Saudara, mari kita membaca Roma 12: 2-8. Demikian firman Tuhan, “janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah, apa yang baik yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku. Aku berkata kepada setiap orang di antara kamu, janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi daripada hal yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing. Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama. Demikian juga kita, walaupun banyak adalah satu tubuh di dalam Kristus, tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain. Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita. Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita.vJikalau karunia untuk melayani baiklah kita melayani. Jika karunia untuk mengajar baiklah kita mengajar. Jika karunia untuk menasihati baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas. Siapa yang memberi pimpinan hendaklah ia melakukannya dengan rajin. Siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita”. Saudara, ayat yang ketiga ini ayat yang sering kali disalah-mengerti, disini dikatakan “berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku. Aku berkata kepada setiap orang di antara kamu, janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan” di dalam bahasa asli tidak ada hal-hal, jadi ini bukan mengenai berpikir, ini adalah thinking highly of oneself jadi sebenarnya diterjemahkan dengan lebih akurat dengan kalimat seperti ini. Aku berkata kepada setiap orang di Antara kamu, janganlah kamu memikirkan bahwa kamu tinggi. Jangan highly of oneself. Jadi sebenarnya diterjemahkan dengan lebih akurat, dengan kalimat seperti ini, “aku berkata kepada setiap orang di antara kamu, janganla kamu memikirkan bahwa kamu tinggi”, ini adalah lawan kata dari kalimat berikutnya yaitu “hendaklah kamu mampu menguasai diri di dalam level perendahan diri atau kerendahan hati”. Itu sebabnya pengertian di dalam ayat 3 ini akan berlanjut ke dalam ayat selanjutnya yang berbicara tentang hidup dalam komunitas. Tidak ada orang bisa hidup di dalam komunitas dengan baik jika dia berpikir tinggi tentang dirinya. Ini sebenarnya paralel dengan apa yang Paulus jelaskan di dalam surat Filipi 2. Di Filipi 2, Paulus memberikan nasihat yang mirip dengan kata-kata yang beda. Dikatakan bahwa di dalam Filipi 2 kita harus belajar untuk melihat kepada Kristus dan meneladani Dia. Dalam hal apa kita meneladani Kristus? Dalam hal ini, di dalam Filipi 2 “yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan dirinya dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia”. Inilah yang dimaksudkan di dalam Roma 12 juga. Ini berarti keadaan menguasai diri, sehingga kita ada di dalam kondisi tidak mudah menonjolkan diri. Tidak mudah punya rage atau amarah, tidak mudah punya perasaan sedih yang membuat kita depresi dan tidak mudah mempunyai perasaan takut yang membuat kita mundur. Ini penguasaan diri yang kalau kita pelajari di dalam tradisi Yunani sangat di populerkan oleh tradisi stoik atau stoisisme. Orang-orang stoisisme sangat menekankan penekanan diri atau penahanan diri seperti ini. Jadi ada unsur yang sangat dipelihara di dalam ajaran stoik bahwa kita mesti punya pengendalian kepada diri sendiri. Hal-hal yang bersifat pelampiasan yang tak terkontrol itu pasti buruk. Orang tidak bisa kuasai amarah, buruk, orang tidak bisa kuasai rasa takut, buruk, orang tidak bisa kuasai rasa sombong, buruk, orang tidak bisa kuasai ingin terus menjadi utama, buruk. Inilah yang disebut dengan sophroneo atau di dalam istilah filsafat sophronesis. Ini sesuatu yang dipopulerkan untuk diajarkan oleh kaum stoik. Di dalam tradisi stoisisme yang sangat populer pada zaman Perjanjian Baru, istilah initidak asing, maka Paulus menggunakan istilah kebalikannya, “jangan kamu hyper, jangan kamu mempunyai perasaan melampaui atau perasaan angkuh yang membuat kita merasa lebih penting dari orang lain. Ini jadi satu bijaksana atau satu virtue atau kebajikan yang Paulus ajarkan di dalam pasal 12 ini dan merupakan sesuatu yang jadi penerapan dari ayat yang kedua. Perhatikan ayat yang ke-2, “janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah”, mengapa mesti berubah? Karena pikiranmu sudah diperbarui. “Pikiranku sudah diperbarui, apa yang baru dari pikiranku?”, yaitu bahwa engkau tidak lagi menganggap tinggi dirimu you did not think highly of yourself anymore. Kamu tidak anggap dirimu tinggi karena kamu tahu bagaimana harus hidup di dalam komunitas. Ini yang saya mau gali di dalam ayat-ayat yang kita baca, mungkin kita tidak tuntas membahas seluruh ayat yang kita baca, tetapi saya ingin fokuskan ke ayat yang ketiga ini. Bahwa kita sangat perlu untuk mempunyai perasaan mampu menganggap diri sebagai bagian dari sebuah komunitas. “Saya part dari komunitas, saya bagian dari kelompok dimana saya ada, saya tidak lebih tinggi dari yang lain”. Ini merupakan kebalikan dari apa yang diajarkan di dalam dunia. Dunia mengajarkan keinginan sukses. Seringkali kita berpikir “kalau begitu orang Kristen tidak punya keinginan sukses”, bukan, orang Kristen mengerti sudut pandang yang beda, bukan tidak mengejar hal-hal tadi, tapi punya sudut pandang yang beda. Kadang-kadang sulit untuk arahkan orang punya sudut pandang yang beda. Karena kita terus berpikir sudut pandang kita sudah oke, kita cuma perlu tambahan informasi, itu yang problem. Kadang-kadang orang sulit memahami Alkitab bukan karena dia kurang pintar, tapi karena dia menolak untuk mengubah cara pandang, perspektif. Itu sebabnya Alkitab sebenarnya memperbarui cara kita berpikir, ini yang dimaksudkan di dalam ayat yang kedua. Kamu tidak lagi punya mode berpikir dari dunia ini, sudah diubah. Bukan berarti Saudara tidak perlu berpikir, ini tentu satu ajaran yang kacau sekali. Kekristenan justru identik dengan bertanggung jawab di dalam mengetahui identitas Kristen. Di dalam buku yang ditulis oleh Carl Trueman, dia tulis TheReal Problem of Evangelical Mind, ini satu kritik terhadap buku dari Mark Noll. Mark Noll tulis buku The Problem atau The Scandal of Evangelical Mind, di dalam buku itu, kalimat utama menurut Noll adalah bahwa evangelicals don’t have a mind, ini menghina sekali. Orang Injili tidak punya pikiran, dia sendiri orang Injili. Mark Noll sedang kritik dirinya, di kelompoknya karena banyak orang yang tidak mau berpikir, menurut dia. Tapi kalau Trueman mengkritik, bukan tidak mau mikir, tapi tidak mau tahu tentang pengakuan iman. Tidak mau tahu kredo, tidak mau tahu apa yang kita percaya, tidak mau pikir doktrin, tidak mau pikir tentang pendirian teologi ada di mana? Ini problem. Kalau kita tidak mau berpikir tentang identitas kita sebagai orang Kristen, maka kita akan jadi orang yang cuma tempel label Kristen. Tetapi yang tidak pernah mengetahui apa perubahan yang harusnya terjadi pada saya setelah saya jadi Kristen. Saya harap kita menangkap ini dari ayat yang kedua, jangan lagi jadi sama dengan dunia karena kamu sudah diperbarui pikirannya. Cara kita berpikir sudah lain. Apa beda cara kita berpikir dengan cara dunia berpikir? Dunia tidak mampu berpikir atau tidak mau berpikir bahwa seluruh apa yang ada ini milik Tuhan. Ini pikiran yang tidak mungkin ada pada dunia. Orang dunia tidak terima kalau seluruh keberadaan ini milik Tuhan. Jadi ada perasaan di dalam cara berpikir begitu bahwa dunia ini netral, kita bisa tafsirkan semau kita, kita bisa gunakan semau kita. Kita bisa pikirkan dengan cara yang kita mau, kita bisa susun kembali struktur tentang memahami alam sesuai yang kita mau. Di dalam zaman modern, cara berpikir yang bersifat scientific itu tentu sesuatu yang orang Kristen juga suka. Cara berpikir yang bersifat scientific seringkali dibenturkan dengan Tuhan. Ini cara berpikir yang salah. Tuhan tidak harus anti cara berpikir yang bersifat akademik atau scientific. Tapi ini yang berkembang secara populer, “kalau kamu sudah mengerti bagaimana memahami alam dengan penyelidikan akademis dan scientific, maka kamu tidak perlu Tuhan”. Ini kesalahan berpikir yang sampai sekarang dunia masih miliki, Saudara akan menemukan benturan antara beriman dan berilmu. Herannya sampai sekarang orang Kristen pun masih ada dalam pola pikir seperti itu. Kalau kamu beriman, jangan berilmu. Kalau kamu beriman, kamu tidak perlu pikir tentang dunia ekonomi, bahkan ada yang tanya misalnya “boleh tidak orang Kristen pakai asuransi?”, “mengapa tidak boleh?”, “karena itu kan duniawi”. Jadi teknik perhitungan untuk pengamanan dalam segi kesehatan dan lain-lain itu milik setan, ini tidak benar. Saya tidak mendorong Saudara untuk menjadi orang yang terlalu khawatir, tapi saya juga tidak mau kita menjadi orang yang tidak punya pertimbangan karena berpikir mempertimbangkan memikirkan dengan cara yang tepat dan bertanggung jawab, itu bagian dari Kekristenan. Orang Kristen adalah orang yang mau pikir, kalau Saudara diajarkan untuk tidak usah pikir tentang iman, Saudara sedang diajarkan oleh utusan dari setan, bukan utusan dari Roh Kudus. Orang yang berpikir tentang imannya dengan serius, dia akan jauh lebih kuat dari pada orang yang tidak tahu bedanya menjadi Kristen dan tidak. Banyak orang terombang-ambing terus mengapa? Karena tidak mengerti apa yang inti dari Kekristenan, apa yang penting dari Kekristenan. Bahkan orang yang mau belajar sekalipun kadang-kadang dia belajar tahu banyak hal, tapi dia tidak tangkap esensi ini.
1 of 4 »