Hukum Roh

Di dalam ayat 1 ditekankan “demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus”. Biasanya kita akan membaca bagian ini dengan cara yang seperti bersifat kedepan, maksudnya kita melihat bebas dari hukuman berarti nanti kalau kita sudah mati, kita tidak masuk ke neraka. Jadi kehidupan di dunia bisa kita jalani dengan penyertaan Tuhan dan setelah mati, kita boleh beroleh surga. Di dalam kitab Roma pasal 1-7, Paulus tidak membahas tentang efek surga atau neraka setelah kita mati. Kalau kita melihat di dalam pasal 1, yang dibahas oleh Paulus adalah kekacauan hidup, terutama di dalam praktek homoseksual itu jelas sekali menjadi sorotan di pasal 1. Kemudian pasal 2 menyoroti tentang kehidupan yang baik, kehidupan yang menjalankan Taurat. Pertama kehidupan yang kacau, kedua kehidupan yang menjalankan Taurat, ketiga pengertian yang Paulus bagikan di pasal 3 mengutip dari Kitab Mazmur. Dimana pengertian dari Mazmur menunjukan kerusakan hidup manusia secara total. Bukan hanya hati, tapi juga perkataan, juga perbuatan, tidak ada yang baik, semua rusak, semuanya kacau, kehidupan yang di sini. Lalu di pasal 3 Paulus masih menekankan tentang iman kepada Kristus yang mengubah itu semua. Itu semua tentu adalah kehidupan yang kacau tadi. Lalu di pasal 4 ada penekanan tentang pembenaran bukan karena saya sudah berhenti kacau, di tengah-tengah keadaan saya masih kacau, Tuhan memberikan anugerahNya. Sama seperti Abraham, ada paralel antara pengikut Kristus yang beriman kepada Kristus dengan Abraham yang beriman kepada Allah. Pasal 5 menekankan bahwa kita sudah dikasihi dan dijadikan milik Tuhan waktu kita masih kacau, ketika kita masih rusak hidupnya. Kemudian pasal 6 dan 7 memberikan dorongan untuk kehidupan diperbaiki. Jadi saya tidak melihat tempat untuk surga dan neraka di dalam pasal-pasal itu. Mungkin Saudara mengatakan “jadi Paulus tidak percaya surga dan neraka?”, bukan itu, tentu tidak. Tapi bukan tentang surga dan neraka yang Paulus sedang bahas di Roma mulai pasal 1-7. Bukan berarti segala sesuatu dapat kita baca dalam kacamata surga dan neraka saja. Sehingga ketika membaca dari Roma 1-7, kita sudah melihat Paulus memberikan penekanan tentang hidup di sini yang rusak atau pun yang mendapatkan karunia dari Tuhan. Hidup rusak yang semakin rusak dan hidup rusak yang mendapatkan anugerah dari Tuhan. Kemudian Paulus membahas bagaimana Kristus menjadi pembenaran kita, Dia menjalankan hidup sebagai manusia sejati. Maksudnya manusia sejati adalah Dia menjalankan apa yang harusnya semua manusia jalankan. Dan di dalam pasal 8 ada penekanan apa yang harus dikejar dan ditinggalkan melalui pekerjaan Roh Kudus. Kalau dilihat secara teliti, Saudara akan melihat bahwa Surat Roma itu memberikan tekanan kepada perubahan hidup. Namun tekanan itu diberikan melalui berita Injil yaitu kita percaya karena iman dan pembenaran itu diberikan sebagai anugerah. Maka ketika kita membaca Surat Roma, kita tidak bisa melihat surat ini sebagai pemberi penjelasan bahwa kita ini akan masuk dalam sebuah pengadilan. Kemudian Tuhan akan putuskan kita ini benar atau salah, setelah itu kita akan dilemparkan ke neraka kalau kita diputuskan salah, atau dimasukan ke surga kalau diputuskan benar. Tapi puji Tuhan, Kristus intervensi akhirnya Dia yang dihukum dan kita ke surga. Maka ketika kita membaca pasal 8, kita tidak bisa mengatakan bahwa pasal ini berbicara tentang penekanan hidup setelah mati, “saya hidup penuh dosa, maka mati masuk neraka. Kalau saya mati masuk neraka, saya tidak dapat keselamatan. Kalau saya mati dengan iman, saya masuk surga”, apakah ayat ini sedang mengatakan demikian? Tidak. Bagian ini tidak mengatakan “tidak ada penghukuman, maksudnya kalau Tuhan Yesus datang kembali, kamu tidak dihukum masuk neraka”, bukan itu. Bagian ini sedang menekankan penghukuman dalam pengertian kuasa yang membuat kita hidup di dalam cara dimana kita sudah hidup. Ini yang Paulus sedang tekankan, tidak ada lagi penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus, condemnation. Maksudnya tidak ada lagi kuasa buruk yaitu dosa dan maut yang akan mengatur kehidupan orang percaya. Orang percaya tidak lagi dikuasai dosa dan maut, dalam pengertiannya hidupnya. Hidupnya tidak lagi mencerminkan kuasa dosa dan maut. Mengapa tidak? Ayat 2 menjelaskan, dikatakan “hukum roh hidup di dalam Kristus, membebaskan, memerdekakan kita dari hukum dosa dan hukum maut”. Dalam bahasa asli, ada perkataan hukum roh hidup, bukan roh yang memberi hidup. Pekerjaan roh itu sendiri adalah hukum, pekerjaan maut dan dosa adalah hukum yang lain. Ada hukum yang membuat kita kacau dan ada hukum roh yang membuat kita hidup di dalam prinsip hidup yang benar. Di dalam bahasa asli dikatakan “hukum roh hidup di dalam Kristus memerdekakan kamu dari hukum dosa dan hukum maut”, itu kalimat panjang. Yang saya kritik dari ayat 2 bukan pengertian yang melebur perkataan roh yang memberi hidup telah memerdekakan dan sebagainya, tapi kehilangan kata hukum yang saya pikir didorong oleh tafsiran bahwa pekerjaan roh antitesis dari Taurat. Taurat itu hukum, pekerjaan roh bukan hukum. Tapi di sini dengan jelas ditekankan bahwa roh itu membuat kita menjalankan Taurat. Roh membuat kita menjalankan hukum roh yang adalah bentur dengan hukum dosa dan hukum maut. Jadi kata hukum roh hidup dalam Kristus, itu satu penjelasan yang indah sekali, telah memerdekakan kamu dari hukum dosa dan hukum maut. Berarti sebelumnya ada hukum dosa dan hukum maut yang menguasai kita, tapi setelah itu Tuhan memberkati kita dengan hukum roh. Saudara pindah dari satu hukum ke hukum yang lain, dari satu cara hidup ke cara hidup yang lain. Kalimat ini akan membuat kita mengerti apa itu Injil.

Injil bukan cara masuk surga, Injil adalah cara hidup. Tapi kita sering meramunya menjadi Injil mati, karena kita menawarkan ini dengan mengatakan “hidup di dunia penuh sengsara, tapi nanti kalau kamu sudah mati kamu akan masuk surga”. Saya tidak mengatakan bahwa pengharapan itu salah, “hidup di dunia penuh dengan penderitaan, tapi nanti saya mati masuk surga”, itu tidak masalah. Tapi kalau kita menyoroti kalimat itu, hidup di dunia tidak ada apa-apa lagi, penderitaan saja dan nanti kita masuk surga, lalu kita mengasumsikan kehidupan kita di bumi tidak penting dalam pandangan Tuhan, itu akan bentur dengan seluruh Kitab Suci. Kita tidak akan mengajarkan ajaran Alkitabiah jika kita tidak menekankan pentingnya hidup saat ini. Jadi pengharapan bukan untuk saat ini, kesempurnaan hidup yang Tuhan janjikan bukan sekarang, tapi kewajiban untuk hidup baik itu boleh kita nikmati sekarang.

Celakalah Aku!

Kita akan membahas ayat-ayat ini dan saya akan membaginya dalam 4 bagian. Kita masuk dulu di bagian pertama, apa yang kita pikir menjadi isu dalam bagian ini. Kalau kita baca ayat-ayat tadi, ayat 21-26, kita mungkin berpikir bahwa ini adalah seruan atau pergumulan dari orang yang mengalami permasalahan di dalam batinnya. Ada hati nurani yang terganggu, mengapa hati nurani terganggu? Karena dia tahu apa yang benar, tapi dia tidak sanggup lakukan. Ada hukum jangan mencuri, tapi apa boleh buat, kita terus merasa diri kurang lalu menipu orang. Jadi Tuhan punya aturan tapi saya tidak sanggup lewati. Karena itu hati nurani saya terganggu. Maka saya akan mengatakan saya manusia celaka, siapa yang akan melepaskan saya dari tubuh maut ini?”, ini yang bisa kita pikirkan. Tapi saya ingin memberi tahu problem dari tafsiran ini adalah kita melihat hukum sebagai set of rules, sebagai aturan-aturan untuk dijalankan demi sebuah tujuan lain. Jadi Taurat adalah aturan hukum, saya jalankan supaya saya dapat sesuatu yang lain. Sedangkan aturan itu sendiri hanya berhenti sebagai set of rules, hanya berhenti sebagai aturan saja. Dan sangat sulit kita memahami aturan, dan menyanyikan sebuah pujian karena aturan itu. Saudara tentu pernah membaca di dalam Mazmur 119 dimana pemazmur memuji Taurat, menyukainya, menginginkannya, menjalankannya dengan sukacita. Ada sesuatu yang agak lain dengan pengertian kita, karena pemazmur bisa dengan sangat penuh sukacita menyanyikan tentang aturan. Tidak ada di antara kita yang memikirkan tentang aturan dan menyukainya. Kita akan melihat aturan dan kita mengatakan “saya terpaksa jalankan karena saya ingin dapat sesuatu yang lain”. Mengapa kamu atur jadwal lalu taati? “Supaya saya bisa dapat apa yang saya mau, jadi aturan itu adalah cara untuk mendapatkan apa yang saya inginkan”. Aturan ada dimana-mana, aturan ketika Saudara mengemudi, aturan di dalam masyarakat, aturan dimana pun. Dan kita tidak pernah memperlakukan aturan dengan hati yang penuh kesukaan, tidak ada delight dalam hati kita untuk semua peraturan yang ada. Saudara melihat ini sebagai sesuatu yang menghalangi Saudara untuk menjalankan sesuatu yang Saudara inginkan tapi terpaksa Saudara jalani supaya Saudara dapat tujuan, mendapat apa yang Saudara inginkan. Apakah ini yang dimaksudkan Paulus, “ada Hukum Taurat saya harus jalani tapi saya gagal, karena saya gagal, saya tidak dapat apa yang saya inginkan. Dan yang saya inginkan hanya mungkin didapat dari Hukum Taurat”, apa pun itu yang diinginkan. Mungkin yang diinginkan itu keselamatan “saya ingin selamat, tapi gagal gara-gara Hukum Taurat”. Atau yang diinginkan itu adalah dekat dengan Tuhan, “saya ingin dekat dengan Tuhan tapi gagal, karena syarat dekat dengan Tuhan itu adalah jalankan Hukum Taurat. Dan saya sudah berusaha jalankan Hukum Taurat tapi gagal”, kegagalan itu membuat Paulus frustasi misalnya, sehingga dia mengatakan “aku manusia celaka, aku tidak bisa dapatkan apa yang aku ingin karena Hukum Taurat yang menjadi syarat untuk mendapatkan apa yang aku inginkan, gagal aku jalankan. Andai aku berhasil jalankan Taurat, aku bisa mendapat apa yang aku inginkan, tapi sayangnya aku gagal”. Problemnya apa? Problemnya adalah Saudara akan bentur dengan ekspresi iman orang Israel mengenai Taurat. Tidak ada dari mereka yang akan melihat Taurat sebagai aturan yang terpaksa dijalani demi mendapat sebuah tujuan. Kalau Saudara dengar Taurat dan mengatakan “ini adalah aturan”, itu hal yang wajar, Saudara akan menganggap wajar Taurat sebagai aturan hukum. Tapi Saudara tidak akan melakukan hal yang sama untuk Mazmur atau Amsal, adakah yang mengatakan “wah, Mazmur itu adalah aturan, saya harus taati Mazmur”, tidak demikian, meskipun sebenarnya sama, Saudara harus menaati Mazmur sama seperti Saudara harus menaati Taurat. Saudara membaca Amsal dan Saudara mengatakan “wah, bijaksana sekali, saya ingin menjalankan hidup seperti ini”. Jadi kita memperlakukan Mazmur atau Amsal atau membaca kisah Israel dengan cara yang beda waktu kita baca Taurat, padahal seharusnya tidak. Sama seperti kita bisa mengatakan “Mazmur itu indah”, demikian kita bisa mengatakan “Taurat itu indah”. Seperti kita mengatakan “Amsal itu sangat bijaksana sekali”, demikian harusnya kita bisa mengatakan “Taurat itu bijaksana sekali”. Jadi apa problem Paulus? Dia pasti tidak sedang mengatakan “saya ingin mencapai sebuah tujuan dan syaratnya Taurat”, Taurat itu hanya syarat, hanya serangkaian aturan untuk saya jalankan supaya saya dapat apa yang saya inginkan. Tapi Paulus tidak begitu. Problem dari Paulus bukanlah melihat Taurat sebagai syarat aturan dan dia gagal lewati. Ini sesuatu yang seringkali kita pikirkan mengenai Taurat. Kita selalu berada dalam mindset bahwa Taurat adalah penghalang untuk kita selamat, karena kita kurang cukup syarat untuk menjalankan. Tapi puji Tuhan ada Injil, Injil adalah alternatif lain untuk selamat, yang tidak ada kaitan dengan Taurat. Tapi saya akan beri tahu siapa yang bisa jalankan, kebanyakan orang Israel yang setia sudah jalankan. Di dalam Surat Korintus, Paulus mengatakan “saya jalankan Taurat dan tidak ada cacat”. Taurat bukan tidak mungkin dijalankan. Bisa dikatakan Taurat itu identitasnya Israel, atau lebih tepat lagi, Taurat adalah pertunjukan identitas Israel. Israel mesti jalankan, tidak ada pilihan lain. Tuhan tidak memberikan aturan yang mustahil dijalankan, karena dengan demikian Tuhan memberikan kepada Israel suatu kondisi yang mustahil untuk jalankan identitas mereka. Kalau begitu apa yang salah, mengapa Paulus mengatakan “aku manusia celaka, siapa dapat melepaskan aku dari tubuh maut ini?”.

Kita masuk dalam bagian kedua, kalau bukan yang pertama tadi yaitu Taurat sebagai hukum yang harus kita jalankan demi mendapatkan sesuatu. Paulus sedang berbicara seperti seorang yang berhadapan dengan kemuliaan Tuhan lalu dia bilang “aku manusia celaka”, ini merupakan respon penting yang harus kita pahami. Dan ini merupakan tema yang berulang di dalam Perjanjian Lama. Di dalam Perjanjian Lama, Yakub melihat pemandangan surga dan bumi disatukan oleh sebuah tangga yang tinggi. Lalu dia menjadi takjub dan gentar, ini reaksi ketika melihat kemuliaan surga dinyatakan. Kita dapat melihat pernyataan yang sama dari orang Israel, waktu mereka memandang puncak Gunung Sinai penuh dengan kemuliaan Tuhan, mereka langsung mengatakan “kami akan celaka kalau datang ke sana, kami tidak mau mendekat. Biar Musa saja yang pergi sebagai wakil, pengantara”. Israel menyadari perlunya pengantara karena dia melihat kemuliaan Tuhan. Kemuliaan Tuhan adalah pemandangan yang merefleksikan diri dan membuat kita sadar betapa tidak layaknya kita datang dekat kemuliaan Tuhan. Bagian yang paling populer mengenai kalimat celaka, itu dikatakan oleh Yesaya. Waktu Yesaya datang ke Bait Suci, waktu itu Tuhan menyatakan kemuliaanNya, ada seraphim yang terbang kemudian menyanyi memuji Tuhan dengan sayap yang dipakai untuk terbang, untuk menutup kaki, dan dipakai untuk wajah. Kemudian tahta Tuhan penuh dengan kemuliaan Tuhan, lalu jubah Tuhan memenuhi Bait Suci. Waktu Yesaya lihat kemuliaan yang besar ini, reaksi dia adalah “aku celaka, karena aku adalah orang yang najis bibir dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun aku melihat kemuliaan Tuhan. Kemuliaan Tuhan saya lihat dan saya rasa saya celaka”, karena waktu manusia bertemu dengan kemuliaan Tuhan, berjumpa dengan kemuliaan Tuhan, baru pada waktu itu mereka sadar mereka sangat hina, sangat rendah, sangat penuh dosa, sangat cemar dan sangat penuh dengan ketidak-layakan. Ini ketidak-layakan yang baru disadari ketika seseorang menjumpai kemuliaan Tuhan. Lalu apa kaitannya dengan Paulus? Paulus ingin mengatakan bahwa kemuliaan Tuhan bukan hanya dinyatakan lewat penuhnya Bait Suci dengan asap atau penuhnya Bait Suci dengan pemandangan menakjubkan. Kemuliaan Tuhan juga dinyatakan lewat Taurat. Taurat adalah cara Tuhan menyatakan siapa Dia dan karena itu kita tidak bisa memperlakukannya sebagai set of rules. Kita harus memperlakukannya sebagai pernyataan Tuhan. Sehingga ketika kita membaca Taurat, kita tidak hanya melihat ada aturan untuk dijalankan, kita sedang melihat Tuhan mengekspresikan diriNya. Gambaran paling indah mengenai hal ini adalah ketika Saudara membaca buku harian seseorang. Misalnya buku harian dari David Brained yang diterbitkan Jonathan Edwards. Jonathan Edwards mempunyai anak perempuan yang jatuh cinta sama David Brained. Dan ketika dia selidiki ternyata David Brained adalah seorang misionaris yang sangat cinta Tuhan. Satu kali dia datang ke rumah Edwards karena sudah kena sakit paru-paru yang parah, dan dia mengatakan “bolehkah saya tinggal di sini dulu sampai saya sembuh?”, anak Jonathan Edwards mengatakan “saya akanrawat dia sampai dia sembuh”. Dan Edwards mengizinkan. Sambil orang muda ini dirawat di rumah Edwards, Edwards banyak berbicara dengan anak muda ini dan tahu passion dia untuk orang-orang Indian. Tapi tidak lama kemudian orang ini meninggal karena penyakitnya semakin parah, dan anaknya perempuannya tertular penyakit itu dan akhirnya meninggal. Hati Edwards sangat hancur, tapi dia ingat beban dari David Brained untuk misi. Maka dia segera mengambil buku harian dari David Brained dan dipublish. Harapan dia hanya satu, waktu orang membaca buku harian David Brained, orang jadi ingin memberitakan Injil kepada orang Indian. Dia ingin passion, gairahnya David Brained untuk orang Indian menyebar ke orang lain yang membaca buku hariannya. Maka ketika orang membaca buku harian David Brained, mereka tidak menganggap itu sebagai set of rules “untuk menginjili, saya harus begini”. Mereka akan membacanya dengan penuh kesenangan, penuh delight. Dan semakin mereka baca, semakin mereka menjadi semakin komplit pemahaman akan siapa David Brained. Kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Yosua, terus sampai Wahyu adalah seperti buku harian. Tuhan mengekspresikan diriNya, sehingga waktu kita membaca, kita semakin melengkapi pengenalan kita akan Tuhan dan semakin mendapatkan beban yang Tuhan miliki di dalam hatinya. Saudara semakin menyadari siapa Tuhan dan dengan demikian Saudara semakin menyadari lukisan kemuliaan Dia yang dipaparkan juga oleh Taurat. Yang Paulus katakan bukan “saya gagal menjalankan Taurat”, justru sebaliknya, semakin orang sanggup jalankan Taurat, semakin dia mempunyai kesan akan kemuliaan Tuhan dan dia semakin berkata “celakalah aku”. Ini terbalik, Hukum Taurat bukan syarat untuk dapat sesuatu. Sebenarnya kata hukum adalah pengertian dari orang Yunani, orang Yahudi tidak kenal kata hukum, mereka pakai kata Torah untuk menunjukan ini adalah teaching, pengajaran-pengajaran dari Tuhan. Jadi bagi mereka ini bukan syarat untuk lulus atau syarat untuk dijalankan supaya mendapat sesuatu. Taurat adalah pernyataan kemuliaan Tuhan. Makin saya baca semakin saya mengerti, semakin saya jalankan makin saya dapat gambaran yang lebih utuh tentang kemuliaan Tuhan. Kemuliaan Tuhan dilukiskan, dipaparkan semakin jelas kepada saya. Dan semakin jelas saya memahami kemuliaan Tuhan, makin jelas juga saya memahami betapa cemar, jelek dan rendahnya saya. Jadi gap-nya semakin besar. Dan sebaliknya, justru orang yang gagal menjalankan Taurat tidak merasakan ada gap itu. Ini yang Calvin katakan dalam Institut buku yang ke-1, semua hikmat, merely all wisdom, hampir semua hikmat yang kita mesti miliki dalam hidup itu akan terkandung dalam dua hal yaitu mengenal Allah dan mengenal diri kita sendiri. Semakin kenal Allah, semakin merasa diri bobrok. Semakin sadar diri bobrok, semakin sadar Allah mulia dan pengharapan kita adalah berbagian di dalam kemuliaan itu. Jadi gambarannya bukan gambaran orang putus asa gagal menjalankan Taurat, ini adalah gambaran dari orang yang semakin mengerti kemuliaan Tuhan. How glorious Thou art, betapa mulianya Engkau Tuhan. Dan semakin aku melihat Engkau, semakin aku hancur di dalam kesadaran bahwa aku bukan siapa-siapa.

Peperangan Dosa

Di dalam bagian ini Paulus membahas tema yang sangat akrab di dalam Perjanjian Lama yaitu tema tentang perjuangan atau peperangan dari kejahatan dengan kebaikan. Ini merupakan tema klasik yang ada di dalam Perjanjian Lama, bahkan ini merupakan tema yang ada di seluruh budaya di Timur Dekat Kuno pada zaman Perjanjian Lama. Sekarang kita tidak percaya itu lagi karena katanya kita sudah mengerti di dalam semua penemuan scientific yang kita dapatkan. Sehingga kita merasa kita bisa meninggalkan cara pandang yang lama demi sebuah cara pandang yang lebih advance, lebih maju, yaitu cara pandang yang bersifat scientific. Tapi kita tidak pernah mengerti bahwa sebenarnya cara pandang yang kita miliki pun adalah cara pandang yang mungkin masih berubah lagi. Di dalam perjalanan sejarah berkali-kali terjadi revolusi pemikiran, bahkan di dalam dunia ilmu pengetahuan kita mengerti hal ini. Ada kalanya kita menjadi sangat sombong dengan pengetahuan yang kita miliki pada zaman ini. Tapi kesombongan itu terjadi karena kita tidak sadar atau bahkan tidak tahu berapa banyak hal sudah berubah di dalam dunia modern sehingga kita bisa nyaman di dalam keadaan yang kita pahami sekarang. Bahkan orang mengatakan kalau kita menyelidiki segala sesuatu dengan cara yang ngotot lama kita sulit akan mendapatkan pengertian bagi hal-hal yang baru. Ini sebenarnya sudah cukup untuk membuat para ilmuwan rendah hati atau mungkin ilmuwan akan rendah hati, orang yang mengikuti klaim dari ilmuwan itu yang perlu rendah hati. Karena mereka seharusnya menyadari cara pandang kita melihat dunia bukan cara yang sudah fix sempurna, kita masih mencari, kita masih didalam usaha memahami bagaimana kita mengerti segala sesuatu di sekitar kita. Kita perlu mengerti segala sesuatu di sekitar kita dengan tujuan satu, ini bijaksana yang dari dulu sampai sekarang saya harap tidak berubah, yaitu kita mengetahui segala sesuatu supaya kita semakin mengenal bagaimana harus hidup bersama komunitas kita, bagaimana harus hidup di tengah-tengah manusia lain. Jika pengertian kita tidak menambah kemampuan kita untuk hidup dengan lebih baik maka pengertian itu jadi pengertian yang tidak berguna atau yang akan menjadi sinis, pengetahuan yang membuat kita menjadi sinis. Kita akan melihat hidup dengan cara yang sangat negatif karena ternyata pertambahan pengetahuan yang kita dapat makin meremehkan pandangan kita terhadap manusia. Saya pikir itu adalah jalur yang sangat salah karena Saudara tidak mungkin bisa menikmati hidup sebagai manusia jika Saudara memahami kemanusiaan sebagai sesuatu yang semakin lama semakin rusak dan hancur. Tanpa memahami manusia dengan cara yang indah dan benar sesuai dengan yang Tuhan mau, kita akan kehilangan kemanusiaan kita. Dan kalau kita kehilangan kemanusiaan kita, kita akan kehilangan segala pegangan untuk hidup. Tidak ada gunanya mengerti jika pengertian itu tidak menambah kekaguman kita akan hidup kita. Di dalam zaman teknologi ada satu yang menjadi kebahayaan, ini diselidiki oleh seorang ahli sejara gereja bernama Carl Trueman. Dia gali tulisan-tulisan dari banyak orang, misalnya Karl Marx, kaum feminis, semua yang melawan Kristen. Mereka ahli sekali dalam mendeteksi problem manusia meskipun mereka tidak memberikan solusi. Seluruh penyelidikan Carl Trueman memberikan kesimpulan bahwa teknologi, salah satu dampak yang bahaya adalah membuat manusia tidak merasa tubuh itu relevan. Dulu kalau Saudara mau pergi dari satu tempat ke tempat yang lain, tubuh Saudara sangat relevan, tanpa kemampuan jalan Saudara tidak bisa kemana-mana. Tapi teknologi memungkinkan kita untuk tidak lagi bergantung pada fisik. Saudara bisa berkomunikasi dengan orang tanpa harus mengandalkan tubuh, tubuh menjadi hal yang tidak relevan. Sehingga identitas kita pun pecah dari tubuh. “Tubuh saya laki-laki tapi kalau saya mau jadi perempuan, mengapa tidak? Tubuh tidak relevan.”, ini keadaan final yang kita lihat pada zaman ini. Tapi kita tidak lihat ke belakang bahwa salah satu penyebab ini terjadi adalah karena manusia mengabaikan aspek penting menjadi manusia yaitu tubuh. Dan ketika kebudayaan terbiasa mengabaikan satu aspek dari kemanusiaan, dia harus bayar dengan kehilangan identitas. Ini salah satu tema yang saya harap bisa dibagikan dengan jelas di seminar pemuda nanti, itu tema penting sekali, bagaimana pandangan meremehkan satu aspek, yang dalam hal ini adalah tubuh, telah membawa zaman kita ke dalam zaman yang penuh kekacauan dalam identitas, siapa kamu, mengapa kamu menjadi seperti yang kamu mau, mengapa kamu bisa bebas, mengapa kamu merasa identitasmu tidak terikat oleh apa pun. Lalu aspek kedua dari tubuh yang akhirnya menjadi kompensasi karena kita mengabaikan fakta bahwa kita bertubuh adalah komunitas. Komunitas jadi tidak penting, kehadiran fisik jadi tidak penting. Ketika kita mengabaikan kehadiran secara fisik, kita mengabaikan fakta bahwa kita diikat oleh tubuh dan itulah kebebasan kita.

Karena kita diikat oleh keterbatasan, kita menjadi manusia bebas. Waktu kita merasa bebas dari ikatan, kita justru terbelenggu. Kita merasa kita bisa memahami segala sesuatu, kita sudah tahu apa itu menjadi manusia, tapi kita tidak sadar budaya kita selalu mendistorsi pengertian sejati tentang menjadi manusia. Pemahaman kita tentang menjadi manusia selalu diselewengkan oleh budaya. Sayang sekali teologi Kristen yang sebenarnya menjawab tantangan, menjawab distorsi yang dilakukan oleh zaman kita, sayang sekali jika jawaban dari teologi itu tidak dikenal oleh banyak orang. Banyak orang berpikir bahwa Alkitab itu hanya memberitakan 2 hal, yang pertama adalah keselamatan dan yang kedua etika. Keselamatan, “apakah sudah selamat?”, “sudah”, “bagus”. Sekarang etika, “sudah selamat dan berbuat baik, selesai”, bukan hanya dua itu. Identitas menjadi manusia yang dikacaukan oleh zaman kita, itu yang Alkitab terus pegang atau beritakan. Berita Alkitab membuat kita tahu siapa kita. Kitab Suci menjelaskan tentang siapa kita. Calvin membahas dengan sangat akurat ketika dia mengatakan di dalam seluruh bijaksana kita ada dua hal yang utama, ini yang dia sebut summa sapientia, gabungan atau kesimpulan dari seluruh bijaksana. Hampir semua bijaksana cuma ada dalam 2 hal yaitu mengenal Allah dan mengenal diri kami, komunitas. Hidup di dalam komunitas dan hidup mengenal Allah itu dua yang akan menjadi fondasi dari seluruh bijaksana. Dan Alkitab memberitakan tentang apa natur dari relasi antara Allah dan manusia, apa yang bisa kita pahami dari relasi antar manusia di dalam komunitas. Apa yang bisa dipahami dari relasi antara komunitas itu dengan Allah. Di dalam dua hal ini mengenal diri kita dan mengenal Allah terkandung seluruh bijaksana hidup. Kalimat yang sangat berani, kalau Saudara membaca Calvin, dia mengatakan seluruh bijaksana ada di dalam dua hal, mengenal diri sendiri dan mengenal Allah, dan keduanya berkaitan. Bagaimana mengenal Allah dan bagaimana mengenal diri dalam komunitas. Itu sangat penting untuk kita pahami. Jadi apa yang Calvin tekankan sangat penting, bijaksana sejati adalah kenal siapa diri kita, kenal dari mana? Dari komunitas Kristen yang berelasi dengan Tuhan, mengenal Tuhan dan mengenal diri kita, komunitas. Komunitas yang berelasi dengan Tuhan itulah kunci untuk memahami siapa sebenarnya manusia. Jadi kalau kita lepas dari situ, kita akan salah memahami siapa manusia dan kita akan lari dari tema Alkitab dan dipengaruhi oleh begitu banyak tema budaya sekitar tentang siapa manusia. Siapa manusia? Manusia adalah makhluk yang makin bisa menangani segala sesuatu sendiri itu semakin baik, semakin punya pengetahuan untuk hidup mandiri itu semakin baik, itu salah. Saudara kalau tidak memunyai komunitas, Saudara akan kekurangan dalam banyak hal. Kekurangan dalam topangan menjadi kuat dan kekurangan dalam menjadi kuat dengan menopang orang lain, itu tidak akan ada. Itu sebabnya persekutuan atau komunitas gereja adalah hal yang fondasional, sangat penting.

Kebebasan Kristen

Hari ini kita akan membahas satu karya penting dari Martin Luther, kita masih dalam rangka memperingati Reformasi dari sebuah karya yang judulnya adalah On Christian Freedom, mengenai kebebasan Kristen. Tulisan ini ditulis oleh Martin Luther sebagai respon terhadap surat ekskomunikasi yang diberikan oleh gereja pada waktu itu. Waktu gereja memutuskan untuk mengekskomunikasi Martin Luther di tahun 1520, ini berarti besar bagi Luther karena berarti dia orang yang tidak sah lagi menjadi orang Kristen, apalagi menjadi hamba Tuhan. Dia dilarang untuk mengajar, menulis buku, bahkan berkhotbah. Jadi surat ekskomunikasi ini berarti sangat besar, apakah Luther akan melanjutkan perjuangannya atau tidak? Jika iya, maka setiap dia khotbah, dia akan mengalami ancaman dimatikan. Jika dia menyerah maka Reformasi akan berhenti begitu saja. Tapi kita bersyukur karena Martin Luther mematikan suara-suara yang membuat dia tidak efektif melayani Tuhan, yang membuat dia berfokus kepada keamanan dan kenyamanan diri. Lalu dia mulai berjuang dengan mengatakan “saya harus berkhotbah lebih banyak lagi dan menulis buku lebih banyak lagi”, sehingga responnya terhadap surat ekskomunikasi adalah Luther berkhotbah semakian banyak, dia menulis buku semakin banyak, dan dia pengaruhi orang semakin banyak lagi. Jadi ini keberanian yang luar biasa, saya percaya Martin Luther bergumul dan takut, tapi dia memutuskan untuk mengalahkan ketakutannya. Ini merupakan kemenangan iman ketika Saudara mengalahkan ketakutan Saudara untuk orang lain dapat berkat. Maka Martin Luther menulis buku yang judulnya On Christian Doctrine, ini merupakan buku yang dianggap sebagai hadiah untuk Paus Leo X dan bersamaan dengan buku itu dia menulis surat terbuka untuk Paus Leo. Dan bukannya dia menjadi takut dan mundur, di dalam surat itu dia malah memperingatkan gereja dengan mengatakan “mari jangan mencari kedudukan, jangan mencari nama, jangan mencari otoritas. Mari belajar menjadi hamba dan Tuhan akan berkatimu”. Surat Luther kepada Paus itu berbunyi sangat sopan.

Jadi karya ini adalah karya untuk membela atau menawarkan kepada gereja, “ayo kita berdamai, kamu mengusir saya, saya tidak marah. Kamu berada dalam posisi yang salah, mari kembali ke Injil. Tuhan memerintahkan kita untuk percaya Injil, Tuhan tidak memerintahkan kita untuk melanggengkan kuasa, memastikan semua orang tunduk kepada kita”. Ini menjadi tawaran Luther yang sangat baik, suratnya bersifat sopan. Dan dalam karya On Christian Freedom, Luther mengutip dari 1 Korintus 9: 19, “sungguh pun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang”. Dunia punya pengajaran yang sangat membekas dalam pikiran kita, tanpa kita sadari, tapi hanya ketika kita mengetahui betapa pentingnya pengertian Kristen baru kita bisa singkirkan pengertian dunia karena kita menganggapnya rendah. Sebelum kita mengerti ini, kita akan terus menjadi orang Kristen yang bertindak berdasarkan cara pikir duniawi. Dan yang dimaksudkan duniawi itu adalah kita tidak mengerti kesenangan di dalam Tuhan dan kita memutuskan menjalankan hidup kita dengan insting, dengan kebiasaan yang dibentuk dari pikiran dunia. Kekristenan membuat kita tercerahkan, melihat bahwa cara pikir dunia yang selama ini kita pikir oke ternyata tidak oke sama sekali. Dari sini kita mulai mengerti bahwa Luther memberikan tekanan, Saudara menjadi orang Kristen yang taat, bukan karena ketaatan itu terpaksa Saudara jalankan, tapi karena Saudara mulai melihat keindahan menaati perintah Tuhan, keindahan mengikuti Tuhan. Pengertian firman tidak lebih rendah dari dunia ini. Dan pengertian firman yang Tuhan mau bagikan kepada kita bukan sesuatu yang menyulitkan sehingga kita terpaksa jalankan. Luther mengingatkan bahwa orang Kristen sejati adalah orang Kristen yang bebas, tidak ada tuntutan untuk menjalankan Taurat dulu baru dibenarkan, itu cara berpikir yang salah tentang Injil. Yang ditekankan oleh Luther adalah Saudara dan saya mengalami kebebasan karena Kristus. Dan kebebasan ini membuat kita tidak lagi dikurung oleh pola pikir dunia yang seperti benar tapi sebenarnya dilawan oleh iman Kristen.

Panggung Boneka

  1. Seri Misionaris di Indonesia
  2. Seri Tokoh Sejarah Gereja
    • Eps. 1 – Agustinus
    • Eps. 2 – Gregory The Great
    • Eps. 3 – Anselm
    • Eps. 4 – Thomas Aquinas
    • Eps. 5 – John Wycliffe
    • Eps. 6 – Martin Luther
    • Eps. 7 – John Calvin
    • Eps. 8 – Jonathan Edwards
  3. Seri Komposer Agung
    • Eps. 1 – J.S. Bach
    • Eps. 2 – G.F. Handel
    • Eps. 3 – F.J. Haydn
    • Eps. 4 – Felix Mendelssohn
  4. Seri Lukisan Agung
    • Eps. 1 – Zaman Abad Pertengahan
    • Eps. 2 – Zaman Renaisans
    • Eps. 3 – Zaman Renaisans & Baroque
    • Eps. 4 – Zaman Renaisans di Utara dan Carravagio
    • Eps. 5 – Zaman Keemasan Belanda, Jan Vermeer
    • Eps. 6 – Zaman Keemasan Belanda, Rembrant
  5. Pemahaman Alkitab Anak Spesial Hari Reformasi 31 Oktober 1517
  6. Seri Lagu Natal
  7. Seri Penulis Himne Kristen
  8. Seri Sastrawan dan Literatur
  9. Seri Lagu Paskah
    bit.ly/pangbonlagupaskah

Reformasi dan 95 Tesis

Di dalam sejarah kita tahu bahwa ada konflik antara Martin Luther dan gereja, tahun 1517. Konflik ini dipercikan dan kemudian menjadi besar karena ada 3 tulisan dari Martin Luther. Tulisan pertama yang tidak terlalu terkenal adalah Disputation, pertentangan melawan teologi skolastik. Martin Luther mencoba membersihkan gereja dari doktrin yang banyak dipengaruhi dari kerangka berpikir filsafat, menjadi kerangka berpikir teologi yang banyak dipengaruhi oleh penafsiran Alkitab. Dan ini sebenarnya menjadi proyek penting dari tradisi Calvin, tradisi Reformed. Kita mencoba membaca tradisi Alkitab melalui apa yang Alkitab mau nyatakan kepada kita. Karena meskipun kita percaya Alkitab ini dinafaskan oleh Tuhan, namun kita juga percaya Tuhan menafaskannya melalui penulis. Dan tentu akan sangat sulit memahami apa yang penulis katakan jika kita mengabaikan maksud dari sang penulis. Reformasi mau kembali ke Alkitab dengan cara membuka kembali harta karun yang ada di dalam sejarah gereja. Sejarah gereja mengandung begitu banyak pengajaran penting yang tidak menjadi otoritas mutlak, tidak mengatakan sola tradisi, Saudara akan kembali ke Alkitab. Tapi Saudara akan belajar dari sejarah untuk memahami Kitab Suci, belajar lewat guru. Guru bisa mengajar salah, tapi guru pasti akan lebih banyak porsi benarnya, kalau tidak dari dulu dia sudah dipecat. Demikian juga sejarah, sejarah ada kesalahan, tradisi yang benar punya kesalahan, tapi lebih banyak yang agung dan benar di dalamnya. Kita punya kekayaan tradisi, ada tradisi Katolik, tradisi Protestan, Lutheran, Reformed, Orthodoks Timur. Yang membuat tradisi Reformed menjadi agung adalah kelimpahannya dan akurasi karena ada fokus ke Alkitab. Tradisi yang secara teologi berbeda, ada sudut pandang dan tekanan yang berbeda, dan kalau kita sempit kita akan berpikir tradisi lain itu, sesama Reformed adalah tradisi aneh, karena begitu luasnya sudut pandang ini. Tapi fokusnya sama, mari kita tafsirkan dengan teliti apa yang Alkitab coba bagikan. Sehingga ini yang menjadi salah satu tujuan Martin Luther dengan menentang Teologia Skolastik. Lain dengan disputation againts skolastic theology, 95 tesis itu populernya bukan main. Ini anugerah Tuhan. Kalau Saudara membaca 95 tesis, Saudara akan sadar ada banyak sekali kalimat yang membingungkan karena Martin Luther sangat senang melakukan sindirian dengan kata-katanya, dengan sesuatu yang dipahami oleh orang zaman itu, kalau zaman sekarang kita sudah tidak tahu lagi apa yang dimaksudkan. Jadi Martin Luther menjadi populer karena 95 tesis itu menyebar dan kemungkinan dia tidak pakukan di pintu gereja, itu kemungkinan yang sangat kecil. Lalu kemungkinan kedua ada yang mengatakan dia taruh di dinding untuk pengumuman. Beberapa ahli sudah mulai menyanggah kemungkinan ini, ada kemungkinan Martin Luther langsung taruh di tempat penerbitan untuk diterbitkan. Karena sangat sulit untuk menyadari tulisan yang di post di tempat undangan debat yang biasanya sangat banyak dan kurang diperhatikan, ternyata mendapatkan sorotan. Ada kemungkinan dia taruh langsung di percetakan, yang mana pun tidak masalah, tidak mengubah fakta bahwa 95 tesis menyebar.

Dia sengaja menulisnya dalam Bahasa Latin supaya orang-orang tidak menjadi terprovokasi, biar orang-orang yang mengerti yang menanggapi. Jadi Luther mempunyai keinginan untuk mengoreksi sesuatu. Mengapa Martin Luther mengeluarkan 95 tesis? Ada seorang kardinal, archbishop yang bernama Albrecht, dia ingin sekali menjadi archbishop yang mempunyai kekuasaan di 3 tempat. Orang pada saat itu hanya boleh punya 1 tempat dia menjadi pemimpin gereja, tapi Albrecht sudah punya 2 dan dia ingin ambil yang ketiga. Maka dia memohon izin tertulis dari Roma untuk mendapatkan kemungkinan memimpin atau melayani sebuah daerah. Tentu Paus menolak dengan mengatakan “kamu sudah punya 2, tidak bisa punya 3”. Tapi dia memberikan proposal “kalau saya membayar mahal sekali, apakah diperbolehkan?”, Paus mengatakan akan mempertimbangkannya dan akhirnya menyetujuinya bahwa dia boleh beli license ketiga tetapi dengan harga yang sangat mahal. License ketiga ini akan membuat Roma tambah uang banyak, tapi Albrecht yang tidak punya uang punya jiwa dagang yang sangat teliti. Albrecht punya pikiran “saya tidak punya uang, bagaimana cara membayar?”, akhirnya dia pinjam ke seorang temannya pengelola bank, Jacob Fugger. Setelah mendapatkan uang sangat banyak, dia bayarkan sepenuhnya untuk mendapatkan license. Setelah membayar, dia tetap harus melunasi hutangnya kepada Fugger dengan cara mencicilnya. Bagaimana caranya? Jual surat penebusan dosa. Itu sebabnya dia minta “saya diberi kesempatan untuk menjadi penjual surat indulgensia”. Dia berjanji gereja Katolik akan mendapatkan biaya uang yang mahal untuk license, ditambah 50% dari seluruh penjualan surat indulgensia. Ini deal yang sangat menguntungkan bagi gereja Katolik, deal yang menguntungkan bagi Albrecht, dan bagi Fugger nothing to lose, dia tetap mendapatkan bunga cicilan dari Albrecht. Ini jenius, akhirnya dimulai proyek menjual surat penebusan dosa. Surat itu diedarkan berdasarkan 3 jenis keputusan Paus, 3 papal bull. Papal bull pertama adalah papal bull yang menjelaskan bahwa kalau orang menjadi orang suci, dia mempunyai kelebihan merit dan kekudusan. Karena untuk seseorang mendapatkan surga, dia perlu level tertentu untuk kekudusan, dan orang-orang suci biasanya sudah melampaui itu. Semua kelebihan ini disimpan oleh Tuhan di surga dan inilah yang disebut harta kekayaan surgawi. Ayatnya ada, “carilah harta di surga”. Jadi jangan mengandalkan kutip ayat, untuk ajaran palsu pun ada ayatnya. Inilah keputusan pertama Paus. Keputusan kedua Paus yang mempengaruhi keabsahan penjualan indulgensia adalah kemungkinan untuk mendapatkan treasury of merit ini melalui sesuatu yang disebut dengan upacara menghapus dosa, penance. Tuhan memberikan otoritas ke gereja untuk menentukan kelebihannya mau disalurkan ke mana dan dengan cara apa. Papal bull yang ketiga adalah tentang purgatori. Saudara terlalu cemar sehingga untuk dapat bertemu Tuhan di surga, Saudara perlu dibersihkan dari dosa-dosa yang tidak sempat dibersihkan lewat pengakuan dosa, tapi Saudara terlanjur mati. Berdasarkan 3 keputusan ini, ada landasan hukum kalau mau dibilang untuk penjualan indulgensia, itu semua adalah papal bull yang lama, sudah ratusan tahun sebelum Albrecht menjual surat indulgensia.

Taurat Membangkitkan Dosa?

Di dalam Alkitab dikatakan Taurat ini akan membuat peraturan di dalam sebuah perjanjian, jadi perjanjian menjadi jelas karena ada yang mengikat perjanjian itu. Sehingga orang tidak hanya menjalankan sebuah perjanjian yang tidak mempunyai arah. Adalah hal yang sangat wajar ketika seseorang diikat oleh perjanjian dan itu memberikan apa yang mengikat kedua belah pihak. Jadi ketika seorang ada dalam sebuah perjanjian, dan contoh yang Paulus pakai adalah perjanjian pernikahan, perjanjian ini akan mengikat suami dan istri bukan cuma untuk saling mengasihi, tapi juga untuk memberikan tanggung jawab, setia, serta dorongan untuk mematikan diri dan hidup untuk menghidupi apa yang harus dijalani di dalam perjanjian itu. Ini merupakan contoh yang sangat jelas di dalam kebudayaan Israel, terutama di dalam memahami Taurat. Di dalam kebudayaan Perjanjian Lama, Tuhan mengikat relasi antara Dia dengan umatNya melalui sebuah perjanjian. Dan perjanjian ini akan memastikan umatNya mempunyai kesetiaan dan Tuhan menunjukan kesetiaanNya. Jadi kesetiaan adalah hal yang mau dimunculkan lewat adanya perjanjian, dan kasih yang menyala-nyala di dalamnya adalah hal yang juga diinginkan ada di dalam perjanjian. Kita mungkin tidak terlalu akrab dengan cara berpikir seperti ini karena kita senantiasa memisahkan antara tanggung jawab dan keharusan dengan kasih. Saudara tidak akan mengatakan bahwa saya punya kewajiban untuk menaati perjanjian kerja karena saya mengasihi. Yang saya jalani adalah sesuatu yang harus saya lakukan, itu tidak ada kaitan dengan cinta kasih misalnya. Tapi di dalam pengertian orang Israel, ketika orang Israel membahas tentang kasih terutama di dalam budaya yang sudah dipengaruhi Yunani, mereka memakai agape untuk menerjemahkan kasih Allah. Dan hal unik di dalam kasih agape adalah kaitan antara kasih dan perjanjian. Di dalam zaman modern kita, kita tidak melihat kasih agape dengan pengertian seperti itu, karena kita sangat dipengaruhi, sadar atau tidak, oleh dua orang, seorang bermana Soren Kierkegaard dan Anders Nygren. Kasih agape adalah kasih yang membiarkan orang berada dalam keadaan buruk dan “saya tetap mengasihi dia apa pun yang terjadi”. Tapi di dalam Kitab Suci, terutama Perjanjian Lama, pengertian agape adalah kasih perjanjian, kasih yang menuntut. Tuhan memberi diri dan Dia menuntut manusia yang mengikat perjanjian dengan Dia untuk memberi dirinya bagi Dia. Dan kasih perjanjian, sangat mirip dengan kasih di dalam pernikahan misalnya. Ketika Saudara menikahi seseorang, Saudara mengikat janji dengan orang itu, dan inilah yang disebut dengan pernikahan, Saudara mengasihi dan Saudara diikat dengan perjanjian. Dan apa yang sudah Saudara ikat dalam perjanjian memaksa Saudara, memaksa dengan sangat keras, untuk berubah supaya sesuai dengan perjanjian.

Di dalam tradisi awal sebelum Israel muncul, ada kebiasaan mengikat perjanjian dengan memotong binatang. Membantai seekor binatang dengan mengatakan “saya akan dibantai seperti ini kalau saya tidak setia kepada perjanjian saya”. Sesuatu yang sangat serius, perjanjian tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang dipandang sebelah mata. Di dalam budaya Perjanjian Lama, kehormatan seseorang akan sangat ditentukan dengan kemampuan dia menjalankan bagian yang harus dia jalankan di dalam perjanjian. Apakah kamu setia dalam perjanjianmu atau tidak, apakah kamu melakukan apa yang Tuhan tuntut atau yang dituntut oleh perjanjian? Kalau kamu tidak bisa melakukannya, kamu bukan orang yang boleh diperhitungkan sebagai orang yang hebat, atau bahkan tidak boleh diperhitungkan sebagai orang yang bisa dipercaya. Di dalam masyarakat, orang seperti kamu sebaiknya tidak ada karena kamu bukan orang yang setia kepada perjanjian. Segala hal yang mengaitkan diri seseorang dengan kehormatan akan diperhitungkan lewat perjanjian. Jadi tanpa perjanjian kita tidak bisa menilai seseorang. Saudara tidak bisa mengatakan “dia orang hebat karena aku suka dia”, atau “dia orang hebat karena berbakat”, itu tidak ada urusan. Kita sudah kehilangan nilai-nilai tentang kemasyarakatan yang sebenarnya sangat diajarkan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mengenai orang-orang yang berhak dikagumi, orang-orang yang bisa kita berikan perasaan kagum. Kita sudah mengganti kehormatan seseorang dengan keadaan menjadi artis yang membuat dia dikagumi begitu banyak orang. Maka tidak heran jika keadaan masyarakat kita berada dalam keadaan makin rusak. Orang berlomba-lomba mempunyai keunggulan yang dikagumi. Ingin dikagumi adalah problem besar, karena yang paling layak dikagumi hanya Tuhan. Tugas kita bukan untuk dikagumi, tugas kita adalah untuk setia kepada perjanjian. Dan ini berlaku baik dalam relasi kita dengan Tuhan maupun relasi kita dengan sesama. Tuhan tidak peduli apakah Saudara punya kemampuan untuk dikagumi seperti artis atau tidak. Tuhan peduli apakah kamu orang perjanjian atau tidak, engkau menjalankan perjanjian atau tidak. Jadi aspek ini hilang sehingga waktu kita memikirkan tentang agape, tentang kasih, kita tidak ingat perjanjian. Kita hanya ingat bahwa agape itu adalah kasih yang rela berkorban. John Owen pernah mengatakan kalimat yang sangat bagus, dia mengatakan tidak pernah ada tindakan Tuhan yang bisa dinilai di luar perjanjian, di luar konteks perjanjian. Ini yang kita mungkin harus hati-hati lihat, bahwa setiap istilah di dalam Alkitab akan ditafsirkan berdasarkan konteks perjanjian. Kalau ada yang tanya “mengapa Yesus mati menebus dosa kita?”, John Owen akan menjawab “karena itulah perjanjiannya dari awal”. Bukan karena Yesus mempunyai sesuatu yang secara netral bisa ditafsirkan sebagai penebus, konteks ini hanya bisa dipahami lewat perjanjian. Demikian juga agape adalah kasih yang harus dipahami dalam konteks perjanjian. Sehingga tidak ada pengertian bahwa kalau kita sudah dikasihi Allah, ada kasih agape dari Allah, maka apa pun yang kita lakukan tidak masalah, kasih agape adalah kasih yang menuntut. Bahkan kalau mau lebih ekstrim lagi, kasih agape adalah kasih yang menggerakan Tuhan untuk membinasakan orang fasik di Israel. Kasih akan membuat Saudara penuh dengan damai sejahtera dan sukacita jika Saudara berjalan di dalam perjanjian. Dan perjanjiannya selalu akan jelas dan tertulis. Ini bukan cuma perjanjian yang diturunkan mulut ke mulut. Budaya Yahudi adalah budaya sangat unik karena meskipun banyak sekali tradisi turun-temurun yang mereka miliki, tapi mereka adalah umat yang berpegang pada sebuah kitab. Jadi mereka mengandalkan ini, mereka mengikat hidupnya pada perjanjian dengan Tuhan. Kasih dan perjanjian adalah hal yang utuh, tidak bisa dipisah.

Maka kasih harus ditafsirkan dalam perjanjian dan inilah yang Paulus mau jelaskan di pasal 7 arti Hukum Taurat. Di dalam ayat yang kesatu, itu hal yang wajar, Saudara tidak mungkin mengikat perjanjian dengan orang yang sudah mati. Orang yang sudah mati akan lepas dari perjanjian, kematian akan membubarkan perjanjian apa pun karena perjanjian itu diikat dengan orang hidup, bukan orang mati. Ini akan disetujui baik oleh orang Romawi, maupun oleh orang Yahudi. Sama seperti orang Yahudi, orang Roma pun sangat diikat dengan perjanjian, mereka mempunyai tata negara mereka yang mengharuskan baik senat maupun kaisar, maupun warga mempunyai hak dan kewajiban masing-masing. Tidak ada orang-orang di dalam Roma yang akan hidup tanpa menyetujui perjanjian. Bagi mereka hidup tanpa perjanjian adalah kebiasaan hidup bangsa barbar. Ini juga yang harus kita pikirkan dalam relasi kita, Saudara berelasi di dalam pernikahan atau di dalam relasi bisnis jangan lupa atur semuanya baik-baik, buat perjanjian dari awal. Tuhan kita tidak pernah mengatakan kepada manusia “sudah ya, kita sama-sama percaya. Saya percaya kamu dan kamu percaya saya, mari jalan sama-sama”, tidak ada. Tuhan mengatakan “Aku janjikan melakukan ini dan itu, dokumenkan. Aku tuntut kamu harus lakukan ini dan itu, dokumenkan”, itu rohani, itu suci, itu Tuhan. Kalau tidak melakukan itu berarti kafir, menurut orang Yahudi, “kami tidak pernah punya allah yang tidak jelas. Kami tidak pernah punya ilah yang tidak memberikan perjanjian”. Bangsa-bangsa lain punya perjanjian yang turun-temurun, yang ceritanya ngawur, yang kita tidak mengerti mana versi yang benar. Maka orang Yahudi menganggap remeh bangsa-bangsa lain karena mereka tidak pernah jalan dalam perjanjian yang jelas dengan ilah mereka. Mari biasakan ini. Israel tidak pernah dibiasakan untuk mengenal allah yang tidak pernah berjanji. Jadi mereka mengenal Allah yang memberi diri dan mereka juga mengenal Allah sebagai yang menuntut mereka untuk memberi diri. Jadi agape adalah kasih perjanjian. Kasih yang menuntut, Tuhan menuntut umatNya untuk mengerjakan yang Dia mau dan Dia tuntut dengan keras.

Menerima Hidup Kekal

Saudara bisa melihat ada 2 hal di sini yaitu dosa dan maut, kemudian di sisi lain ada hidup yang kekal di dalam Kristus. Saya ingin simpulkan melalui pembahasan yang panjang di dalam Perjanjian Lama mengenai perjuangan antara kekacauan dengan kestabilan, keindahan dan juga kekudusan. Di dalam dunia kita melihat pertikaian ini, pertikaian dari kuasa kegelapan, dan kuasa yang baik yang menaklukan. Ini pandangan yang akan kita pikirkan, ada kuasa gelap melawan kuasa terang, ada kuasa kacau melawan kuasa yang membawa keteraturan. Tapi Alkitab tidak melihat bahwa dunia ini ada pertarungan antara kuasa jahat dan baik yang sedang berperang. Alkitab melihat bahwa yang terjadi di dunia ini adalah pekerjaan Tuhan yang senantiasa dinyatakan. Tidak pernah ada keadaan di dalam alam ciptaan ini dimana Tuhan lepas kontrol, Tuhan tidak berkuasa dan Tuhan seperti ditaklukan. Ini dikonfirmasi dengan pengertian yang dibagikan misalnya di dalam Kitab Kejadian, atau di dalam Kitab Ayub, atau Mazmur 8, Mazmur 19, yang menekankan Tuhan sebagai Allah yang menopang segala sesuatu. Di dalam pengertian orang Yahudi, Allah tidak pernah berhenti menopang dan memelihara, sehingga mereka tidak bisa jatuh di dalam pengertian agama dari dunia ini yang melihat adanya pertempuran antara gelap dan terang, pertempuran antara kuasa baik dan jahat. Hampir semua agama, memiliki pengertian seperti ini. Dalam pengertian dari agama mana pun ada kesadaran bahwa gelap dan terang itu senantiasa bertarung, termasuk juga ada kuasa jahat dan kuasa baik yang sedang merebutkan hidup kita. Tentu kita percaya pada akhirnya kuasa baik yang akan menang. Kuasa baik akan mengalahkan kekuatan kacau balau dan gelap. Dan agama-agama kuno membuktikan hal ini, ketika kekuatan baik yang menang, maka kita bisa hidup. Salah satu bentuk kekuatan baik adalah disingkirkannya laut oleh dewa langit atau dewa petir, ini menjadi pemikiran umum di dalam dunia kuno zaman Perjanjian Lama. Dan tanpa sadar kita juga berpikir begitu, Saudara akan mengatakan “memang ada kuasa jahat dan kuasa baik yang sedang bertempur”.

Tapi bagian ini sedang tidak membicarakan tentang dua kekuatan yang seimbang saling bertarung. Karena kalau Saudara mengkritik sesuatu tapi tidak menempatkan kisah Saudara di dalam cara yang mirip dengan sesuatu, tentu kritik itu tidak akan masuk. Alkitab memberikan kritik dengan cara membagikan dengan cara berpikir sama namun menyoroti sisi yang beda.

Salah satu yang saya mau angkat dari kritik Alkitab adalah tentang natur dari penciptaan alam semesta. Semua agama kuno punya cerita penciptaan, cerita perang, ada cosmic battle, ada peperangan, ada perjuangan yang akan membuat terjadinya kebaikan, ketenangan dan juga ketentraman dalam waktu tertentu, selama peperangan antara kuasa jahat dan kuasa baik ini dijaga dengan seimbang. Kalau gelap dan terang dijaga dengan seimbang, terjadilah hari demi hari. Dan bahasa ini adalah bahasa yang umum, semua orang tahu inilah cara dari penciptaan semesta dalam agama kuno. Tapi herannya dalam Kitab Suci hanya ada satu tokoh yaitu Allah yang membuat kacau dan baik di tangan Dia. Di tangan Dialah kacau dan kosong menjadi baik. Di tangan Dialah gelap, di tangan Dialah muncul terang. Keunikan dari pesan Alkitab dalam kisah penciptaan adalah satu yang mengatur semua yaitu Allah. Allah adalah yang mengatur baik yang kacau maupun baik untuk tujuan Dia. Sebenarnya ini kritik agama, Alkitab mengkritik agama dengan kritik yang paling keras dari semuanya. Kitab Kejadian adalah kritik terhadap agama Babel, agama Timur Dekat Kuno. Kitab Keluaran adalah kritik terhadap penyembahan orang Mesir, agamanya Mesir. Kitab Taurat adalah kritik terhadap semua agama penyembahan berhala yang mempersembahkan makanan untuk dewa. Dalam perkataan Yesus, kritik terhadap agama begitu besar, tidak ada yang kritik Taurat dan Yahudi lebih keras dari Yesus dan Perjanjian Baru. Nabi-nabi adalah kritikus agama paling keras. Kitab Suci berisi kritik yang sangat keras terhadap agama, tapi orang tidak bisa baca itu. Sehingga ketika orang Kristen mengatakan “bahaya ya, banyak musuh yang menyerah kita”. Orang Kristen yang kerdil selalu berpikir agama dan imannya sedang diserang dari luar, itu apologetik yang buruk. Mari lihat sisi lain, Kekristenan bahaya bagi dunia. Kekristenan bahaya bagi stabilitas politik orang Romawi, itu alasan orang Kristen dianiaya, kekacauan, kekejaman, kemunafikan, akan dibongkar oleh Kekristenan. Mari mulai mengamini bahwa ketika Tuhan menurunkan firmanNya, firmanNya selalu menjadi ancaman bagi kehidupan beragama yang stabil di dalam Timur Dekat Kuno dan juga di dalam dunia Greko Roman di abad 1, ini faktanya. Maka Alkitab mengkritik cara orang beragama, karena kebanyakan agama dimanapun akan memahami agamanya sebagai cara untuk berperang melawan kekuatan yang sedang mengganggu atau sedang menghancurkan. Ini kan wajar terdapat dimana-mana. “Kamu jalankan kehidupan beragama maka keteraturan menjadi milikmu, semua kesucian yang akan membuat kamu mengalahkan kuasa jahat. Kuasa jahat ditaklukan dengan saya menjalankan kehidupan beragama”. Itu semua dikritik oleh Paulus dengan bentuk kritik yang diberikan kepada orang Yahudi yang berpikir “dengan menjalankan kaidah agama, saya bisa berbagian di dalam keadaan yang baik dan menyingkirkan keadaan yang buruk”.