Maka Paulus sedang gumulkan mengapa Tuhan singkirkan Israel untuk memanggil bangsa-bangsa lain. Sekarang umat Tuhan bukan lagi Israel. Dan ini merupakan sesuatu yang berat bagi Paulus, sulit bagi dia untuk memahami mengapa Tuhan melakukan ini. Dan ini bukan problem Paulus saja, ini problem bagi banyak orang Kristen Yahudi di abad pertama. Mereka bergumul mengapa Tuhan membuang bangsanya, “mungkin karena kami keras hati?”, mungkin karena itu. Tuhan murka maka Tuhan singkirkan. Tapi adakah hal lain yang bisa kita pahami kalau Tuhan memang sudah menetapkan bangsa lain dapat berkat, mengapa Tuhan melakukannya dengan cara membuang Israel? Ini menjadi pertanyaan yang sulit dijawab. Kita yang tidak ada di dalam tradisi Yahudi, mungkin kita sulit mengerti beban beratnya Paulus mengenai Israel. Sama seperti kita yang tidak mengerti beban hati Pdt. Stephen Tong untuk Tiongkok, kita tidak terlalu mengerti beban dia sebagai orang yang punya visi atau keinginan sangat besar supaya firman Tuhan dan Injil boleh menyebar di China. Kita kurang mengerti bebannya Paulus dan banyak orang Kristen Yahudi di abad pertama, mereka bergumul dan bertanya mengapa tradisi begitu besar tapi Tuhan buang? Tuhan buang bukan cuma sekedar bangsa Israel, yang Tuhan buang adalah tradisi besar dari umat yang menyembah Tuhan. Ini yang mereka pertanyakan, mereka ingin mengetahui dan mencari pengertian dari Kitab Suci. Dan di sepanjang Perjanjian Baru, satu-satunya orang, satu-satunya penulis yang mengajarkan tentang itu adalah Paulus di dalam Surat Roma. Jadi Roma 9-11 adalah bagian yang sangat penting untuk membuat kita tahu mengapa di dalam sejarah keselamatan, Tuhan tolak Israel dan Tuhan panggil bangsa-bangsa lain. Jawaban ini tidak dijelaskan di dalam khotbah sekarang, nanti kita akan lihat argumen Paulus di ayat-ayat selanjutnya. Saya sangat berharap kita bisa pahami adalah bahwa apa yang Paulus tuliskan itu sangat penting. Mengapa Tuhan pilih Yakub bukan Esau, apakah Tuhan tidak adil melakukan demikian? Ada banyak argumen Paulus pakai, pertama-tama dia akan menekankan apakah Tuhan adil memilih Israel, orang Israel akan mengatakan “adil”, tapi Paulus akan berargumen dengan mengatakan “kalau kamu anggap itu adil, mengapa itu adil? Apakah Israel dipilih karena mereka baik?”, tidak, Israel dipilih karena Tuhan pilih Ishak dan bukan Ismael. Israel dipilih karena Tuhan pilih Yakub, bukan Esau. Mengapa Tuhan memilih Ishak bukan Ismael? Karena janji. Mengapa Tuhan pilih Yakub bukan Esau? Karena pilihan. Jadi bukan karena anak-anak itu melakukan yang baik. Tuhan tidak tunggu “nanti Aku akan putuskan Yakub atau Esau, tunggu kalian menjadi besar dulu.”, tidak, Tuhan pilih di dalam kandungan. Di dalam kandungan tidak ada yang tahu mana yang lebih baik, Yakub atau Esau, ibunya pun tidak tahu. Ini yang Paulus katakan, Israel dipilih karena belas kasihan Tuhan. Maka kalau Tuhan berbelas-kasihan memilih, lalu Israel dibuang oleh Tuhan, ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dikatakan tidak adil. Tuhan pilih itu tidak berarti Tuhan tidak adil, Tuhan singkirkan juga tidak berarti Tuhan tidak adil. Intinya Paulus ingin menjelaskan satu tema yang sangat sulit kita pahami, yaitu Tuhan berhak membuang. Kalimat ini sangat sulit dipahami di dalam zaman kita, zaman dulu mungkin orang tidak terlalu sulit memahami itu. Kita sangat sulit menerima bahwa Allah berhak membuang orang. Kita selalu mengklaim kalau Tuhan baik, Tuhan tidak boleh melakukan ini dan itu. Kalau Tuhan Mahakuasa, mengapa Dia tidak boleh melakukan apa yang ingin Dia lakukan? Ada banyak sekali pertanyaan penting di dalam pasal 9-11, dan sangat bahagia kalau kita bisa mendapatkan tema penting ini dan mengerti teologi yang mendalam dari Kitab Suci. Sangat berarti, harap Saudara mendapatkan berkat dari pembahasan di dalam pasal 9-11. Pasal 9 dimulai dengan Paulus memberikan argumen penting bahwa dia bercerita atau menjelaskan penolakan Tuhan bagi Israel, bukan karena Dia benci Israel. Di bagian awal Paulus mengatakan “saya menyatakan kebenaran di dalam Kristus, saya tidak berdusta, suara hatiku turut bersaksi dalam Roh Kudus bahwa aku berdukacita dan selalu bersedih hati. Bahkan aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudaraku, kaum sebangsaku secara jasmani”. Paulus mengatakan “saya mencintai Israel, saya tidak membenci mereka, saya ingin mereka selamat”. Jadi alasan mengapa Paulus menceritakan tentang pembuangan Israel, mengapa Tuhan menolak mereka, itu bukan karena Paulus membenci mereka. Ini argumen awal, ini salah satu teknik retorika yang sangat penting. Paulus mengatakan Israel sudah dibuang, Tuhan pilih bangsa-bangsa lain dan Tuhan singkirkan Israel. Nanti orang akan mengatakan “saya mengerti mengapa kamu mengatakan itu, kamu pasti sakit hati karena dikejar-kejar orang Yahudi, mau dibunuh oleh orang Yahudi. Jadi kalau kamu menginginkan Israel diserang, Tuhan tolak mereka, kami mengerti itu. Tapi apakah teologimu valid? Jangan-jangan kamu bicara dari sakit hati?”. Paulus sudah mengatakan dari awal “aku menyatakan kebenaran, aku sangat berdukacita bagimu Israel. Kalau boleh saya terkutuk dari terpisah dari Kristus”. Jadi Paulus punya mindset yang jelas di sini “saya tidak pernah berbicara tentang Israel yang negatif karena saya membenci mereka”. Ini berbeda dengan orang, termasuk orang Kristen, kalau sudah benci orang, apa pun tentang orang itu dipandang negatif. “Mengapa kamu berbicara hal negatif terus tentang dia?”, “karena dia benci saya jadi saya benci dia”. Manusia begitu gampang dikuasai oleh perasaan. Dia tidak punya pikiran yang seimbang karena dia membiarkan pikirannya dikuasai oleh perasaan. Seringkali orang mengatakan “itu memang tidak benar, banyak perempuan seperti itu. Perempuan itu penilaiannya seringkali dikuasai oleh perasaan”. Tapi Alkitab tidak mendukung itu, tidak ada stereotype bahwa perempuan itu kerjanya pakai perasaan, laki-laki pakai rasio. Sebaliknya Saudara akan menemukan ada perempuan-perempuan yang pikirannya jernih dan ada laki-laki yang perasaannya membuat pikirannya tidak jernih lagi. Ini kejadian yang sangat umum terjadi. Kadang stereotype laki-laki dan perempuan kita sangat modern, waktu kita baca Alkitab, Alkitab tidak setuju hal itu. Apa yang menjadi stereotype laki-laki di dalam Surat Timotius, ketika Paulus menulis surat kepada Timotius? Dia mengatakan kepada laki-laki, “saya ingin memberi tahu satu hal, jangan bertengkar, tapi berdoa”. Stereotype dalam zaman kuno, laki-laki itu hobinya bertengkar, tapi Paulus mengatakan “Bagaimana kamu bisa menunjukan dirimu laki-laki sejati? Mempertahankan pendapat”. Paulus mengatakan “salah, yang benar seorang laki-laki itu adalah rajin berdoa. Kalau kamu malas berdoa, kamu tidak bisa dijadikan kepala, tidak mungkin kamu disebut kepala”, ini stereotype-nya. Lalu apakah perempuan main perasaan? Tidak, di dalam dunia kuno ternyata perempuan lebih di-stereotype-kan kepada pecinta perhiasan, mungkin tidak terlalu beda dengan sekarang. Tapi mengenai perasaan “laki-laki lebih rasional dan perempuan lebih perasaan”, tidak juga. Di dalam pengertian yang stabil, yang benar, seharusnya kita mengatakan “laki-laki bisa memakai logika di dalam keadaan normal. Perempuan bisa mempunyai perasaan yang peka di dalam keadaan normal. Tapi dalam keadaan gangguan, laki-laki bisa lebih parah dari perempuan, lebih gampang terkacaukan oleh perasaannya. Kita tidak pernah belajar untuk menaklukan apa yang sedang menaklukan kita yaitu perasaan. Maka Paulus mengatakan “saya mempunyai perasaan yang ditundukan kebenaran firman. Aku mencintai bangsaku”. Mengapa Paulus bisa mencintai mereka? Mereka mau membunuhnya, ini bangsa yang setiap kali mendengar Paulus berkhotbah tentang Yesus, mereka bertindak dengan mau membunuhnya. Paulus pernah dilempar batu sampai hampir mati ketika Paulus melayani di Derbe kemudian dia melanjutkan pelayanannya ke Listra. Di situ dia dilempar batu sampai hampir mati, bahkan ada penafsir yang mengatakan bahasa yang dipakai adalah Paulus sudah mati, tapi Tuhan beranugerah memberi mujizat dia hidup lagi. Yang mana mau dipegang, silahkan Saudara pegang dengan aman. Intinya adalah Paulus dilempar batu sampai hampir mati atau sudah mati dan Tuhan bangkitkan, yang mana pun, dia dilempar batu sampai hampir mati karena orang Yahudi datang dan memprovokasi seluruh Kota Listra. Kalau kita menjadi Paulus, kita akan mengatakan “saya pergi kemana-mana, yang paling benci saya adalah orang Yahudi”. Maka kepahitan, kebencian dan kemarahan akan makin muncul bagi orang Yahudi. Paulus tidak punya alasan untuk tetap mencintai orang Yahudi, seharusnya dia benci orang Yahudi. Tapi di pasal 9, Paulus mengatakan “saya bersaksi bahwa saya sangat ingin saudara-saudaraku orang Israel mendapatkan keselamatan. Bagaimana supaya mereka selamat? Bagaimana caranya supaya mereka mendapat Injil? Kalau caranya adalah saya harus dipaku seperti Kristus dipaku, dikutuk seperti Kristus dikutuk, disingkirkan dari keselamatan, terpisah dari Kristus seperti Kristus terpisah dari Bapa, maka terjadilah kalau saya harus mengalami itu”. Kalimat itu sangat mengagumkan, ayat 3 “aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-sudaraku, kaum sebangsaku secara jasmani”, kalimat ini begitu berani, begitu tulus, dan begitu juga penuh kontroversi. Apa yang paling penting bagi Paulus? Yaitu belajar melihat segala sesuatu dari sudut pandangNya Tuhan, dia tidak lagi melihat segala sesuatu dari sudut pandang perasaannya sendiri. Dia melihat segala sesuatu dari sudut pandang Tuhan, dan ini yang dia lakukan setelah dia mengalami pandangan Tuhan kepada dirinya. Waktu dia pergi ke Damsyik, Tuhan Yesus hantam dia dengan cahaya yang terang, waktu itu dia benci dengan orang Kristen, dia punya zeal yang sangat besar untuk menangkap orang Kristen, supaya mereka berhenti menyebarkan ajaran Injil. Paulus berencana untuk keluar dari daerah Israel, dia pergi ke Damsyik dan dia perlu surat dari imam besar yang menerangkan bahwa dia diberikan satu tanda sah untuk menangkap orang Yahudi dan memenjarakan mereka. Orang Israel seperti Paulus tentu tidak bisa menangkap orang dan memasukan dalam penjara, dia bukan tentara, dia tidak berhak melakukan itu, dia bukan pemimpin Romawi. Kalau dia berani pergi ke daerah Romawi, menangkap orang lain, itu tidak boleh terjadi. Tapi kalau di apunya surat dari imam besar, dalam perjanjian antara Israel dan Romawi, Israel dan Romawi sedang dalan keadaan mau perang, situasi memanas. Itu sebabnya perjanjian-perjanjian dibuat, Yahudi berkeras mau memberontak, akhirnya Romawi mengatakan “sudahlah, apa yang kamu minta supaya kamu tidak memberontak?”, mereka mengatakan “izinkan kami menangani masalah agama kami sendiri. Kami boleh tangkap, penjarakan, aniaya dalam tradisi kami siapa pun yang melarang”. Tapi Romawi melarang orang Yahudi menjatuhi hukuman mati. Kalau Saudara telusuri sejarah, Romawi melarang Yahudi menjatuhi hukuman mati, tapi Romawi tidak pernah melarang orang Yahudi membunuh orang lain dalam gerakan yang tidak resmi, seperti Stefanus. Maka supaya Romawi tidak ribut dengan Yahudi, mereka mengizinkan orang Yahudi menangani agama mereka. Itu sebabnya Paulus perlu surat otorisasi dari imam besar bahwa dia berhak bertindak atas nama Yahudi. Maka dia pergi ke Damsyik, bawa surat itu, dan dia sudah siap menangkap orang-orang Kristen, laki-laki atau perempuan, kecil atau besar, seret mereka untuk masukan ke dalam penjara. Ini orang mengejar dengan didorong gairah sangat besar untuk membela orang Yahudi. Tapi di tengah jalan Tuhan menampakan diri kepada dia, Tuhan Yesus Kristus menyatakan diri. Dan Paulus melihat kemuliaan Allah dinyatakan lewat Kristus. Dia baru sadar bahwa dia telah melakukan hal yang salah, ini membuat dia berubah. Dan perubahan itu tidak terjadi dalam proses yang panjang. Kitab Kisah Rasul mengatakan perubahan itu terjadi begitu Paulus bertemu dengan Kristus.