Tetapi di bagian pertama ini saya ingin jabarkan dulu tentang apa itu kemuliaan menurut dunia. “Kemuliaan adalah tentang saya, siapa saya, posisi saya di mana itu penting. Jika saya secara hierarki memang ada di bawah berarti saya bukan orang yang mulia, saya harus mengakui ini, saya harus melepaskan keinginan jadi mulia. Saya mesti mengabaikan keinginan dihormati karena saya bukan berasal dari golongan yang terhormat.” Manusia sibuk dengan mencari jati diri dan berusaha untuk cari dari mana dia berasal. Apakah dia masuk ke dalam golongan bawah atau dia masuk ke dalam golongan atas. Saya masuk dalam golongan rendah atau saya masuk dalam golongan tinggi, di mana saya berasal. Ini sangat penting bagi manusia untuk mengerti kemuliaan dirinya. Saya golongan mana? Apakah saya termasuk terhormat karena darah? Mungkin dari nenek moyang saya ada pemimpin atau mantan raja di dalam kejayaan Indonesia, atau sebelum masa penjajahan Portugis. Sebelum Portugis datang, bukankah Indonesia penuh dengan kerajaan-kerajaan besar yang menguasai Asia. Apakah saya ada keturunannya, ada kaitannya dengan raja-raja itu? Mungkin saya keturunan dari raja kerajaan ini atau dari kerajaan itu. Berarti saya punya darah bangsawan. Kalau saya punya darah bangsawan berarti saya punya level kemuliaan lebih tinggi dari orang lain. Inilah kemuliaan saya. Bagaimana kalau saya tidak punya? Puji Tuhan zaman modern telah tiba, darah dan keturunan bangsawan bukan satu-satunya cara menjadi mulia. Sekarang ada cara lain menjadi mulia, kamu bisa menjadi mulia dengan pengakuan di dalam bidang kerja, pengakuan di dalam bidang ekonomi, pengakuan di dalam bidang keuangan, pengakuan di dalam bidang intelektual, pengakuan di dalam bidang pergaulan, kemampuan di dalam bidang mendirikan sebuah perusahaan, kemampuan di dalam mempunyai kecekatan kecepatan berpikir di dalam pasar atau di dalam kehidupan sehari-hari, ini semua cara untuk saya bisa mengambil level yang tinggi setelah tadinya saya hidup di dalam level yang rendah. Berjuang untuk menjadi mulia, berjuang untuk dapat tempat yang hebat, berjuang for a better position. Kalau dulu kamu bodoh, belajar, supaya kamu jangan terus bodoh, karena bodoh menghasilkan level yang rendah. Kamu tidak mungkin mulia karena kamu hanya orang bodoh yang rendah. Mau jadi orang bodoh terus? Tidak mau. Maka belajar baik-baik, belajar cari ilmu yang paling tinggi, cari kekuatan untuk dapat memperoleh berkat yang paling hebat melalui dunia pendidikan. Maka kamu bisa naik kedudukan dari keadaan rendah menjadi tinggi, dari tidak ada arti menjadi penting. Inilah yang membuat orang memahami kemuliaan. Saya belajar supaya saya bisa lebih mulia, saya menuntut ilmu supaya bisa saya bisa lebih agung, saya kerja baik-baik supaya saya bisa dapat kedudukan yang lebih tinggi, ini kemuliaan versi dunia. Tetapi ada satu pertanyaan penting yang mengganjal, siapa memberi kemuliaan ini? Ini salah satu bidang pertanyaan di dalam buku-buku hikmat Perjanjian Lama, terutama Kitab Pengkhotbah. Siapa memberi kemuliaan? Siapa mengangkat orang menjadi raja? Siapa mengangkat orang jadi lebih mulia dari yang lain? Saudara berusaha sekeras mungkin, Saudara bisa kaget menemukan ada orang tanpa kerja keras yang sama dengan Saudara, ternyata melampaui Saudara di dalam pencapaian. Ini membuat Saudara mulai memikirkan ulang tentang keadilan. Apakah Tuhan adil? Kalau Tuhan memang benar adil, mengapa orang yang kalah dari saya sekarang bisa lebih tinggi dari saya? Banyak duka cita dimiliki oleh orang yang merasa dirinya berbakat. Saudara yang merasa diri berbakat dengar ini baik-baik, orang kalau rasa diri berbakat, merasa diri harusnya dapat kedudukan, lalu dia lihat orang lain yang dia rendahkan, sepertinya bakatnya lebih rendah dari dia, tapi ternyata dia bisa lebih tinggi, ini akan menyakitkan, dan hidup orang ini akan sangat penuh penderitaan. Jadi dari pada Saudara merasa diri Saudara berbakat, lebih baik mengaku bodoh, ini membuat hidup kita lebih tenang. “Siapa kamu?” “Hanya orang bodoh.” “Jangan sok pura-pura rendah hati.” “Memang, tapi orang bodoh yang mau belajar.” Orang bodoh mau belajar, lihat ada orang pintar, dia mau jadikan orang ini guru. Orang berbakat lihat orang pintar, langsung merasa ada ketidakadilan, ada social injustice, ada yang salah dengan keadilan Tuhan. Lalu kalau lihat hidup orang lain lebih bahagia dari dia, ketika ditanya, “Kamu waktu sekolah dulu ‘kan rangkingnya di bawah saya, sekarang kamu kerja di mana?” “Pekerjaan saya sekarang adalah penasihat presiden.” “Dulu waktu sekolah ranking kamu di bawah saya, mengapa sekarang kamu bisa menjadi penasihat presiden? Kamu menjilat ke berapa orang?” “Saya tidak menjilat, saya tidak tahu mengapa saya bisa naik begini. Kamu bagaimana? Kamu ‘kan rankingnya di atas saya, kamu sekarang pekerjaannya apa?” “Saya penasihat lurah. Mengapa kamu bisa lebih tinggi dari saya? Kamu lebih bodoh dari saya, prestasimu lebih rendah waktu sekolah, kamu juga kuliahnya di tempat yang lebih jelek dari saya. Saya kuliah di tempat terbaik, mengapa sekarang kamu punya pekerjaan paling baik?” Orang itu cuma mengatakan, “How should I know? Saya tidak tahu, pokoknya saya lihat ada peluang saya daftar, kalau ada kemungkinan kerja, saya daftar. Ada teman mengatakan coba apply di sini, saya apply dan ternyata jadi terus saya juga tidak mengerti.” Maka orang ini mulai mempersalahkan Tuhan. “Tuhan mengapa dia hidupnya mudah, mengapa saya sulit? Mengapa karier dia cemerlang, karier saya meredup, mengapa dia begitu sukses, mengapa saya gagal? Saya maunya lebih tinggi dari dia. Mengapa Tuhan tidak adil?” Nanti Tuhan tanya dia, “Mengapa Aku tidak adil?” “’Kan saya lebih pintar, mengapa dia lebih tinggi?” “Kamu lebih pintar dari siapa?” “Lebih pintar dari dia.” “Mengapa kamu bisa lebih pintar dari dia?” “Tuhan yang memberi.” “Berarti Aku tidak adil dengan membuat kamu lebih pintar dari dia? Kalau begitu bagaimana kalau Aku membuat kamu sebodoh dia?” Matilah dia. Jadi bagaimana? Tuhan boleh membuat orang lebih pintar dari orang lain, tapi orang pintar merasa Tuhan tidak boleh membuat orang yang lebih bodoh lebih sukses dari dia, ini ‘kan aneh. Kalau kamu boleh lebih pintar dan orang lain, masa orang lain tidak boleh lebih sukses dari kamu. Kalau kamu mengakui kamu punya keunggulan terhadap orang lain dan ini Tuhan yang kasih, kamu juga harusnya bisa mengamini ada keunggulan orang lain yang Tuhan kasih kepada dia dan ini yang gagal dilakukan oleh orang-orang yang selalu anggap Tuhan tidak adil. Orang yang mengatakan Tuhan tidak adil selalu pikirannya buntu di tengah. Waktu otaknya bekerja dari kiri ke kanan atau dari kanan ke kiri, kerja otak bagaimana pokoknya saya cuma tahunya kerja saja. Waktu otak Saudara sedang bekerja tiba-tiba berhenti mendadak di tengah, ini orang yang selalu mempersalahkan Tuhan. Otaknya kurang panjang untuk berpikir, bukan bodoh, cuma kurang tuntas berpikir. Baru berpikir sedikit sudah ambil kesimpulan, baru disinggung oleh perasaan hati sendiri langsung simpulkan Tuhan tidak adil. Mengapa tidak adil? “Karena membuat dia lebih sukses dari saya.” “Memangnya kamu harusnya lebih sukses dari dia?” “Iya dong, ‘kan saya lebih pintar dari dia.” “Mengapa bisa lebih pintar dari dia?” Tuhan yang berikan. Waktu Tuhan memberi kamu kepintaran lebih dari orang lain, mengapa tidak komplain? Adakah yang pernah komplain tentang hal ini, “Tuhan, saya meragukan Engkau karena Engkau tidak adil. Mengapa saya lebih bahagia dari orang lain?” Ada yang mau komplain begitu? Komplainmu adalah komplain egois, bukan komplain berpikir sehat. Karena kalau engkau berpikir sehat, harusnya engkau komplainnya fair. Waktu orang lain unggul mempertanyakan Tuhan, waktu engkau unggul mempertanyakan Tuhan. Siapa pun yang unggul, Tuhan dipertanyakan. “Tuhan, mengapa saya lebih pintar dari orang lain? Engkau tidak ada.” Tapi begitu merasa dirinya bodoh “Tuhan, mengapa orang lain lebih pintar dari saya? Engkau tidak ada”, lalu maunya apa? “Maunya semua sama rasa sama rata.” kalau begitu sembahlah dewa namanya Karl Marx, karena dia menawarkan dunia sama rasa sama rata. Semuanya sama dan semuanya tidak punya kepemilikan, semuanya punya kehidupan yang levelnya sama, dan tidak ada orang lebih tinggi dari yang lain. Kalau tidak ada orang lebih tinggi dari yang lain, mengapa ada pemerintah komunis? “Itu transisi, sebelum kamu mampu menerima keadaan yang setara, mesti ada pemerintah komunis dulu.” “Sampai berapa lama masa transisi?” “Mungkin 2-3 juta tahun. Jadi kami akan berkuasa selama itu, setelah itu kami bebaskan engkau mempunyai masyarakat yang adil dan merata tanpa dipimpin oleh siapapun.” Ini komunis.

« 5 of 8 »