Martin Luther adalah pemikir yang seperti berlawanan dengan mereka. Dia ada di sisi yang lain. Dia tidak berargumen di dalam Heidelberg Disputation bahwa Allah itu adalah yang paling tinggi yang pikiranmu bisa pikirkan. Bagi Luther, manusia tidak perlu wahyu khusus untuk mengerti itu. Semua orang tahu kalau Allah itu yang paling tinggi, paling besar dan paling agung. Semua orang tahu bahkan atheis seperti Feuerbach. Secara insting, manusia tahu Allah itu lebih besar dari manusia. Semua orang entah dia percaya atau tidak, punya insting kalau yang namanya Allah pasti besar, pasti agung, pasti tinggi. Tapi Luther mengatakan wahyu Tuhan mendobrak itu. Kamu punya pikiran akan Allah itu tinggi tapi Wahyu Tuhan mengatakan Allah bukan cuma tinggi, tetapi dia rela merendah. Dia rela jadi terbatas, Dia rela jadi hina, Dia rela mengosongkan diri, Dia rela menjadi sama dengan kita ini tema yang tidak ada di dalam pikiran manusia secara natural. Salib inkarnasi Kristus, perendahan diri Kristus, Sang Anak yang rela jadi manusia, yang tidak terbatas mengambil tubuh, mengambil natur yang terbatas yaitu natur manusia. Ini tidak ada dalam pikiran manusia. Manusia tidak sanggup sampai ke level ini. Maka, Luther seperti ada di posisi yang lain, para pemikir-pemikir yang saya kutip tadi menekankan Allah yang transcend capability to think, Allah melampaui kapasitas kita untuk berpikir. Tetapi Luther mengatakan Allah bahkan melampaui pengertian kita mengenai tinggi sebab Ia adalah yang rela jadi rendah. Kita pikir tentang Tuhan yang tinggi, Tuhan menyatakan diri sebagai yang rendah. Inilah keajaiban dari tema salib yang disadari oleh Martin Luther di dalam Heidelberg Disputation. Ini semua bagian dari sejarah gereja, bagian dari identitas kta sebagai orang Reformed, harap kita mengerti dan mengagumi Tuhan dari pengertian yang agung ini. Siapa Tuhan? Dia adalah Allah yang rela merendah, yang rela kosongkan diri, yang rela jadi manusia.

Salah satu yang sulit diterima oleh Islam adalah ketika orang Kristen mengatakan, “Yesus adalah Allah yang jadi manusia.” Islam akan mengatakan, “Mana mungkin Allah jadi manusia?” Dan kita akan mengatakan, “Memang pikiran manusia tidak mau terima hal ini.” Ini sesuatu yang di luar kemampuan kita. Maka, Allah menyatakan diri-Nya, menyatakan hal ini di dalam Wahyu khusus. Allah menyatakan Firman-Nya untuk menantang menghancurkan kerangka berpikir kita yang terlalu tipis, terlalu kecil dan terlalu terbatas. Tuhan adalah Allah yang rela rendahkan diri, yang rela jadi hina, yang rela dipermalukan, yang rela menderita bahkan rela mati. Itu sebabnya Filipi 2 sangat penting terutama bagian yang akan kita bahas, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus.” Ayat 6, “Yang walaupun dalam rupa Allah, tidak ada yang menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan.” Rupa, bahasa Yunani pakai kata morphe. Di dalam Septuaginta, kata morphe ini muncul di peristiwa ketika Tuhan menyatakan diri di Gunung Sinai. Dikatakan bahwa, “Yang kamu lihat ini bukan Allah, kamu tidak melihat gambar apapun,” Ini yang dikatakan Tuhan kepada Musa, “Ingat ketika kamu di atas Gunung Sinai, kamu tidak melihat rupa apapun, kamu tidak lihat gambar apapun. Maka jangan membuat gambar apapun, jangan membuat patung, jangan membuat image karena kamu tidak melihat rupa apapun.” Kemuliaan Tuhan yang Tuhan nyatakan di Gunung Sinai adalah kemuliaan yang menyembunyikan kemuliaan. Ini teori yang sangat indah, disadari pertama oleh pemikir Perancis yang Katolik. Seorang pemikir yang sangat brilian, dia mengatakan bahwa ketika Allah menyatakan diri, Allah menyatakan diri dengan cara meniadakan kehadiran dirinya. Pernyataan Allah secara paradoks: menyatakan diri sekaligus menyembunyikan diri. God hiddeness, ketersembunyian Allah dinyatakan di dalam kehadiran. Ini membuat kita bingung maksudnya apa? Ini dikatakan oleh seorang bernama Jean Luke Marion,  pemikir Prancis yang adalah seorang Katolik. Dia mengatakan ketika Allah menyatakan diri Dia sekaligus menyembunyikan diri-Nya. Termasuk ketika Musa tanya, “Siapa nama-Mu Tuhan?’ Kalau orang tanya sama saya, “Ini Tuhan di semak yang terbakar itu.” Kalau orang tanya aku, “Allah yang mana yang bicara kepada kamu? Aku harus mengatakan nama-Mu siapa? Beritahu nama-Mu.” Tuhan menjawab Musa dengan mengatakan, “Inilah Namaku Ehyeh-Asher-Ehyeh.” Artinya apa? I AM WHO I AM, AKU ADALAH AKU. Ini bukan nama, “Siapa engkau? Saya adalah saya,” tapi siapa? “Saya adalah saya?” Maksudnya bagaimana? Jadi, ini pemberian nama sekaligus menyembunyikan nama. Mengapa Tuhan tidak langsung memberi tahu namanya siapa? Karena Tuhan tidak bisa dikurung oleh satu nama. Tuhan tidak bisa dikurung oleh nama seperti kita dikurung oleh nama. “Siapa yang khotbah hari ini?” “Jimmy.” Kalau Saudara tanya nama saya, saya akan beri tahu nama saya Jimmy. Saya tidak mengatakan, “nama aku adalah aku adalah aku.” Itu penghujatan karena Tuhan yang pakai nama itu. Tapi Marion mengatakan, “Tuhan memberi nama dengan cara sembunyikan nama.” Demikian kehadiran Tuhan di Gunung Sinai, Tuhan menyatakan kehadiran dengan sembunyikan keadilan, karena secara spesifik di dalam Keluaran dikatakan, “Engkau tidak lihat berupa apapun.”

Jadi, Tuhan hadir atau tidak? Hadir sekaligus absen. Mengapa dia tidak hadir langsung secara penuh? Tidak bisa, kalau Dia hadir secara penuh, seluruh bumi akan dihancurkan oleh kekudusan-Nya, setiap hal yang cemar akan binasa, tidak ada yang akan selamat. Maka Tuhan menyembunyikan kehadiran-Nya waktu Dia menyatakan kehadiranNya, ini paradoks. Menyatakan sekaligus ketersembunyian. Tapi, lagi-lagi yang pertama pikir tentang ini bukan Marion tetapi Luther. Marion adalah pemikir di abad 20 dan Luther pemikir di abad 16. Luther mengatakan salib adalah tempat di mana Tuhan menyatakan diri sepenuhnya sekaligus menyembunyikan diri sepenuhnya. Di dalam pernyataan Tuhan di atas kayu salib, “Engkau akan mendapatkan Wahyu Tuhan, Deus Revelator.” Di mana Tuhan menyatakan diri? Di salib. Di manakah Tuhan disalib? Luther mengatakan Yesus pun berseru, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Salib secara paradoks adalah tempat di mana Tuhan absen, Deus absconditus. Tuhan absen tapi Tuhan menyatakan diri. Tuhan tidak ada tapi Tuhan menyatakan diri, ini paradoks yang sulit sekali kita pikirkan. Maka, Marion mengatakan, “Waktu Tuhan menyatakan diri di Gunung Sinai, Tuhan berikan tanda kemuliaan yang besar sekali, tetapi didalam tanda kemuliaan itu tidak ada gambar apapun.” Tidak ada rupa apapun, Musa seperti melihat kehampaan: Saya tembus kabut yang kelam. Saya tembus suara keras dan halilintar yang sambung-menyambung. Tapi sampai di gunung, saya tidak melihat Tuhan, aku tidak melihat wajahnya, aku tidak melihat kehadirannya, di manakah Tuhan? Tuhan hadir sekaligus absen. Tuhan belum menyatakan kehadirannya secara penuh. Itu sebabnya Musa belum melihat wajah Tuhan, ini simbol yang penting sekali. Musa mengatakan, “Izinkan saya lihat kemuliaan-Mu”, dan Tuhan mengatakan, “Aku hanya akan tunjukkan belakang-Ku.” “Lalu, kapan aku bisa memandang wajah-Mu Tuhan?” Ternyata Tuhan belum menunjukkan diri. Tetapi di Yohanes pasal pertama dikatakan Anak Tunggal Allah atau bisa juga diterjemahkan Allah satu-satunya diperanakkan yaitu pribadi kedua. Allah satu-satunya yang diperanakkan, Dialah yang pernah melihat wajah Allah, yang duduk dekat Allah, Dialah yang menyatakannya. Tuhan dinyatakan lewat Kristus, bukan lewat kemuliaan di Gunung Sinai.

« 3 of 7 »