Di dalam Kekristenan kita percaya prakondisi untuk pengetahuan. Tradisi Kristen terutama dari Kuyper percaya bahwa pra-pengetahuan, prakondisi untuk pengetahuan itu adalah agama. Iman Kristen adalah prakondisi untuk pengetahuan. Prakondisi lain dengan kondisi, Saudara memahami kondisi pakai prakondisi. Saudara menilai segala sesuatu memakai pra dari apa pun yang Saudara sedang usahakan untuk menilai. Jadi ada prakondisi untuk pemahaman tentang sains, sosial, ilmu, dunia seni dan segala sesuatu. Prakondisi ini menurut Kuyper dan para penerusnya, adalah iman. Iman Kristen adalah prakondisi untuk semuanya. Kuyper adalah orang yang pernah dipengaruhi liberal, kemudiam dipengaruhi oleh puritan Belanda, dia mencari mana sistem yang paling mungkin untuk mempresentasikan Kekristenan menjadi prakondisi bagi kehidupan manusia. Saya mau cari tentang ilmu teknologi, saya mau cari teori tentang ekonomi, sosial, matematika, seni dan segalanya, prakondisinya apa? Kuyper mengatakan “iman Kristen”. Kalau prakondisinya iman Kristen, apakah orang yang bukan Kristen tidak bisa kembangkan? Mereka bisa mengembangkan tapi mereka tidak bisa mengembangkan dengan pemahaman yang benar, prakondisinya tidak ada. Secara praktek mereka menjalankan, tapi secara pengertian mereka tidak tahu bahaya dan pukulan balik dari apa yang dijalankan. Di dalam kepintaran dari seorang bernama Elon Musk, dia mulai berpikir adanya ekstensi wadah untuk otak. Pikiran kita selalu berinteraksi dengan badan dengan cara yang sebenarnya bisa dipahami secara teknologi. Pikiran kita bisa beraktivitas dengan cara yang bisa dimengerti secara teknologi. Maka mungkinkah ada cara untuk pikiran kita ditampung hal lain yang bukan fisik yang terbatas ini, ini yang dia mulai cari dan kembangkan. Elon Musk mulai berpikir bagaimana Mars bisa menjadi tempat tinggal, dan dia juga sedang berpikir bagaimana otak manusia bisa beraktivitas di dalam sebuah wadah yang baru. Dia ini orang yang pintar, mungkin dia bisa menemukan teknologinya, mungkin dia bisa menemukan caranya, tapi dia tidak mengerti bahwa di dalam iman Kristen bahwa manusia tidak bisa dipisah antara pikiran dan tubuh. Dia bukan roh yang ditampung oleh tubuh, dia adalah tubuh yang satu dengan rohnya. Maka tubuh manusia adalah sesuatu yang sangat penting. Teologi tubuh di dalam Alkitab sangat jelas ditekankan, kita adalah tubuh Kristus, tubuh adalah penting. Maka pencarian untuk meletakkan pikiran di tempat yang bukan tubuh, pencarian itu akan dianggap tidak tepat bagi kemanusiaan dalam Kekristenan. Ini yang tidak disadari jika orang membangun teori bukan dari landasan iman Kristen. Tapi kemudian Kuyper mencari iman Kristen yang mana yang bisa jadi prakondisi untuk pengertian. Dan dia menemukan sistem Calvinis adalah satu-satunya yang cukup luas, tidak mempunyai tendensi untuk ketularan cara berpikir dunia. Dia merasa dari tradisi abad pertengahan banyak tularan dari Neoplatonis dan juga dari Aristoteles. Di dalam tradisi Lutheran banyak hal yang sudah baru dan sangat penting, tetapi belum dikembangkan secara utuh, belum ada pengembangan tentang bagaimana ciptaan harusnya dilihat, belum ada pengembangan tentang bagaimana ibadah harus diatur, perkembangan seperti itu menurut Kuyper ada di dalam tradisi Calvinis. Maka tradisi teologi yang benar, kemudian cara menerapkannya ke dalam masyarakat yang benar, itu sangat penting untuk berhikmat. Tapi ada prakondisi untuk hikmat, apa itu prakondisi untuk berhikmat? Takut akan Tuhan. Takut akan Tuhan adalah prakondisi untuk berhikmat. Mengenal Tuhan dengan benar adalah prakondisinya. Hati yang takut akan Tuhan, hati yang melayani, melayani dengan menyembah Tuhan dan melayani dengan melayani sesama. Pelayanan di hadapan Tuhan adalah dengan menyembah. Pelayanan di hadapan sesama adalah dengan menjadi hamba bagi yang lain, yang mengerjakan apa yang saya kerjakan demi kepentingan orang lain. Maka kalau Saudara punya iman lebih baik, Saudara akan punya jiwa melayani lebih baik. Saudara punya iman lebih tinggi, Saudara punya jiwa melayani lebih tinggi. Saudara mempunyai jiwa melayani yang rendah, imanmu iman yang lemah, jangan mau di iman yang lemah terus.

Maka kita lanjutkan di dalam pembahasan Roma pasal 14, Paulus mengatakan yang lemah imannya terima karena yang lemah imam punya kecenderungan tolak orang lain yang beda dengan mereka. kita tidak anggap orang dari tradisi Pentakosta lebih rendah, dari Karismatik lebih rendah, tidak. Tetapi kita tahu bahwa kita punya berkat untuk mereka, kita tahu kita punya hal yang bisa memberkati mereka, mari datang dan belajar, mari datang dan nikmati. Ini yang saya pikir perlu untuk kita pahami. Maka Paulus mengingatkan “kamu orang yang mempunyai pemahaman iman yang baik, jangan tolak orang yang lemah imannya, tetapi jangan jadikan dia partner dialogmu. Dia belum punya jiwa melayani, dia belum punya jiwa merendahkan diri, sulit untuk jadikan orang itu teman kamu berdiskusi dan berbicara”. Lalu Paulus melanjutkan dengan praktek bagi orang yang memiliki kekuatan tradisi dan juga kekuatan agama yaitu siapa yang tidak makan, jangan menghina orang yang makan. Tetapi Paulus juga mengatakan siapa yang makan jangan menghina orang yang tidak makan. Saya bacakan di ayat yang ketiga, siapa yang makan? Orang non-Yahudi makan apapun. Jangan menghina orang yang tidak makan dan siapa yang tidak makan jangan menghakimi orang yang makan, sebab Allah telah menerima orang itu. Saudara, yang makan jangan menghina yang tidak makan. Bagaimana menghina dengan mengatakan “kamu tahu tidak kalau kamu harusnya boleh makan apa pun”, itu bukan cara menghina. Cara menghinanya adalah dengan Saudara menunjukkan kebebasanmu makan sebagai sesuatu yang bisa dipraktekkan dengan mudah di depan dia. Orang yang bisa makan apa pun, jangan jadikan orang yang tidak makan jadi tersandung karena makan, ini caranya tidak menghina. Di dalam pengertian Paulus, siapa yang makan wajib memasukkan yang tidak makan ke dalam komunitasnya. Dengan kata lain, siapa yang lebih bebas Kekristenannya wajib menjaga kondisi di mana orang yang mengekang diri dan tidak bebas, tetap merasa diterima di dalam kelompok yang bebas. Maka kalau gereja memegang sesuatu, tradisi yang penting dan mereka memegang ini bukan karena selera, tapi karena mereka percaya mereka harus perjuangkan ibadah seperti ini, “di hadapan Tuhan saya mesti jalankan ini dengan serius”. Maka kelompok ini adalah kelompok yang harus tetap merasa diterima di dalam kelompok yang lebih bebas. Orang Yahudi tidak mungkin makan makanan haram, lalu orang non-Yahudi terbiasa dengan makanan apapun, tidak ada pembedaan antara yang haram dan tidak, bagaimana mereka harus berkomunitas di tengah-tengah orang-orang yang ada yang tidak makan makanan tertentu? Paulus mengatakan “jika kamu mau bersekutu dengan orang yang tidak makan, siapkah kamu tidak makan?”, “tapi saya boleh makan apapun”, “iya, tapi kalau kamu makan, kamu makan untuk Tuhan, bukan karena seleramu. Kamu tidak makan, juga kamu tidak makan untuk Tuhan, bukan karena seleramu”. Yang tidak makan melakukan itu untuk Tuhan, kamu yang makan lakukan untuk Tuhan bukan? “Ya kami lakukan untuk Tuhan”, kalau begitu maukah kamu lakukan untuk Tuhan dengan tidak makan? “Mana boleh kebebasan kami dihalangi”. Justru kalau kamu menekankan kebebasanmu dan bukan menekankan kewajibanmu di hadapan Tuhan, kamu jadi orang yang lemah iman. Kalau kamu orang yang kuat imannya, layani orang yang tidak makan. Bagaimana layani orang yang tidak makan? Dengan menyiapkan komunitasmu untuk siap tidak makan bersama dengan dia. Ini sesuatu yang sulit kita paralelkan dengan kondisi kita sekarang. Jadi di dalam kota Roma, orang Kristen Yahudi dan orang Kristen non-Yahudi terpisah. Mereka punya kebiasaan setiap kali ibadah selalu diselesaikan dengan makan bersama, jadi mereka orang Yahudi, karena setelah kebaktian biasanya ada makan. Makan bersama adalah tradisi yang dibiasakan dari Yahudi dan juga kebudayaan Roma dan Yunani. Makan bersama bukan cuma demi mengenyangkan perut tapi perlu ada persekutuan. Setelah makan ada Perjamuan Kudus. Perjamuan Kudus dilanjutkan setelah makan, ini penting untuk kita pahami Perjamuan Kudus adalah tanda persekutuan. Maka kalau Saudara makan dengan siapa di meja itu, Saudara siap bersekutu dengan dia. Bagaimana sikap orang yang non-Yahudi, yang Kristen, mengatakan “kamu tidak mengerti ya? Kita boleh makan apapun, Yesus mengatakan bukan apa yang masuk ke mulut yang menajiskanmu, tapi apa yang keluar”. Tapi orang Yahudi itu akan mengatakan “saya mengerti, tapi saya tidak biasa. Saya sudah dididik seperti ini. Maaf saya tidak ikut perjamuanmu”. Kalau dia tidak ikut perjamuan berarti dia tidak ikut Perjamuan Kudus. Lalu bagaimana solusinya? Paulus mengatakan solusinya adalah yang tidak Yahudi membuat menu Yahudi. Kekang kebebasanmu demi Tuhan, jalankan kebebasanmu demi Tuhan, bukan demi dirimu sendiri. Ini kira-kira yang Paulus mau tekankan. “Kami bebas” itu betul. Tapi kekang kebebasanmu demi saudaramu, “saudaraku aneh, imannya lemah. Mereka imannya lemah karena mereka tidak mau bersekutu dengan kamu, kamu juga tidak mau bersekutu dengan dia, kamu jadi lemah dengan dia”. Gereja kalau terus-menerus mempraktekkan merendahkan orang lain, ini gereja yang makin rendah iman. Gereja tidak mempunyai peningkatan iman, bukan pertumbuhan iman malah regresi iman, pengerdilan iman. Maka siapa yang tidak makan harus bisa diterima di kelompok orang yang makan. Tuhan memang tidak melarang kamu makan, tapi Tuhan melarang kamu usir saudaramu. Kamu mengusir saudaramu dengan menumu. Ini kadang-kadang jadi sesuatu yang kita lupa untuk pikirkan, makan demi persekutuan sulit sekali bagi orang yang lidahnya sangat sulit dan manja. Orang yang punya makanan favorit, kalau tidak makan ini sulit “saya tidak mau makan”, itu sulit. Satu kali ada seorang hamba Tuhan yang lebih senior dari saya tanya “kamu punya jiwa misionaris?”, saya mengatakan “maksudnya jiwa misionaris itu apa?”, “dilihat jiwa misionaris dari lidah. Lidahmu lidah misionaris atau tidak”. Lidah misionaris itu apa? Lidah misionaris itu berarti kamu melatih diri untuk siap makan apapun dan menikmatinya. Misionaris punya hati ditentukan oleh lidah dulu”. Saya tidak tahu ini bercanda atau tidak, tapi saya pikir ada unsur bercandanya. Namun bagi orang Yahudi dan orang Kristen di Roma itu kena sekali, lidahmu menentukan saudaramu akan diterima atau tidak, yang kamu makan akan menentukan saudaramu diterima atau tidak. Maukah kamu terima dia? “Mau”, kalau begitu apakah kamu mau mengorbankan lidahmu? “Mau”, itu baru benar. Lalu apa aplikasinya buat kita? Kita tidak ada kesulitan terima saudara karena semua saudara kita makannya mirip-mirip dengan kita. Namu, apa yang kamu nyaman maukah kamu cegah untuk tidak menikmati itu demi saudaramu? Kita semua pasti tahu, kita tidak mungkin nyaman dengan adanya kelompok yang sudah akrab dimasuki orang lain. Tapi coba pikir siapkah kenyamanan bersekutu itu dipecah demi hadirnya orang lain? Siapkah Saudara kehilangan yang Saudara suka demi hadirnya orang lain? Karena ini yang Paulus katakan kepada orang yang makan, siapkah kamu kehilangan yang kamu suka demi orang lain? Karena yang kamu makan tidak harus kamu makan. “Maukah kamu kehilangan kebebasanmu?”, “mengapa mesti kehilangan kebebasan?”, karena menerima saudaramu, tampung dia, supaya kamu tidak jadi orang lemah iman terus. Orang lemah iman harus diterima. Tapi orang lemah iman sulit terima orang lain, “kami mau makan ini, terserah mereka orang Yahudi bodoh, sudah dibilang tidak apa-apa tapi masih tidak mau. Sudah dibilang semua makanan halal, masih ada haram-haraman, ya sudah terserah mereka”, tidak bisa. Saya mau menjadi kelompok yang bisa diterima orang lain. Saya mau kehilangan kesenangan demi jangkau orang lain. Maka kehidupan Kristen bukan cuma untuk kesenangan meskipun kehidupan Kristen didasari oleh sukacita dan damai sejahtera. Tapi kehidupan Kristen bukan tentang kesenanganku, mengapa kamu datang ibadah? Cari kesenangan? Bukan, Saudara cari cara untuk menjadi orang yang punya iman yang bertumbuh. Apa tanda iman bertumbuh? Engkau mampu terima orang lain. Ini yang Paulus katakan “siapa yang makan jangan menghina orang yang tidak makan”. Tapi Paulus juga menegur orang yang tidak makan “yang tidak makan jangan menghakimi orang yang makan, sebab Allah telah menerima orang itu”. Orang yang lebih ketat iman, lebih ketat jalankan Kekristenan cenderung sombong. Orang yang cenderung longgar, cenderung menganggap bodoh orang yang ketat. Yang ketat dianggap bodoh sama yang longgar, yang longgar kurang bisa toleransi keketatan dari orang yang ketat. Ini namanya kehidupan komunal. Saya tidak mau menjadi orang yang membuat orang lain jatuh karena saya lakukan apa yang mereka sangat pegang tidak boleh. Maka siapa yang tidak makan jangan anggap rendah orang yang makan. Lalu bagaimana solusinya?

« 2 of 4 »