Tetapi, Feuerbach memahami dari sisi yang lain, dari sisi psikologi dan dari sisi yang bersifat sangat agnostik, tidak percaya Tuhan. Mengapa manusia bisa mempunyai kapasitas untuk merenungkan yang tidak terbatas? Jawabannya adalah karena manusia punya kerinduan untuk bertahan hidup, insting untuk bertahan. Inilah yang menjadi tema utama mengapa manusia bisa berpikir tentang yang tidak terbatas. Insting mau bertahan, mau jaya, mau tetap bisa ada, bisa punya keturunan yang juga bertahan di dunia ini, ini membuat manusia mempunyai harapan bahwa ada yang kuat, ada yang perkasa, ada yang tidak terbatas yang menopang dia. Dia berharap itu adalah dirinya, semua manusia berharap dirinya cukup kuat untuk bertahan hidup, cukup kuat untuk menjadi baik, cukup kuat untuk mempunyai kestabilan di dalam menjalankan hidup dan memberikan persediaan profit untuk keturunan-keturunan selanjutnya. Ini membuat Tuhan diciptakan oleh pikiran manusia, “Saya ingin merenungkan tentang Allah yang saya harap seperti ini, harap Allah itu Mahakuasa, harap Allah itu mengerti segala sesuatu, harap Allah itu baik, harap Allah itu suka menolong, harap Allah itu menopang saya.” Dan karena kerinduan yang besar inilah manusia memproyeksikan kesempurnaan ke dalam tokoh bernama Allah. Dari sinilah agama akhirnya muncul. Banyak orang mempunyai teori tentang agama, pikir tentang religi, renungkan tentang apa itu beriman, tetapi semua orang melakukannya sebagai sesuatu yang bersifat spekulatif, “Saya pikir agama muncul karena kerinduan manusia akan apa yang tidak terbatas. Tapi apakah kerinduan manusia itu sesuatu yang muncul begitu saja dari manusia atau apakah ada sesuatu yang besar di luar sana yang menarik kita untuk berpikir tentang dia. Pascal mengatakan ada yang besar di luar sana yaitu Tuhan dan Dialah yang menarik kita untuk merenungkan tentang Dia. Dia yang tarik kita untuk menjadi kagum. Dan kekaguman adalah titik awal dari penyembahan kepada yang tidak terbatas.

Di dalam dunia filsafat dikatakan kekaguman adalah titik awal berfilsafat. Di dalam dunia sains dikatakan kekaguman adalah pendorong untuk orang melakukan sains. Tapi entah itu dunia filsafat ataupun itu dunia sains, apapun yang mendorong manusia menuju kekaguman sebenarnya adalah sesuatu yang tidak bisa dimengerti manusia. Ada dorongan untuk mengenal yang tidak terbatas, ada kerinduan untuk cari siapakah yang paling berkuasa ini, yang paling indah, yang paling agung. Sebelum Pascal, sebelum Feuerbach, ada seorang biarawan yang sangat penting, dia adalah seorang biarawan dari Itali lalu menjadi biarawan yang sangat terkenal di Inggris, namanya adalah Anselm dari Canterbury. Anselm adalah orang Itali yang belajar teologi di Perancis dan kemudian melayani di Canterbury. Dia adalah seorang pemikir yang sangat sangat tajam. Anselm mulai merenungkan tentang mengapa manusia bisa pikir tentang hal yang lebih besar dari dia, yang belum pernah dia temui. Manusia bisa berpikir tentang Mahakuasa. Mana pernah manusia bertemu dengan yang Mahakuasa? Manusia bisa berpikir tentang ketidakterbatasan, padahal manusia begitu terbatas di dalam pengalaman indrawinya. Manusia bisa berpikir tentang kebesaran, keagungan yang mulia melampaui apapun yang dia pernah temui, mengapa bisa berpikir seperti itu? Maka, Anselm memberikan argumen tentang Tuhan dengan mengatakan Allah adalah yang secara real. Yang secara real ada ini mampu dipikirkan oleh manusia. Siapakah Allah? Allah adalah yang paling tinggi yang bisa kita pikir, paling tinggi yang bisa kita renungkan, yang paling tinggi yang bisa kita khayalkan. Tapi, apakah khayalan kita hanya bersifat khayalan? Tidak! Sebab khayalan kita adalah khayalan yang jadi paling besar karena itu real. Saudara seperti mendapatkan loncatan argumen di sini, bagaimana membuktikan keberadaan Allah dengan mengatakan bahwa pikiran manusia yang paling tinggi itu adalah juga pikiran tentang sesuatu yang real? Anselm menjelaskan seperti ini: kalau kamu berpikir, kamu merenung, kamu bisa renungkan yang tinggi, tentang besar, mana lebih besar yang besar atau kecil? Tentu yang besar, pikiran kita sanggup pikirkan itu. Mana yang lebih mulia, yang mulia atau hina? Tentu yang mulia, jadi pikiran kita bisa pikirkan tentang itu. Lalu, kategori berikut, ini satu kategori yang dia pikirkan dan yang sulit dibantah, kalau manusia mengatakan yang tinggi lebih besar daripada yang rendah, yang mulia lebih agung dari pada hina, sekarang dia tanya yang ada lebih tinggi daripada tidak ada atau tidak ada lebih tinggi daripada ada? Yang lebih besar itu yang ada atau yang tidak ada? Tentu yang ada, yang tidak ada itu tidak bisa dianggap besar. Jadi, kita mesti adil dalam memperlakukan pikiran kita. Kalau kamu mengatakan yang mulia lebih penting lebih tinggi daripada hina, yang tinggi lebih tinggi daripada yang rendah, yang agung lebih tinggi daripada yang kerdil, maka yang ada lebih tinggi daripada yang tidak ada.

Maka, pertanyaan berikutnya, Allah ada atau tidak? Sebab, Allah adalah yang paling besar, paling agung, paling tinggi yang mampu kamu pikirkan. Ini seperti permainan pikiran. Tapi kalau Saudara mengatakan, “Ini cuma teori pikiran, mana bisa membuktikan Allah ada dengan cara ini?” Anselm akan menantang balik, “Coba beri tahu saya salahnya argumen saya di mana?” Kita akan mengatakan memang tidak bisa dibantah, tapi mana bisa itu membuktikan tentang Tuhan. Tapi Anselm adalah seorang pemikiR yang mendobrak cara berpikir dengan mengatakan bahwa pikiranmu bisa berpikir tentang Tuhan dan Tuhan adalah yang paling tinggi yang pikiranmu bisa pikirkan. Apa yang bisa kamu pikirkan tentang kemuliaan, berarti Allah yang mulia kamu tangkap dengan pikiranmu. Tentang keindahan, tentang keagungan dan tentang keberadaan. Allah itu ada, Allah itu mulia, Allah Itu Agung dan Dialah yang paling besar, paling tinggi, paling maksimal yang pikiranmu bisa pikirkan. Kalau pikiranmu bisa pikirkan hal paling tinggi itulah Tuhan. Kalau pikiranmu memikirkan tentang hal tinggi tapi itu bukan yang paling tinggi, maka yang tinggi bukan Tuhan, yang paling tinggi di maksimal dari pikiranmu itulah Tuhan. Ini argumen yang sebenarnya bukan tentang pembuktian Tuhan kepada orang atheis. Orang atheis tidak ada di zaman Anselm. Di zaman Anselm dia tidak perlu berdebat dengan orang yang tidak percaya Tuhan, tapi dia ingin membuktikan berapa besarnya Tuhan, “Tahu tidak Tuhan itu sebesar apa? Sebesar pikiranmu bisa pikirkan, bahkan lebih dari itu. Maka apa yang kamu bisa pikirkan paling tinggi, paling agung, paling mulia itulah Tuhan.” 

Anselm ingin setiap orang merenungkan tentang pikiran yang paling tinggi, paling agung, paling besar dan mencoba paralelkan itu dengan Kitab Suci. Engkau akan menemukan pembacaanmu kepada Kitab Suci, engkau akan menemukan banyak sekali pengertian yang melimpah dari membaca Kitab Suci, karena kamu sudah mulai renungkan tentang Tuhan. Siapa Dia? Dia paling agung, paling tinggi, paling mulia yang bisa kita pikirkan. Dan setelah kita latih diri kita untuk pikir tentang Tuhan yang paling tinggi, maka waktu kita baca Kitab Suci kita menemukan kemuliaan dan keagungan, tingginya Tuhan, besarnya Tuhan, agungnya Tuhan di dalam teori pikiran kita dinyatakan dengan limpah oleh Kitab Suci. Maka, sejak Anselm dan juga dari pemikir-pemikir seperti Feuerbach dan juga Pascal, manusia berpikir tentang Tuhan sebagai yang paling agung, yang tidak bisa kita raih dan kita tidak tak bisa capai, tapi yang terlalu besar di luar kita. Dengan kata lain pemikir-pemikir ini baik Anselm yang percaya Tuhan, Pascal yang percaya Tuhan, juga ironisnya Feuerbach yang atheis, ada di dalam barisan yang mengatakan Allah itu transcend our knowledge. Allah itu melampaui pikiran kita. Allah itu lebih besar dari apa yang mampu kita pikirkan. Ini pemikir-pemikir yang mewakili sisi transendensi Allah. Allah tinggi dan besar dan pikiran kita tidak sanggup mencapai karena terlalu besar. Ini adalah cara berpikir yang sepertinya sangat umum.

« 2 of 7 »