Engkau kerja karena apa? Karena motivasi mau senang? Jangan salah mengerti senang. Kalau salah mengerti tentang senang, akan salah mengerti mengejar apa. Apa yang engkau kejar di dalam hidup? “Saya mengejar level hidup yang lebih tinggi”, “mengapa?”, “karena itu membuat saya senang”, benarkah itu membuat senang? Saya baca beberapa buku cerita, novel dan lain-lain. Ada 3 buku yang sangat berkesan bagi saya, satu yang sangat berkesan adalah cerita tentang seorang yang sangat cantik, seorang perempuan yang bermimpi bisa menikahi seseorang dari level tinggi, yang bisa menikmati indahnya dikagumi orang, indahnya punya banyak pelayan, indahnya punya uang yang tidak habis-habis diberikan.

Maka impian dia seperti akan jadi, dia bertemu dengan seorang laki-laki, anak dari seorang keluarga pebisnis yang hebat. Anak muda ini ganteng, hobinya luar biasa, terbangkan pesawat, hobinya keliling, traveling kemana-mana, hobinya berpetualang. Tapi anak muda ini hobinya bukan cuma berpetualang, dia juga sangat pintar di dalam urusan pekerjaan, luar biasa cerdas, cepat bukan main dalam mengambil keputusan, sehingga papanya mengatakan “kerajaan bisnis saya yang paling besar, saya serahkan kepada anak saya ini tanpa ada keraguan”. Perempuan ini kagum dan dia berharap “karena saya kenal dia, mungkin dia bisa melirik saya. Alangkah indahnya kalau saya bisa menjadi istri dari orang ini”. Ternyata benar terjadi, orang itu melihat perempuan ini dan mulai mendekatinya. Mulai merayu, mulai menyatakan isi hatinya kepada perempuan ini. Perempuan ini sangat senang, dia mengatakan “saya pun mau dengan kamu”, akhirnya mereka pacaran dan menikah.

Setelah menikah, perempuan ini menjadi sadar, dia tidak bisa tenang melihat suaminya. Suaminya pergi untuk perjalanan bisnis, dia ingin tahu suaminya perjalanan bisnis kemana, bertemu siapa. Dia menyewa detektif untuk memastikan suaminya tidak berselingkuh. Dia sewa detektif untuk mengikuti sekretaris suaminya. Dia penuh dengan ketakutan. Dia punya rumah besar, dia punya uang yang bisa dihamburkan sesuka hati, tapi apakah dia punya kemampuan hidup senang yang seperti dia mau? Tidak. Bukankah yang dia kejar sudah terjadi? Memang, tapi dia dipusingkan dengan banyak hal. Setiap kali pulang tidak ada lagi bahasa kasih kepada suaminya ini, karena segala perhatiannya ada pada mempertahankan suaminya. Begitu suaminya pulang, dia tanya “mengapa lebih terlambat dari jeadwal?”, suaminya mengatakan “saya terlambat dari jadwal karena jadwalnya tidak pernah fix, mengapa kamu pertanyakan ini sekarang?”, “saya dapat laporan dari detektif”, “detektif apa, mengapa kamu sewa detektif?”, mereka bertengkar makin besar, suaminya mulai muak dengan perempuan ini. Lalu suaminya mulai dekat dengan perempuan lain, istrinya semakin stress “saya kurang apa?”, suaminya cuma menjawab “kamu kurang apa, kamu sendiri tidak tahu? Kamu pikir kamu adalah orang yang membuat hati saya tenang? Dulu saya pikir begitu, tapi sekarang tidak”. Ada banyak cerita novel, drama atau dongeng itu berakhir di titik pernikahan, coba dilanjutkan sedikit, baru ketahuan. Perempuan ini makin stress, makin tertekan, dia mulai minum obat yang membuat dia tenang sedikit, obat yang membuat dia tidak terlalu anxious, tidak terlalu tegang, tidak terlalu menggebu-gebu. Akhirnya dia mulai tenang, dia juga mulai kehilangan semangat hidup. Sudah kehilangan semangat hidup, dia tidak lagi protes kepada suaminya. Dia tidak lagi peduli suaminya mau kemana, dia begitu merasa sendiri. Dia ingin dihibur dengan hal-hal lain, “bisakah dengan membaca buku bisa menenangkan saya?”, ternyata tidak, “mungkin kalau ada anak bisa menenangkan saya”.

Akhirnya mereka pun dikaruniakan anak, perempuan itu begitu terfokus kepada anaknya, dia berharap semua cinta kasih yang dia idamkan dari suaminya, paling tidak bisa dia dapatkan dari anaknya nanti. Dia sangat cinta kepada anaknya. Anaknya mulai tumbuh menjadi kanak-kanak yang tampan, ibunya makin sayang kepada anak ini. Suami istri makin jauh, suami ingin pergi dengan siapa, istrinya makin tidak peduli. Ada uang? Ada. Ada pegawai? Ada. Ada pembantu? Ada. Ada rumah dengan belasan kamar? Ada. Ada sukacita? Tidak. Dia mulai berharap anaknya akan membalas cinta kasihnya. Anak itu tumbuh menjadi remaja yang memberontak, karena mamanya begitu cinta anak ini, apa pun yang dia minta diberikan, uang diberikan. Anak ini cuma tahu bersenang-senang. Makin besar makin tidak bertanggung jawab. Satu kali anak ini memutuskan “saya mau pergi jauh, saya mau melakukan ini itu, saya minta uang”, anak itu pergi. Sang ibu yang sekarang sudah mulai lanjut usianya, mulai merasa hidupnya tidak bermakna, “yang saya cintai sekarang sudah pergi, saya sendiri lagi. Suami dan saya sudah lama sekali tidak punya keakraban cinta kasih. Apa yang saya cari dalam hidup?”. Cerita tragis ini berakhir dengan perempuan itu menjadi gila, laki-laki itu mau bertobat tapi sudah tidak bisa. Dua kehidupan menjadi hancur.

« 4 of 9 »