Pdt. Stephen Tong mendirikan Gereja Reformed Injili Indonesia, bukan Gereja Tong Injili. Mengapa tidak Gereja Tong Injili? Karena Pak Tong mengatakan Teologi Reformed itu yang paling stabil mengajarkan Kitab Suci. Jadi dia ambil Teologi Reformed. Jadi kalau ditanya “bolehkah GRII berdiri?”, “boleh”, “mengapa boleh? Kan didirikan oleh satu orang?”, betul, tapi satu orang yang confirm to Reformed Theology. Kalau Pak Stephen Tong punya pikiran yang beda dengan Teologi Reformed, dia bersedia dikoreksi. Tapi beda dengan Teologi Reformed kalau sesuai Kitab Suci kan boleh? Boleh, tapi harus ada pembicaraan. Maka kalau Pak Tong mengatakan “teologi Reformed masih kurang, saya menambahkan”, boleh. Adakah pengertian ini sesuai Kitab Suci? Iya, kalau begitu teologi Reformed harus terus berkembang. Betul, tapi bukan ditiadakan. Itu sebabnya setiap gereja harus bisa bedakan mana sekutu mana lawan, mana bagian dari gerejaku mana bukan, ini yang Paulus maksudkan di dalam pasal yang ke-16. Hati-hati terhadap pekerja-pekerja yang palsu, waspada mereka yang bertentangan dengan pengajaran yang telah kamu terima. “Jadi ada orang mengajar beda dengan Paulus dan kami harus tolak dia?”, “iya”, “mengapa tolak dia?”, “karena dia ajarannya salah”, “lalu Paulus ajarannya benar?”, Paulus mengatakan “ajaran saya benar”. Tahu dari mana? “Karena waktu saya mengajar, saya tidak pakai ajaran saya sendiri, melainkan ajaran yang sudah terkonfirmasi di dalam gereja Tuhan”. Maka bahkan surat ini pun adalah surat pakai nama orang lain juga, “salam dari Timotius, salam dari Lukius, salam dari Yason, salam dari Sosipater, salam dari Tertius” yang penulis surat, sekretaris yang menuliskan apa yang orang-orang ini katakan, ini indah. Jadi ternyata Paulus adalah tokoh sangat penting di dalam pembentukan teologi Kristen. Tapi dia mengizinkan ajarnya dikonfirmasi oleh orang lain, dikonfirmasi oleh gereja Tuhan. Ini menjadi ukuran bagi kita, ukuran bukan cuma Alkitab, tapi ukuran juga adalah bagaimana Alkitab seharusnya dipahami, seharusnya diajarkan. Dan gereja bertugas untuk memelihara ajaran yang benar, yaitu ajaran yang sesuai dengan tafsiran yang bertanggung jawab.
Apa artinya tafsiran yang bertanggung jawab? Yang bertanggung jawab pasti bukan hasil tafsirannya, tapi orang yang menafsirkan. Artinya adalah dia siap untuk di-confront, dia siap untuk dikoreksi. Di dalam zaman streaming ini, khotbah-khotbah di GRII Bandung biasa akan di-upload lagi. Dan orang biasanya tanya “Pak, yakin mau di-upload?”, saya mengatakan “yakin”, “Bapak bisa ada kepeleset lidah, tidak mau diselidiki dulu?”, saya mengatakan “silahkan kepeleset lidah itu dipamerkan, lalu orang memberikan masukan ke saya. Saya tidak takut dikoreksi”. Makanya kalau khotbah streaming, saya persilakan di-streaming, saya persilakan orang dengar. Kalau ada salah bagaimana? Tidak apa-apa, justru orang koreksi itu menjadi harta berharga untuk saya. Saya tidak suka setelah itu melihat rekaman lalu selidiki bagian mana yang agak menunjukkan kelemahan saya itu di-cut, saya tidak pernah mau cut itu. “Kalau menunjukkan Bapak lemah, mudah marah tanpa alasan yang stabil, apakah sebaiknya tidak di-cut?”, “tidak perlu, biarkan saja”, “nanti kelemahan Bapak dinyatakan”. Biarkan kelemahan saya dinyatakan, mengapa mesti pamerkan diri yang sempurna, mengapa mesti menunjukkan muka yang bagus terus? Saya juga tidak mungkin memilih video yang saya kelihatan lebih langsing untuk ditampilkan, karena itu hampir tidak mungkin. “Kalau Bapak khotbah lalu ada hal yang membuat nama Bapak rusak bagaimana?”, “silahkan asal jangan membuat nama Tuhan rusak”. Tapi kadang-kadang ada masukan yang mengatakan “yang ini di-cut saja”, saya kadang-kadang mau pertahankan “tidak perlu, tetap masukan saja”, “jangan ini mesti di-cut”, “mengapa mesti di-cut?”, “karena nanti berisiko, nanti kita yang kena”. “Kalimat ini sepertinya agak sedikit membuat orang tertentu marah, daripada mereka marah mendingan kita cut”, “ya sudah saya serahkan yang cut ke tukang cut. Saya bukan tukang cut, saya tukang menyambung. Maka yang mau cut silahkan, tapi tidak pernah ada usul itu dari saya, orang lain yang usulkan untuk cut. Mengapa? Karena biar pengajaran saya jadi publik, lalu setelah itu publik silakan kritik, publik silakan nyatakan kalau ada salah di mana silahkan. Tapi kalau Saudara mengatakan “bagaimana kita mau kritik, kolom chat-nya dimatikan”, ada beberapa khotbah yang kolom chat-nya dimatikan, itu juga kebijakan dari auvi bukan dari saya. Tapi saya pikir kebijakan mereka cukup baik, karena banyak komentar yang aneh. Kadang-kadang ada komentar yang terlalu mendewakan pengkhotbah “khotbahnya sangat memberkati, karunia surgawi turun”, tulis saja “khotbahnya bagus, membuat saya makin cinta Tuhan, makin cinta Alkitab”, sudah selesai, tidak perlu mengatakan ada embun surga turun atau apa, untuk apa ngomong seperti itu. Komentar seperti itu tidak perlu masuk. Atau komentar yang menjelekkan “ini orang khotbah begini”, sudah salah mengerti kemudian mencerca lagi. Ini yang paling menyebalkan, salah mengerti dan masih berani mencerca. Coba belajar dulu baru kritik, jangan mencerca. Jadi jangan takut ajaran dikritik, biar ajaran kita diukur oleh orang lain karena kita bukan pemilik kebenaran. Saya bisa salah, pendeta bisa salah, orang bisa salah, silahkan perbaiki kesalahan para hamba Tuhan. Tapi perbaiki dengan sifat rendah hati. Jangan orang yang tidak mau belajar kritik orang yang punya pengertian, akhirnya membuat orang itu menjadi dikritik dengan prinsip dari orang yang tidak belajar. Bagi saya ini tidak adil. Sama seperti saya kritik dokter yang memberi nasehat dengan pengertian saya yang saya dapat dari Wikipedia, itu kan aneh. “Dokter sepertinya diagnosanya salah. Saya tidak sakit ini”, dokter kaget “kamu belajar kedokteran dari mana?”, “dari YouTube, dari halodoc atau dari byebyedoc”, atau dari manapun itu. “Kamu bukan dokter bagaimana bisa melakukan itu?”, jadi dokter tidak boleh dikritik? Boleh, tapi tolong kritik dengan pengertian, kalau tidak dokter dikritik makin bodoh, karena dikritik orang yang tidak mau belajar. Pendeta dikritik sama orang yang enggan belajar, nanti pendeta dengar kritik ini, dia jadi makin bodoh. Jadi Saudara belajar Pengakuan Iman lalu mengerti Pengakuan Iman, mengerti gereja posisinya apa. Lalu kalau ada hamba Tuhan seperti mengajarkan hal yang beda, ajak dia diskusi, berikan dia kesempatan menjawab balik. Saudara kritik lalu tutup telinga, itu bukan kritik, itu pertengkaran anak kecil. Anak kecil kan begitu, “kamu jelek”, temannya menutup telinganya dan tidak mau dengar lagi. Saudara jangan mengkritik orang seperti itu. Kalau sudah lempar kritik, buka telinga dengar jawaban dia. Setelah dengar jawaban dia, dia masih ada dalam posisi yang salah, Saudara balik lagi kritik atau balik lagi berikan masukan. Sehingga terjadi diskusi yang membuat kita sadar ternyata kamu dan saya satu pengakuan, kita ini satu simbol, kita ini satu medalium, medali yang utuh, kita satu gereja. Kita adalah orang Kristen, ini yang bahagia. Jadi kalau Saudara dengar orang dari tradisi lain punya ajaran, dengar dulu baik-baik. Tapi Saudara sendiri harus ada dalam tradisi tertentu.