Dan apa yang dikorbankan paling jelas? Paulus mengatakan dengan jelas, salah satunya homoseksualitas, bukti dari ketiadaan akan Tuhan. Dari Roma 1 ini jelas sekali disinggung oleh Paulus, setelah manusia menyembah berhala, mereka mengganti kemuliaan Allah maka Tuhan menyerahkan mereka kepada hawa nafsu mereka. Tuhan membiarkan mereka mengikuti hawa nafsu bukan pikiran yang adil, bukan pikiran yang jernih, bukan pikiran yang benar. Dan hawa nafsu itu yang akhirnya menghancurkan orang. Perasaan kita menghancurkan kita. Begitu banyak kali kita dikuasai oleh perasaan, kita dihancurkan oleh perasaan kita, kita tidak tahu siapa kita, identitas kita siapa, pikiran mengenai mana benar dan mana salah hilang, hancur, tidak ada. Sehingga keputusan, tindakan, emosi kita semua dibakar oleh hawa nafsu, oleh perasaan yang sama sekali tidak bisa kita cerna lagi. Kita menjadi manusia, makhluk yang dikuasai oleh hawa nafsu, oleh perasaan, oleh apa pun yang menggerakan kita, yang mendorong kita. Ketika ada orang mengatakan kepada kita “pak, homoseksualitas kan hal yang memang bisa terjadi, ini fakta, ada orang yang punya kecenderungan lain, bukan laki-laki dengan perempuan, tapi ini laki-laki maunya dengan laki-laki, atau perempuan maunya perempuan, ini kan fakta”. Saya akan mengatakan ini memang fakta, tapi ini tidak benar-benar jernih, tidak ada pikiran di situ. Ketika Saudara melihat tubuh manusia, Saudara akan tahu tubuh manusia didesign untuk sebuah relasi dari laki-laki ke perempuan atau sebaliknya. Perempuan dan laki-laki yang harus bersatu dan diikat dengan perjanjian yang di dalamnya ada relasi seksual. Relasi seksual itu relasi tubuh yang mengikat, bukan hanya tubuh tapi juga batin dan semuanya, tapi yang diekspresikan lewat tubuh. Maka sangat aneh kalau tubuh itu tidak dianggap penting di dalam relasi ini. Sama dengan kalau Saudara mau ikut balapan mobil formula 1 tapi Saudara tidak punya mobilnya. Orang bertanya “kamu mau balapan pakai apa?”, “mobil tidak penting, yang penting tekad”, itu gila. Sama dengan orang mengatakan relasi seksual “mau laki-laki dengan laki-laki itu tidak masalah”, “tubuh itu tidak penting, yang penting intuisi, yang penting hawa nafsu, yang penting gairah. Gairahku kepada laki-laki”. “Aku laki-laki suka laki-laki, aku perempuan suka laki-laki, gairahku ke situ.” Orang hanya tahu “kalau saya punya perasaan, saya harus turuti dan pikiran dibuang. Ini adalah zaman dimana pikiran tidak dianggap, yang penting tekanan, dorongan, intuisi kamu mau kemana, itu yang harus kamu dengar, dengarlah intuisimu”. Itu tidak bisa. Maka apakah homoseksualitas boleh disahkan? Atas dasar apa? Carl Trueman ketika ditanya “apakah kamu akan mendukung argumen anti-homoseksualitas?”, dia mengatakan “saya bingung mau mendukung apa, karena homoseksualitas itu tidak pernah diberikan argumen”. Orang yang setuju homoseksual, tidak pernah memberikan argumen, cuma mengatakan “ada orang tendensi begini mari kita dengar”. Kalau kita mau dengar tendensi orang, ada orang tendensinya kleptomania, apa pun dicuri, apakah kita mau dengar dia? Ada orang tendensinya melakukan pelecehan kepada anak-anak, apakah kita mau dengar dia? Tendensi didengar itu gila. Maka dunia kita begitu kacau, tidak ada lagi pikiran yang seimbang. Kalau tendensi Saudara tidak bisa didukung oleh ekspresi fisik, tendensi itu harus dimatikan. Saudara ingin terbang, kepakan tangan lalu tangan, ada tendensi itu. Lalu Saudara pergi ke lantai 4 lalu Saudara mau loncat, apakah harus saya ingatkan atau jangan? “dengarkanlah tendensinya”, tidak bisa, fisiknya tidak memungkinkan. “Fisik tidak penting”, itu problemnya. Gnotisisme dan neo-platonisme sudah begitu merasuk ke kehidupan berbudaya kita sehingga fisik tidak penting. Paulus sudah mengatakan karena engkau menolak Tuhan maka laki-laki punya hawa nafsu kepada laki-laki, perempuan kepada perempuan dan semuanya menyala-nyala dalam birahi, ini yang terjadi. Maka Paulus mengatakan “Sekarang mari kembali kepada Tuhan”. Caranya bagaimana kembali kepada Tuhan? Dengan menikmati kebebasanmu dari hal-hal yang lama itu. Kamu tidak lagi dikuasai dengan belenggu yang lama, sekarang kamu dibebaskan. Bebas untuk tundukan diri untuk mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. Maka mari lakukan ini, seseorang memperlakukan orang lain seperti Tuhan mau orang lain diperlakukan. Mari manusiakan orang-orang di sekitar kita. Kalau Saudara tidak punya tendensi itu, perbudak dirimu untuk memanusiakan orang lain. “Kalau aku tidak bisa cinta orang lain, kalau aku tidak bisa menghilangkan kepahitan, kalau aku tidak bisa menghilangkan benci”, perbudak dirimu sampai engkau mampu memperlakukan orang lain sebagai manusia karena di situ kemanusiaanmu yang sejati akan muncul, itu yang Paulus katakan.

Engkau menjadi manusia karena engkau tahu bagaimana memperlakukan sesamamu sebagai manusia sebagaimana Tuhan inginkan. Maka Paulus mengatakan “kasihilah sesamamu”. “Sesamaku itu siapa?” Orang-orang yang Saudara temui setiap hari. Saudara tidak bisa mengasihi orang yang jauh, tidak mungkin. Seorang hamba Tuhan kita pernah mengatakan ini namanya menggantung cita-cita setinggi bintang di langit tapi lupa memikirkan cara untuk menggantungnya bagaimana, lupa memikirkan cara untuk menjangkaunya. Satu orang bagaimana engkau memperlakukan orang lain, bagaimana engkau menghargai orang lain, bagaimana engkau memanusiakan orang lain, itu yang akan membuat Saudara lepas dari dosa-dosa yang ada. Saya sangat bersyukur Paulus tidak membahas dosa sebagai sesuatu yang kita tangani dengan cara meditasi. Caranya adalah relasi yang baik dengan orang. Kalau saya belajar berpikir baik, saya belajar untuk tidak manipulasi orang lain. Banyak dosa yang cenderung saya ingin lakukan, akhirnya saya halangi, saya hentikan dan saya perbudak diri saya untuk hanya melakukan yang baik dengan cara berpusat kepada orang lain. Apa yang Taurat mau itu sebenarnya terjadi di dalam Injil, yaitu Tuhan mau manusia menjadi bebas. Dan kebebasan berarti manusia menikmati kehadiran Tuhan di tengah-tengah komunitas mereka dan menikmati menjadi manusia di dalam komunitas itu. Bagaimana menjadi manusia? Dengan memperlakukan orang lain sebagaimana Tuhan mau orang lain itu diperlakukan, ini kasih. Walterstorff mengatakan kasih itu bukan buta, mengasihi berarti buta dengan memanjakan orang, bukan seperti itu. Saudara tidak dituntut untuk memanjakan orang, kasih tidak sama dengan memanjakan. Kasih berarti menjalankan apa yang Tuhan mau kepada orang itu, termasuk memberikan keadilan dan penghukuman. Maka cara Tuhan perlakukan orang adalah cara yang kita mau lakukan dengan demikian kita menjadi manusia, oleh karena kita melihat yang lain dan memperlakukan mereka dengan benar. Tapi kalau kita terus melihat ke diri, mau diri yang jadi utama, sulit untuk menjadi manusia. Ini sama dengan mata, mata tidak pernah bisa menjadi mata kalau mata terus ingin melihat mata. Mata seharusnya tidak melihat mata, mata harusnya melihat yang lain di luar dia. Ralph Waldo Emerson pernah mengatakan ironi dari mata adalah mata bisa melihat semua tapi tidak bisa melihat dia. Demikian Saudara, Saudara tidak diciptakan untuk terus melihat ke diri, Saudara diciptakan untuk memanusiakan manusia di sekitar Saudara. Orang di sekitar Saudara adalah suamimu, istrimu, anak-anakmu, orang tuamu, tetanggamu, teman sekantormu, orang-orang di sekelilingmu, pegawaimu, siapa pun manusiakan mereka. Itulah cara untuk lepas dari dosa dan itulah cara untuk menjadi manusia. Inilah yang Tuhan mau karena kita semua sudah ada di dalam Kristus yang lebih dulu melayani kita.

Tuhan terlebih dahulu melayani kita, Tuhan terlebih dahulu memperbudak diriNya untuk membebaskan kita. Dan kita boleh melayani Tuhan yang demikian dengan rela. Maka kita mengatakan “Tuan, memang saya telah Engkau bebaskan, tapi saya mau memperhamba diri kepadaMu seumur hidup”. “mengapa?”, “karena Engkau lebih dulu menjadi hambaku, Engkau yang terlebih dahulu melayani ketika Engkau mati di atas kayu salib sebagai hamba untuk melayani kami. Kami sudah mendapatkan pelayananMu yang penuh cinta kasih. Sekarang kami ingin dedikasikan diri kami menjadi hambaMu seumur hidup. Kami mengasihiMu, tandailah seluruh anggota tubuh kami untuk menjadi milikMu selamanya”. Bagaimana menjadi milik Tuhan? Dengan belajar memperlakukan orang lain sebagai hamba bagi orang lain, memperlakukan mereka sebagaimana Tuhan mau mereka diperlakukan. Kiranya Tuhan membebaskan kita supaya kita boleh menjadi manusia yang sejati, yang melayani satu dengan yang lain.

(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

« 5 of 5