Kamu tidak bisa pegang apa pun karena tidak ada cara pandang dunia yang bisa melewati kekacauan dan kehancuran yang benar-benar menyakitkan dan menakutkan di dalam dunia ini. Saudara tidak bisa memegang apa pun untuk menolong Saudara, tidak bisa memegang apa pun untuk Saudara menerima realita yang dari dunia ini. Dunia ini menawarkan banyak kekacauan, kehancuran dan kegelapan yang Saudara tidak bisa bayangkan. Orang-orang yang belum mengalami perang akan mengatakan “hidup saya sulit karena hal-hal seperti ini”, tapi ketika orang yang pernah mengalami perang akan mengatakan “kadang-kadang kita terlalu cerewet, engkau tidak mengerti jahatnya dunia ini”. Kalau Saudara mengatakan “itu kan orang yang sedang perang, kita tidak sedang perang, konteksnya lain”. Tapi pertanyaan yang perlu dipikirkan, mengapa ada orang punya konteks sangat berat, mengapa ada orang yang sepertinya lebih mudah. Lalu yang sudah dapat lebih mudah, tetap tidak mengerti indahnya dan mudahnya hidup yang dia miliki, mulutnya terus tidak terkontrol mengatakan “hidup saya sangat berat.” Kadang-kadang kita perlu berikan pengertian toleransi melihat kekacauan dan menyadari sebenarnya kita masih mendapatkan anugerah besar. Saya tidak mau kita meremehkan pergumulan yang dialami, tapi saya mesti mengajak kita berpikir bahwa pergumulan yang kita alami pun adalah bagian yang mungkin belum terburuk dialami manusia. Akan ada keadaan-keadaan buruk dimana tidak ada iman, tidak ada worldview, tidak ada cara pandang yang bisa menolong Saudara. Ketika orang hidup di dalam zaman modern dengan segala kenikmatan teknologi dan segala kenyamanan hidup yang diberikan oleh pemerintahan yang maju dan keuangan yang kuat, mereka tidak mengerti hal ini. Banyak orang setelah hidupnya enak, menyingkirkan Kekristenan. Tapi Margaret Mitchell mengatakan “kalau kamu melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di abad-abad pertama Kekristenan, kamu akan mengerti mengapa orang tidak mau meninggalkan Kekristenan”. Kalimat ini membuat saya senang. Jadi ada peristiwa apa di dalam abad-abad awal yang membuat orang tidak mau meninggalkan Kekristenan. Salah satu argumen yang dia katakan adalah “karena Kekristenan memberitakan kabar baik, ada kebangkitan. Kalau orang tidak pegang ini, mereka tidak punya kekuatan untuk pegang apa pun di tengah dunia yang penuh pergolakan seperti zaman itu”. Ini membuat saya sadar satu hal, kalau kekacauan dunia ini ditampilkan dengan maksimal, baru orang akan sadar “agamaku tidak sanggup, tidak ada yang sanggup menjaga saya untuk bisa menikmati hidup dengan positif atau baik. Semua hal yang terjadi akan membuat saya meragukan apa pun”. Tetapi heran, abad ke-2 adalah abad dimana Kekristenan menyebar cepat sekali. Mengapa bisa menyebar cepat? Karena kehidupan yang berat dan sulit dialami oleh siapa pun, membuat mereka sadar berhalanya tidak ada yang bisa menolong, tidak ada selain Kristus. Kadang-kadang kalau kita melihat lagu-lagu hymn kita, Kekuatan serta Penghiburan, Janji Tuhan Setia, waktu kita menyanyikan ini dalam keadaan tenang, kita sulit mengalami kelimpahannya. Kita cuma tahu “kekuatan serta penghiburan, hibur apa? Saya tidak perlu terlalu dihibur? Hidup saya baik. Saya punya orang tua yang stabil, saya punya anak yang baik, keuangan yang masuknya juga stabil. Lalu penghiburan apa, kekuatan apa, saya perlu dikuatkan untuk apa?”, kita tidak dapat. Dan heran, semakin bagus level hidup, semakin Kekristenan tidak lagi menjadi dominan. Kalau Saudara bertanya mengapa Amerika dan Eropa mengalami post Christian era? Kadang-kadang jawaban mengerikannya adalah karena mereka terlalu nyaman. Mengapa negara-negara maju tidak lagi memegang Kekristenan? Isunya seperti ini, karena negara maju sudah pintar maka mereka menolak Kekristenan. Tapi kalau Saudara survei baik-baik, mereka tidak terlalu pintar, banyak tema penting dari masa lalu yang sudah mereka lupakan. Kalau begitu kenikmatan hidup membuat orang merasa tidak perlu Dia yang tersalib. Tuhan yang tersalib hanya dipahami oleh orang yang sedang dalam bahaya disalib, Tuhan yang menderita adalah tema unik yang menyenangkan bagi orang dalam penderitaan. Kalimat Bonhoeffer sangat indah, “ketika engkau sampai dalam hidup dimana engkau tahu tidak ada lagi yang bisa menolong, maka engkau akan terkejut betapa relevannya salib saat itu. Baru engkau akan mengatakan tidak ada lagi yang bisa menolong kecuali Allah yang tersalib”, kalimat itu mengharukan sekali. Maka Margaret Mitchell mengatakan mengapa Kekristenan begitu populer di abad-abad penuh pergolakan? Karena hanya Kekristenan yang menawarkan cara pandang berpengharapan di dalam keadaan dimana pengharapan itu habis sama sekali. Sekarang kita belum teruji, karena itu dengan mudah mengatakan “memangnya agama Kristen benar? mungkin agama lain yang benar”, kita mudah main-main, hidup masih enak. Tapi ketika hidup dalam keadaan paling kacau, perkataan Bonhoeffer akan menjadi nyata “Sekarang kamu tahu tidak ada yang bisa menolong kecuali Dia yang tersalib”. Kalau orang Kristen mengatakan “saya mau pindah agama, saya tidak suka lagi Kekristenan”, silahkan pindah, jalankan saja. Harap engkau mengalami keadaan dimana engkau mengatakan “tidak ada lagi yang bisa menolong, kecuali Tuhan yang tersalib”. Ini yang ditawarkan oleh Kekristenan. Roma 8 adalah berita penghiburan di tengah kesulitan dan penderitaan. Tentu saya tidak mengatakan kita ini mau cari sulit sendiri, nanti Saudara setelah pulang dari sini, Saudara memukuli orang lalu dipukul balik dan Saudara mengatakan “hidupku penuh dengan penderitaan, dipukul orang, sekarang dipenjara”, tentunya itu cara hidup yang bodoh. Yang Alkitab mau tawarkan adalah kalau engkau tidak punya kekuatan beriman, engkau tidak akan mengerti harganya Kekristenan. Dan kadang-kadang harga itu baru Tuhan pamerkan dalam keadaan penderitaan. Tentu kita minta bijaksana dari Tuhan, sehingga meskipun tidak ada dalam keadaan sengsara yang paling dalam, Saudara pegang satu pengertian “kalau aku berpegang pada salib Kristus aku akan menikmati kebangkitan sebagai pengharapan yang membuat aku sanggup melihat hidup dengan cara yang lebih baik”, ini yang Kitab Suci ajarkan. Kalau Saudara coba pikirkan tentang hidup, Saudara akan sadar Saudara bisa bawa hidup dalam keadaan yang semakin kosong dan semakin tidak berpengharapan, semua bisa dinihilkan. Ada satu novel dari Albert Camus, dia menulis judulnya The Plague. Dia mau mengkritik maraknya Nazi yang mematikan bangsa. Ini agak mirip dengan keadaan pandemi kita sekarang, dimana respon orang-orang melihat pandemi itu beragam. Di dalam buku itu dikatakan kamu bisa mengatakan apa pun, tapi fakta bahwa hidup kita ini hanya menantikan pandemi selanjutnya, sepertinya itu real. Dan coba pikirkan kalau kehidupan gelap seperti ini, kalau begitu hidup itu apa? Dan ini bahaya ketika cara pandang seperti ini populer, Saudara akan sangat sepi dan kosong hatinya.