Jangan Engkau Lalu ~ Pass Me Not, O Gentle Saviour

Himne yang dipakai di dalam Gereja Reformed Injili Indonesia banyak diambil dari buku kidung pujian, seperti buku Kidung Jemaat (GKI), Kidung Puji-Pujian Kristen (Gereja-gereja Tionghoa), Kidung pujian reformed injili (KPRI), buku pujian Perkantas, dan masih banyak lagi. Buku pujian yang berisi kompilasi himne yang agung ini muncul dari tradisi gerakan reformasi dan mulai berkembang setelah Calvin dan Luther melihat pentingnya bernyanyi berjemaat (congregational singing). Lalu seiring dengan inovasi Gutenberg yang menciptakan mesin cetaknya, gereja mulai banyak mempublikasikan literatur Kristen, baik dari Alkitab, buku filsafat, hingga buku-buku lagu pujian Kristen.
Namun kita harus mengamati sejarah dan latar belakang pemilihan lagu yang tercantum dalam buku-buku pujian ini, karena harus dapat dipertanggungjawabkan secara menyeluruh, baik dalam sisi teologis dan juga sisi estetika keindahan musik tersebut. Mengingat bahwa himne-himne ini terciptakan oleh gerakan atau denominasi yang berbeda-beda. Seperti Lutheran (Paul gerthard, Phillp Nicolai), Calvinist (Louis Borgoueise), Methodist (Charles Wesley, Fanny Crosby), Baptis (Gloria Gaither), bahkan di dalam Gerakan Reformed Injili (Pdt. Dr. Stephen Tong, Pdt. Billy Kristanto). Perbedaan denominasi dan teologis mempengaruhi dimasukannya beberapa lagu tertentu ke dalam buku-buku pujian.
Lalu bagaimanakah lagu ini? Kita baca kata-kata aslinya dalam bahasa Inggris yang berkata, ”Pass me not, O Gentle Saviour, Hear my humble cry, While on others Thou art calling, Do not pass me by. Bukankah bagi orang Reformed lagu ini berkesan kurang ‘TULIP’? Bukankah lagu ini berkesan kita yang tidak terpanggil dan dipilih Tuhan (While on others Thou art calling), memohon agar Tuhan bisa mendengar panggilan kita (Do not pass me by)? Jika demikian mengapa lagu ini ada di dalam hampir semua buku pujian Kristen?

Fanny Crosby terinspirasikan menuliskan lagu ini ketika ia sedang melakukan PI bersama rekan-rekannya kepada para narapidana di salah satu penjara. Satu sel demi satu sel Fanny layani dengan pemberitaan Injil dan menyanyikan lagu pujian. Namun karena waktu besuk terbatas dan tidak semua sel dapat dilayani, Fanny Crosby harus menyudahi pelayanannya dan mereka dipersilakan oleh sipir menuju pintu keluar. Tetapi karena banyak yang belum terlayani, Fanny Crosby pun dengan berat hati segera bergegas. Namun tiba-tiba dari sebuah sel yang belum dilayani, terdengar suara yang begitu pilu berkata, “Tolong, jangan engkau lalui aku.”. Fanny Crosby menulis dalam surat-suratnya bahwa ketika ia menulis himne ini, suara pilu dari satu sel itu terngiang di dalam pikirannya, sama seperti suara dua orang buta meraung-raung mencari Yesus (Matius 20:29-31). Teringat besar kasih Tuhan Yesus yang akan mendengarkan suara orang yang mencariNya, lalu terciptalah himne ini.
Sebagai orang reformed yang mengerti kedaulatan Tuhan, mudah sekali untuk kita menghakimi himne ini secara teologis kurang tepat, tetapi bukankah faktanya kita telah berdosa dan tidak layak lagi bersama dengan Tuhan, malah justru SEHARUSNYA Tuhan lewati? Bukankah harusnya kita bernyanyi demikian? Pujian ini secara universal menaruh posisi kita sebagai orang yang memohon kepada Tuhan, agar Tuhan memberikan berkat-Nya kepada kita.
Himne yang agung mendorong jemaat kembali kepada Firman dan memposisikan kebenaran Firman Tuhan dalam liriknya di posisi utama, secara bersamaan menyatukan para penyanyinya secara universal, baik dari denominasi dan latar belakang teologis manapun. Hingga kini hampir semua buku pujian selalu mencantumkan himne ini di dalamnya.

Rescue The Perishing ~ Selamatkanlah Yang Akan Binasa

Lagu Rescue the Perishing yang diciptakan Fanny Crosby ini memiliki satu kisah yang sangat menggerakkan hati. Berikut adalah kisah Fanny Crosby sendiri mengenai insiden yang terjadi dalam penggubahan lagu tersebut:
“Pada waktu saya berkhotbah kepada satu kelompok pekerja pada satu sore yang panas di bulan Agustus, ada satu hal terus menggugah pikiran saya yang mengatakan bahwa ada satu anak laki-laki dari seorang ibu yang harus diselamatkan pada malam itu atau dia tidak akan diselamatkan sama sekali. Maka saya meminta bahwa jika ada satu orang anak laki-laki yang sedang mendengar khotbahnya, yang sudah berpaling dari ajaran ibunya, saya mengundang dia untuk datang dan berbicara dengan saya sesudah kebaktian. Ada seorang muda berumur 18 tahun datang dan berkata, ‘Apakah orang yang Anda maksud adalah saya? Saya sudah berjanji kepada ibu saya untuk bertemu dengannya di surga; tetapi jika saya hidup dengan cara hidup saya sekarang, hal itu adalah sesuatu yang mustahil.’ Kami berdoa untuk dia, dan dia berdiri dengan cahaya baru di matanya. Dia berseru dengan seruan kemenangan, ‘Sekarang saya dapat bertemu dengan ibu saya di surga, karena saya telah menemukan Allah ibuku.’
Beberapa hari sebelumnya, Mr. Doane mengirimkan kepada saya satu topik, ‘Selamatkanlah yang akan Binasa,’ dan ketika saya duduk di sana pada sore itu datanglah satu barisan kata-kata, ‘Rescue the perishing, care for the dying.’ Saya tidak dapat memikirkan hal lain lagi malam itu. Saya menggubah lirik lagu itu seketika itu juga dan himne itu juga seketika siap untuk melodinya. Hari berikutnya lirik tersebut sudah selesai ditulis dan langsung dikirimkan kepada Mr. Doane, yang menuliskan musik yang indah dan menyentuh seperti yang ada sekarang.
Di November 1903, saya pergi ke Lynn, Massachusetts, untuk berkhotbah di Young Men’s Christian Association. Saya menceritakan kepada mereka insiden yang memimpin saya untuk menulis lagu ‘Rescue the Perishing,’ seperti yang saya tulis di atas. Setelah pertemuan tersebut, banyak pemuda berjabat tangan dengan saya, dan salah satu pemuda terlihat sangat tergerak. Saya begitu terkejut ketika dia berkata, ‘Miss Crosby, saya adalah anak laki-laki yang tiga puluh lima tahun yang lalu sudah berpaling dari Allah ibuku. Pada sore ketika Anda berkhotbah dalam pertemuan misi tersebut saya mencari dan mendapatkan kedamaian, dan saya telah mencoba untuk menghidupi kehidupan Kristen yang konsisten sejak saat itu. Jika kita tidak bertemu lagi di dunia, kita akan bertemu di sana.’ Ketika dia mengatakan hal ini, dia mengangkat tanganku ke bibirnya (ket.: Fanny Crosby adalah seorang buta); dan ketika saya kembali dari keterkejutan saya, dia sudah pergi, dan sampai sekarang saya tidak mengenal namanya. Dia terus teringat di dalam hati saya setiap saya mengingat melodi lagu ‘Rescue the Perishing’.”
Kiranya lagu ini juga menggerakkan kita dengan satu urgensi untuk menjangkau orang-orang yang belum mengenal Injil Kristus, karena mungkin momen itu adalah satu-satunya momen yang Roh Kudus ingin pakai untuk kita memberitakan Yesus Kristus, satu-satunya pribadi yang dapat menyelamatkan orang tersebut dari dosa.
Sumber: http://cyberhymnal.org/htm/r/e/rescuetp.htm

Great Jehovah Mighty Lord

Himne baru yang kita nyanyikan di minggu ini berjudul “Great Jehovah Mighty Lord”. Himne ini diciptakan oleh Fanny Crosby dan Ira D. Sankey dan sarat akan berita penginjilan kepada seluruh dunia. Nama tune lagu ini disebut “Missionary Hymn” dan sering dinyanyikan pada KKR D. L. Moody.
Great Jehovah, mighty Lord, Vast and boundless is Thy Word;
King of kings, from shore to shore Thou shalt reign forevermore.
Bagian pertama lagu ini menyatakan Allah pencipta yang begitu berkuasa, yang Firman-Nya luas dan tidak terbatas, dan dari ujung bumi sampai ujung bumi. (Filipi 2:9-11; Roma 10:12)
Jew and Gentile, bond and free, All shall yet be one in Thee;
All confess Messiah’s Name, All His wondrous love proclaim.
Kristus yang telah mati di atas kayu salib menjadi korban penggantian kita, yang kemudian kita, umat manusia yang telah berdosa dan terpisah dengan Tuhan Allah dapat dipersatukan kembali. Orang Yahudi maupun bukan Yahudi, budak dan orang merdeka menjadi satu di dalam kesulungan Yesus Kristus.
From her night shall China wake, Afric’s sons their chains shall break; Egypt, where Thy people trod, Shall adore and praise our God.
India’s groves of palms so fair, Shall resound with praise and prayer; Ceylon’s isle with joy shall sing,Glory be to Christ our King.
Dua bagian ini memperlihatkan kekuatan Firman yang menembus banyak batas seperti negara, warna kulit, dan bahasa. Tersebutlah Cina yang pada abad 19 yang masih tertidur di dalam keterbelakangan dan keterpurukan supaya Firman Tuhan membangunkannya, tersebutlah Afrika yang lewat FirmanNya dapat bebas belenggu di dalam perbudakan, serta India dan Sri Lanka (Ceylon) terdengar suara pujian kepada Tuhan.

Bukan saja lagu ini diciptakan pada tahun 1800-an di mana terjadi kebangunan besar di Inggris dan Amerika, dan memulai perjalanan misi ke seluruh pelosok dunia. Kita jarang melihat himne seperti ini, yang bukan saja memuji nama Tuhan tetapi sekaligus juga menjadi doa penginjilan kepada negara-negara tersebut.
North and South shall own Thy sway; East and West Thy voice obey;
Crowns and thrones before Thee fall, King of kings and Lord of all.
Akhir lagu ini menggunakan ayat yang digunakan dalam oratorio “Messiah” oleh Handel yaitu Wahyu 19:16 “Raja segala raja dan Tuan di atas segala tuan.” yang menjadi pernyataan terakhir dalam konsumasi bahwa seluruh dunia akan tunduk (Wahyu 15:4) dan semua lidah mengaku Yesus menjadi Raja segala Raja dan Tuhan di atas segala Tuhan.
Lirik lagu dalam Bahasa Indonesia (terjemahan bebas)
Great Jehovah, Might Lord
Fanny Crosby 4/4
Ira D. Sankey Do = Bes

Tu- han Al – lah a – gung per – ka sa Fir- man- Mu tak ter- ben-dung;
U – mat da – ri s’ga – la bangsa, ja – di sa – tu da- lam – Mu
Se-mua be-nua, se – mua pu- lau, ha – rus de-ngar In – jil – Mu
U – ta – ra ke Se – la – tan, pe- nuh de-ngan pu- jian – Mu
Kris- tus kan se – g’ra kem – ba – li, me- mu- lih – kan se – mu – a

Ra – ja da – ri s’ga – la ra – ja, Kau ber-takh-ta s’la- ma- nya
S’mua menga- ku Kris-tus- lah Tu-han, dan me- mu- ji ka – sih – Nya
S’ga – la su – ku, s’ga – la bangsa, me – ni- nggikan Sa – lib – Mu
Da – ri Ba- rat sam – pai ke Ti- mur, ber – ge- ma mu- lia – kan- Mu
De – ngan gentar semua ber – su- jud, pa – da Tu-han se – mes- ta

Ke Mana Saja

Lagu “Ke Mana Saja” ini adalah lagu ciptaan Pdt. Stephen Tong yang lahir dari pengalamannya dipimpin oleh Tuhan untuk mengabarkan Injil di tempat-tempat yang terpencil di Serawak. Lagu rohani memiliki nilai yang begitu tinggi, bukan hanya karena kualitas musikalnya yang tinggi, tetapi yang lebih esensial adalah karena ada realitas relasi yang nyata antara penggubah lagu dengan Tuhan.

Sekalipun dibesarkan dalam keluarga yang sederhana, Pdt. Stephen Tong bergumul secara intelektual dengan pemikiran-pemikiran modern, khususnya dialektika-materialisme dari Marx dan evolusionisme. Setelah ia bertobat dan menyerahkan diri menjadi pekabar Injil, ia banyak menggeluti dunia filsafat demi meyakinkan banyak orang akan superioritas Kristus dan kebenaran Injil-Nya. Keluasan dan kedalam pikiran Pdt. Stephen Tong sulit ada orang yang dapat menyaingi.

Namun Pdt. Stephen Tong berkata dalam lagu ini bahwa ia siap untuk dipakai Tuhan untuk mengabarkan Injil bahkan sampai ke dalam rimba. Tidaklah mudah untuk menjelaskan konsep-konsep yang penting kepada orang-orang yang tidak berkesempatan memperoleh pendidikan yang cukup. Pdt. Amin Tjung pernah mengatakan, “Great minds simplify, small minds amplify,” maksudnya bahwa orang yang pandai dapat menyederhanakan yang hal-hal yang rumit, sedangkan orang yang bodoh merumitkan hal-hal yang sebenarnya sederhana.

Selain masalah penyederhanaan, hal yang jauh lebih sulit adalah pergumulan hati untuk mengikut jejak Tuhan Yesus Kristus yang rela turun, melayani, menderita, bahkan mati di atas kayu salib. Dipandang secara duniawi, apa signifikansinya pelayanan di tempat-tempat yang terpencil? Namun seringkali apa yang dipandang rendah oleh dunia, dipandang berharga oleh TUHAN Allah. Pdt. Stephen Tong rela untuk dipimpin dan dibentuk oleh visi kerajaan Allah, bukan visi dunia. Seperti Kristus, ia rela melayani yang kecil, yang miskin, yang terbuang oleh masyarakat. Menurutnya, filsafat hidupnya adalah “squeeze-ism”, bagaimana dia memeras seluruh hidupnya, bekerja sekeras-kerasnya, untuk menggenapi rencana Tuhan bagi zamannya.

Dari pergumulan hatinya tersebut, terciptalah lagu “Ke Mana Saja”. Melalui pergumulan yang nyata antara Pdt. Stephen Tong dengan Allah, terciptalah lagu yang mendorong banyak orang untuk mengikut jejak Kristus yang merendahkan diri, melayani, dan mengabarkan Injil. Apakah kita memiliki relasi yang nyata dengan Allah di dalam keseharian hidup kita? Apakah visi hidup kita dipimpin oleh visi kerajaan Allah? Relakah kita mengikuti jejak Kristus, yang merendahkan diri, melayani, menderita, dan bahkan mati untuk menjadi berkat bagi banyak orang? Relakah kita memeras hidup kita untuk bekerja keras bagi penggenapan rencana Allah? Kiranya Roh Kudus boleh menyapa hati kita melalui lagu ini dan memam-pukan kita untuk berespon dengan tepat kepada Pencipta dan Penebus kita.

Tema Lagu Februari 2014 – Revival

Tema umum dari lagu-lagu yang kita pujikan di kebaktian umum bulan Februari adalah revival. Revival berakar dari bahasa Latin yang terdiri dari imbuhan depan re- yang artinya kembali, dan vivere yang artinya hidup. Maka, arti harfiah dari kata revival adalah hidup kembali. Cotton Mather, seorang tokoh pendeta Puritan di New England (Amerika Serikat), tercatat pertama kalinya menggunakan kata revival dengan arti “kebangunan rohani secara umum di dalam satu komunitas,” pada tahun 1702. i

TUHAN Allah selalu bekerja untuk manusia secara komunitas. Ketika TUHAN Allah menciptakan Adam, Ia berkata, “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja” (Kejadian 2:18). Manusia diciptakan untuk hidup dalam komunitas. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, manusia juga jatuh secara komunitas: “… oleh ketidaktaatan satu orang, semua orang telah menjadi orang berdosa…” (Roma 5:19). Demikian pula TUHAN Allah mengaplikasikan karya keselamatan Kristus melalui Roh Kudus yang bekerja di dalam komunitas umat Allah yang disebut Gereja.

Gereja, sebagai komunitas, memerlukan struktur institusional agar dapat berjalan dengan teratur. Paulus sendiri berkata bahwa Allah tidak menghendaki kekacauan, tetapi keteraturan (1 Korintus 14:33). Sayangnya, struktur institusi di dalam satu komunitas seringkali disalahmengerti sebagai Gereja. Struktur institusi Gereja, tanpa jemaat yang mendapatkan hidup yang baru dari Allah, haruslah jelas dibedakan Gereja itu sendiri. Banyak ‘gereja’ sekarang hanyalah institusi yang mati, karena Roh Allah tidak tinggal di dalamnya. Di dalam ‘gereja-gereja’ tersebut, tidak ada relasi yang nyata dan hidup antara Allah dengan umat-Nya. Ketika kaki dian itu dicabut akibat ketidaksetiaan umat Allah, yang tersisa hanyalah tulang-belulang: tidak ada hidup.

Namun Allah seringkali bekerja secara mendadak, mengherankan, dan tiba-tiba, menghembuskan kembali kehidupan rohani ke dalam suatu komunitas yang sudah mati secara rohani. Inilah yang disebut revival. Di da-lam komunitas tersebut, Allah menganugerahkan adanya Firman Tuhan yang murni yang kembali diberitakan, adanya perasaan gentar kepada Allah yang muncul di dalam hati banyak pribadi, adanya kesadaran yang sungguh-sungguh akan dosa, dan adanya keyakinan keselamatan di dalam Kristus Yesus. Revival bukanlah hasil rencana dan kerja keras manusia, tetapi sepenuhnya karya anugerah Allah. Namun ini bukan berarti manusia tidak berbagian.

Ketika TUHAN Allah memberikan revival, ada orang-orang yang terpanggil untuk berdoa dengan sungguh-sungguh dan memberitakan Injil. Melalui orang-orang tersebut, kebangunan rohani mulai muncul di dalam komunitas tersebut.

Revival terjadi secara mengherankan di berbagai periode sejarah Gereja. Di saat-saat suatu komunitas hidup dalam kegelapan dan dosa, tiba-tiba muncul orang-orang yang dipakai oleh Allah untuk menjadi alat-Nya dalam menghidupkan kembali komunitas tersebut. Namun apa yang kita lihat terjadi secara tiba-tiba di dalam sejarah, TUHAN Allah sebenarnya telah terlebih dahulu mempersiapkan orang-orang tersebut sejak lama dengan tersembunyi. Siapakah Martin Luther? Pada waktu ia muda, ia hanyalah imam di satu gereja kecil di Wittenberg. Siapakah Yohanes Calvin? Ia bukanlah seorang yang signifikan di dalam Gereja Roma Katolik. Begitu juga halnya dengan George Whitefield, John Wesley, Jonathan Edwards, dan lain-lain. Mereka dipersiapkan TUHAN Allah secara sembunyi-sembunyi untuk mengerjakan pekerjaan-Nya yang besar. Seringkali TUHAN Allah tidak memakai mereka yang dianggap penting dan berpengaruh oleh manusia. Tetapi mereka yang dianggap lemah, bodoh, dan tidak penting oleh manusia, mereka seringkali dipakai oleh TUHAN Allah untuk meninggikan Nama-Nya. Maka, tidak ada manusia yang bisa bermegah; hanya TUHAN sajalah yang ditinggikan di da-lam pekerjaan-Nya.

Revival sedang terjadi di Indonesia melalui gerakan Reformed Injili. Gerakan ini merupakan gerakan yang sangat unik di dalam sejarah Gereja. Melalui Pdt. Stephen Tong, kita mewarisi semangat pendobrakan dari Luther, teologi yang komprehensif dari Calvin, keluasan cakupan mandat budaya dari Kuyper, dan api pekabaran Injil dari para tokoh kebangunan rohani China abad ke-20. Marilah kita melihat betapa ajaib TUHAN bekerja bagi umat Allah di Indonesia melalui gerakan ini. Terlalu banyak hal ajaib yang sudah terjadi, dan bahkan sedang terjadi! Tetapi api revival di dalam umat ini akan padam jika kita tidak setia mengerjakan apa yang menjadi bagian kita. Ketika kaki dian itu diangkat oleh TUHAN, ketika Roh Kehidupan itu didukakan dan meninggalkan di dalam suatu komunitas, maka yang tersisa hanyalah tinggal tulang-belulang. Apakah saudara setia mengerjakan panggilan TUHAN bagi saudara?

Bulan ini kita bersyukur bahwa Kebaktian Pembaruan Iman Nasional (KPIN) boleh diadakan di kota Bandung. Kita mengharapkan TUHAN mem-berikan revival melalui KPIN. Setiap minggunya, kita juga memasukkan lagu-lagu ciptaan Pdt. Dr. Stephen Tong yang berkaitan dengan revival dan pekabaran Injil. Kiranya lagu-lagu yang kita nyanyikan di dalam kebaktian umum bulan ini membuat hati kita gentar karena kesadaran akan tanggung jawab yang TUHAN berikan kepada kita dan menggugah kita untuk setia menjalankan panggilan-Nya, sampai seluruh rencana keselamatan-Nya bagi umat-Nya genap.

i http://www.etymonline.com/

Layakkah-ku Pergi Tangan Hampa ~ Must I go, and empty-handed ~

Charles Caroll Luther (1847-1924) adalah seorang pendeta gereja Baptis pada tahun 1886, sebelum menjadi pendeta ia adalah seorang wartawan dan penginjil awam. Di sela-sela melayani Tuhan, Charles Luther gemar mengkomposisikan himne, dan selama hidupnya ia menciptakan lebih dari 25 himne yang dipublikasikan dalam buku “Temple Chimes” pada tahun 1877.

Pada suatu hari di tahun 1877, ia mendengar seorang pendeta bernama A.G Upham bercerita tentang kesaksian jemaat-jemaatnya, dan salah satu ceritanya menceritakan seorang anak muda yang hampir sampai di ajalnya, sayangnya anak muda ini baru menjadi Kristen selama satu bulan. Walaupun ia bersyukur atas keselamatan yang diberikan Tuhan di ujung hidupnya, ia menyesali tidak memiliki kesempatan untuk melayani TUhan dan belum sempat menginjili orang lain. Lalu di ranjangnya di akhir hidupnya anak muda ini dengan menyesal ia berkata, “Saya tidak takut mati. Tuhan Yesus telah menyelamatkanku. Tapi haruskah saya pulang dengan tangan hampa?”. Mendengar ini Charles Luther mengutip cerita A.G Upham dan menuliskan himne ini.

Kita bersyukur kepada Tuhan bahwa Tuhan memanggil kita untuk melayani di ladangnya di pagi hari, sehingga kita memiliki seluruh hidup kita untuk melayaniNya, Sayangnya banyak dari kita tidak menyadari hal ini dan seringkali mencintai mamon lebih daripada mencintai Tuhan, sehingga Tuhan mendapatkan prioritas waktu yang paling akhir.

Menyanyikan lagu ini harusnya membuat kita bertanya, jika kita hari ini kita dipanggil Tuhan saat ini, apakah yang kita bawa di hadapan Tuhan yang telah menyelamatkan kita? Mari kita tidak membuang waktu yang sudah Tuhan berikan kepada kita dengan menebus waktu kita, menginjili orang lain, dan hidup yang berbuah. 

KAU YANG LAMA DINANTIKAN ~ Come, Thou Long-Expected Jesus ~

Tidakkah kita getir melihat dunia merayakan Natal di zaman ini? Sejak akhir November dunia menunggu dan mempersiapkan diri untuk Natal. Di tengah-tengah alunan lagu Sinterklas dan Rudolph, sang rusa kutub, semarak di telinga kita, lalu mal besar meluncurkan acara dengan tema-tema klise tentang Natal sembari berbelanja dengan diskon besar yang menggoda kita untuk hidup di dalam kubang hedonisme? Inikah yang dunia nantikan tentang Natal?

Terpecah, terberai, hancur lebur, dan hampir punah, sebuah bangsa yang begitu dicintai Allah sedang mengalami  masa pembuangan. Di manakah bangsa Israel itu? Kota Yerusalem dengan bentengnya yang megah itu telah menjadi puing dan bersisakan batu-batu saja. Bait suci yang mempertemukan Allah dengan jemaat-Nya telah hancur dan ternoda. Penghuninya tua renta, sakit penyakit memusnahkan mereka satu  demi satu. Teruna-teruna terbaiknya membangun tahta penjajahnya, sisanya diperbudak kerja paksa hingga tetes darah terakhir. Gadis-gadisnya dijadikan objek penghibur para penjajah, dan bayi yang dikandungnya harus terlahir tanpa mengenal Allah, sisanya diperkosa dan dibiarkan menderita. Dengan asimilasi dan akulturasi, bangsa Israel sedang berjalan menuju kepunahan.

Lalu terdengarlah suara-suara yang datang dari Allah lewat perantaraan nabi-nabi-Nya, memberikan pengharapan, kelepasan, kemerdekaan, dan kemenangan, Allah berkata, “Bangsa yang berjalan dalam kegelapan telah melihat terang yang besar”, “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; …”, ”… namanya disebutkan orang Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai”,dan namanya Immanuel, artinya Allah beserta kita.

 Oh, alangkah indahnya janji yang Tuhan berikan kepada bangsa Israel di tengah penderitaan mereka! Mereka merindukan hari kelahiran Messias yang dijanjikan dan berharap kedatangan-Nya segera! Mereka merindukan hari keda-tangan Messias yaitu hari NATAL.

Ya, Kristus telah datang ke dunia, dan lagu ciptaan Charles Wesley berjudul “Come, Thou Long-Expected Jesus” mengingatkan kita mengenai satu kerinduan kepada Juruslamat yang bukan menyelamatkan orang Israel saja dari perbudakan fisik, namun menyelamatkan dunia ini dari perbudakan dosa.

Dunia memang mengharapkan Natal, tetapi mereka tidak mengharapkan berita Natal yang sejati, mereka lebih suka hidup dalam kenikmatan dosa, sehingga dunia sedang berjalan menuju pemusnahan yang kekal. Bagaimanakah dengan kita? Maukah kita memberitakan kabar pengharapan ini kepada dunia? Pakailah kesempatan Natal untuk mengabarkan Injil supaya mereka bertobat dan menerima Natal, yaitu kedatangan Kristus, di dalam kehidupan mereka.

 

Tahta Mulia di tempat Baka ~ Thou Didst Leave Thy Throne ~

Lagu ini diciptakan oleh Emily Elliot pada pertengahan abad ke-19 di Inggris. Sebagai anak gembala sidang gereja St. Mark di Brighton, Emily ikut melayani Tuhan bersama gerejanya di panti-panti asuhan dan pelayanan anak-anak. Pada tahun 1864, ia mempublikasikan buku Christmas Carols untuk sekolah minggu dan di dalamnya terdapat lagu “Thou Didst Leave Thy Throne“. Dalam melodi lagu ini, kita dapat melihat sebuah kontras yang sangat besar dari badan lagunya dengan refrain lagu ini, baik secara melodi dan secara lirik. 

Di bagian pertama dari lagu ini, digunakanlah beberapa kali nada fi [4#] (yaitu fa dengan kres/naik setengah dari tangga nada aslinya), dan ketika menyanyikan lagu ini di bagian-bagian tersebut, terasa janggal dan miring, terutama di bagian “tiadalah tempat yang lega“. Hal ini untuk menekankan “kejanggalan” yang ada di dunia, ketika hari kelahiran Tuhan, seluruh manusia menolak dia. Namun ketika kita masuk ke dalam refrainnya, musik dimainkan dengan melodi yang indah dan mengajak kita untuk membuka hati kepada Tuhan.

Lirik dari badan lagu ini dari ayat 1 sampai 4 melambangkan perjalanan Kristus secara komplit, dari ayat 1 dan 2 yang menceritakan kelahiran-Nya, menyatakan tiada tempat baginya di dunia, manusia menolak dia (Lukas 2:7), tetapi malaikat menyatakan kemuliaan-Nya (Lukas 2:10-14). Di ayat 3 kita melihat ketika perjalanan pelayanan Tuhan Yesus selama 3,5 tahun di dunia dimana ia tidak memiliki tempat untuk meletakan KepalaNya (Matius 8:20). Namun kita lanjutkan di ayat 4 menyatakan penolakanNya yang berakhir di Kalvari. Dan di tengah semua itu, tertera respons kita yang membuka hati kita menjadi tempat bagi Tuhan Yesus sang manusia yang penuh kesengsaraan itu (Yesaya 53:3).

Tetapi di ayat ke 5, menceritakan Kristus yang datang kedua kali, dan kali ini bukan kita yang mempersiapkan tempat bagi Tuhan namun Tuhan yang mempersiapkan tempat bagi kita di Zion yang baru itu. Oh alangkah besar kasih Tuhan kepada kita, Ia telah berinkarnasi, mati dan dibangkitkan, serta menyambut kita masuk ke sorga.

Yesus Sobat yang Sejati (What a Friend We Have in Jesus)

Tuhan begitu memberkati gerejanya dengan repertoir musik yang bernilai dan berkualitas, sekaligus dapat dinyanyikan bersama namun layak untuk memuliakan Tuhan. Begitu banyak harta karun yang ada di dalam buku nyanyian dan pujian yang ada di tangan kita, sayangnya banyak orang Kristen yang melupakannya, namun di luar gereja begitu dihormati dan dijunjung tinggi.

Lagu “What a Friend We Have in Jesus” diciptakan pada tahun 1855 oleh seorang pendeta baptis bernama Joseph Scriven. Begitu aneh untuk seorang yang secara pribadinya mengalami pergumulan hidup yang begitu besar dapat menciptakan himne yang indah dan intim kepada Tuhan. Waktu muda, sebuah peristiwa yang begitu menyedihkan hatinya terjadi pada dirinya secara berulang, yaitu calon istrinya tenggelam sehari sebelum mereka menikah. Tak putus asa, ia pun mencoba untuk menikah lagi, namun beberapa hari sebelum menikah tiba-tiba tunangannya jatuh sakit dan meninggal.

Mengalami kejadian tersebut, Joseph membulatkan diri untuk sepenuhnya bekerja di ladang Tuhan di Amerika dan Canada. Bekerja jauh dari kampung halamannya di Irlandia, ia mendapat kabar bahwa ibu joseph mengalami sakit di rumahnya. Mementingkan pekerjaan Tuhan di seberang lautan Joseph menuliskan sebuah syair “What a Friend We Have in Jesus” untuk menghibur hati ibunya, yang merupakan buah penghiburan yang diberikan Tuhan di dalam kehidupannya.

Lagu dan syair yang begitu indah dan berkualitas ini lalu terkubur di dalam kerendahhatian penciptanya selama lebih dari 20 tahun. Sampai seorang pengkotbah besar bernama D. L. Moody dan Ira D. Sankey mempopulerkannya dalam KKR mereka. Setelah itu musik ini tersebar ke seluruh dunia dan menjadi himne yang bukan menghibur seorang ibu yang sedang sakit, tetapi penghiburan seluruh dunia.

Seorang komposer indonesia, bernama Ismail Marzuki mendengar lagu ini dan menggubahnya menjadi lagu kebangsaan bernama “Ibu Pertiwi“, ia melihat esensi lagu ini yaitu penghiburan dan pengharapan di dalam penderitaan. Marzuki adalah seorang muslim, yang menciptakan lagu bangsa yang mayoritas penduduknya muslim, namun ia mengambil sebuah lagu himne untuk digubah menjadi lagu nasional.

Dunia melihat gereja dan kekristenan memiliki harta karun seni yang luar biasa besar dan berharga, hal ini tidak akan tercipta tanpa kesadaran akan pengorbanan Kristus dan kasih-Nya kepada kita. Bagaimanakah dengan kita? Diperhadapkan dengan seni dan musik warisan pergumulan orang yang takut akan Tuhan, yang begitu berharga. Akankah kita menyanyikannya kepada Tuhan? Atau kita mencampakannya? 

 

Adakah Ia Melindungiku? Does Jesus Care?

Musik memiliki kekuatan yang begitu besar dalam mempengaruhi emosi dan jiwa manusia. Dan kita dapat melihat bahwa semua bangsa di dunia menjadikan musik sebagai pusat dalam tradisi, kebudayaan, dan sejarah mereka masing-masing. Mengapa? Karena kita percaya Tuhan memberikan musik dalam common grace (anugrah umum) kepada umat manusia sebagai media untuk mengekpresikan kreatifitas dan emosi untuk mengembalikan kemuliaan kepada Tuhan.

Di dalam kekristenan, musik merupakan satu-satunya seni yang dapat berintegrasi sepenuhnya dalam ibadah dan penyembahan kepada Tuhan. Dan ibadah kita sekarang yang penuh dengan pujian di gereja merupakan “gladi resik” kita menjelang konsumasi, karena dalam surga kita tidak henti-hentinya memuji Tuhan. Representasi musik puji-pujian abadi itu dalam gereja kita adalah himne. Himne yang baik merupakan titik temu kebenaran dan ekspresi emosi serta jiwa yang menyembah kepada Tuhan.

Namun sayangnya gereja zaman ini banyak yang menciptakan musik yang hanya mempengaruhi jiwa dan emosi saja, tanpa mengindahkan kebenaran. Tendensinya adalah lagu tersebut mudah didengar dan enak, digabung dengan lirik-lirik yang dangkal dan mencaplok Firman Tuhan asal-asalan akan menyesatkan arah ibadah yang harusnya memuji Tuhan menjadi menyenangkan diri. Hal tersebut adalah esensi dari musik pop.

Namun bersyukur kepada Tuhan bahwa himne yang kita nyanyikan memiliki afeksi, yaitu sentuhan emosi di dalam kebenaran. Karena emosi yang diperhadapkan dengan kebenaran akan menghasilkan respon emosi yang paradoks, sama seperti salib. Seperti pertanyaan, “Bolehkah kita bersukacita ketika Tuhan disalibkan?”

Lagu “Does Jesus Care?” merupakan contoh afeksi yang sangat baik dalam himne. Lagu ini diciptakan oleh Frank E. Graef pada tahun 1910, ia adalah seorang pendeta dari gereja methodis yang takut akan Tuhan, namun kehidupannya berisi pergumulan yang begitu banyak, dan puncaknya ketika anak gadisnya yang belia dan cantik itu terbakar hidup-hidup karena kecelakaan di rumahnya sendiri. Sebagai responnya ia membaca dari Alkitab dari 1 Petrus 5:7 dan menciptakan himne ini, ia berkata dalam refrein lagu ini:

Oh yes, He cares, I know He cares, His heart is touched with my grief;

When the days are weary, the long nights dreary,I know my Savior cares

Konteks lagu ini bercermin dalam kebenaran bahwa Tuhan peduli dan tersentuh oleh ratapan kita, yang bernyanyi akan sadar kepedulian Tuhan tetapi tidak mengemis supaya Tuhan bantu (seperti banyak lagu zaman ini). Karena lagu ini sendiri menjadi konfirmasi iman bahwa Tuhan yang memelihara dan pengharapan sorgawi di tengah kesulitan dalam dunia.

Kita bersyukur kepada Tuhan untuk musik yang baik, tetapi kita pun harus bertanggung jawab dalam meresponi lagu tersebut. Karena jika kita mengerti lagu secara kebenaran tapi tidak tergerak secara emosi pun salah. Kalau kita kurang suka dengan musik himne sehingga kurang dapat diselami, mari kita belajar musik dari sejarah dan proses penciptaannya, dan minta kepada Tuhan untuk kita dapat memuji Tuhan dengan terafeksi oleh himne tersebut.