Orang tidak sadar bahwa perdebatan doktrin di dalam gereja adalah perdebatan yang wajib terjadi, tapi harus disertai dengan kedewasaan berargumen dan kedewasaan berdiskusi. Saya menemukan ini juga sesuatu yang punya aspek pastoral. Banyak orang punya masalah di keluarga karena kurang bisa memberikan argumen, kurang bisa berdebat dengan baik. Orang terlalu gampang hanyut ke dalam perasaan, perasaan dibenci, perasaan diserang, perasaan diancam sehingga membela diri tanpa memperhatikan argumen. Ini sesuatu yang bisa terjadi di dalam kehidupan kita sehari-hari. Coba perhatikan berapa banyak Saudara bertengkar, kalau Saudara bertengkar kalau mungkin direkam. Jadi sebelum bertengkar, izin dulu sama pasanganmu. Lalu Saudara silakan bertengkar, setelah itu sudah buat verbatimnya, lalu Saudara selidiki argumen-argumen aneh yang Saudara keluarkan atau yang pasanganmu keluarkan. Saudara akan melihat betapa bodohnya kita waktu kita sudah termakan emosi, betapa bodohnya kita berkata-kata. Ada orang mengatakan “iya memang kalau pertengkaran tidak pakai rasio selalu buruk, karena perempuan selalu pakai perasaan”. Saya akan koreksi mengatakan “dalam pertengkaran perempuan biasanya main perasaan, itu benar. Tapi laki-laki biasanya main ego”, jadi jangan pikir laki-laki juga bertengkar pakai rasio, itu omong kosong. Laki-laki pakai ego, perempuan pakai perasaan, dua-dua bertengkar, ya sudah habis. Makin lama makin runyam, lalu perlu konseling. Waktu konseling, yang konseling jadi bingung “apa yang kalian pertengkarkan?”, “suamiku tidak menghargai aku, suamiku tidak menghargai perasaanku”. Lalu yang suami mengatakan, “istriku tidak menghargai aku sebagai pemimpin”. Mengapa tidak menghargai sebagai pemimpin? “Karena saya sudah putuskan apa, dia serang keputusan saya”, istri mengatakan “saya tidak menyerang keputusanmu, saya cuma berikan pendapat. Masa berikan pendapat tidak boleh?”, ini diktator macam apa seorang istri tidak boleh memberikan pendapat. Lalu suami mengatakan “berikan pendapat boleh, tapi jangan serang saya sebagai pemimpin”, “siapa yang menyerang kamu sebagai pemimpin? Saya memberikan argumen”. Lalu istri juga marah, mengapa marah? “Karena suamiku tidak memperhatikan yang aku rasa”, ini menjadi pertengkaran bodoh. Coba kalau ada kemungkinan, Saudara lihat lagi verbatim pertengkaranmu, Saudara akan ketawa sendiri “mengapa saya begitu bodoh? Mengapa saya tidak berpikir jernih?”.
Maka cara berpikir jernih atau cara berpikir yang sehat itu yang Paulus harap ada pada gereja. Pikiran sehat akan menerima argumen yang sehat, pikiran sehat akan menerima doktrin karena ada argumen yang sehat yang dibagikan. Itu sebabnya jemaat yang malas pikirannya ditantang, yang malas dengarkan argumen-argumen yang ketat itu jemaat yang sulit bertumbuh. Dan gereja tidak boleh kompromikan hal ini. Mimbar tidak boleh jadi tempat di mana orang tidak bertumbuh secara sehat berpikir. Makin mendengar khotbah makin sehat berpikir, itu yang sehat. Karena waktu Saudara dengar khotbah, Saudara menyiapkan hati, ini kan yang sering didoakan, “Tuhan siapkan hati kami”, hanya saja pengertian hati kita dengan pengertian Alkitab beda. Kita mengaitkan hati dengan perasaan, sedangkan di dalam Kitab Suci hati adalah the seed of our inner self, diri kita, pikiran kita itu juga pakai kata hati. Jadi kalau kita mengatakan “Tuhan siapkan hatiku”, di dalam pengertian Alkitab siapkan hati berarti siapkan pikiran juga. Itu sebabnya waktu Saudara bertumbuh di dalam cara berpikir karena di gereja diajarkan demikian, itu baik. Gereja menjalankan fungsi membuat orang makin mampu berpikir sehat. Karena berpikir sehat adalah sesuatu yang Tuhan rancang ada pada manusia. Tapi dosa membuat manusia tidak sanggup berpikir sehat, tidak anggap itu penting, tidak anggap ini adalah satu keadaan normal bagi manusia. Kita sudah terlalu terbiasa dengan menjadi bodoh. Kita terlalu terbiasa dengan menjadi tidak kritis, kita menjadi terlalu terbiasa dengan tidak memberikan argumen dan tidak menerima ajaran benar karena argumen yang sesuai pikiran yang sehat. Itu sebabnya waktu orang-orang yang mengadili Martin Luther mengatakan “tarik ajaranmu, repent, bertobat, bakar buku-bukumu”. Martin Luther mengatakan “mana bisa? Karena buku-bukuku mengandung Kitab Suci, ayat Kitab Suci dan hatiku sudah terkait dengan Kitab Suci. Yang saya ajar adalah sesuai hati nurani dan hati nuraniku sudah terikat pada Kitab Suci. Jadi tolong buktikan kepada saya bahwa Alkitab ditafsir dengan akal sehat menentang ajaran saya. Kalau kamu bisa membuktikan Alkitab di tafsir dengan akal sehat, menentang ajaran saya, saya akan ubah semua”. Ini penting untuk kita pahami.