Di dalam Alkitab dikatakan Taurat ini akan membuat peraturan di dalam sebuah perjanjian, jadi perjanjian menjadi jelas karena ada yang mengikat perjanjian itu. Sehingga orang tidak hanya menjalankan sebuah perjanjian yang tidak mempunyai arah. Adalah hal yang sangat wajar ketika seseorang diikat oleh perjanjian dan itu memberikan apa yang mengikat kedua belah pihak. Jadi ketika seorang ada dalam sebuah perjanjian, dan contoh yang Paulus pakai adalah perjanjian pernikahan, perjanjian ini akan mengikat suami dan istri bukan cuma untuk saling mengasihi, tapi juga untuk memberikan tanggung jawab, setia, serta dorongan untuk mematikan diri dan hidup untuk menghidupi apa yang harus dijalani di dalam perjanjian itu. Ini merupakan contoh yang sangat jelas di dalam kebudayaan Israel, terutama di dalam memahami Taurat. Di dalam kebudayaan Perjanjian Lama, Tuhan mengikat relasi antara Dia dengan umatNya melalui sebuah perjanjian. Dan perjanjian ini akan memastikan umatNya mempunyai kesetiaan dan Tuhan menunjukan kesetiaanNya. Jadi kesetiaan adalah hal yang mau dimunculkan lewat adanya perjanjian, dan kasih yang menyala-nyala di dalamnya adalah hal yang juga diinginkan ada di dalam perjanjian. Kita mungkin tidak terlalu akrab dengan cara berpikir seperti ini karena kita senantiasa memisahkan antara tanggung jawab dan keharusan dengan kasih. Saudara tidak akan mengatakan bahwa saya punya kewajiban untuk menaati perjanjian kerja karena saya mengasihi. Yang saya jalani adalah sesuatu yang harus saya lakukan, itu tidak ada kaitan dengan cinta kasih misalnya. Tapi di dalam pengertian orang Israel, ketika orang Israel membahas tentang kasih terutama di dalam budaya yang sudah dipengaruhi Yunani, mereka memakai agape untuk menerjemahkan kasih Allah. Dan hal unik di dalam kasih agape adalah kaitan antara kasih dan perjanjian. Di dalam zaman modern kita, kita tidak melihat kasih agape dengan pengertian seperti itu, karena kita sangat dipengaruhi, sadar atau tidak, oleh dua orang, seorang bermana Soren Kierkegaard dan Anders Nygren. Kasih agape adalah kasih yang membiarkan orang berada dalam keadaan buruk dan “saya tetap mengasihi dia apa pun yang terjadi”. Tapi di dalam Kitab Suci, terutama Perjanjian Lama, pengertian agape adalah kasih perjanjian, kasih yang menuntut. Tuhan memberi diri dan Dia menuntut manusia yang mengikat perjanjian dengan Dia untuk memberi dirinya bagi Dia. Dan kasih perjanjian, sangat mirip dengan kasih di dalam pernikahan misalnya. Ketika Saudara menikahi seseorang, Saudara mengikat janji dengan orang itu, dan inilah yang disebut dengan pernikahan, Saudara mengasihi dan Saudara diikat dengan perjanjian. Dan apa yang sudah Saudara ikat dalam perjanjian memaksa Saudara, memaksa dengan sangat keras, untuk berubah supaya sesuai dengan perjanjian.
Di dalam tradisi awal sebelum Israel muncul, ada kebiasaan mengikat perjanjian dengan memotong binatang. Membantai seekor binatang dengan mengatakan “saya akan dibantai seperti ini kalau saya tidak setia kepada perjanjian saya”. Sesuatu yang sangat serius, perjanjian tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang dipandang sebelah mata. Di dalam budaya Perjanjian Lama, kehormatan seseorang akan sangat ditentukan dengan kemampuan dia menjalankan bagian yang harus dia jalankan di dalam perjanjian. Apakah kamu setia dalam perjanjianmu atau tidak, apakah kamu melakukan apa yang Tuhan tuntut atau yang dituntut oleh perjanjian? Kalau kamu tidak bisa melakukannya, kamu bukan orang yang boleh diperhitungkan sebagai orang yang hebat, atau bahkan tidak boleh diperhitungkan sebagai orang yang bisa dipercaya. Di dalam masyarakat, orang seperti kamu sebaiknya tidak ada karena kamu bukan orang yang setia kepada perjanjian. Segala hal yang mengaitkan diri seseorang dengan kehormatan akan diperhitungkan lewat perjanjian. Jadi tanpa perjanjian kita tidak bisa menilai seseorang. Saudara tidak bisa mengatakan “dia orang hebat karena aku suka dia”, atau “dia orang hebat karena berbakat”, itu tidak ada urusan. Kita sudah kehilangan nilai-nilai tentang kemasyarakatan yang sebenarnya sangat diajarkan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mengenai orang-orang yang berhak dikagumi, orang-orang yang bisa kita berikan perasaan kagum. Kita sudah mengganti kehormatan seseorang dengan keadaan menjadi artis yang membuat dia dikagumi begitu banyak orang. Maka tidak heran jika keadaan masyarakat kita berada dalam keadaan makin rusak. Orang berlomba-lomba mempunyai keunggulan yang dikagumi. Ingin dikagumi adalah problem besar, karena yang paling layak dikagumi hanya Tuhan. Tugas kita bukan untuk dikagumi, tugas kita adalah untuk setia kepada perjanjian. Dan ini berlaku baik dalam relasi kita dengan Tuhan maupun relasi kita dengan sesama. Tuhan tidak peduli apakah Saudara punya kemampuan untuk dikagumi seperti artis atau tidak. Tuhan peduli apakah kamu orang perjanjian atau tidak, engkau menjalankan perjanjian atau tidak. Jadi aspek ini hilang sehingga waktu kita memikirkan tentang agape, tentang kasih, kita tidak ingat perjanjian. Kita hanya ingat bahwa agape itu adalah kasih yang rela berkorban. John Owen pernah mengatakan kalimat yang sangat bagus, dia mengatakan tidak pernah ada tindakan Tuhan yang bisa dinilai di luar perjanjian, di luar konteks perjanjian. Ini yang kita mungkin harus hati-hati lihat, bahwa setiap istilah di dalam Alkitab akan ditafsirkan berdasarkan konteks perjanjian. Kalau ada yang tanya “mengapa Yesus mati menebus dosa kita?”, John Owen akan menjawab “karena itulah perjanjiannya dari awal”. Bukan karena Yesus mempunyai sesuatu yang secara netral bisa ditafsirkan sebagai penebus, konteks ini hanya bisa dipahami lewat perjanjian. Demikian juga agape adalah kasih yang harus dipahami dalam konteks perjanjian. Sehingga tidak ada pengertian bahwa kalau kita sudah dikasihi Allah, ada kasih agape dari Allah, maka apa pun yang kita lakukan tidak masalah, kasih agape adalah kasih yang menuntut. Bahkan kalau mau lebih ekstrim lagi, kasih agape adalah kasih yang menggerakan Tuhan untuk membinasakan orang fasik di Israel. Kasih akan membuat Saudara penuh dengan damai sejahtera dan sukacita jika Saudara berjalan di dalam perjanjian. Dan perjanjiannya selalu akan jelas dan tertulis. Ini bukan cuma perjanjian yang diturunkan mulut ke mulut. Budaya Yahudi adalah budaya sangat unik karena meskipun banyak sekali tradisi turun-temurun yang mereka miliki, tapi mereka adalah umat yang berpegang pada sebuah kitab. Jadi mereka mengandalkan ini, mereka mengikat hidupnya pada perjanjian dengan Tuhan. Kasih dan perjanjian adalah hal yang utuh, tidak bisa dipisah.
Maka kasih harus ditafsirkan dalam perjanjian dan inilah yang Paulus mau jelaskan di pasal 7 arti Hukum Taurat. Di dalam ayat yang kesatu, itu hal yang wajar, Saudara tidak mungkin mengikat perjanjian dengan orang yang sudah mati. Orang yang sudah mati akan lepas dari perjanjian, kematian akan membubarkan perjanjian apa pun karena perjanjian itu diikat dengan orang hidup, bukan orang mati. Ini akan disetujui baik oleh orang Romawi, maupun oleh orang Yahudi. Sama seperti orang Yahudi, orang Roma pun sangat diikat dengan perjanjian, mereka mempunyai tata negara mereka yang mengharuskan baik senat maupun kaisar, maupun warga mempunyai hak dan kewajiban masing-masing. Tidak ada orang-orang di dalam Roma yang akan hidup tanpa menyetujui perjanjian. Bagi mereka hidup tanpa perjanjian adalah kebiasaan hidup bangsa barbar. Ini juga yang harus kita pikirkan dalam relasi kita, Saudara berelasi di dalam pernikahan atau di dalam relasi bisnis jangan lupa atur semuanya baik-baik, buat perjanjian dari awal. Tuhan kita tidak pernah mengatakan kepada manusia “sudah ya, kita sama-sama percaya. Saya percaya kamu dan kamu percaya saya, mari jalan sama-sama”, tidak ada. Tuhan mengatakan “Aku janjikan melakukan ini dan itu, dokumenkan. Aku tuntut kamu harus lakukan ini dan itu, dokumenkan”, itu rohani, itu suci, itu Tuhan. Kalau tidak melakukan itu berarti kafir, menurut orang Yahudi, “kami tidak pernah punya allah yang tidak jelas. Kami tidak pernah punya ilah yang tidak memberikan perjanjian”. Bangsa-bangsa lain punya perjanjian yang turun-temurun, yang ceritanya ngawur, yang kita tidak mengerti mana versi yang benar. Maka orang Yahudi menganggap remeh bangsa-bangsa lain karena mereka tidak pernah jalan dalam perjanjian yang jelas dengan ilah mereka. Mari biasakan ini. Israel tidak pernah dibiasakan untuk mengenal allah yang tidak pernah berjanji. Jadi mereka mengenal Allah yang memberi diri dan mereka juga mengenal Allah sebagai yang menuntut mereka untuk memberi diri. Jadi agape adalah kasih perjanjian. Kasih yang menuntut, Tuhan menuntut umatNya untuk mengerjakan yang Dia mau dan Dia tuntut dengan keras.