Sekarang kita akan masuk ke dalam bagian yang kedua. Bagian yang kedua ini adalah mengenai respons, lanjutan dari dua gambaran tentang jalan yang sempit dan tentang berbuah. Setiap kita suka atau tidak suka waktu dengar Firman itu pasti beri respons. Tidak melakukan apa pun juga sudah respons, diam-diam saja itu sudah respons. Suka atau tidak kita pasti beri respons. Celakanya itu adalah jangan-jangan respons kita itu respons yang tidak tepat, satu respons yang tidak sungguh-sungguh. Sebetulnya kalau respons itu tidak sungguh-sungguh artinya sama saja sedang menista Firman Tuhan, sadar atau tidak itu yang terjadi. Sudah diberi tahu tapi anggap sepi saja kalimat itu. Oleh sebab itu, di sini ada gambaran mengenai pembangunan rumah. Pembangunan rumah ini bukan dibangun di atas pasir laut dan batu karang, melainkan contour tanah di lapisan bawahnya itu pasir. Sekitar Danau Galilea kalau musim kering itu tanahnya keras, tapi kalau ada hujan badai, tanahnya lembek jadi bangunan itu bisa rusak. Bagian ini menyatakan kalau seseorang membangun rumah asal-asalan, kalau hujan badai datang, itu pasti akan rusak. Oleh sebab itu, encouragement-nya apa? Orang bijak itu akan berusaha lebih lagi untuk menggali lebih dalam, karena lebih dalam itu akan ketemu lapisan batu yang keras. Di kampung halaman saya juga ada, sepuluh meter ke bawah itu ada napal, tanah yang sangat keras, itu sudah seperti batu. Kalau kita mau membuat sumur, menggali itu sangat sulit. Tapi setelah melewati itu, airnya banyak sekali. Fondasi itu juga sama, kalau sudah masuk level tertentu, bangunan itu akan kuat. Tapi kalau di permukaan saja itu tidak baik. Orang-orang bijaksana akan melakukan effort yang lebih besar. Karena mereka lebih bijaksana, gali lebih dalam, lebih dalam itu sangat sulit, ada tantangannya. Kalau kita gambarkan secara fisik, gali sedalam itu sangat susah, tetapi orang bijaksana akan tetap melakukannya. Di dalam hidup, kita perlu membangun fondasi itu dengan serius. Seperti gambaran sebuah rumah dan cuaca, tetapi tentu saja ini dimaksudkan secara alegori karena ini sudah ada indikasi yang jelas, dari jalan sempit, pohon dan buah. Melalui alegori ini apa yang kita tafsirkan? Yaitu pentingnya dasar yang kuat dalam membangun iman kita di hadapan Tuhan sejak awal. Iman yang kuat itu seperti apa? Iman yang tidak goyang, iman yang kokoh. Bagaimana mengetahui iman itu kokoh, asli atau palsu? Waktu datangnya angin, hujan badai dan seterusnya, baru ketahuan iman itu sejati atau palsu. Dengan sedih hati, kita selalu saja dengan bosan membaca berita banyak orang Kristen itu jatuh tidak keruan. Berarti waktu ada godaan, waktu ada badai, angin dan segala macam, mereka kompromi dan itu membuktikan mereka punya iman dibangun di atas dasar yang rapuh. Oleh sebab itu Kristus mengatakan, “Kamu orang bodoh atau orang bijaksana?” Kebiasaan kita waktu membaca Alkitab, kita akan mengidentifikasikan diri sebagai orang yang bijaksana, siapa yang mau dibilang orang bodoh? Tidak ada orang yang mengatakan dirinya seorang yang bodoh, jika demikian, orang itu bermasalah secara psikologi. Kita maunya disebut orang bijaksana, tapi mungkin kita sedang menipu diri kembali. Biasanya manusia begini, saya pernah juga berpikir seperti ini, “Mengapa saya bijaksana? Karena saya datang PD, saya datang PA juga, saya datang Persekutuan Pemuda (kalau masih pemuda), saya ikut KKR. Saya pun mengajar Sekolah Minggu, sayalah orang bijaksana itu.” Memang kita tidak eksplisit menyatakan maksud ini. Nanti kita akan menyadari bahwa ini seperti orang Farisi, orang mesti jadi yang lebih rendah hati lagi, orang lebih terlibat di dalamnya. Kita mengetahuinya ini adalah sedang membenarkan diri. Satu kali saya pernah dalam kondisi ini waktu masih kerja, ada sosialisasi di GRII Pusat tentang pelatihan guru Sekolah Minggu. Dalam benak saya langsung berkata, “Saya ini bukan guru sekolah Minggu.” Mengapa? Yang pertama itu biasa alasannya rumah saya jauh sekali, waktu itu masih di Cengkareng, tidak mungkin mengajar Sekolah Minggu. Yang kedua, ada alasan yang lebih rohani, saya ajak satu asisten rumah tangga yang sudah diinjili lalu dia bertobat, jadi waktunya tidak pas. Ketiga, saya tidak fasih, ini mulai pembenaran diri. Kalau suka, maju dulu, pokoknya berani dulu, itu kalau urusan uang. Tapi kalau urusan yang lain, pelayanan, nanti dulu, bijaksana. Tiga alasan ini membuat saya tidak mengajar Sekolah Minggu. Dan dulu saya secara personal juga tidak suka anak kecil. Satu setengah tahun kemudian, asisten rumah tangga itu pindah kota, saya pindah kos ke daerah Kelapa Gading. Ada pelatihan guru sekolah minggu lagi, karena acaranya berkala, lalu secara otomatis di kepala itu langsung recall alasan yang lama, tapi sebenarnya sudah tidak ada alasan lagi. Akhirnya saya mendaftar jadi guru Sekolah Minggu, ikut pelatihan. Singkat cerita, Tuhan akhirnya bentuk saya di situ, lalu tidak lama kemudian masuk STT. Manusia itu bisa menganggap dirinya orang bijaksana, padahal tidak. Oleh sebab itu, ini adalah satu urgensi untuk kita dengan jujur mengevaluasi apakah sebenarnya saya ini sedang bangun rumah di atas dasar yang kokoh? Kalau tidak, kita akan menemukan hard truth, kebenaran yang keras itu, ketika datang badai, ketika datang hujan, ketika datang gempa, kalau tidak membangun rumah yang kokoh, gempa 7,3 saja berdiri pun tak mampu. Bagaimana rumah bisa tetap kokoh kalau dibangun asal-asalan? Jadi prinsipnya sama, kalau dari sekarang kita tidak pernah kerjakan PR kita, waktu ujian datang, nilainya 0. Jadi ini berbicara sesuatu yang sangat serius, perlu memahami bagaimana Tuhan sudah memanggil dan jangan memasukkan penipuan diri di dalamnya.