Dan di dalam Injil Lukas, baik Elisabeth maupun Maria menjadi gambaran dari Israel. Seolah-olah Israel di dalam keadaan rusak atau di dalam keadaan dibuang, harus bersikap seperti Elisabet dan Maria. Elisabeth itu siapa? Elisabet adalah si mandul yang tidak punya anak. Di dalam Yesaya dikatakan siapakah Israel? Israel adalah si mandul yang tidak punya anak. Siapakah Maria? Maria adalah perempuan yang tidak bersuami. Siapakah Israel? Di pembuangan Israel adalah perempuan yang tidak bersuami. Perempuan tidak bersuami dipandang negatif di dalam zaman dulu. Zaman dulu orang tidak punya suami bisa berarti beberapa, yang pertama dia berasal dari keluarga rusak sehingga tidak ada orang mau menyatukan keluarga dia dengan keluarga orang itu. Yang kedua orang ini mungkin pernah jatuh dalam persundalan sehingga tidak ada laki-laki mau menerima dia menjadi istri. Atau yang ketiga, da mungkin punya wajah sangat buruk atau mempunyai tabiat begitu buruk, sehingga nama yang buruk ini membuat tidak ada orang mau menikah dengan dia. Maka waktu Israel dibuang, Israel dijuluki perempuan tidak bersuami. Israel juga dijuluki perempuan tidak punya anak, si mandul. Tetapi di dalam Kitab nabi-nabi, Tuhan justru mulai berikan janji kepada si mandul yang tidak punya anak. “Yang tidak punya anak akan bersukacita karena banyak anaknya”, Tuhan juga mengatakan “yang tidak bersuami akan bersukacita karena banyak keturunannya”, ini kalimat sulit dimengerti, paradoks yang sulit. Tidak bersuami, bagaimana bisa punya anak? Si mandul, mengapa bisa bersukacita? Karena keturunannya banyak. Maka ada paralel antara kehidupan Maria dan Elisabet yang disajikan Injil Lukas dengan kondisi Israel di pembuangan. Kita bisa menggali kalimat-kalimat yang dikatakan Maria di dalam Magnificat sebagai kalimat yang harusnya dikatakan Israel. Ini membuat Maria menjadi representasi Israel. Ini mengagumkan, seorang perempuan remaja, mungkin dia masih 14 atau 15 atau 16 atau 17 tahun, dia masih remaja, karena orang zaman dulu menikah pada waktu masih remaja. Orang ini masih remaja dan dia perempuan, dia belum menikah. Dia orang muda yang tidak mungkin dianggap serius. Tetapi Injil Lukas menyajikan kalimat pujian dia kepada Tuhan sebagai kalimat perwakilan bagi Israel, sang negara tak bersuami. Sang perempuan yang dibuang Tuhan dan tak beranak, si mandul atau si perempuan tak bersuami. Tapi Maria mengungkapkan kalimat-kalimat yang membuat dia menjadi wakil dari seluruh Israel. Di dalam kitab Perjanjian Lama dikatakan Tuhan bangkitkan Israel supaya dari Israel muncullah janji. Jadi Israel dibangkitkan Tuhan sebab mereka akan jadi bangsa yang melahirkan Mesias di dalam keadaanNya sebagai manusia. Berarti Israel benar-benar dipuncakkan oleh Maria. Israel menjadi negara yang akan melahirkan Sang Mesias, dan Marialah perempuan yang Tuhan pilih untuk benar-benar melahirkan Sang Mesias dari rahimnya. Karena gambaran indah ini, gambaran tentang Israel yang diwujudkan dengan tokoh Maria, membuat Maria menjadi alat hermeneutik untuk memahami Israel. Inilah yang membuat orang liberal salah tafsir, orang liberal salah tafsir karena gambaran tentang Maria sebagai cerminan Israel itu begitu kuat, sehingga mereka bisa jatuh ke dalam kesalahan menganggap Maria tidak historis. Mengapa ada Maria, ini kan alat hermeneutika, alat sastra. Lukas menulis tentang Maria untuk membuat pembacanya mikir tentang Israel. Tapi Maria benar ada atau tidak? Tidak tentu ada, yang penting Lukas punya bahan membuat Maria menjadi gambaran dari Israel. Tapi kita tidak terima tafsiran ini, kita percaya bahwa yang membuat Maria menjadi contoh bagi Israel itu bukan Lukas, tetapi Tuhan. Tuhan yang membuatnya terjadi dalam sejarah dan Lukas hanya menyorotinya dengan sudut pandang yang tepat. Jadi Tuhanlah pengarang dari seluruh Kitab Suci dan Tuhan mengarang Kitab Suci melalui mengarahkan sejarah, sehingga sejarah benar-benar bersuara seperti yang dinyatakan oleh Kitab Suci. Jadi kita tidak terima perkataan mengatakan “Maria tidak benar-benar ada”. Waktu kita menyerang orang liberal, mereka langsung menantang kita mengatakan “mana sertifikat lahir Maria?”, siapa yang punya itu? “Kalau begitu dia tidak benar-benar ada”, kalau begini semua orang zaman dulu yang tidak ada sertifikat lahir, berarti tidak ada? Julius Caesar tidak pernah benar-benar ada. Soekarno kalau tidak ada sertifikat lahirnya, apakah berarti dia tidak benar-benar ada? Ini tafsiran yang salah. Maka kita percaya Tuhan mengarang sejarah, Tuhan memimpin sejarah. Lalu sejarah mempunyai pesan hermeneutis bagi kita di zaman sekarang. Siapa menulis catatan dari sejarah ini di dalam anugerah Tuhan, mereka sedang menyajikan kepada kita catatan sejarah sekaligus arah membaca. Lukas bukan cuma catat sejarah, Lukas juga memberikan pesan bagaimana menafsirkan. Ini mirip dengan kalau Saudara melihat lukisan, lalu ada pesan dari pelukis bagaimana menafsirkan lukisan ini. Atau Saudara memainkan karya seorang komposer, lalu komposer itu memberikan pengertian bagaimana harus ditafsir. Alkitab memberikan kepada kita cara baca sejarah. Sehingga kita tidak salah tafsir. 

Kita lihat ada Elisabeth, kita lihat ada Maria, jangan cuma tafsir ini 2 perempuan yang pernah ada dalam sejarah lalu Tuhan berikan anugerah besar. Mereka juga adalah cara Tuhan menyampaikan kepada kita bagaimana Tuhan mau Israel seharusnya menjadi. Israel harusnya bagaimana? Waktu mereka sudah dibuang, waktu mereka dalam keadaan buruk mereka mesti bagaimana? Respon Israel harusnya mirip dengan respon Elisabeth, terutama respon Maria. Ketika malaikat mengatakan “kamu akan melahirkan seorang anak, engkau akan melahirkan anak yang akan meneruskan tahta dari leluhurmu yaitu Daud”. Dan Maria mengatakan “bagaimana mungkin sebab aku belum bersuami”, Maria berpikir tentang melahirkan. Melahirkan berarti dia harus menikah dulu, dan menikah berarti suaminya harus orang penting, anak raja untuk turunkan raja. Yusuf memang keturunan Daud, tapi dia keturunan Daud di dalam jarak yang sudah terlalu jauh. Dia cuma orang miskin, dia cuma tukang kayu yang tidak punya kemampuan memberikan persembahan di dalam taraf yang wajar bagi orang miskin sekalipun. Dia orang miskin dari orang miskin. Maka Maria bingung “bagaimana mungkin Anakku adalah Anak Raja meneruskan Tahta Daud, kalau aku belum punya suami?”, yang dia maksud bukan cuma belum punya suami secara fisik, tapi juga belum punya suami di dalam status yang layak. Tapi Tuhan mengatakan “Roh Kudus akan menaungi kamu”, maka setelah itu Maria mengatakan “aku sesungguhnya adalah hamba Tuhan”, ini harusnya Israel yang bicara. “Sesungguhnya aku adalah hamba Tuhan, jadilah padaku sesuai dengan yang Tuhan mau”, Israel yang harusnya bicara ini. Tuhan banyak koreksi Israel melalui tokoh-tokoh yang dianggap kurang penting. Maria sekarang kita anggap penting, terutama di dalam tradisi Katolik. Tetapi di dalam waktu abad pertama, ketika Lukas ditulis, perempuan seperti Maria tidak pernah dianggap penting, hanya gadis muda yang masih usia belum nikah, yang baru mau menikah. Apa yang dia punya? Masa dia bisa berpuisi? Lalu orang-orang imam, pemimpin-pemimpin orang-orang senior, teolog-teolog pintar belajar dari dia? Tidak mungkin. Tapi Lukas membuktikan orang muda ini Tuhan pakai untuk mengekspresikan satu puisi, satu pujian yang harusnya dinyanyikan Israel. Seluruh Israel harusnya menyatakan yang Maria nyatakan. Lalu apa guna ini untuk hidup kita sekarang? Sama, sepertinya kita adalah orang yang sudah jauh dari Tuhan. Dan kita mau paralel kembali dengan Israel “aku mau jadi bagian dari umat yang menyerukan hal yang benar. Aku mau jadi bagian dari umat yang berseru kalimat-kalimat pujian bagi nama Tuhan”. Itu sebabnya Maria menjadi contoh bagi umat Tuhan. Sama seperti Maria kita akan mengatakan “Tuhan, Engkau adalah Tuanku dan aku adalah hambaMu. Jadilah kepadaku sesuai dengan kehendakMu”, ini kalimat dikatakan oleh Maria di dalam kondisi buruk. Dia akan segera hamil dan dia belum bersuami, dan malaikat cuma mengatakan “Roh Kudus akan turun padamu”. Maria tanya “aku belum punya suami, bagaimana aku bisa punya anak?”, dia harap jawabannya adalah “tenang Maria, sebentar lagi kamu akan menikah dan dari suamimu itu engkau akan punya anak”, ini jawaban yang dia nantikan. Tapi yang malaikat berikan adalah “bukan, kamu hamil bukan karena seorang laki-laki, tapi Roh Kudus akan turun atas kamu”, berarti Maria punya banyak sekali kesulitan ke depan. Tapi Maria mengatakan “Tuhan, sesungguhnya aku ini adalah hambaMu, jadilah kepadaku sesuai dengan kehendakMu”, seharusnya ini kalimatnya Israel. Dan ini seharusnya kalimatnya gereja. Gereja berani mengatakan demikian, “Tuhan kami adalah hambaMu, jadilah kepada kami seperti yang Engkau mau”, kalimat ini kalimat yang secara sehari-hari seharusnya gereja panjatkan kepada Tuhan. Gereja berkumpul dan berdoa dan mengatakan “Tuhan jadilah pada kami sesuai dengan yang Engkau mau”. Dan ini juga harusnya dikatakan oleh setiap pribadi yang diselamatkan ke dalam gereja Tuhan. Kita mengatakan “Tuhan jadilah kehendakMu, kami hanya hamba-hambamu. Kita hanya hamba dan Engkau adalah Tuan, berikanlah kepada kami perintahMu dan kami akan jalankan. Tuhan apa yang Engkau kehendaki, jadikan itu perintah”, ini kalimat Agustinus. “Jadikan perintah jika itu kehendakMu, sebab jika Engkau punya kehendak, tidak ada kesenangan lebih besar daripadaku selain kesenangan mengerjakan yang Tuhan kehendaki”, ini satu bagian dari pengharapan umat Tuhan. Apa pengharapan umat Tuhan? Pengharapan umat Tuhan adalah kalau kita boleh menjadi hamba yang Tuhan percayakan perintahNya. Seperti hamba-hamba yang dibariskan oleh tuan rumah, masing-masing diberikan tugas-tugas, hamba yang diabaikan tidak diberikan tugas, ini hamba paling kasihan. Maka hamba-hamba semua berdoa “Tuhan, berikan kepadaku yang Engkau mau dan kami akan jalankan, sebab Engkau adalah Tuan kami”. Biar kita jadi hamba seperti itu, jangan senang jika Saudara menjadi hamba yang Tuhan tidak tugaskan apa-apa. Saudara mulai bingung “mengapa Tuhan seperti tidak pedulikan aku, mengapa aku seperti menjalani hidup terpisah dari Tuhan, mengapa setiap langkahku aku sendiri yang tentukan, mengapa setiap kali aku punya pandangan dan rencana masa depan, aku putuskan dulu baru kemudian Tuhan harus setuju. Mengapa saya tidak mau berkata dari awal, aku adalah hambaMu. Jadilah kepadaku sesuai dengan kehendakMu”. Harap kita mempunyai kemampuan seperti ini, karena Maria memuji Tuhan setelah dia mengatakan kalimat penting ini “jadilah padaku sesuai dengan kehendakMu”, baru dia mengatakan “hai jiwaku tinggikanlah Tuhan”, ini jadi hal yang kita pelajari di dalam pendahuluan dari Magnificat.

Harap kita menjadi umat yang rindu mendapatkan sukacita karena janji Tuhan. Apa yang Tuhan janjikan? Bahwa Saudara dan saya akan jadi hamba yang setia, hamba yang mengerjakan apa yang Tuhan mau. Mari ubah cara memandang hidup, kesenangan-kesenangan palsu dari dunia ini tidak ada guna. Mengapa terus tenggelam di dalamnya, mengapa suka hal-hal tidak penting, mengapa dihibur oleh hal-hal bodoh? Mari belajar beriman kepada Tuhan dan mulai tangkap apa yang Tuhan mau berikan sebagai kelimpahan. Dan salah satu kelimpahan paling besar adalah Saudara mau rela dipakai Tuhan menjadi hamba Tuhan, rela dipakai menjadi orang yang mengatakan “saya mau taat, perintahkan kehendakMu, saya akan jalankan”. Biar kita janji sama Tuhan “aku adalah hamba”, hamba tidak peduli penghidupan dia di masa depan karena Tuhan yang akan atur. Hamba tidak peduli untung rugi, karena Tuhan yang akan pelihara. Hamba tidak peduli kesenangan-kesenangan palsu, karena kesenanganku yang sejati adalah di dalam Tuhan. “Tuhan perintahkan kehendakMu dan aku akan terhormat menjalankannya”, biar kita doa seperti ini.

(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

« 4 of 4