Saudara kita melanjutkan pembahasan kita dari Surat Roma 12: 6-8. Saya bacakan ayat yang ke-6  “demikian firman Tuhan: Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita. Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan standar iman. Jika karunia untuk melayani baiklah kita melayani, jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar. Jika karunia untuk menasihati baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas. Siapa yang memberi pimpinan hendaklah ia melakukannya dengan rajin. Siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita”. Bagian awal perikop ini membahas bahwa kehidupan orang Kristen adalah kehidupan satu tubuh, bagaimana kehadiran orang lain dan saya sendiri adalah satu kesatuan yang tidak mungkin terpisahkan. Sehingga gambaran satu di dalam contoh tubuh itu sangat penting, sebab tubuh tidak dirancang untuk terpisah, tidak dirancang untuk tidak saling memedulikan satu dengan lain. Kehidupan orang Kristen dirancang untuk menjadi satu di dalam aspek cinta kasih dan juga saling melayani. Di dalam pengertian orang Yahudi, kasih adalah sesuatu yang lebih berkait kepada tindakan dari pada perasaan. Sehingga ketika Tuhan memerintahkan untuk seseorang mengasihi, orang Yahudi tidak perlu bertanya bagaimana cara mengubah hati kalau mereka belum mengasihi jadi mengasihi. Sebab pertanyaan itu kurang relevan. Pertanyaan yang lebih jelas adalah apakah yang disebut dengan tindakan kasih. Ketika Kristus mengatakan kepada orang yang bertanya kepada Dia, “hukum utama adalah, kasihilah Tuhan, Allahmu dan kasihilah sesamamu”. Orang tersebut tidak bertanya balik bagaimana bisa mempunyai perasaan kasih. Tapi ia langsung bertanya “Siapakah sesamaku? Saya kalau mau mengasihi, siapa orang yang akan mendapatkan kasih itu?”. Tuhan Yesus lantas memberikan contoh yang sangat terkenal mengenai orang Samaria yang baik hati. Apakah orang Samaria ini mempunyai afeksi yang besar sehingga dia mampu melakukan perbuatan baik? Tentu, tetapi bukan afeksi itu yang mau ditekankan di dalam ajaran “Hendaklah kamu saling mengasihi”. Bukan afeksinya melainkan tindakannya. Maka tindakan kasih adalah kasih. Tidak relevan apakah kita sudah punya hati untuk itu atau tidak. Tindakan adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Tuhan. Itu sebabnya mengerti kasih ada di dalam banyak penjabaran di dalam Kitab Suci. Misalnya ketika seterumu lapar, beri dia makan, ketika seterumu haus beri dia minum. Berarti di dalam Kitab Suci tekanan untuk bertindak adalah tekanan yang menggambarkan apa itu kasih. Sehingga jika kita bergumul mengatakan “Saya belum sanggup mengasihi”, itu pergumulan yang harus diselesaikan dengan tindakan, bukan dengan perubahan hati. Tidak peduli apakah hati kita menyenangi orang tersebut atau tidak, tindakan kita harus sesuai dengan apa yang Tuhan inginkan. Inilah pengertian kasih yang sebenarnya bersifat sangat praktis. Hal ini juga tertulis di dalam Imamat 19. Imamt 19 memberikan contoh penekanan tentang bagaimana beribadah kepada Tuhan merupakan bagian dari mengasihi Tuhan. Penekanan berlaku adil kepada sesama, juga bagian dari mengasihi. Pengertian bagaimana harus mempunyai kekudusan hidup, menghormati pasangan, menghormati pasangan orang lain juga, ini merupakan bagian dari pengertian kasih. Kasih dan kekudusan bukan hal yang bisa dipisah, sehingga kadang-kadang kita memahami perintah untuk kudus, tetapi sebenarnya yang Alkitab tekankan bukan kekudusan saja, melainkan juga kasih. Maka kasih adalah tindakan yang merupakan bagian dari tuntutan Tuhan bagi umatNya. Umat Tuhan harus mempraktekan kasih, umat Tuhan tidak terlalu disorot mengenai kondisi hati dan perasaan. Kita sering mengatakan “Perasaan saya sulit diubah”, itu terserah, tapi tindakan kita tidak boleh tidak bisa diubah oleh Tuhan. Tindakanmu harus mendahului. Kadang-kadang orang menafsirkan ini sebagai sebuah pengertian yang stoik, yaitu bertindak tanpa didorong oleh perasaan, bertindak meskipun hati belum rela. Sehingga sebagian orang akan melawan ini dengan mengatakan “Tidak bisa, kita tidak bisa terpecah. Siapa saya di dalam dan tindakan saya keluar itu harus satu. Kalau saya di dalam tidak rela melakukan, maka tindakan saya yang di luar itu menjadi tidak penting”. Tapi Kitab Suci membagikan pentingnya tindakan sehingga tindakan itu bahkan akan mempengaruhi kondisi hati. Pembentukan hati terjadi dari tindakan juga. Ini sesuatu yang disadari oleh Agustinus dan digali kembali pemikirannya oleh orang-orang seperti James Smith misalnya. Waktu Saudara bertindak, Saudara sedang membentuk hati. Hati tidak dibentuk dengan cara diberikan penjelasan berulang-ulang. Hati dibentuk dengan adanya sebuah liturgi hidup, adanya sebuah pengulangan di dalam hidup. Apakah yang paling sering kita ulangi? Hal apa yang paling sering kita lakukan setiap hari itu akan membentuk ke dalam. Itu sebabnya banyak orang sulit untuk menguduskan hidup karena dia pikir hatinya bisa diberi tahu, hatinya bisa dinasehati untuk berubah. “Pokoknya kalau saya mau hidup suci mesti begini, begini, begini, mesti tinggalkan segala dosa. Mesti lakukan apa yang baik”, terus kita cekoki hati lalu tunggu hati berubah dulu baru bertindak. Nanti kalau hati sudah berubah, baru saya ubah tindakan. Kita punya konsep ideal tentang cara berlangsungnya tindakan baik, dari hati mengalir keluar. Saudara memang benar, Yesus sendiri mengatakan “Apa yang keluar dari mulutmu itu berasal dari pikiranmu”. Dirimu di dalam diekspresikan keluar itu memang benar, ada bagian itu juga di dalam Kitab Suci. Tapi ekspresi keluar membentuk ke dalam juga ada. Ekspresi keluar membentuk ke dalam, Saudara tidak niat menolong orang, tapi Saudara paksa diri tolong orang, itu akan membentuk ke dalam juga. Maka perintah untuk bertindak adalah sesuatu yang sangat jelas diperintahkan di dalam Kitab Suci. Itu sebabnya kalau Saudara mau idealis dengan mengatakan “saya nanti akan lakukan kalau hati sudah rela. Kalau tidak, nanti saya jadi munafik”, bukan munafik, engkau sedang membiasakan diri untuk sebuah liturgi, tindakan keluar yang akan membentuk kedalam. Seringkali hati kita justru disiapkan oleh tindakan. Jadi sudah siap untuk mencintai orang, tidak relevan. Sudahkah kamu mengekspresikannya? Itu yang lebih penting.

Maka di dalam Kitab Suci ditekankan sekali bagaimana seseorang harus bertindak kepada orang lain di dalam kondisi tertentu. Misalnya di dalam Roma 12 bagian akhir, ditekankan sebuah keharusan untuk menolong seterumu kalau dia berada dalam keadaan kasihan. Kalau musuhmu lapar, beri dia makan. Hal ini menceritakan tentang kondisi musuh yang sudah hancur. Kita tidak menambah kehancuran dia dengan balas dendam, melainkan kita lakukan tindakan belas kasihan karena orang ini adalah orang yang lapar atau orang yang haus. Bagian ini dengan teliti mengatakan kita tidak punya kewajiban apapun kepada orang yang memperlakukan kita tidak adil selama dia belum berbalik dan bertobat. Tapi kalau dia berada dalam kesulitan, dia bertobat atau tidak, kita harus menolong dia. Saudara mungkin tidak tergerak oleh belas kasihan, tapi Saudara tergerak oleh kewajiban bertindak. “Siapa yang wajibkan saya bertindak, siapa punya hak atas hidup saya?” yang punya hak atas hidupmu adalah PenciptaMu dan PenebusMu. Dia yang sudah menciptakan engkau dan Dia yang sudah menebus engkau berhak atas tindakanmu melayani Dia. Maka segala tindakan kita adalah tindakan yang diperintahkan oleh Tuhan untuk dikerjakan dibaca sebagai kasih. Apakah hatiku sudah mengasihi? Mungkin belum, tetapi tindakan itu dikerjakan. Tindakan itu akan membentuk hati saya. Jika Saudara belajar untuk bertindak demi orang lain, meskipun hatimu tidak rela, engkau pelan-pelan akan terbentuk ke dalam, pembentukan melalui tindakan. Ini bukan sesuatu yang baru, banyak pemikir termasuk pemikir Kristen sudah mulai memikirkan tema ini. Thomas Aquinas misalnya, di dalam sebuah konsep yang dalam bahasa latin disebut habitus yang diambil dari pengertian Aristotle, heksis, ini merupakan sebuah tindakan berulang yang akan membentuk ke dalam. Jadi tindakanku di luar membentuk saya ke dalam. Hati mengikuti tindakan. Hati mengikuti tindakan atau tindakan mengikuti hati? Keduanya benar, sekali lagi, hatimu dibentuk oleh tindakanmu dan ketika hatimu terbentuk pada akhirnya engkau akan mengerjakan dengan dorongan hati apa yang engkau harus kerjakan. Ini yang disebut kebebasan Kristen. Orang Kristen punya kebebasan mencintai karena hatinya memang ingin mencintai. Orang Kristen hidup suci karena hatinya memang mau hidup suci. Orang Kristen berlaku adil karena hatinya memang mau berlaku adil. Tapi sebelum hati mau, tindakan adil, tindakan kudus, tindakan penuh kemurahan, tindakan penuh cinta kasih harus dikerjakan. Itu sebabnya waktu Tuhan ciptakan manusia, Dia tempatkan manusia di dalam konteks harus bertindak bagi sesamanya. Tuhan mengatakan kepada Adam “Tidak baik kalau dia seorang diri saja”, mengapa tidak baik? Yang pertama tidak ada yang tolong dia, itu yang pertama. Yang kedua, tidak ada yang dia tolong, ini juga penting. Manusia harus ditolong dan harus menolong. Tanpa ditolong dan tanpa menolong, dia tidak mungkin jadi manusia dan tidak mungkin jalani hidup sebenarnya. Maka relasi manusia di dalam hidup sebenarnya adalah relasi ketersalingan, saling melindungi, saling menjaga, saling mempertumbuhkan, saling membuat limpah, saling memberi diri, ini bagian dari sebuah sistem yang namanya creational order, keteraturan ciptaan. Seluruh ciptaan saling ada bagi yang lain. Saudara tidak mungkin mampu memahami fungsi matahari jika Saudara tidak lihat matahari di dalam sistem tata surya yang ada. Saudara tidak mungkin memahami apa gunanya tanah tanpa mengaitkan itu dengan tanaman yang tumbuh ataupun juga dengan makhluk yang hidup di dalam tanah. Saudara tidak mungkin mengaitkan satu orang tanpa ada orang lain. Seorang pelatih sepak bola tidak ada guna jika tidak ada tim sepak bolanya. Seorang yang melakukan tindakan tertentu tidak akan berguna kecuali ada masyarakat yang mendukung dia dan yang perlu didukung oleh tindakan dia. Itu sebabnya menolak bertindak adalah fatal karena kita sedang mencabut diri dari konteks. Banyak orang tidak sadar kita perlu bertindak kasih, bukan hanya karena ini perintah Tuhan, bukan karena hanya orang lain perlu, tapi karena kita memang dirancang untuk berbagian melalui tindakan. Itu sebabnya tidak ada orang bisa mengabaikan keharusan untuk bertindak mengasihi. Seorang yang menjadi orang Kristen mendapatkan kewajiban untuk bertindak yang merupakan bagian dari ekspresi kasihnya.

1 of 5 »