Ayub adalah orang saleh, tapi ketika dia mendapat sakit begitu parah, dia mulai merasa hidupnya miskin. Dia mulai merasa, “Saya ini diperlakukan tidak adil oleh Tuhan. Mengapa Tuhan memberikan saya penyakit kalau saya benar? Kalau saya salah, mengapa Tuhan tidak memberi tahu dosa saya apa?” Lalu teman-teman Ayub terus mengatakan, “Kamu orang berdosa, mungkin kamu tahan gaji pegawaimu, mungkin kamu lirik-lirik perempuan lain, mungkin kamu tidak setia di dalam pernikahan.” Ayub mengatakan, “Saya tidak pernah melakukan hal-hal itu, mata saya tidak pernah lihat perempuan lain. Saya tidak pernah lupa memberi gaji kepada pegawai. Pegawaiku hidupnya baik, bahkan binatang peliharaanku hidupnya lebih baik dari banyak pegawai orang lain. Jadi saya perhatikan semua, saya tidak pernah berlaku tidak adil kepada pegawai, saya tidak pernah tidak setia di dalam pernikahan, saya tidak pernah lalai memperlakukan sesamaku. Mengapa aku dihukum begini berat? Kalau ini bukan hukuman, mengapa aku menderita?” Maka Ayub diserang oleh teman-temannya. Dan Tuhan ketika menjawab teman-temannya, mengatakan “Kamu minta ampun kepada-Ku lewat doa Ayub. Suruh Ayub jadi imam yang mendoakan kamu, karena kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku Ayub.” Jadi, teman-teman Ayub salah menuduh bahwa Ayub adalah orang berdosa. Lalu kalau Ayub bukan orang berdosa mengapa menderita? Tuhan mengarahkan Ayub untuk melihat bintang di langit, lihat binatang-binatang yang Tuhan jadikan, Tuhan pamerkan lewat perkataan-Nya, “Pernahkah kamu lihat Leviathan, pernahkah kamu lihat Behemoth, pernahkah kamu melihat bintang-bintang di langit?” Tuhan pamerkan segala kelimpahan dari creational order, dari keteraturan penciptaan. Ini mengarahkan Ayub kepada Kejadian 1. Saudara akan sadar Kejadian 1 adalah bagian yang paling banyak dijadikan referensi oleh bagian yang lain. Maka Tuhan mengatakan kepada Ayub, “Ingatkah kamu tentang kelimpahan ciptaan?” di sini Ayub jadi tersadar, “Allahku Allah yang besar. Allahku tidak salah mengatur hidupku. Allahku tidak salah ketika Dia merancangkan apapun yang harus saya alami.” Jadi Ayub dikuatkan kembali ketika melihat kelimpahan yang Tuhan ciptakan di seluruh alam. Ini membuat membuat Ayub berhenti lihat cuma dirinya, kalau dia terus lihat dirinya, dia lihat dirinya yang miskin. Dan diri yang miskin tidak bisa dipakai untuk jadi berkat.

Kita miskin rohani, kita tidak bisa jadikan diri kita kekuatan untuk dorong kita jadi berkat bagi orang lain. Kita adalah orang-orang yang sangat rendah, kita tidak bisa jadikan status kita jadi berkat bagi orang lain. Maka dalam kondisi sangat tertekan, penuh penderitaan dan miskin, Ayub lihat ke atas. Ayub membayangkan seluruh tatanan ciptaan dan menjadi sadar, “Allahku adalah Allah yang tidak lalai mengatur segala sesuatu.” ini membuat dia merasa kembali berkelimpahan. Ayub hidupnya dipulihkan pada bagian akhir, tapi bukan itu inti dari kitab Ayub. Inti dari Kitab Ayub adalah kalau engkau melihat kelimpahan, lihatlah bagaimana Tuhan menata segala sesuatu. Jangan hanya lihat dirimu, karena dirimu cuma bagian kecil sekali di dalam seluruh alam semesta yang Tuhan atur. Mari kenal Tuhan yang melimpah itu dan sadar kalau engkau jadikan ciptaan dan Allah sendiri point of reference maka Saudara tidak akan merasa kerdil dan merasa miskin. Tapi jika engkau menjadikan diri sendiri poin referensi, “Sayalah utama,” lalu dari diri saya, saya nilai hal yang lain, maka, Saudara akan hidup sangat miskin. Itu sebabnya di dalam bagian awal Paulus mengatakan, “Jika di dalam kehidupan komunalmu ada saling tegur, ada saling menghibur, ada persekutuan yang diikat oleh Roh Kudus, ada kasih mesra dan belas kasihan, maka hendaklah kamu sehati sepikir.” Kamu tahu dulu apa yang perlu ada dalam komunitas ini, baru kamu tahu apa yang jadi tujuan, apa yang perlu ada dalam komunitas Kristen? Paulus mengatakan dalam persekutuan Kristen perlu ada penghiburan kasih, perlu ada nasihat.

Nasihat ini bukan cuma sekadar wejangan, nasihat ini juga berarti konfrontasi. Konfrontasi maksudnya berkelahi? Bukan, tapi konfrontasi di dalam kasih, saya memaparkan apa yang salah kepada engkau tetapi dengan motivasi kasih bukan benci. Ketika kita bicara, bicara itu bukan cuma sekadar menyampaikan informasi. Waktu kita bicara harap kita tahu kata yang kita pakai untuk bicara itu paralel dengan kata yang dipakai atau sama dengan kata yang dipakai untuk menjelaskan kata Tuhan dalam mencipta. Dalam Perjanjian Lama pakai kata amar atau dafar. Di dalam Perjanjian Baru pakai kata logos, atau kadang-kadang memakai ada satu istilah lain yaitu rhema. Baik rhema maupun logos punya pengertian yang sama yaitu kata-kata yang intensif menyebabkan. Demikian juga amar dan dafar, kata-kata yang berintensi menyebabkan, bukan cuma kata-kata yang informatif.  Perkataan manusia memang tidak bisa menjadikan yang tidak ada jadi ada, tapi perkataan manusia bisa menyebabkan banyak hal. Waktu Saudara bicara, Saudara bukan cuma sampaikan informasi, Saudara juga punya intensi. Ketika Saudara benci orang, kata-kata Saudara bukan cuma sampaikan informasi, tapi kata-kata Saudara menyampaikan perkataan tajam dengan tujuan menghancurkan hati orang, ini yang jahat. “Tapi yang saya katakan benar,” betul, tapi intensimu jahat, dan ini yang Tuhan akan hakimi. “Saya bicara apa adanya, memang dia seperti itu.” Seumpama saya mendeskripsikan orang secara fisik, tapi intensi saya bercanda, dia akan terima dengan baik dan mungkin akan membalas dengan bercanda juga. Tapi kalau intensi saya adalah membuat dia sakit hati, membuat dia hancur, membuat dia sedih, maka saya akan dihakimi oleh Tuhan. Perkataan kita bukan cuma informatif sifatnya, tapi menyebabkan sesuatu. Intensimu mengatur kata-kata untuk menyebabkan apa dalam diri orang lain, itu akan dihakimi oleh Tuhan. Maka nasihat di sini adalah perkataan yang intensinya membuat orang lain lebih baik. Saya memberikan konfrontasi kepada orang dengan intensi yang membuat dia jadi lebih baik. Saudara jangan suka komunitas yang cuma bicara baik tentang Saudara, “Kamu orang, kamu orang baik, kamu orang hebat, kamu orang suci, kamu sudah oke,” Ditanya, “Apa yang kurang dari saya?” “Malaikat pun minder lihat kamu, jadi sudah jangan takut, kamu sudah oke,” Ini cara dunia bicara. Bicara dengan penuh kepura-puraan tetapi tidak ada intensi untuk menjadikan lebih baik. Saudara kalau ketemu orang yang gampang senyum, yang tidak ada masalah, apapun harap hati-hati. Entah dia terlalu buta lihat kekurangan atau dia pura-pura. Jadi lihat orang kemudian lihat bagaimana dia punya intensi memperbaiki Saudara. Koreksi yang penting di dalam motivasi menjadikan orang lebih baik adalah bagian dari kehidupan bergereja. Tapi pelihara motivasi, jangan berikan masukan karena engkau membenci, jangan serang orang dengan perkataan yang punya intensi membuat dia hancur hati, jangan lakukan hal yang menyebabkan keburukan di dalam hati orang. Itu sebabnya dalam persekutuan Kristen ada saling memberikan nasehat.

« 3 of 7 »