Pengakuan iman ini adalah pengakuan iman yang menjadi standar untuk gereja-gereja di Inggris dan gereja-gereja yang dikuasai atau gereja yang dapat pengaruh dari pemerintahan Inggris. Westminster Standard adalah pengakuan iman yang disusun oleh lebih dari 100 orang hamba-hamba Tuhan yang sangat-sangat terdidik di dalam teologi. Setelah Westminster Standard diterbitkan, langsung ada proyek berikut yaitu membuat, mencetak yang disebut dengan annotated bible. Annotated bible berarti ada tafsiran, ada tulisan penjelasan seperti study bible, hanya lebih kompleks. Lebih ringan dari commentary, tapi lebih lama, lebih panjang daripada study bible. Ini diterbitkan supaya orang bukan cuma mengerti “ada pengakuan iman, kita mesti percaya ini”, tapi supaya orang juga belajar menafsir Alkitab dengan benar. Maka kita mesti mengerti belajar adalah bagian dari kehidupan bergereja. Kehidupan bergereja tidak bisa lepas dari belajar. Kalau dikatakan “mengapa di gereja banyak belajarnya?”. Ini sama dengan tanya “mengapa di universitas banyak belajarnya?”. Saudara mau pergi ke universitas yang kerjanya cuma main-main? “Mari kita singkirkan rumus-rumus yang rumit. Mari kita bahas hal-hal yang gampang saja. Kalau mau belajar Fisika tidak perlu yang rumit-rumit, cuma lihat bagaimana cara merebus telur, bagaimana menyalakan kompor gas”. Ini bukan universitas, ini bukan institute pendidikan tinggi. Tetapi Saudara akan harap di dalam universitas atau institut pendidikan yang tinggi ada pengajaran. Demikian juga seharusnya orang berharap di dalam gereja ada pengajaran. Jika orang sudah tidak mengharap ada pengajaran di dalam gereja, itu membuat kehidupan bergereja menjadi sangat surut. “Saya sudah tidak suka pergi ke gereja karena terlalu banyak pengajaran”, lalu kamu harap apa di gereja? “Saya berharap di gereja ada keakraban, ada persekutuan”, tentu baik kalau ada persekutuan, tetapi gereja tidak boleh tidak ada pengajaran. Itu sebabnya pengajaran yang penting, pengajaran yang sangat menghargai tradisi dan sangat meninggikan Kitab Suci sebagai fondasi satu-satunya sangat perlu ada di gereja. Gereja harus mengajar jemaat. Mengajar melalui khotbah, mengajar melalui pembahasan Kitab Suci. Waktu Calvin ada di Jenewa, dia sangat berharap setiap hari pagi-pagi orang datang ke gereja untuk dapat kelas Alkitab. Dia sudah sedia diri, pagi-pagi mengajar, siapa yang datang dia tidak peduli, ada banyak atau sedikit dia tidak peduli. Dan orang-orang Jenewa, ketika Calvin ada dalam periode kedua mengajar, membanjiri gereja tiap pagi untuk dengar pengajaran. Kalau orang mengatakan “pengajaran Calvin begitu kering dan membosankan”, itu salah, karena orang-orang membanjiri gereja untuk mendengarkan Calvin.

Calvin sangat percaya semua orang perlu Firman setiap hari. Itu sebabnya dia memberikan Firman hampir setiap hari. Kalau dihitung jadi setiap hari karena di dalam beberapa hari dia berikan beberapa kali kelas, dua kali. Dengan demikian Calvin merasa tanggung jawab seorang pengajar adalah memberikan pengajaran tiap-tiap hari. Mengapa perlu? Karena jemaat sangat perlu. Dari pengajaran, jemaat akan memperoleh pengertian, kerangka berpikirnya mulai tersusun dan sifat naif mulai ditinggalkan. Orang naif sulit membedakan mana gereja benar, mana gereja salah. Orang yang polos, yang seperti orang tidak terdidik, yang cuma tahu menerima tanpa koreksi, tanpa kritis, tanpa punya pikiran yang baik adalah orang yang sangat gampang jatuh ke dalam ajaran sesat. Kita melihat ini jadi problema di dalam gereja, karena yang jatuh dalam ajaran sesat bukan orang yang bodoh secara intelektual, tapi orang yang naif secara teologi. Orang naif secara teologi mungkin intelektualitasnya sangat pintar, mungkin dia adalah profesor di universitas, mungkin dia adalah pengembang bisnis yang sangat brilian, mungkin dia adalah tokoh politik yang sangat disegani. Tapi meskipun dia pintar secara pikiran, meskipun dia unggul secara profesional, tapi dia naif di dalam berteologi. Karena naif di dalam berteologi, dia dimakan oleh ajaran yang salah. Itu sebabnya Paulus mengingatkan di dalam nasehat terakhir, sebelum dia memberikan nasehat penutup, “hati-hati terhadap perpecahan gereja, bukan cuma perpecahan organisasi”. Karena di dalam abad yang pertama, gereja tidak jelas organisasinya. Bukan organisasi yang satu di dalam kepemimpinan satu orang rasul, tidak. Kalau gereja mengatakan “dulu di zaman para rasul ada satu pemimpin namanya Petrus, lalu seluruh organisasi gereja tunduk kepada Petrus, itu tidak benar. Karena setiap gereja punya kepemimpinan masing-masing secara organisasi tidak jelas, secara organisasi tidak ada kesatuan. Jadi yang Paulus bicarakan “hati-hati terhadap perpecahan”, pasti bukan perpecahan organisasional.

Lalu perpecahan macam apa yang dimaksud? Yang dimaksud adalah perpecahan doktrinal. Ajaran beda lalu mengatakan “mari kita pisah karena jalan kita sudah beda”, ini yang harus diwaspadai. Mengapa beda? “Karena saya menemukan ajaran baru”, ini yang Paulus mau tekankan. Orang yang temukan ajaran baru, ajaran menerobos, tetapi yang tidak kembali ke Kitab Suci dan yang tidak punya argumen yang cukup untuk menjelaskan mengapa ajaran ini dipegang, itu ajaran yang harus diwaspadai. Maka Paulus mengatakan “saya menasehati kamu untuk waspada, harap kamu punya kepekaan, kecerdasan dan kecepatan untuk menangkap ada ajaran benar, ada ajaran salah”. Tetapi kecerdasan dan kecepatan menangkap ini tidak boleh disertai dengan arogansi, kesombongan dan kebencian. Kalau makin pintar makin sombong, ini juga akan merusakkan gereja. Makin pintar makin berani untuk menunjukkan perbedaan kualitas diri dengan orang lain yang masih rendah, itu kesombongan yang merusak gereja. Maka Paulus mengatakan hal ini “waspadai ajaran salah”. Bagaimana seorang mewaspadai? Dengan menyadari bahwa argumen yang benar yang membuat ajaran itu bisa diterima perlu ada. Jadi orang tidak boleh sempit, “saya merasa saya sudah tahu doktrin, semua doktrin yang beda dengan saya, saya anggap sesat”, ini juga kesalahan yang tidak boleh ada, ini kesombongan. Orang sombong sulit mendengar, orang sombong tidak mau repot-repot mendengar. Kadang-kadang orang membaca karya seorang lalu langsung tafsirkan sebelum karya itu didetailkan pengertiannya. Kadang-kadang Saudara bisa melihat perdebatan di dalam dunia akademis, seorang mengkritik buku orang lain, tapi ternyata buku orang lain itu belum dibaca dengan sungguh-sungguh, belum dibaca dengan mendalam. Ada satu wawancara diberikan oleh satu orang perempuan yang menjadi host dalam wawancara, dia mewawancarai seorang psikolog Kanada bernama Jordan Peterson. Dia mengambil buku dari Peterson, lalu mengatakan “jadi dalam buku ini kamu meremehkan perempuan, kamu mengatakan tidak ada tempat bagi perempuan”, ini sesuatu yang tidak dia katakan di buku itu. Orang sudah mencap seseorang mengatakan A, lalu apapun yang dia tulis, apapun yang dia bicarakan, tidak didengar, tidak dipedulikan, “pokoknya kamu pasti bicara A”, ini bukan waspada yang Paulus maksud. Maka harap kita bisa belajar untuk melihat dimana diri kita, apakah saya orang yang sudah punya kepekaan terhadap pengajaran atau saya orang sombong yang terlalu gampang menghakimi orang lain punya pengajaran, tanpa repot-repot mempelajari argumennya. Kalau Saudara adalah orang yang cuma tahu “ini ajaran benar, yang lain pasti salah”, tanpa mau diskusi, tanpa mau dengar, tanpa mau bicarakan baik-baik. Maka Saudara ada di dalam keadaan yang tidak baik. Saudara akan membuat gereja menjadi sulit kokoh karena Saudara akan gampang menyerang tanpa mengetahui yang diserang sebenarnya adalah ally, adalah Saudara yang sama-sama punya pengajaran yang kembali ke Kitab Suci. Tapi ada orang yang mengeluarkan ajaran yang sama sekali tidak ada argumen, yang tidak ada sound thinking, yang tidak ada pengajaran yang bisa diterima dengan akal sehat. Saya pikir kata-kata dari Martin Luther di Worms sangat penting, karena di situ dia mengatakan “saya tidak akan tarik kembali ajaran saya, kecuali kamu yakinkan saya dengan sound thinking, dengan pikiran yang sehat”. Argumen sehat itu perlu kita pelajari. Sayang sekali banyak orang, jangan-jangan kita termasuk didalamnya, sulit memberikan argumen dan sulit menerima argumen. pikiran kita terlalu dibatasi dengan kesimpulan-kesimpulan. Kita tidak terbiasa memberikan argumen dan kita tidak terbiasa meneliti argumen. Kadang-kadang kita melihat pertengkaran antara dua orang terjadi karena masing-masing tidak memberikan alasan yang jelas, masing-masing menyerang posisi orang lain dengan penjelasan serangan yang sama sekali tidak nyambung. Ketika satu orang memberikan penjelasan tentang orang lain, “saya tidak setuju dengan cara kamu berpikir. Saya pikir kesimpulan yang kamu berikan tidak tepat”, orang itu marah “mengapa kamu membenci saya?”, “saya tidak benci, saya cuma mengatakan argumenmu tidak tepat, yang kamu katakan kurang baik”. Lalu mulai terjadi permusuhan. Mengapa bisa permusuhan? Karena satu orang merasa diserang, ini saya pikir adalah satu sifat yang tidak bertanggung jawab.

« 3 of 9 »