamba Tuhan juga tidak terlalu dikenal, siapa orang ini, kira-kira begitu. Jadi supaya khotbahnya terlihat berotoritas, ini contoh saja kalau saya agak inferior atau tidak bahas Firman, saya mulai mengutip hal-hal yang dikatakan oleh Calvin atau mengutip perkataan Bernard of the Clairvaux, supaya orang tahu kalau Pak Jack ini ternyata mengetahui tokoh-tokoh besar itu. Jadi saya menyembunyikan otoritas itu di dalam otoritas tokoh-tokoh besar sebelum saya, ini menjadi cara pengajaran zaman itu. Tetapi Kristus berbeda, misalnya di dalam pasal ke-6, pasal 5:27-28 menyatakan, “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya”. “Aku berkata kepadamu”, kalimat ini berarti apa? Kristus ini punya otoritas, dengan kata lain Kristus mau manusia mendengar hal seperti ini dan menekankan kalau manusia Cuma memikirkannya saja berarti sudah berzinah dengan dia. Ini berarti ada sesuatu yang original di dalam pikiran Tuhan Yesus. Tetapi kalau kita lihat betul-betul ini bukan sesuatu yang original, ini adalah menafsirkan kebenaran firman Tuhan dengan benar, Itu poin yang berbeda. Kristus tidak memberikan inovasi baru di dalam khotbah. Yang Dia lakukan justru memberikan penafsiran yang benar. Oleh sebab itu ketika Firman diberitakan itu ada kuasa, otoritas itu datang karena Firman diberitakan. Oleh sebab itu, waktu zaman itu kalau orang mengatakan “aku berkata kepadamu” ini cuma ada dua tipe, tipe pertama adalah penyesat, misalnya tiba-tiba saya dapat mimpi, terus saya mengatakan, “Aku berkata kepadamu, tadi malam saya bermimpi.” Ini contoh penyesat, ini jelas bidat. Tipe yang kedua adalah spokesman of God atau the true spokesman of God, karena dia menyampaikan isi hati Tuhan. “Aku mengatakan hal ini karena aku didorong Tuhan untuk bicara.” Jadi ini bagian yang kita bisa lihat mengapa Kristus berotoritas, karena Firman diberitakan. Jadi di dalam hidup, kita melihat ada otoritas sebagai kepala keluarga, ada otoritas kita sebagai pemimpin perusahaan, ada otoritas kita sebagai dan lain-lain, jawabannya satu hidupi Firman. Ketika Firman diberitakan, kesucian itu dihidupi, kebenaran itu dihidupi. Hidup kita akan ada otoritas karena kebenaran itu absolut. Bisa tahu dari mana kebenaran itu absolut? Sederhana, kalau soal benar salah, pilihannya dua, kalau soal pilihan ganda bisa banyak ada lima pilihan. Kalau baik itu bisa ada gradasi, baik, baik sekali, kurang baik, itu seperti kita kalau survei customer service. Kalau benar salah, pilihannya cuma dua, tidak ada yang di tengah. Atau ada pilihan seperti sangat tidak benar, kurang benar, benar, sangat benar, sangat benar sekali, tidak ada gradasi seperti itu, karena ini kebenaran absolut. Saat ini orang mengatakan kebenaran itu relatif. Kita lihat ini zaman edan. Kita lihat kebenaran itu sesuka hati, kalau menurut saya benar menurut kamu tidak ya sudah, ini kebenaran yang saya lihat. Kita mengamati hari ini orang tidak menghidupi kebenaran, tetapi orang yang hidupi kebenaran akan ada otoritas, ini bagian yang penting. Akan ada kuasa dalam mulutnya karena dia bicara apa yang benar, yang sejati, yang bukan kepalsuan. Sekali lagi ini adalah bagian dari orang-orang Israel hari itu ketika melihat pengajaran mereka, ketika melihat Kristus, mereka tahu Kristus adalah yang berotoritas. Hari ini biarlah kita juga menggumulkan bagian ini, biarlah hidup kita sebagaimana dalam Doa Bapa Kami “dikuduskanlah Nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu”, melalui diri kita dan bukan orang lain lagi yang menjadikan Kerajaan Tuhan, menjadikan kehendak Tuhan, menyatakan kekudusan Tuhan dalam dunia ini. Oleh sebab itu, kalau kita tidak menjalankan kekudusan, kebenaran dan seterusnya, kita itu menegasi Doa Bapa Kami yang kita doakan setiap Minggu. Kalau kita tidak menghidupi melakukan kehendak Bapa, kita akan menegasi keseluruhan Doa Bapa Kami, kita tidak mengharapkan Dia berdaulat, kita anggap Dia tidak ada, karena kita melakukan kejahatan, seolah-olah Dia tidak bertahta di surga. Kita menegasikan “Bapa kami yang di surga”, menegasikan juga “dikuduskanlah NamaMu” karena kita sedang menista nama Tuhan. Ini berarti kita tidak mengharapkan Kerajaan Dia datang dan seterusnya. Kita tidak ingin kehendak Dia terjadi. Sesuatu hal yang terlalu serius untuk dianggap ringan. Ini membicarakan seluruh keberadaan kehidupan kita sebagai umat Tuhan. Jadi ini bagian yang pertama, sekali lagi kita melihat satu penekanan dalam memahami otoritas yang sejati.