Kedagingan membuat kita mati, kita tidak mengerti berelasi, kita tidak tahu menikmati bertumbuh di dalam sebuah komunitas karena kita enggan untuk disakiti, kita enggan dikecewakan. Padalah disakiti dan dikecewakan, bukan dicari, tapi kita dapatkan sendiri, itu jalan menuju pertumbuhan. Saudara tidak akan bertumbuh kalau tidak pernah disakiti, tidak pernah dikecewakan. Tentu saya tidak minta Saudara cari oran untuk disakiti, dikecewakan, tapi ini adalah bagian dari pertumbuhan. Dicintai orang membuat Saudara bertumbuh. Bertahan di dalam keadaan tidak baik dengan orang juga membuat Saudara bertumbuh. Maka kematian adalah ketika kita enggan berelasi selama relasi itu tidak menguntungkan kita. Ini relasi yang sifatnya sangat sentimental, berkait dengan apa yang kita rasakan, bukan berkait dengan bagaimana kita bertumbuh. Kedagingan mengarahkan kita ke dalam hidup seperti ini. Dan saya sedang tidak singgung dosa-dosa yang sangat jelas, misalnya hawa nafsu yang dilampiaskan, pembunuhan, pencurian, kebencian, itu semua sudah jelas. Tapi saya ingin membongkar hal-hal yang sepertinya normal tapi ternyata membawa kepada kematian. Ini yang Paulus mau katakan “hidup yang engkau jalani itu hidup yang mati, dan ada banyak jalur mati”. Mungkin jalur Saudara adalah Saudara enggan untuk berkomunitas, itu jalur mati. Saudara adalah orang yang sangat ingin harga dirinya ditinggikan, itu jalur mati yang lain. Agustinus mengaku kelemahannya di situ, Agustinus mengatakan “saya selalu senang kalau dipuji”. Kenapa ya? Kesenangan seperti ini adalah kesenangan yang parah menurut Agustinus. Itu sebabnya di Confession dia menulis “Tuhan, jika pekerjaanku baik, segera mahkotai dengan mahkotaMu, jangan bairkan saya menaruh mahkota saya di situ. Jika pekerjaanku buruk, Tuhan tolong nyatakan inilah saya yang asli”, dia mengakui inilah kelemahannya. Jadi ada orang kelemahannya seperti itu, kalau dipuji rasanya langsung tinggi sekali. Ada orang lain lagi kalau diterima dan dicintai rasanya senang sekali. Ada orang lain lagi kalau pendapatan stabil rasanya tenang sekali. Ini semua jalur mati tanpa kita sadari. Inilah jalur yang akan memuncak kepada kematian, memang bukan penyebab, tapi ini adalah bagian, cicipan kematian yang sedang kita nikmati. Kita sedang mencicipi mati dengan menjadi egois, mencicipi mati dengan haus penerimaan, mencicipi mati dengan menjadi orang yang anti dalam komunitas, mencicipi mati. Hidup kita sedang mencerminkan kematian dan ujungnya adalah maut. Paulus dengan jenius mengatakan apa yang menjadi nasib akhirmu sedang engkau cicipi dalam hidup, ini yang namanya menghidupi kematian. Saudara akhirnya akan mati, itu benar, tapi Saudara sekarang sedang mencicipinya. Nasib akhirmu mati dan sekarang kita sedang mencicipi. Kasihan halau hidup seperti ini.
Lalu bagaimana dengan di dalam roh? Ayat 6 mengataka keinginan roh adalah hidup dan dalami sejahtera. Apakah yang menjadi nasib akhirnya orang percaya? Paulus adalah teolog yang sangat menekankan kematian Kristus dan kebangkitkan Kristus. Bagi Paulus nasib orang percaya adalah kebangkitan. Nasib akhir orang tidak percaya adalah kematian, bukan hanya kematian fisik tapi kematian di dalam murka Tuhan juga. Nasib akhir orang percaya adalah kebangkitan setelah kematian fisik, ada kebangkitan. Maka bagi Paulus kita diberikan kesempatan mencicipi hidup yang menjadi nasib akhir kita. Sama seperti orang tidak percaya mencicipi kematian yang menjadi nasib akhir dia. Nasib akhir orang tidak percaya adalah mati dan dia senantiasa mencicipi kematian dalam hidupnya, kasihan. Sedangkan orang percaya, nasib akhirnya adalah bangkit dan dia diizinkan Tuhan untuk senantiasa menikmati bangkit, menikmati hidup. Maka di dalam ayat 6 dikatakan keinginan daging adalah maut, keinginan roh adalah hidup. Apa itu hidup? kebalikan yang tadi, Saudara hidup ketika Saudara menyadari Bapa memelihara, itu menghidupkan. Saudara hidup ketika menyadari bahwa Saudara harus hidup bagi komunitas, hidup bagi orang lain, harus kerja menjadi berkat bagi orang lain. Dan jangan memberikan standar yang terlalu tinggi, akhirnya kita puas tidak menjalaninya. Ini salah satu efek psikologis dari standar tinggi. Banyak orang yang standarnya tinggi tapi tidak dijalankan. “Jadi orang Kristen itu harus begini, begini”, mana faktanya? “Orang Kristen harus kerja bagi Tuhan, rela mati kalau perlu”, mana faktanya? Di saat pandemi baru ketahuan, jangankan rela mati ternyata rela ibadah juga tidak. Saya mau tekankan standar Kristen itu real karena standar Kristen itu menggerakan orang bertumbuh. Saudara tidak dibebani dengan standar yang tidak bisa Saudara pikul. Saudara tidak diminta Tuhan untuk menjadi seperti Paulus, standarnya Paulus ya Paulus, standarnya Saudara ya Saudara, secara personal. Jadi Kekristenan itu real, tidak pernah memberikan standar ideal yang tak tercapai, dan satu-satunya cara untuk mencapai adalah kemunafikan dan kebohongan. Jadi kalau ditanya apakah standar di GRII itu tinggi? Jawabannya tidak, mungkin kita harus belajar untuk sedikit tinggikan, tapi tidak terlalu. Kita berusaha serealistis mungkin. Bagaimana menjadi jemaat di sini? Yang pertama mengaku dosa, bertobat, tinggalkan dosa, ikut Tuhan dan berjuang melawan dosa. Jadi kehidupan yang dicicipi sekarang ini adalah kesadaran bahwa Tuhan memelihara itu satu hal. “Tuhan memelihara itu membuat saya mencintai Tuhan. Mengapa Tuhan cinta kepada saya, mengapa Dia rela menopang saya?”. Lalu hal kedua hidup di dalam roh adalah hidup mencicipi kehidupan yaitu hidup dengan rela bekerja bagi orang. Dan ini standarnya bukan martir, standarnya simple. Saudara kerja dan Saudara tahu apa yang Saudara kerjakan itu memberkati orang. Menjadi Kristen itu indah dan limpah karena natural, manusia memang seharusnya begitu. Jadi ketika Saudara menjalankan tugas Saudara se-simple itu, Saudara sedang berbagian, selama Saudara menyadari “ini adalah bagian yang aku mau kerjakan bagi orang lain”, perubahan hati itu penting. Kondisi tidak berubah tapi perubahan Saudara melihat kondisi itu yang penting. Maka Saudara akan menyadari bahwa kehidupan yang kita jalani secara natural dengan arah kasih, itu menyenangkan sekali. Saya tidak merasa saya harus menjadi pengkhotbah yang didengar orang seluruh dunia untuk menjadi pengkhotbah yang bertanggung jawab kepada Tuhan. Simply dengan menjalankan tugas saya memberkati Saudara, saya sudah melakukan bagian itu dan hati saya merasa senang, “ternyata saya menjalankan apa yang menjadi bagianku dan orang diberkati”. Jadi standar ideal kebanyakan mendorong orang untuk menjadi munafik, itu pertama. Atau kedua, mendorong orang untuk menekankan keahliannya dan membutakan diri terhadap kelemahannya. Banyak orang lemah di satu hal dan kuat di hal lain, tapi dia tekankan kekuatannya. Ada orang sangat kuat dalam berdoa dan dia menekankan pentingnya berdoa, tapi dia sangat lemah dalam kerendahan hati dan dia tidak peduli itu. Jadi coba berikan penilaian bagi diri Saudara yang imbang. Saudara tidak bisa mencapai standar sempurna dengan keutuhan diri Saudara. Saudara akan menjadi palsu, munafik, pura-pura sudah jalankan atau menekankan satu aspek dan mengabaikan aspek yang lain. Ada aspek yang kita miss, ada yang menjadi blindspot kita, kita perlu orang lain untuk mengingatkan. Ada aspek yang kita tidak bisa penuhi, dan kita harus berjuang untuk penuhi, tapi bukan dengan standar ideal yang kita tidak bisa capai. Kalau ditanya apa itu mandat budaya? Saya akan menjawab kalimat yang mungkin aneh, tapi sebenarnya ini ada dalam tradisi neo Calvinis. Mandat budaya adalah mengerjakan apa yang harusnya dikerjakan di dalam bidang itu. Kalau Saudara adalah atlit, kerjakanlah keatlitanmu dengan sebagaimana seorang atlit harus bekerja. Kalau Saudara adalah seorang tentara, jalankanlah ketentaraanmu dengan sebagaimana seharusnya tentara kerja. Simply membalikan bidang yang Tuhan sudah berikan ke dalam dunia ini untuk dijalankan dengan cara yang benar, itulah tugas orang Kristen. Bukan merombak sistem, membuat adanya sesuatu yang luar biasa petning terjadi dan besar, hanya Tuhan yang sanggup kerjakan itu. Kadang Tuhan merombak sistem, Tuhan merombak Eropa, Kekaisaran Roma menjadi Kristen, bukan karena ada orang tertentu lakukan. Kita tidak tahu sekarang siapa yang membuat Roma menjadi Kristen. Kalau dikatakan Konstantine yang mengubah, bukan, sampai mau mati baru Konstantine mau dibaptis. Dia masih di dua kaki, Kristen atau penyembahan berhala, sampai sudah mau mati baru dia mengatakan “baiklah, saya mau dibaptis”. Jadi bukan Konstantine yang membuat Kekaisaran Roma menjadi Kristen. Kekaisaran Roma sudah dipenuhi dengan orang Kristen, maka kaisar terpaksa mengakui agama Kristen. Yang membuat seperti itu siapa? Tuhan, bukan karena ada orang dengan semangat ideal mengatakan “aku mau ubah seluruh kekaisaran”, tidak bisa. Jalankan hidupmu hari demi hari dengan nikmat, jalankan hidupmu hari demi hari dengan menyadari “saya mau berkati orang dengan kemampuan saya yang terbatas, saya mau menikmati Tuhan dengan berkat yang Tuhan berikan kepada saya”, itulah Kekristenan. Kita akan berbagian di dalam komunitas di dalam bagian yang Tuhan mau. Itu yang membuat kita menjalani kehidupan di dalam roh.
Berikutnya, di dalam roh kita mencicipi kehidupan final, kebangkitan dengan cara mematikan dosa. Mematikan dosa senantiasa. Mematikan dosa adalah usaha yang sangat harus dikerjakan. Tapi bukan juga dikerjakan dengan keputus-asaan. Mematikan dosa berarti Saudara mulai melihat memuakannya aspek itu dan Saudara berjuang untuk meniadakannya, tapi perjuangan ini akan menjadi perjuangan yang senantiasa muncul belakangan. Saudara akan terus berjuang dengan dosa itu sampai mati. Kesempurnaan Saudara menang atas dosa adalah kebangkitan. Jadi di dalam Kekristenan yang Tuhan mau adalah adanya hati yang pelan-pelan mencintai Tuhan, beralih mencintai Tuhan dan pelan-pelan mulai merasa muak dengan hidup yang lama. Mulai merasa bosan dan enggan terhadap aspek yang lama. Kalimat penting dari Carl Trueman, dia mengatakan mengapa banyak orang yang menghidupi gaya selebriti, menghidupi suka pakai obat, hisap ganja? Mengapa kita ingin gaya hidup mereka? Jalur masuknya adalah keindahan, “aku menyukai gaya hidup seperti itu”. Maka cara melawan dosa adalah pelan-pelan mulai menyukai gaya hidup Kristen dan mulai rasa haya hidup yang lama itu membosankan. Jadi cara paling penting untuk membuat orang berpaling dari dosa adalah dengan mengingatkan orang lain atau pun diri kita bahwa dosa itu begitu membosankan, mematikan kita. Manusia tidak bisa hidup dengan membosankan begini. Coba kamu cari hidup yang baru di dalam Tuhan, kamu akan menikmati kelimpahan. Jadi ini yang kita perjuangkan. Saya tidak mengatakan ini mudah kita lakukan, dosa itu kuat bercokol, tapi yang paling penting adalah niat kita menikmati Tuhan, niat kita untuk berada dalam komunitas dan niat kita untuk mencicipi kehidupan yang limpah, dan itu tidak bisa dilakukan dengan hidup di dalam dosa. Itu akan memberikan kita perspektif baru untuk melawan hidup kita yang lama. Hidup kita yang lama akan kita tinggalkan, dan dia akan muncul lagi, kita tinggalkan lagi, muncul lagi, ini berulang terus sampai kita mati. Nanti waktu kita bangkit baru ada kesempurnaan. Tapi di dalam hidup kita sekarang dengan realistis kita meninggalkan dosa, dengan mengatakan “saya tidak bisa hidup seperti ini lagi, saya harus tinggalkan, tidak bisa terus seperti ini”. Dan itu yang membawa kita ke dalam kesadaran bahwa Tuhan sedang memberikan cicipan kepada kita kehidupan kekal itu, sekarang sedang kita nikmati. Dan ujungnya adalah kebangkitan. Orang di luar Kristus mencicipi kematian dan ujungnya adalah mau. Di dalam Kristus mencicipi hidup dan ujungnya adalah kebangkitan. Kiranya Tuhan menguatkan kita.
(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)