Manusia tidak pernah Tuhan design untuk hidup tanpa Tuhan dan untuk menjadi seorang yang dihancurkan kemanusiaannya. Kita jangan punya konteks dari abad 18 atau 19 tentang perbudakan. Karena konteks di dalam Kitab Suci baik di abad pertama maupun Perjanjian Lama, budak adalah kelompok atau orang-orang yang ditaklukan, jadi kalau ada satu kerajaan menaklukan kerajaan lain, maka orang-orang yang dikalahkan itu akan dijadikan budak. Budak adalah tanda orang-orang ini kalah dalam peperangan. Atau kedua, Saudara menjadi budak karena berhutang, cara bayarnya Saudara harus melayani menjadi budak. Dan waktu Saudara menjadi budak, Saudara tidak punya kebebasan. Saudara menjadi sekelompok orang yang seluruh dirinya, tubuhnya, pikirannya, waktunya, harinya itu dimiliki oleh tuan. Bukan hanya waktu, hari, tenaga, pikiran, bahkan keluarganya. Kalau budak itu punya istri dan anak, maka istri dan anak itu pun adalah hak milik dari tuan. Bayangkan keadaan yang seperti itu. keadaan dimana seluruh hidup dikuasai oleh tuan, saya tidak lagi punya kebebasan. Dan tentu yang sangat diidam-idamkan oleh para budak adalah bebas, “saya mau bebas, saya tidak mau hidup saya dimiliki oleh orang lain. Saya mau miliki hidup saya sendiri”. Maka bebas itu ada orang yang tadinya membelenggu kita dan sekarang belenggu itu dihancurkan. Jadi status budak adalah status yang meniadakan kemanusiaan seseorang, karena mereka dikuasai oleh orang lain. Di dalam Kitab Keluaran, orang Israel dikeluarkan dari Mesir supaya mereka bebas, itu tema penting sekali. Mereka mendapatkan kebebasan Tuhan. Tapi Tuhan tidak memberikan mereka kebebasan dari Mesir kemudian mengatakan “sekarang kamu sudah bebas, silahkan seluruh tempat ini bisa kamu jelajahi, pergilah kemana pun kamu suka”, herannya setelah Israel dibebaskan dari Mesir, Tuhan yang atur mereka harus kemana, Tuhan yang tentukan mereka harus berjalan kemana, Tuhan yang tentukan tujuan dari perjalanan mereka apa. Tuhan atur mereka menggantikan Mesir mengatur mereka. Dalam pembacaan yang kurang reflektif atau istilah Paul Ricoeur pembacaan curiga, hermeneutic of suspicion, kita akan membaca dan mengatakan “ini sama, Tuhan jadi Tuan, Israel jadi budak, ini sama saja”, ini berarti ganti tuan. Israel tadinya menyembah atau tunduk kepada Mesir, sekarang Israel budaknya Tuhan, sama. Banyak kali orang-orang membaca Kitab Suci dengan cara yang tidak reflektif tapi dengan cara yang penuh curiga. Kita mesti kenal orang-orang yang menafsirkan Kitab Suci dengan cara yang macam-macam sehingga pendirian teologi kita menjadi pendirian yang jelas, kuat dan tidak mudah tergoncangkan. Ternyata keterbukaan terhadap pemikiran yang berbeda dengan kita akan membuat kita menjadi Kristen yang baik. Kita tahu mengapa kita pilih tradisi ini, bukan karena kita tidak punya pilihan, tapi karena kita memilih apa yang kita lihat konsisten di dalam membahas Kitab Suci, tapi kita juga sudah tahu tafsiran orang lain seperti apa. Maka banyak yang menafsirkan dengan cara penuh kecurigaan, “Tuhan cuma Tuan yang baru, sama-sama kejamnya seperti dulu Mesir mendikte kebutuhan Israel dan juga hidup Israel.” Demikian juga dengan kita sekarang, Saudara sekarang pun cuma jadi budaknya Tuhan, tidak bisa bebas. Tuhan yang menggerakan segala sesuatu sesukanya Dia. Kalau Dia sudah punya mau, kita mesti taat, kalau kita tidak mau taat, Tuhan akan hakimi dan hancurkan kita. Tuhan yang seperti ini adalah Tuhan yang mempunyai kekejaman level ekstrim. Kalau kita percaya pemerintah punya kuasa makin besar, tingkat korup untuk memeras dan mendominasi rakyat juga makin besar, maka kekuasaan absolut Tuhan tentu akan menghancurkan dan menguasai kita secara absolut. Banyak orang tidak mau pikir seperti ini karena dia pikir ini adalah pikiran yang berdosa, Tuhan pokoknya baik. Tapi ketika pihak lain bertanya, kita kesulitan menjawab, “kalau Tuhan benar-benar baik, mengapa Dia atur semua, tentukan semua, kita dipaksa untuk menjalani mutlak. Mengapa Dia sekejam itu?”, cara baca seperti ini adalah cara baca yang umum di kalangan orang-orang yang bukan Kristen. Pak Tong mengatakan orang Kristen harus menginjili, tapi untuk menginjili, Saudara harus tahu Saudara berusaha menundukan cara berpikir orang. Kalau tidak tundukan akan sulit, dan kita masuk ke arah pikir itu, kita tidak bisa tundukan orang lewat perasaan mereka. Perasaan tidak bisa dipertanggung-jawabkan untuk mengambil keputusan. Saudara tidak bisa ambil keputusan berdasarkan perasaan, insight, insting atau apa pun itu. Saudara hanya mengerti identitas lewat pikiran. Kita tahu pikiran bukan segalanya. Tapi mustahil punya identitas jika tidak berpikir. Dan mustahil bisa membawa identitas orang menjadi sama dengan kita jika kita tidak pahami cara orang lain berpikir. Banyak hal kalau orang lain tanya kita akan kesulitan menjawab. Ada banyak hal yang sebenarnya kita sendiri belum punya pengertian yang limpah. Saya mengatakan kata limpah, bukan berarti kalau Saudara belum mengerti, Saudara akan masuk neraka. Tapi kalau Saudara mengerti ini, Saudara akan menjadi manusia yang lebih utuh. Banyak hal yang belum kita mengerti, dan banyak kali cara berpikir kita adalah cara berpikir satu sisi. Ini real, ada orang yang berpikiran Mesir kejam, Tuhan juga kejam, satu generasi pernah mati di padang gurung. Mesir pernah bunuh generasi Israel? Tidak pernah. Sedangkan Tuhan, sudah keluarkan Israel dari Mesir, satu generasi mati. Apakah lebih baik dibawah Mesir? Ini pertanyaan yang membuat kita berpikir lalu mengatakan “enyahlah engkau setan, jangan membuat saya goyah”. Tapi ini pertanyaan yang perlu dijawab, apakah berarti Tuhan lebih kejam dari pada Mesir? Jawabannya tentu tidak, kita sama-sama tahu, tapi kesimpulan “tidak” yang kita ambil itu perlu dijelaskan cara berpikir sampai kesitu. Bagaimana memahami tentang Tuhan yang akhirnya juga “memperbudak” Israel, setiap tindakan itu dilakukan dengan cara yang sangat ketat, bukankah itu yang Tuhan lakukan?

Kritik-kritik seperti ini uniknya baru muncul di zaman akhir abad pertengahan dan masuk dalam periode modern. Mengapa dulu tidak ada yang mengkritik itu, mengapa pembenci Israel atau orang-orang yang anti Tuhan tidak mengkritik itu untuk Israel? Jawabannya satu, karena mereka punya konsep tentang Tuhan yang sama. Tuhan harus berdaulat, Tuhan tidak mungkin disebut Tuhan jika Dia tidak berdaulat penuh. Jika Tuhan tidak atur kehidupan umat dengan detail, Dia bukan Tuhan. Jadi cara berpikir berubahnya di zaman modern, mengapa pada zaman modern? Karena orang modern punya dewa lain yang bentur dengan Tuhan yang ini sehingga mereka akan konflik dengan mengatakan “Tuhan seharusnya tidak seperti itu”. Dewanya orang modern adalah kebebasan yang sebenarnya tidak dimengerti, kebebasan yang dislogankan tapi tidak pernah dipahami apa artinya. Kebebasan yang kosong. Itu sebabnya di zaman modern orang sangat alergi dengan otoritas, hirarki, kepemimpinan, segala hal yang menunjukan level kekepalaan. “Kita setara, kita semua sama-sama saudara, kita selevel, kamu bukan pemimpin saya”. Maka kecurigaan kepada Tuhan sebagai yang mendominasi itu muncul karena orang modern melihat dewa mereka yaitu kebebasan berbenturan dengam Tuhannya Israel yaitu Allah. Benturan ini yang membawa kritik kepada Tuhan menjadi sangat keras dimana-mana “kok Tuhan kejam”. Lalu kalau kita balikan “oke, Tuhan melakukan itu dan kamu anggap salah, tapi kamu sendiri sebenarnya sedang dikuasai dan didikte oleh sesuatu yang mengambil posisinya Tuhan dan sesuatu itu namanya kebenaran. Kamu didikte oleh kebenaran. Nanti orang mengatakan “kebenaran tidak pernah memaksakan diri untuk saya”. Tapi ada satu kalimat yang sangat penting dari Agustinus, apa pun yang bukan kasih pasti bersifat memaksa. Kamu sedang dipaksa oleh kebebasan. Kebebasan yang kamu anut itu yang mendikte kamu. Tidak ada orang yang bisa menjelaskan kebebasan itu apa. “Kamu dibebaskan dari perbudakan”, saya bebas setelah itu apa? Kebebasan dipahami, idenya adalah sebagai sesuatu yang melepaskan saya dari belenggu. Tapi setelah itu ada belenggu baru yang namanya liar, atau miskin identitas, atau krisis pengertian. Maka ternyata kebebasan itu mengambil tempat yang tidak semestinya diambil yaitu tempat sebagai refleksi, relasi, komunitas dan kasih. Kebebasan mengambil itu dari kita semua. William Dyrness mengatakan “apa yang salah dari pornografi?”, orang mengatakan bahwa pornografi adalah bentuk perlawanan terhadap sensor. Tapi Dyrness mengatakan satu hal, yang bilang anti sensor sebenarnya sedang memperlakukan sensor, yaitu sensor mengenai cerita. Tidak ada film porno yang ada cerita bagus, mereka sensor kemanusiaan. Jadi Dyrness mengatakan omong kosong bilang anti sensor, mereka sendiri mensensor kemanusiaan, mereka sensor keperluan untuk diskusi, untuk sharing, untuk cinta kasih, tidak ada itu. Yang ada adalah pornografi, pameran ketelanjangan dan relasi seksual. Jadi sebenarnya sensor mereka lebih parah. Ketika orang bilang bebas, sayangnya mereka menempatkan bebas di tempat yang seharusnya dimiliki oleh relasi dan kasih, bukan kebebasan. Ketika seorang ibu punya anak, tempat untuk merawat anak itu, wadahnya itu bukan kebebasan, tapi relasi dan kasih. Kebebasan tidak boleh menjadi tuan di situ. Di sini adalah tempat kerelaan menjadi hamba dipraktekan. Jadi kebebasan sudah menggantikan Tuhan. Herman Dooyeweerd mengatakan semua berhala adalah bagian yang dimutlakan. Manusia bebas, tapi itu bagian. Waktu bagian itu menjadi total, menjadi seluruh, maka dia menjadi berhala. Itu sebabnya kebebasan sudah menjadi berhala dan karena itu orang modern marah “mengapa Tuhan mengatur Israel”, kita balik ngomong “Mengapa kamu tidak mengerti ada konsep lain untuk membuat manusia menjadi manusia, dan kebebasan bukan satu-satunya”. Maka ketika Israel dibebaskan dari Mesir, Israel mendapatkan kesempatan menjadi manusia kalau kebebasan itu merupakan bagian yang harus mereka miliki, tapi ada bagian yang lain yang perlu diisi dan ini yang Tuhan lakukan. Tuhan mengisi kebutuhan Israel untuk menjadi manusia. Bukan cuma dengan kebebasan, tapi dengan diriNya. Dengan kebertundukan, dengan kemanusiaan, dengan kasih, dengan keadilan, dengan kesucian.

« 2 of 5 »