Lalu kedua, hukum yang sama dengan itu adalah kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Ini pun sering salah baca, banyak sekali yang menafsirkan “oh, mencintai manusia seperti diri sendiri berarti langkah pertama adalah saya mesti mencintai diri dulu.” Itu salah, kita baca memakai budaya kita maka kita salah mengerti banyak hal. Yang dimaksud mengasihi sesama adalah Saudara sadar bahwa untuk menjadi manusia, Saudara harus masuk dalam komunitas yang benar yaitu komunitas umat Tuhan. Dengan berada dalam komunitas umat Tuhan, dengan menjadi Israel, maka Saudara mengerti bagaimana menjadi manusia. Kalau begitu menjadi manusia berarti Saudara harus menganggap saya dan semua orang lain akan menjadi manusia yang limpah kalau kami ada di dalam umat Tuhan, dan ini namanya mengasihi sesama.

Saudara akan mencintai diri Saudara kalau Saudara mengerti nilai diri Saudara, ini fakta. Orang yang merasa dirinya tidak bernilai, tidak lagi mencintai dirinya, dia tetap egois, dia mau dirinya mendapatkan segalanya, tapi dia tidak cinta dirinya. Dia tidak mencintai dirinya karena dia tidak melihat ada nilainya. Nilainya itu didapatkan dari penerimaan orang lain, nilainya di dapat dari apa yang dia dapat sebagai harta, nilainya didapat dari berapa banyak pujian dari dunia ini. Sekarang prestasi katanya tidak terlalu penting, dapat piala karena juara ini dan itu, sekarang segala prestasi sudah diganti dengan like di sosial media. Kalau banyak yang like di Instagram itu lebih penting dari pada mendapatkan piala, karena sekarang piala diganti dengan jempol. Tapi bayangkan kalau Saudara mencintai diri karena Saudara bermakna, sebab Saudara mendapatkan penerimaan ini dan itu, Saudara pun akan mencintai orang lain dengan pengertian yang sama. Kalau identitas tidak beres, Saudara tidak mungkin mencintai diri, kalau identitas tidak beres, Saudara tidak mungkin mencintai orang lain. Kalau begitu perintah tadi “kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri”, itu menjadi absurd, tidak ada gunanya. Karena Saudara tidak tahu siapa diri, Saudara tidak tahu nilai diri, dan Saudara tidak tahu mengapa diri harus dicintai. Saudara hanya mencintai diri berdasarkan insting purba untuk bertahan. “Mengapa kamu mencintai diri?”, “karena diriku harus bertahan hidup”. “Mengapa harus bertahan hidup?”, “insting saja, hidup untuk apa saya juga tidak tahu, pokoknya nilai diri saya adalah bertahan hidup. Tapi bertahan hidup untuk apa saya juga tidak mengerti”. Beberapa waktu lalu saya menonton film Collateral, ini film yang termasuk bisa membuat kita berpikir lagi tentang makna hidup. Ceritanya tentang seorang pembunuh bayaran yang membajak sebuah taksi, sang pembunuh bayaran naik sebuah taksi dan minta diantarkan ke satu tempat. Sudah diantarkan ke satu tempat ternyata dia membunuh orang di situ, dan mayatnya jatuh di atas taksi itu. Lalu sopir taksi itu kaget, ternyata dia mengantarkan seorang pembunuh, akhirnya sopir itu ketakutan. Dia mencoba untuk kabur tapi tidak tidak bisa, dia mencoba berteriak dan ada orang yang menolong tapi orang yang menolongnya justru dibunuh oleh pembunuh bayaran ini. Maka dia ketakutan, “oke, kalau begitu saya akan antarkan kamu dan saya tidak bisa lari”. Lalu terjadilah percakapan, si pembunuh itu bertanya “kamu mau melakukan apa di dalam hidupmu?”, sopir taksi menjawab “saya punya cita-cita, saya ingin membuat perusahaan, sekarang saya sedang menabung”, “omong kosong, kamu sudah menjadi sopir taksi berapa lama?”, “12 tahun”, “itu bukan sebentar, hidupmu hanya begini, hidup itu tidak ada gunanya”, tahukah kamu bahwa ada berapa ratus orang mati, tahukah kamu bahwa baru kemarin ada orang mati di subway kota ini dan tidak ada yang tahu, kamu tahu bahwa kematian dari sebagian orang itu tidak penting? Diskusi itu membuat sopir taksi berpikir “benar juga hidup tidak ada gunanya, hidup manusia hanya begini saja. Kalau hidup tidak ada gunanya, berarti hidup saya juga tidak ada gunanya”, si pembunuh bayaran mengatakan “iya, tidak ada gunanya kamu hidup”, si sopir taksi mengatakan “kalau begitu mengapa saya mesti takut dibunuh oleh kamu? Kalau begitu saya ngebut saja dan menabrakan taksi ini supaya kita berdua mati”. Lalu dia jalankan taksinya cepat sekali, “saya akan tabrakan supaya kita berdua mati”, si pembunuh bayaran takut “tidak bisa”, pokoknya orang lain mati terserah, saya tidak boleh mati. Makna atau konsep nilai atau tentang siapa manusia itu semua orang bingung, tidak ada yang bisa mengerti siapa manusia kecuali kembali ke Alkitab. Itu sebabnya siapa yang menjadi bagian dari umat, mengenal Tuhan, dia akan mengenal diri. Dia akan tahu siapa manusia, dan dari situ dia tahu “diriku manusia karena saya penting. Saya penting bukan karena diri saya penting, saya penting karena dijadikan bagian dari umat Tuhan. Karena saya bagian dari umat Tuhan, maka saya penting. Orang lain penting karena mereka juga ada potensi untuk jadi bagian dari umat Tuhan. Sepenting saya dinilai dari perspektif umat Tuhan, demikian orang lain dinilai dari perspektif umat Tuhan”. Kalau Saudara baca dengan teliti Imamat 19 tidak mengatakan “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, tapi dikatakan “kasihilah tetanggamu, kasihilah sekitarmu seperti dirimu”. Berarti apakah hanya sekitar saja? Bukan, maksudnya sekitar adalah kamu harus mengasihi berdasarkan penilaian bahwa manusia itu penting di dalam umat Tuhan. Tapi seberapa pentingnya manusia? Manusia penting kalau konteksnya mendukung dia menjadi penting. Maka kita mau menilai manusia, kita harus taruh manusia dalam konteks yang tepat, dan konteks yang tepat itu adalah umat Tuhan. Itu sebabnya Imamat mengatakan “kasihilah sesamamu seperti dirimu. Kasihilah saudaramu, sesama”. Kalau begitu orang di luar bukan sesama?  Bisa menjadi sesama, kita mencintai orang dengan pengertian “kamu akan menjadi orang yang baik, asalkan kamu kenal Tuhan”. Maka kita tidak perlakukan diri lebih baik dari siapa pun, karena siapa pun di dalam konteks dan anugerah Tuhan akan menjadi baik. Kita bisa mengasihi orang lain kalau kita tahu nilai kita. Nilai kita adalah bernilai karena kita ada di dalam Tuhan. Tuhan menjadikan saya umat maka saya bernilai, orang lain dijadikan bagian dari umat, maka dia juga bernilai. Itu sebabnya ketika orang bertanya kepada Yesus, “hukum mana yang terutama?”, Yesus mengatakan “kamu sudah tahu apa yang tertulis, kasihilah Tuhan, kasihilah sesamamu”, lalu orang itu bertanya lagi “siapakah sesamaku?”, ini pertanyaan penting. “Aku memperlakukan orang lain seperti aku diperlakukan sebagai umat Tuhan. Aku penting karena aku dicintai Tuhan, aku akan perlakukan orang lain di dalam pandangan yang sama bahwa mereka penting dan berarti jika mereka diberi kesempatan, konteks dan anugerah dari Tuhan seperti saya sudah dapat”. Tentu ini tidak meniadakah fakta predestinasi, kita sedang tidak membahas bahwa ternyata ada sekelompok orang yang Tuhan biarkan dan ada sekelompok orang yang Tuhan berikan anugerah lebih, kita harusnya tidak layak, tapi kita mendapatkan anugerah itu. Kita tidak membahasnya sekarang. Yang mau ditekankan saat ini adalah saya penting karena saya ada di hadapan Tuhan, dibentuk menjadi manusia yang sejati lewat Taurat, lewat umat. Maka orang lain pun penting, mereka bisa menjadi manusia sejati kalau mereka menjalani hidup yang saya juga jalani. Dan ini yang kita mengerti di dalam mengasihi sesama. Saudara kalau melihat orang jahat, pasti Saudara tidak akan mengatakan kalau Saudara sama dengan dia. Saudara akan mengatakan “mengapa orang itu jahat sekali? Saya tidak sama dengan dia”. Tapi Saudara mulai berpikir mungkinkah kalau dia diberikan kesempatan bertobat, lalu dia berbalik dari dosanya, dia mendapatkan anugerah Tuhan, dia dituntun oleh Tuhan di dalam umat, dia diberikan firman, dia diajar untuk meninggalkan dosa, mungkinkah nanti dia akan menjadi lebih baik dari saya? Mungkin, dengan demikian kita akan mencintai manusia dengan cara yang tepat. Jadi bagaimana cara mencintai Tuhan? Caranya adalah punya kerinduan dekat dengan Tuhan. Apa syarat cinta sesama? Syaratnya adalah saya punya belas kasihan kepada sesama, saya lihat orang lain dan saya merasa kasihan “kalau engkau mendapatkan anugerah yang saya dapat, engkau juga akan baik, mari datang kepada Tuhan. Jika engkau beriman sama seperti saya beriman, engkau juga akan baik. Kalau engkau mau menerima Tuhan seperti saya menerima Tuhan, kamu pun akan baik”. Tuhan berikan Taurat supaya kita mampu berbelas-kasihan kepada orang lain dan kita juga mampu merindukan Tuhan, ingin dekat kepada Tuhan dan berbelas-kasihan kepada sesama. Tuhan berikan Taurat.

« 3 of 5 »