Tapi Paulus mengikuti septuaginta yang memilih untuk menerjemahkan kata itu, di LAI diterjemahkan gelisah, tapi di dalam septuaginta diterjemahkan dipermalukan. “Siapa percaya tidak akan dipermalukan”, ini yang menjadi pembanding. “Kamu jangan percaya dunia orang mati yang megah ini, ini palsu, karena kemegahannya tidak ada arti. Percayalah kepada batu penjara yang aku sudah tetap kan menjadi pembangun Yerusalem yang baru.  Bukan Yerusalem yang lama, bukan nostalgia yang lalu. Tapi menikmati janji Tuhan yang memulihkan Yerusalem di dalam keadaan dimana dia belum pernah berada sebelumnya. Kelimpahan begitu besar yang belum terjadi sebelumnya, “ini yang Tuhan akan dirikan”. Maka Tuhan mengatakan “percaya janjiku”, “janjimu buktinya apa?”, Batu penjurulah buktinya”. “Tapi di mana saya bisa buktikan batu penjuru ini benar? Ayat 17 mengatakan “Aku akan membuat keadilan menjadi tali pengukur, kebenaran menjadi tali sifat, hujan batu akan menyapu bersih perlindungan bohong dan air lebat akan menghanyutkan persembunyian”. Ayat 17 ini argumennya sangat kuat untuk Kekristenan. Karena Yesaya mengatakan “saya akan menambah argumen, saya percaya kehebatan Babel. Itu boleh kan, kan saya menikmati hidup di sini”, “tidak, kamu mesti beriman kepada Tuhan”. “Tapi Tuhan belum menunjukkan apa-apa”, “Aku sudah meletakkan batu penjuru”, batu penjuru belum kelihatan apa-apa, “saya ragu kalau kembali ke Yerusalem, tidak ada apa-apa di situ”. Maka Tuhan akan mengatakan ada ukuran lain, lihat keadilan dan kebenaran. Di Babel apakah ada keadilan dan kebenaran? Atau di dalamnya penuh dengan ketidak-adilan dan kebusukan? Budaya yang dibangun harganya apa? Apakah dibangun dengan kejujuran? Dibangun dengan keadilan atau dibangun dengan pemerasan, dibangun dengan ketidak-adilan? Untuk mengubah sesuatu itu tidak mudah, dan kita sering mengatakan “saya ingin menjadi orang yang seperti itu”. Orang yang mengerjakan, seringkali tidak mau menjadi orang seperti itu. Kalau ditanya “kamu berhasil membuat perubahan, mengapa?”, “terdesak, saya tidak punya pilihan untuk melakukan”. Martin Luther waktu ditanya “bagaimana bisa kamu punya keberanian untuk merubah dengan melakukan reformasi?”, dia mengatakan “apa yang saya lakukan? Saya cuma berkhotbah, setelah itu duduk minum bir bersama Melanchthon, saya tidak mengerti saya melakukan apa. Saya cuma berkhotbah dan Tuhan yang kerja, Tuhan yang mengubah Eropa lebih besar dari siapa pun”. Jadi Martin Luther tidak pernah bercita-cita “Eropa sudah terlalu lama buruk, saya mau menjadi yang mengubah”, dia tidak pernah punya cita-cita seperti itu. Yang dia tahu adalah persiapan bahan, mengajar di kelas, persiapan bahan, mengajar di kelas, persiapan khotbah, berkhotbah, dan Tuhan pakai. Waktu dia lihat ada kardinal yang berani menjual surat pengampunan dosa dan ada jemaatnya yang beli, dia marah, dia ajak berdebat. Lalu dia post, kemudian ada orang yang cetak dan menyebar, yang membuat menjadi viral itu Tuhan. Mungkin ini aspek anak muda yang harus tahu, do your job, tugasmu apa kerjakan saja. Tapi kalau Tuhan mau jadikan viral, silakan, tapi siapkan mental, kamu akan diserang dan juga mengalami kesulitan besar yang sangat banyak, just do your job, dan biar Tuhan yang arahkan mau jadi apa pekerjaanmu. Maka ketika orang mengatakan “saya mau mengubah situasi”, harap dia mengerti dulu situasi seperti apa yang sedang terjadi. Kerumitan di dunia ini kalau kita lihat penanganannya sulit tapi penyebabnya mudah dideteksi. Penyebabnya adalah tidak ada keadilan, tidak ada kebenaran, itu dua hal yang menjadi sindiran. Maka Tuhan mengatakan “kamu lihat batu penjuru, kamu tidak mau percaya, lihat efek dari bangunan besar di Babel. Kamu percaya Babel karena apa? Karena ini megah, kebudayaan maju? Kamu tahu tidak di dalamnya tidak ada keadilan, di dalamnya hanya ada pemerasan, di dalamnya tidak ada kemanusiaan dan kamu senang budaya seperti ini?”. Saudara pilih mana, tinggal di budaya maju yang tidak ada kemanusiaan atau membangun sebuah budaya baru dimana kemanusiaan diutamakan? Kita pasti mengatakan “Mana mau saya bangunan besar Babel tapi kemanusiaan saya diabaikan”. Ini yang Yesaya sedang katakan, “kamu tidak percaya kepada batu penjuru, percayalah kepada efek keadilan yang akan diberikan oleh batu penjuru ini”. Dengan kata lain “jika engkau menyembah Tuhan mungkin engkau tidak langsung melihat bangunan megah. Yerusalem baru akan lebih megah dari Babel, jauh lebih megah dari kota-kota besar di negara-negara yang hebat”. Tetapi itu belum terjadi sekarang.

Lalu sekarang menikmati apa? Sekarang engkau akan menikmati keadilan, ayat 17 “Aku akan membuat keadilan dan kebenaran menjadi tanda yang indah dari Kerajaan Allah”. Mengapa saya beriman kepada Allah? Karena di dalam KerajaanNya ada kebenaran dan keadilan. Mengapa saya tidak beriman kepada Babel yang bangunannya begitu bagus, budayanya begitu maju, kekayaannya begitu berlimpah? Karena di dalamnya ada kekacauan, kematian dan dunia orang mati, itu yang membuat saya beriman dan berharap kepada bangunan yang akan Allah bangun. Ini yang Paulus pakai untuk argumen Roma 10. Jadi jangan kutip ayat sesimple itu, mari pelajari yang Paulus arahkan kita. Paulus memberikan argumen selanjutnya dan kita abaikan itu, itulah kebodohan kita membaca Alkitab, cuma membaca 1 ayat lalu selesai. Maka baca selanjutnya, Yesaya sedang bicara bandingkan dua kebudayaan, kebudayaan satu kebudayaan baru mulai, kebudayaan satu kebudayaan jadi, kamu pilih mana? “Pilih yang sudah jadi”, “tapi di dalamnya adalah dunia orang mati”, ini yang Paulus mau katakan. Maka dikatakan di Roma 10 “sebab Kitab Suci berkata barangsiapa percaya kepada Dia, tidak akan dipermalukan”. Jika engkau beriman kepada Tuhan, pada waktu Tuhan menyatakan pekerjaanNya, engkau akan menjadi orang yang diangkat bersama dengan Dia. Saya suka lukisan Michelangelo di Sistine Chapel, di belakang altar itu gambaran last judgement. Last judgement itu mengerikan, tapi saya suka karena di dalamnya ada lukisan Kristus yang hadir kembali, Dia yang datang. Yesus digambarkan dengan wajah muda tanpa jenggot dan kumis, lukisan Michelangelo membuat wajahNya bersih. Dia datang dengan penghakimanNya dan di belakang Dia, di sekeliling Dia ada para martir. Siapa para martir? Orang yang hidupnya sepanjang hidup miskin, orang yang hidupnya memegang kepercayaan yang membuat mereka dibunuh, mereka dimatikan seperti anjing dimatikan, ada yang dibakar, dilempar batu, ada yang dilempar ke binatang, mayatnya pecah hancur seperti bangkai binatang. Bayangkan keadaan sangat menyengsarakan itu, tidak ada tugu kuburan dari para martir. Lalu dimana penghargaan kepada mereka, nama mereka pun kita tidak ingat. Tapi lukisan itu seolah mewakili mereka mengatakan “pada waktu Kristus dipermuliakan, kamu akan dipermuliakan bersama dengan Dia pada waktunya”, ini yang kita nantikan. Tapi sebelum waktunya tiba, kita menikmati apa? Kita menikmati kebenaran, hidup adil, mengasihi, dikasihi, kita menikmati memperlakukan orang lain sebagai manusia, dan kita menikmati diperlakukan orang lain sebagai saudara, orang lain yang percaya kepada Tuhan Yesus, ini yang akan kita nikmati. Maka orang beriman adalah orang yang melakukan itu “saya mengaku dengan mulut Yesus ada Tuhan dan percaya dalam hati Allah membangkitkan Dia dari antara orang mati”. Sedangkan orang lain mengaku dunia adalah Tuhan tapi percaya dalam hati  dunia itu memberikan kematian, tidak ada yang bagus. Maka kalau kita percaya Yesus adalah Tuhan, harap hati kita sinkron dengan itu dengan mengatakan “Allah membangkitkan Dia dari antara orang mati”, artinya kita menerima kebangkitan karena percaya Kristus. Dengan kata lain apa yang kita sembah adalah yang kita nikmati. Apa yang kita akui sebagai Tuhan adalah Dia yang menyentuh hati kita dan memberikan kita kenikmatan di dalam hati, dengan demikian kita menjadi orang Kristen yang stabil di dalam keselamatan. Inilah yang diperlukan oleh dunia, dunia memerlukan orang seperti ini. Di dalam tafsiran tentang kebudayaan ada kalimat-kalimat yang indah. William Dyrness mengatakan isu kritis sekitar budaya sekarang adalah tidak ada percakapan Kristen yang asli yang mewarnainya. Kita tidak lagi menikmati Kekristenan menawarkan keindahan menjadi Kristen di tengah-tengah dunia yang krisis. Di tengah-tengah krisis, semua orang takut karena pandemi ini. Saudara menawarkan penghiburan apa, atau Saudara ikut-ikutan takut bersama mereka tanpa harapan? Tentu kita takut, tapi apakah kita takut tanpa harapan? Saya tidak mengatakan kita tidak boleh takut, takut tidak bisa dilarang. Yang penting adalah di dalam kasus seperti ini, Kekristenan mau menawarkan apa? Penghiburan apa yang Kristen katakan kepada lingkungan sekitar, kepada orang yang sedang berlindung dari ketakutan, Saudara juga berlindung, sambil berlindung sambil mengatakan “saya punya pengharapan, apakah engkau punya?”. Tapi orang akan tanya “pengharapanmu apa? Sekali lagi saya tidak mengatakan kita tidak boleh berlindung, tapi Saudara mesti tahu apa yang penting dan mesti tahu bagaimana saksi hidup Kristen memberikan warna di tengah-tengah keadaan yang semua seperti sama, semua mengatakan A, semua mengatakan B. Tapi Kekristenan mengatakan di antara alternatif A dan B ada bahagia di dalam ketakutan sekalipun. Orang Kristen adalah orang yang tahu berharap di tengah ketakutan. Juga jangan menjadi orang yang sok berani, nanti orang pikir “kamu memang jiwanya berani”, ini bukan karena kamu Kristen atau kamu memang bodoh dan cuek. Ada orang yang bodoh dan cuek, tidak peduli, “saya adalah orang yang tidak takut”, bukan tidak takut tapi tidak mikir. Maka bukan keberanian yang dituntut dari orang Kristen, tapi beriman di tengah ketakutan. Di tengah ketakutan, Saudara tetap beriman. Saudara tetap menjadi saksi mengatakan di tengah keadaan apa pun ada pengharapan, ini yang dunia perlukan. Maka Tuhan mengingatkan kita sekali lagi, lewat perkataan firman dan kutipan tadi, dunia ini krisis, kata William Dryness. Tapi kita perlu ada pembicaraan Kristen yang serius. Pembicaraan Kristen yang serius itu yang berasal dari komitmen iman dan kesenangan kepada Tuhan, dua ini disatukan, mirip dengan yang dikatakan Roma 10 “dengan mulut mengaku”, ini berarti komitmen iman, “dengan hati percaya” berarti ini kenikmatan. Saudara mendapatkan nikmat dari Tuhan dan Saudara berkomitmen kepada Tuhan. Orang yang punya komitmen iman dan kenikmatan dari Tuhan seperti itu, dia akan mempunyai percakapan Kristen yang berguna bagi lingkungan yang krisis. “Mengapa ada sukacita?”, karena seluruh ciptaan ini ditangani oleh Allah, Tuhan yang pegang dan Tuhan yang akan arahkan ke dalam kelimpahan. Lalu Charles Taylor, seorang filsuf Katolik dari Kanada mengatakan identitas itu adalah ensemble dari pengertian manusia tentang lingkungan yang sebagian besar tidak bisa dirumuskan dengan kata-kata. Jadi identitas kita tidak semuanya bisa dijelaskan, menurut Charles Taylor. Tapi semua ini adalah gabungan, ensemble dari begitu banyak reakis kita terhadap alam, terhadap jiwa, terhadap lingkungan, terhadap bagaimana manusia seharusnya hidup. Dan menurut Charles Taylor yang paling banyak tidak tercakapkan dalam komitmen kita adalah agama Kristen. Ini sesuatu yang indah, ini seorang filsuf yang bicara. Dia mengatakan apa yang menjadi mentalitas Kristen di dalam orang yang bukan Kristen, itu sering kali keluar tanpa kata-kata. Misalnya ketika mereka melihat ketidak-adilan terjadi, mereka mengatakan “harus adil”. Saudara jangan mengatakan “keadilan kan konsep umum dimana-mana”, memang benar keadilan itu konsep umum. Tapi keadilan sejati adalah konsep yang untuk menjadikan adil itu perlu korban. Ini sesuatu yang hanya Kristen yang menekankan. Maka ketika orang mengatakan “mesti adil”, tapi keadilan sulit, mesti berkorban, ini konsep Kristen. Jadi ada begitu banyak komitmen yang sebenarnya sangat Kristen yang tidak disadari ada di dalam jiwa manusia waktu mereka sedang melihat ciptaan ini, melihat lingkungannya. Maka orang Kristen harus berperan karena mereka yang asli punya identitas ini. Bukan cuma sebagian dari suara ensemble kita yang membentuk identitas kita itu sebagian Kristen, tidak. Harusnya semuanya Kristen, cara kita melihat politik, cara kita bertindak di keluarga, cara kita bersikap ke pasangan, cara kita bersikan ke anak, seharusnya semuanya Kristen. Apa tanda Kristen? Iman kepada Kristus dan nikmat dari Kristus yang kita rasakan. Maka kalau seorang suami mengatakan “saya Kristen, Kristen itu harus adil, harus tegas, harus ngotot”, lalu tidak pernah menjadi teladan, dia ngawut dalam Kekristenannya. Itu bukan iman Kristen yang sejati. Iman Kristen itu menarik, Saudara berkomitmen kepada Kristus tanpa ada yang memaksa. Maka Paulus mengatakan “jika engkau mengaku dengan mulutmu  Yesus adalah Tuhan dan percaya dengan hatimu  Allah telah membangkitkan Dia, maka kamu menggenapi Yesaya 28”. Menggenapi dengan cara engkau membangun kota yang baru itu, “tapi kan baru ada batu penjuru”, engkau sudah mulai menjadi batu-batunya. Batu-batu yang menunjukkan keadilan dan kebenaran di dalam hidup. Dan inilah yang Tuhan masukkan ke dalam budaya besar yang sudah ada, entah itu Babel, entah itu Amerika, entah itu Indonesia atau dimana pun. Ini bukan kesalahan, Indonesia adalah budaya besar yang sedang berkembang menjadi makin maju. Ketika Saudara ada di dalam budaya besar mana pun, Saudara berbagian sebagai orang yang menunjukkan identitas Kristen. Bagaimana bisa terjadi? Dengan mengakui Yesus itu Tuhan kita, bukan kita, bukan uang, bukan dunia. Dan Yesus memberikan nikmat kepada kita, maka kita akan praktekkan kebenaran dan keadilan. Kita akan jalankan cinta kasih, kita akan jalankan keadilan, kita akan jalankan kebenaran. Bisakah ini kita jalankan dengan sempurna di tengah dunia yang bobrok? Tidak, tapi kita akan perjuangkan ini. Keindahan dari Yesaya 28 adalah ini nubuat. Ini bukan pernyataan “kamu harus menyempurnakan Yerusalem baru”. Tuhan mengatakan ada batu penjuru. Paulus tidak mengatakan “sekarang batu penjurunya sudah menjadi bangunan sempurna”, Paulus tetap mengatakan “batu penjuru”. Siapa batu penjuru? Kristus. Lalu bangunannya mana? Bangunannya sedang dimulai. Jangan lengah karena kegagalan, maju lagi. Jangan malas karena kegagalan, majulah, ini sesuatu yang Paulus sedang perintahkan. Iman kepada Kristus adalah pembangun kebudayaan yang paling penting di dalam budaya mana pun. Mari kita menjadi orang-orang yang menyadari ini. Dryness mengatakan keunikan menjadi manusia dalam budaya adalah dia menyadari keunikan lokal dia. Saudara ada di dalam budaya besar, Saudara punya keunikan yang tidak semua orang warisi yaitu keunikan sebagai orang Kristen. Dan menurut Dryness, Paulus adalah seorang yang mengalami pengaruh besar ini. Bayangkan, sebelumnya dia punya identitas agama yang membuat dia mau bunuh orang Kristen. Budaya membuat dia menjadi pembunuh. Setelah dia kenal Kristus, budaya baru membuat dia menjadi yang mengasihi di tengah-tengah pembunuh. Dia mengatakan “saya rindu mengabarkan Injil kepada orang Yahudi”. Setelah perjalanan misi selesai, dia mau ke Yerusalem mengabarkan Injil kepada orang Yahudi. “Kalau kamu melakukan itu, kamu akan dibunuh”, “tidak apa-apa, biar kita lihat kontrasnya budaya bunuh dan budaya kasih”. Ini yang Paulus katakan di dalam Roma, nyambung dengan ini. Yesaya 28 mengatakan “kamu menyembah kematian, kami menyembah sang batu penjuru”. Kristus adalah hidup, Kristus adalah kasih. Dunia adalah agung kelihatannya, tapi di dalamnya berisi identitas yang menyembah kematian. Mari kita berbagian menghidupi identitas kita dengan penuh sukacita. Di dalam ketakutan kita punya tempat berseru, di dalam sukacita kita punya tempat untuk berdoksologi, memuji di dalam kegalauan. Kita punya Roh Kudus yang membimbing kita. Mari jadikan identitas Kristen pengaruh besar, pengaruh yang membuat orang tertarik kepada kehidupan yang kita pilih untuk jalani. Kiranya Tuhan memberkati kita

(Ringkasan ini belum diperiksa pengkhotbah)

« 3 of 3