Di Gunung Sinai ada morphe, ada rupa kemuliaan yang samar-samar, yang tidak jelas tapi sangat heboh. Ini kemuliaan yang menggentarkan, kemuliaan yang membuat semua orang takut. Semua orang Israel di bawah Gunung Sinai lihat kemuliaan itu dan mengatakan, “Jangan kami dengar suara itu terus, nanti kami mati. Biar Tuhan berkata-kata kepadamu Musa. Lalu engkau sampaikan perkataan Tuhan kepada kami. Jangan kami dengar langsung karena nanti kami mati. Kami begitu takut dengan kemuliaan yang mengagumkan ini.” Kemuliaan yang begitu besar. Maka ayat yang ke-6 bisa dibaca, “yang walaupun dalam morphe Allah, rupa Allah,” Ini mengingatkan kita akan peristiwa di Gunung Sinai. Tuhan menyatakan kemuliaan-Nya. Jadi, di sini tidak dikatakan Yesus kehilangan ke-Allah-an. “Yang walaupun dalam rupa Allah atau kemuliaan, pancaran kemuliaan Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan.” Ingat ini bukan substansi Allah. Kalau Saudara mengerti teologi tentang Tritunggal ini jelas sekali, yang Yesus tinggalkan bukan substansi ke-Allah-an. Yang Yesus tinggalkan di sini adalah pernyataan mulia ke-Allah-an seperti di Gunung Sinai. Allah memancarkan kemuliaan-Nya dan Yesus tidak melakukan itu. Berarti dia bukan Allah? Dia tetap Allah. Tapi ayat ini mengatakan Dia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan? Betul, tapi yang dimaksud kesetaraan ada pernyataan mulia, morphe. Inilah yang kita harus paralelkan. Banyak istilah di dalam Alkitab harus digali dengan bahasa asli. Ada hal detail yang bisa kita gali melalui studi dari orang-orang yang pelajari bahasa asli. Jadi kata morphe, pancaran kemuliaan Tuhan, ini bukan substansi Allah. Yesus tidak pernah kehilangan substansi Allah sedetik pun. Dia adalah Allah dari kekal sampai kekal. Waktu Dia berinkarnasi jadi manusia, Dia tetap Allah. Dia punya 2 natur, Dia manusia sepenuhnya tapi Dia juga adalah Allah sepenuhnya. Maka, bagian ini tidak sedang berkata bahwa natur Ilahi hilang dari Kristus. Waktu Dia jadi manusia, sementara waktu Dia berhenti jadi Allah, tidak. Bagian ini mengatakan ketika Dia berinkarnasi, Dia tidak menganggap pancaran kemuliaan Ilahi sebagai hal yang penting, boleh tidak ada.
Lalu, pancaran apa yang Dia nyatakan? Ayat 7, “Melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil morphe seorang hamba.” Mengambil rupa seorang hamba. Yang Dia pancarkan adalah kesederhanaan. Yang Dia pancarkan adalah kehinaan seorang manusia. Manusia makhluk yang mulia, tetapi kemuliaan manusia itu selalu disalah-mengerti. “Kemuliaanmu terletak di mana?” “Di baju bagus yang saya pakai, di banyaknya uang yang saya hasilkan, di rumah bagus yang bisa saya bangun, di mobil mewah yang bisa saya beli, di dalam kestabilan ekonomi yang bisa saya hasilkan, di dalam pekerjaan, karena saya jadi tinggi posisinya di dalam bidang pekerjaan.” Ini semua kemuliaan yang Yesus tidak miliki. Kemuliaan Kristus yang sebenarnya setara dengan Allah, Dia tinggalkan. Mengapa Dia tinggalkan? Karena Allah menyukai kesederhanaan seorang hamba. Ini tema yang sangat sulit manusia pikir, masa Allah mau jadi hamba? Tapi ini faktanya. Di dalam Injil Yohanes, Yesus berkata kepada murid-Nya, “Engkau belum tahu siapa Bapa. Hei, Filipus, sudah sekian lama kamu bersama Aku, kamu belum juga tahu, kalau kamu lihat Aku, engkau sudah lihat Bapa.” Artinya jiwa Bapa mirip dengan jiwa Sang Anak. Sang Anak suka merendahkan diri karena sang Bapa juga suka merendahkan diri. Sang Anak rela mengosongkan diri karena sang Bapa juga rela mengosongkan diri. Setiap pribadi Tritunggal punya satu kehendak yang satu yaitu Pribadi Kedua mau merendahkan diri, Pribadi Kesatu dan Pribadi Ketiga juga punya sifat yang sama. Dan inilah yang unik dari Injil. Injil menyatakan bahwa Allah kita adalah Allah yang senang menjadi hamba. Waktu Dia menjadi Manusia, Dia tidak pilih posisi tinggi, Dia pilih posisi orang biasa yang cenderung hina seperti kita. Inilah kemuliaan yang Luther sadari dan yang Paulus ajarkan. Siapa Tuhan? Tuhanmu adalah Tuhan yang mulia, yang hebat, yang agung bukan karena Dia punya posisi paling tinggi, tapi justru karena Dia rela kehilangan posisi tinggi untuk berada sama dengan kamu. Kerelaan Dia untuk jadi hamba adalah kemuliaan tertinggi yang tidak ada pada berhala. Maka ketika orang mengatakan, “Allahku adalah lebih tinggi dari segala berhala.” Maka, Paulus beserta Luther akan mengatakan, “Allahku lebih hebat lagi!” “Lebih hebat lagi dalam hal apa?” “Allahku beda dengan berhala, berhala semua memamerkan kemuliaan, tapi Allahku rela jadi hamba, rela menjadi hina.”
Maka, di dalam Filipi pasal yang kedua, ada tema teologi yang sangat penting. Sifat Allah kita adalah Allah yang merendahkan. Sifat Allah kita adalah Allah yang jadi hamba bagi yang lain. Menjadi rendah untuk melayani, menjadi rendah karena cinta kasih. Mengapa Tuhan Yesus mau menjadi budak? Mengapa Dia mau menjadi hamba? Bukankah Tuhan bebaskan srael dari perbudakan? Sekarang mengapa Allah jadi manusia, justru mau jadi hamba? Ini semua ada di dalam kompleksitas Kitab Keluaran. Seluruh tema penting dalam Kitab Keluaran seperti dipadatkan oleh Paulus di dalam pasal 2 ini. Bukankah Israel dibebaskan dari perbudakan? Mengapa sekarang Yesus menjadi budak? Dia mengambil morphe, mengambil rupa seorang budak. Bukankah Tuhan benci perbudakan? Iya, Israel tidak lagi jadi budak tapi Israel rela memperbudak diri bagi yang lain didalam kebebasannya, ini dilakukan karena cinta. Orang yang menjadi budak bagi yang lain karena kasih, orang itu orang bebas. Orang yang tidak mau jadi budak siapapun, orang ini belum tahu keindahan mengasihi. Tuhan kita adalah Tuhan yang rela habiskan diriNya demi pribadi yang lain. Dan kalau kita mengatakan Allah kan Mahakuasa, Allah kan besar, Allah kan agung, mana mungkin Allah menghabiskan diri-Nya bagi yang lain? Tapi Allah jadi manusia, inkarnasi adalah bukti bahwa Allah rela menghabiskan diri-Nya bagi yang lain. Pribadi Kedua jadi manusia dan Dia habiskan hidup-Nya bagi kita. Dia berikan diri-Nya bagi yang lain. Inilah keindahan menjadi budak yang bebas, menjadi hamba karena aku mencintai, mengikat diriku dengan kewajiban karena aku mengasihi. Cinta kasih yang tidak lihat ke diri, tetapi lihat ke luar. Yang tidak pentingkan diri tapi pentingkan orang lain, inilah cinta kasih yang membebaskan.