Kadang-kadang Saudara mendengar cerita tragedi baru kena. Menurut Aristotle, cerita komedi membuat Saudara senang hati, tapi setelah itu selesai. Seperti makan cabe yang kurang berkualitas, pertama pedas sekali setelah itu langsung hilang pedasnya. Menurut Aristotle cerita komedi seperti itu membuat kamu senang, tapi setelah itu lupa. Cerita tragedi akan dikenang lama sekali. Saudara baru tahu tragedi manusia itu banyak sekali, banyak orang tidak mau belajar. Sudah tahu satu hal dan cuma mau tahu itu saja, akhirnya pikirannya sempit, merasa sudah tahu. Hati-hati, merasa sudah tahu adalah satu hal yang membuat engkau cepat hancur hidupnya. “Saya sudah tahu apa itu bahagia”, yakin?
Karena begitu banyak kisah tragedi didirikan di atas dasar yang orang pikir itulah sumber kesenangan. Kalau orang mengatakan “uang itu sumber kesenangan”, bukan. Mungkin orang akan menghina dan mengatakan “karena kamu tidak punya uang, maka kamu tidak mengerti. Coba miliki uang, baru tahu betapa enaknya punya uang. Betapa enaknya kalau ke rumah sakit tidak perlu antri, betapa enaknya bisa naik kelas bisnis, betapa enaknya dilayani, betapa enaknya tinggal keluar uang dan semuanya beres”, benarkah? Apakah cuma itu yang membuat senang, apakah cuma bisa memotong antrian itu membuat senang?
Pikirkan baik-baik, cerita tragedi tidak pernah dibangun di dalam kondisi yang sama. Ada cerita tragedi dari orang miskin, ada cerita tragedi dari orang kaya. Makanya Tolstoy pernah mengatakan kalau kamu melihat keluarga bahagia, sumber bahagianya cuma satu, tidak pernah beda. Sumber bahagia adalah saling menerima, saling percaya, saling mencintai, saling memberi bagi yang lain, semua keluarga bahagia sama. Tapi keluarga rusak, beda-beda sumbernya. Yang membuat keluarga rusak begitu banyak hal, bukan cuma satu. Maka kalau pikir “asal punya uang, saya bahagia”, coba lihat cerita tragedi. Cerita tragedi yang bagus tidak pernah dibangun dari khayalan belaka. Cerita tragedi yang bagus selalu dibangun dari penyelidikan dan pengamatan hidup yang peka, ini bedanya penulis berkualitas dan tidak. Penulis kacangan tidak tahu bagaimana menafsirkan hidup. Penulis berkualitas mengerti meng-highlight hal paling utama dalam hidup manusia.
Maka kalau ditanya apa yang membuat orang sukacita? Definisikan dulu sukacita. Tidak ada pengertian sukacita kecuali Saudara punya patron, punya contoh, punya figur yang benar-benar mendapatkan sukacita itu. Figur mana yang paling sukacita, figur mana di dalam sejarah yang benar-benar menjadi teladan kita untuk kesenangan?
Saya pernah kenal satu orang anak muda, dia punya banyak sekali poster dari penyanyi rock dikamarnya. Saya tanya “mana yang kamu suka?”, “semuanya saya suka”, “mengapa kamu suka mereka?”, “karena mereka tahu bagaimana bersenang-senang. Mereka tahu hidup senang”. Saya tanya balik “memangnya apa itu hidup senang?”, “kalau sedang mabuk bisa mabuk, kalau sedang senang-senang bisa senang, kalau mau pesta bisa pesta”, itukah kesenangan? Itu bukan kesenangan, itu namanya merangsang segala hawa nafsu, merangsang segala desire dengan cara yang mengosongkan kamu. Kita tidak mau ditipu dengan rangsangan seperti itu.
Seorang anak kecil, mungkin rangsangannya ada di makanan yang manis, waktu dia makan sesuatu yang manis, dia mengatakan “inilah kesenangan hidup”. Tapi orang tidak bisa disenangkan hanya di dalam level sense yang ringan seperti itu.
Kalau ditanya siapa tokoh yang paling penuh kesenangan? Saya berikan jawabannya, tokoh yang paling penuh kesenangan secara fakta adalah Kristus. Mengapa Dia penuh kesenangan? Apakah karena sekarang Dia ditinggikan di atas segalanya? Karena Mazmur mengatakan “Anak-Ku ini akan ditinggikan melampaui bangsa-bangsa. Bangsa-bangsa akan tunduk kepada Dia”, apakah itu? Mengapa Kristus senang, mengapa Kristus adalah yang paling bersukacita? Manusia paling senang, manusia paling penuh sukacita sepanjang sejarah adalah Kristus.