Saudara dari ayat-ayat ini kita melihatada gambaran tentang Israel yang sangat indah di dalam Roma 11, Paulus menggambarkansetiap orang yang percaya, mereka itu berbagian di dalam pohon zaitun dan di dalam roti sulung. Tentu ini berkait kepada janji Tuhan kepada Abraham, karena ini yang kita lihat konsisten dibahas oleh Paulus. Dari bagian awal, Paulus memberikan penekananberkat yang diterima oleh orang percaya, baik itu orang Israel maupun dari bangsa-bangsa lain, itu sama dengan berkat yang Tuhan berikan kepada Abraham. Jadi pengertianAbraham adalah bapa orang beriman ini sesuatu yang berulang, berulang di dalam Surat Roma. Menekankan pentingnya memahami bagaimana Tuhan berjanji dengan Abraham. Saudara kalau membaca kisah Abraham, Saudara akan melihat kisah orang yang bertumbuh kesetiaannya, bukan orang yang secara sempurna sudah setia. Dia adalah orang yang setia, memang dia mempunyai kesetiaan dan iman kepada Tuhan dari awal. Tetapi ekspresi kesetiaan itu bertumbuh, dia awalnya mempunyai kekhawatiranjanji Tuhan tidak akan terlaksana. Dia khawatir sekali ketika dia datang ke Tanah Kanaan dan dia melihat bagian yang kering dari tanah itu, sehingga dia pergi ke Mesir. Lalu dia juga melihat janji Tuhan adalah sesuatu yang mustahil dilakukan tanpa bantuan atau tanpa tradisi manusia. “Kalau saya tidak bisa punya anak, kalau istriku juga sudah tidak bisa punya anak. Mungkin kalau aku mempunyai relasi dengan perempuan lain. Aku bisa mempunyai anak dari dia”. Maka Abraham pun tidur dengan hamba perempuan dari Sara. Ini sesuatu yang secara budaya sangat biasa, karena seorang istri mempunyai hamba dan siapa menikahi istri itu, dia menikahi seluruh hamba yang dimiliki oleh istri. Saudara akan mengatakan “aneh, seperti itu kan tidak suci, itu tidak diinginkan oleh Tuhan”, betul, tetapi budaya pada waktu itu menyatakan hal ini sebagai hal yang biasa. Ini bukan sesuatu yang Tuhan mau, tetapi Tuhan membentuk budaya melalui firmanNya dengan tahapan yang sangat sabar. Kadang-kadang kita bingung mengapa orang tidak langsung berubah, kita tuntut itu ke orang lain, kita tidak sadar kita juga tidak langsung berubah. Orang tua mengatakan, “mengapa anakku ini sudah dengar kotbah tapi belum berubah juga?”, kalau si anak boleh ngomong, dia akan balik mengatakan, “memangnya orang tua sudah?”. Kita juga akan mengatakan “ada aspek dimana saya sudah dengar khotbah, tapi belum berubah juga”. Sama, ketika kita melihat cara Tuhan membentuk manusia secara kebudayaan menyeluruh, Tuhan juga membentuk dengan kesabaran yang besar. Ini bukan ada satu instruksi, lalu kemudian terjadilah. Kita seringkali memperlakukan pernyataan firman atau pengabaran firman itu sebagai pengabaran hukum. Tapi kita lupadi dalam Perjanjian Lama yang ditafsirkan hukum dalam bahasa Yunani itu artinya adalah pengajaran, teaching. Taurat itu bukan hukum tapi pengajaran dan pengajaran itu kalau kita lihat di dalam Kitab Ulangan diajar berulang-ulang, ada pengulangan. Dibentuk dengan pengulangan, dibiasakan dengan pengulangan. Pendidikan itu bukan pembentukan yang kita bisa paksakan, tetapi sesuatu yang kita bisa berbagian, tetapi Tuhan yang memberikan pertumbuhan. Ini gambaran tentu juga ada di dalam Alkitab, karena Paulus di dalam Surat Korintus mengatakanada yang menanam ada yang menyiram. Tapi yang lebih penting dari semua adalah Tuhan yang memberi pertumbuhan. Kalau ini kita pahami di dalam perlakuan Tuhan, membentuk pribadi-pribadi yang percaya, maka kita juga lihat ini cara Tuhan membentuk kebudayaan manusia. Ada tahap, ada sejarah yang panjang untuk Tuhan membentuk kebudayaan sehingga kita mengerti ternyata pernikahan itu adalah satu laki-laki dengan satu perempuan. Dan ketika Abraham tidur dengan Hagar, lalu ada anak dari Hagar, ini anaknya Sara dalam kebudayaan waktu itu. Tetapi Tuhan mengatakan kepada Abraham “bukan ini yang akan jadi ahli waris”. Waktu Abraham bertanya “mengapa bukan? Bolehkah Ismael menjadi penerus dari seluruh janjiMu kepada saya? Mengapa tidak boleh? Kebudayaan mengizinkan ini bahkan mengaturkan seperti ini. Ini anak saya, ini anaknya Sara juga meskipun lewat hamba”, tapi Tuhan mengatakan kalimat yang tidak biasa pada waktu itu. Tuhan mengatakan “anak dari Saralah yang akan jadi penerus, yang akan jadi ahli waris”. Jadi bukan anak dari hamba perempuan, tapi anak dari Sara. Bukankah anak dari hamba perempuan adalah anak sang tuan atau sang perempuan yang memiliki hamba itu? Ini wajar dalam kebudayaan itu. Tapi Tuhan mengatakan “bagi budaya wajar. Bagi Aku tidak, anak dari Saralah yang akan menjadi penerusmu”. Kita belajar kelincahan, waktu membaca karya-karya kuno seperti Alkitab, ini karya kuno yang masih berdampak terus sampai sekarang dan selamanya.
Waktu kita membaca karya kuno pikiran kita itu dilatih untuk lincah. Dilatih untuk switch budaya, menyadarikebudayaan kita ini bukan kebudayaan yang berlaku selamanya, dulu tidak begini. Jadi kita punya kelincahan menafsirkan sehingga kita tidak menjadi self center. Kadang-kadang membaca karya-karya yang beda zaman membuat kita belajar tidak berpusat ke diri karena kebudayaanku ternyata bukan kebudayaan yang sudah berlangsung lama, bukan yang dominan sepanjang sejarah. Jadi kita belajar melihat dulu ternyata seorang perempuan yang baik, yang kedudukannya menengah, dia punya hamba dan hamba ini adalah milik dia, barangnya bukan orang lain gitu ini adalah posesi dari perempuan itu. Maka kalau ada laki-laki menikah dengan perempuan itu, dia menikah juga dengan para budak yang ada di dalam penguasaan dari perempuan itu. Kalau ini kita mengerti membuat kita tahu Tuhan dengan sabar merubah cara orang berbudaya, dengan hati-hati menjalankan ini sehingga ada pembentukan yang membuat kita melihat mulusnya pekerjaan Tuhan di dalam sejarah dengan sabar Tuhan nyatakan. Sehingga waktu Tuhan menyatakan perubahan, Tuhan menyatakan dengan jelas kepada Abraham, “kamu tidak akan mewariskan semua yang kamu miliki kepada anak dari hamba ini. Kamu akan mewariskannya kepada anak dari Sara. Inilah anak perjanjian itu”. Kalau dia anak perjanjian, lalu bagaimana dengan Ismael? Ismael bukan orang pilihan. Kalau dia bukan orang pilihan, apa yang akan terjadi pada dia? Kalimat berikutnya menunjukkan anugerah umum Tuhan. “Dia pun akan Aku berkati dengan sangat besar. Aku akan membuat dia jadi bangsa yang besar. 12 Raja akan keluar dari dia dan Aku akan memberkati dia dengan limpah”. Jadi Tuhan memberi berkat kepada mereka yang bukan pilihan, meskipun tentu bukan berkat perjanjian seperti yang Dia berikan kepada Abraham. Jadi Tuhan memberi berkat kepada Abraham, lalu Abraham belajar untuk mengerti “inilah cara Tuhan melatih saya membentuk dan mendewasakan saya. Tuhan membimbing saya dan Tuhan sabar kepada saya”, sehingga dia belajar mengerti ternyata waktu Tuhan tiba di dalam saat yang dia tidak sangka sama sekali. Dia tidak tahu kapan Tuhan akan sempurnakan pekerjaannya. Dan dia baru sadar saat waktu dia sudah tua, saat dimana tidak mungkin lagi ada anak, saat itulah Tuhan memberikan anak dan ini membuat Abraham menjadi belajar beriman. Sehingga ketika Tuhan mengatakan “bawa anakmu yang sulung itu, yang tunggal itu, yang engkau kasihi, persembahkan dia sebagai korban”, Abraham bawa. Ini yang menunjukkan iman Abraham, sesuatu yang sangat berani, sangat sulit untuk kita pahami, tapi Abraham melangkah untuk lakukan. Apakah dia sudah punya iman sebesar ini dari awal? Tidak, tetapi dia bertumbuh di dalam iman nya. Jadi waktu kita lihat relasi Tuhan dengan Abraham, kita melihat keindahan dari anugerah Tuhan yang memanggil orang menjadi milikNya karena keputusan kehendak Dia. Dia yang putuskan mau pilih Abraham, bukan karena Dia melihat Abraham akan menjadi orang yang baik. Kita ingat apa yang dikatakan Agustinuscinta Tuhanlah yang membuat ada yang baik di dalam diri seseorang. Waktu Tuhan pilih seseorang, orang itu jadi baik karena Tuhan bukan karena dia baik, maka Tuhan pilih. Sebab dan akibatnya tidak boleh salah. “Mengapa saya baik?”, karena Tuhan pilih, bukan “karena saya baik, maka Tuhan pilih. Jadi siapa yang Tuhan pilih, dia akan Tuhan bentuk jadi baik. Dan Abraham adalah contohnya.