Hal pertama yang membuat kita tidak berharap adalah kita dapat kesenangan dunia. Hal kedua yang membuat kita tidak berharap adalah kita tidak mempunyai ekspektasi tentang Tuhan di dalam dunia ini. Kita tidak tahu Dia mau kerja apa dan kita tidak peduli. Maka segala hal yang baik di dalam dunia hanya bisa jadi baik kalau kita punya tenaga dikuras disitu, ini yang kita percaya yang membuat kita tidak berharap kepada Tuhan. Mengapa tidak berharap kepada Tuhan? “Karena saya tidak merasa Tuhan akan melakukan sesuatu di bumi. Tuhan ada di surga dan nanti Dia akan membuat kesempurnaan itu di surga, di bumi tidak. Kita ini tinggal tunggu mati, nanti roh kita ke surga dan kita senang bersama dengan Dia selama-lamanya”. Richard Middleton mengkritik beberapa lagu hymn yang memberikan tekanan hanya kepada surga tapi tidak kepada bumi. Ini kritik yang valid, kita tidak mengatakan semua lagu hymn pasti memiliki konten yang sudah sempurna, tidak. Kita berani kritik lagu-lagu yang kurang baik secara musik, secara beat atau secara melodi, dan kita juga harus adil mengkritik lagu-lagu yang secara teks tidak memberikan pengharapan yang imbang. Tentu tidak salah mengatakan kita punya pengharapan di surga, tetapi salah besar jika pengharapan di surga tidak kita kaitkan dengan pengharapan Tuhan mengerjakan sesuatu atau bahkan mengerjakan banyak hal di bumi. Saudara dan saya harus berharap Tuhan bekerja di sini. Saudara dan saya mesti berharap Tuhan bekerja di Bandung, Tuhan bekerja di negara kita, ini jadi pengharapan yang nyata karena Tuhan berjanji akan lakukan itu. Berapa banyak janji Tuhan di mana kalimat tentang bangsa-bangsa dimasukkan ke dalamnya? Banyak sekali. Tuhan mengatakan “Aku akan menjadikan engkau terang bagi bangsa-bangsa”. Tuhan mengatakan “pulau-pulau akan mengharapkan pengajaranmu”, Tuhan mengatakan karena Dia rela menanggung dosa umat, maka Tuhan akan memberikan bangsa-bangsa kepada dia sebagai jarahan. Di dalam Mazmur 2 dikatakan bangsa-bangsa akan dijadikan alas kaki, siapa menolak Sang Anak akan dihancurkan, siapa tunduk kepada Sang Anak dia akan dilibatkan ke dalam kerajaanNya. Mazmur berkali-kali berbicara tentang Sang Anak Allah menghakimi bangsa-bangsa. Di dalam Yesaya dikatakan bahwa bangsa-bangsa akan Tuhan tarik. Di dalam Yeremia ada penghakiman bagi bangsa-bangsa. Tuhan dengan serius melihat keadaan di dalam sejarah dan berjanji akan melakukan sesuatu di dalamnya. Kalau kita punya orang tua, lalu kita mengatakan “papaku itu orang hebat dia akan berjuang bagi kantornya, dia akan berjuang memajukan usahanya, dia akan melakukan banyak hal untuk pekerjaannya”, tapi Saudara tidak lihat papa Saudara melakukan sesuatu untuk keluargamu, maka Saudara akan selalu punya bayang-bayang tentang papa yang asing, yang abstrak, yang punya perjuangan berat di luar tapi yang di dalam keluarga Saudara tidak tahu perannya apa, Saudara tidak kenal, dan Saudara tidak tahu perjuangan yang dia kerjakan untuk istrinya atau untuk anak-anaknya. Ini membuat Saudara punya gambaran tentang bapa yang tidak realistik, yang tidak bersentuhan dengan hidup sehari-hari. Allah tidak seperti itu. Kalau kita mengatakan “Bapa di surga menangani tahtaNya di surga, tapi bumi diabaikan”, maka Saudara akan masuk surga dan Saudara akan merasa asing dengan Allah. Ini kalimat yang penting, jika Saudara tidak melihat Allah sebagai yang bekerja di bumi, maka momen Saudara masuk surga, Saudara akan berkenalan dengan Allah yang asing. Saudara akan bertanya “siapakah Engkau?”, “Akulah Bapamu”, “maaf, saya kurang kenal”, mengapa bisa kurang kenal? Karena saya mengharapan Engkau bekerja di surga, tapi aku tidak pernah mengharapkan Engkau bekerja di bumi. Kadang-kadang untuk melawan tradisi Karismatik, kita menjadi ekstrem di dalam sisi yang lain. Banyak orang dari tradisi Karismatik percaya Allah mengerjakan mujizat dan mengerjakan banyak hal di bumi, tetapi untuk melawan itu kita menjadi kontranya, menjadi antitesisnya. Dengan mengatakan “kalau saya tidak setuju dengan kamu, saya percayanya lain”, jadi kita menjadi orang yang didikte oleh kondisi keadaan kita sendiri. Akhirnya kita menjadi orang yang dikurung, didikte oleh kebodohan kita sendiri. Saya tidak suka orang-orang menjadi penganut kubu, lalu dari menganut kubu berjuang melawan kubu yang lain, ini bodoh. Yang tidak menjadi musuh jangan dimusuhi, yang jadi musuh jangan dijadikan teman, ini jadi prinsip penting yang dasar. Kalau saya menjadi orang Kristen, saya akan belajar tahu siapa rekan sekerjaku. Dengan demikian saya tidak akan didikte oleh menjadi lawan. Banyak orang mau menjadi lawan dari orang yang dia benci, tanpa sadar dia didikte oleh orang yang dia benci. Kadang-kadang kita berpikir kalau tidak ada opsi 100 pasti 0, dan mendengar khotbah pun sering begitu. Pokoknya kalau bukan 100 pasti 0. Kalau khotbah mengatakan “Saudara jangan cinta harta”, “berarti tidak boleh punya uang”, dari mana logika ini? Ini namanya false dillema, kalau saya mengatakan satu hal, Saudara mengambil posisi lain yang saya tidak katakan, Saudara melakukan hal yang salah. Saudara jangan cinta uang, “kalau begitu saya tidak boleh punya uang, kata pendeta begitu”, Kapan pendeta mengatakan begitu? “Itu katanya jangan cinta uang”. Jangan cinta uang berarti harus benci uangkah? Tidak begitu kan? Saudara tidak boleh cinta istri lebih daripada cinta Tuhan, “kalau begitu saya ceraikan dia, karena aku tidak boleh cinta dia, aku harus benci dia”, itu kalimat dari mana? Kalau bukan 100 berarti 0, ini kesalahan tafsir yang berasal dari kesalahan berpikir yang sangat dasar. Kalau begitu bagaimana perbaiki kesalahan berpikir? Perbaiki cara berpikir. Bagaimana perbaiki cara berpikir? Belajar tata bahasa yang simple, belajar logika dasar. Saudara mesti tahu cara berpikir yang benar maka Saudara mesti belajar logika. Saudara mesti tahu cara menuturkan pikiran yang logis itu, maka Saudara belajar grammar dan retorika. Imu-ilmu yang penting dibahas dan didiskusikan dan dipelajari lebih dulu baru setelah itu bahas yang bersifat aplikatif. Itu sebabnya kita menemukan di zaman kita sekarang, banyak orang ahli dibidang dia, tapi luar biasa bodoh di bidang lain. Yang lebih celaka luar biasa bodoh di dalam berpikir. Makanya kita sungguh heran bagaimana bisa orang hebat ini tapi dengar khotbah yang kacau. Pernah bingung seperti itu? Karena dia dilatih untuk menerapkan pikirannya di dalam bidang dia, tapi tidak dilatih untuk menerapkan berpikir dasar. Itu sebabnya banyak orang pintar luar biasa, tapi bisa amin-amin dengan kota yang bodoh. “Saudara-saudara kalau Tuhan mengatakan kepadaku hari ini engkau harus cari baju warna hitam, karena hari ini adalah hari kedukaan”, “tahu dari mana pak?”, “Tuhan bicara langsung kepadaku”, “amin, pendetaku dekat dengan Tuhan”. Siapa yang mengatakan amin? Seorang Ph.D., berarti dia punya gelar doktor. Di luar dia punya gelar philosophical doctor, tetapi di gereja menjadi permanent head damage, ini jadi sesuatu yang aneh. Maka siapa ahli dalam bidang dia, tapi tidak belajar cara berpikiran dasar, tidak belajar cara menuturkan yang dasar, tidak belajar cara mendapatkan kesimpulan dari mendengarkan argumen secara dasar, dia akan jadi orang yang selalu salah menafsirkan khotbah. Itu sebabnya jangan salah dengar, jangan punya kesalahan berpikir, mari baik-baik pikirkan tentang apa yang Tuhan sampaikan. Mari pikir baik-baik apa yang Saudara dengar. Mari pikir baik-baik sebenarnya bagaimana dengan adil menafsirkan firman Tuhan, sehingga kita tidak menjadi mainan dari si jahat yang hobinya menipu. Orang dengan pikiran gampang diselewengkan terus jadi korban setan, terus membuat perpecahan kemana-mana, terus kritik hal yang sebenarnya tidak perlu dikritik. Maka mari kita belajar dengan tenang menerima firman Tuhan dan dengan tenang memahami apa yang Dia mau berikan sehingga kita terima di dalam hidup kita. 

Ketika Saudara mau coba tahu bagaimana memparalelkan, membuat hidupku setara dengan apa yang Tuhan mau, Saudara mesti melihat secara jelas konteks yang Saudara alami dengan konteks yang dialami di dalam Kitab Suci. Kitab Suci menjadi pengatur cara berpikir Saudara, dengan dia menjadi cermin. Cermin apa? Cermin bagi hidup kita. Saudara perlu cermin waktu Saudara ingin tahu wajah Saudara seperti apa. Saudara tidak mungkin mengetahuinya dengan merenung, Saudara duduk di kamar lalu merenung “seperti apa wajahku”, lalu Saudara pikirkan, renungkan, munculnya wajah artis, dan itu salah, tidak nyambung. Tapi kalau Saudara lihat cermin baru Saudara tahu “karena bantuan cermin saya tahu wajahku seperti apa. Saya tahu ada kotoran di mana, saya tahu apa yang direfleksikan, saya tahu bagaimana menolong hal yang bisa ditolong dari wajahku dan menerima hal yang tidak bisa ditolong lagi dari wajahku”, semua karena ada cermin. Maka waktu Saudara membaca Alkitab, Alkitab menjadi cermin hidup Saudara. Tapi untuk Kitab Suci jadi cermin, Saudara mesti lihat paralelnya kisah dari hidup Saudara dengan kisah yang ditampilkan oleh Alkitab. Alkitab membagikan kisah-kisah supaya kita dapat melihat kisah Kita sebagai kisah yang bisa dicerminkan dari Kitab Suci. Kita mulai melihat bagaimana saya bisa berharap, bagaimana saya bisa punya kesenangan, bagaimana saya bisa menikmati Tuhan. Saya menikmati Tuhan karena Tuhan memberikan kisah dimana Dia bekerja di bumi. Di mana di Alkitab digambarkan Tuhan tidak bekerja di bumi? Tidak ada satu kitab pun yang menggambarkan Allah cuma peduli kondisi di surga karena seluruh kitab dari Kejadian sampai Wahyu bercerita dengan fokus cerita di bumi bukan di surga. Lain dengan mitos dari bangsa-bangsa kafir, mitos bangsa-bangsa kafir adalah tentang kondisi di surga, kondisi di khayangan, kondisi di langit, kondisi di dunia dewa-dewa. Tapi Kitab Suci bukan mitos, Kitab Suci bercerita tentang Tuhan yang serius bekerja di dalam dunia ini, Tuhan yang peduli sejarah, Tuhan yang arahkan sejarah, Tuhan yang atur sejarah. Maka kita perlu mempunyai kemampuan melihat bagaimana Alkitab memberikan tulisannya sebagai cermin untuk kita berkaca. Satu kalimat bagus dari seorang ahli Perjanjian Baru namanya Osborne. Osborne mengatakan di dalam buku dia tentang hermeneutik, dia mengatakan makin Saudara menggali Kitab Suci dengan segala tools yang ada, semakin membuat Saudara mendapat kekayaan. Dan kekayaan ini membuat Saudara melakukan hal yang paradoks, yaitu makin Saudara terbenam di dalam kisah masa lalu, makin Saudara seperti dibawa ke zaman lampau, makin Saudara dengan jelas melihat zaman ini. Ini penting, waktu Saudara membaca Alkitab, misalnya Injil Lukas, Saudara akan punya insting awal, ini kalau sudah belum punya kebiasaan baik membaca Alkitab, Saudara akan coba mencari tahu dimana hidup Saudara dipresentasikan di sini. Saudara akan membaca Injil Lukas dengan berharap melihat kondisi di Bandung. “Ini Injil Lukas, paling tidak aku bisa melihat kehidupanku di sini”, maka kita membaca lalu melihat “mana kondisi hidupku? Tidak dicerminkan sama sekali”. Seumpama kondisi hidup Saudara adalah sedang patah hati,Saudara akan coba membaca dimana Injil Lukas bercerita tentang pacaran. Tidak ada, kalau begitu kita tidak bisa pacaran, maka pacaran pakai cara dunia karena Alkitab tidak memberi tahu cara pacaran. Apakah Alkitab memberi tahu cara pacaran? Tidak, karena Alkitab tidak memberitahu bagaimana mendekati seorang perempuan, mestinya ada di Lukas. Ketika itu Yesus berkata “apakah engkau sudah menikah? Pemuda itu mengatakan “belum”, “segeralah cari pacar”, “bagaimana caranya, Tuhan?”, “berikut caranya”, catat. Ini menyenangkan, pertama ajak ngobrol tentang hal-hal sederhana dulu. Misalnya tentang alasan kekalahan Brazil atau mengapa Belanda tidak pernah juara dunia, ini contohnya. Lalu setelah itu mulai bicara tentang hal yang lebih dalam, misalnya “apakah panggilanmu”, baru setelah itu tembak dia “maukah jadi pacarku?”. Ada tidak di Injil Lukas? Kalau ada, berarti saya kelewat bacanya. Tidak ada, “kalau begitu Tuhan tidak bicara soal pacaran”, memang. Kalau begitu pacaran tidak diatur oleh Kitab Suci? Salah. Pacaran diatur oleh Kitab Suci? Iya. Mana ayatnya? Kita selalu minta ayat, kita tidak minta cerita, harusnya Saudara minta cerita. “Bagaimana punya pacar?”, “ada di Alkitab”, “mana ceritanya?”, itu baru benar. Tapi kita selalu minta ayat, makanya kita cuma dapat sepenggal-sepenggal, kalimat-kalimat pendek yang kita tidak mengerti artinya. Cuma bagus untuk status di Facebook atau status di WA. Status orang Reformed di WA itu luar biasa, kutip Alkitab, kutip Calvin, kutip Luther tanpa pernah baca teks utuhnya, itu hebatnya kita. “Calvin mengatakan demikian diambil dari buku Commentary Mazmur”, sudah pernah baca? “belum”. Sama, kita berlakukan Alkitab seperti itu, “mana ayatnya?”, tidak ada ayatnya. “Mana ayatnya untuk berdoa?”, tidak ada ayat untuk berdoa, “kalau tidak ada ayat untuk berdoa, berarti Alkitab tidak mengajar kita untuk berdoa”, ada, cari ceritanya, cari narasinya, banyak. Tentang pacaran ada narasinya? Ada, pacaran adalah narasi yang sangat melimpah di dalam Kitab Suci karena juga berkait dengan perjanjian antara Allah dan Israel. Kalau begitu untuk mengerti pacaran, saya mesti mengerti relasi Allah dan Israel? Iya, ini ditulis di buku saya Pacaran dan Pernikahan. Waktu Saudara mau lihat kisah hidup Saudara dicerminkan, Saudara justru akan mendapat hikmat dengan tenggelam ke dalam kisah Kitab Suci. Jangan terlalu banyak mau lihat dirimu disini, tapi berusaha untuk melihat ceritanya. Sama dengan Saudara bercermin, waktu Saudara bercermin, Saudara melihat wajah Saudara atau lihat bayangannya? Tidak mungkin melihat wajah, pasti kita akan lihat pancaran cahaya yang dipantulkan oleh wajah kita. Tetapi pantulan di cermin itu pantulan dari wajah kita langsung atau pantulan dari cermin? Dari cermin. Bagaimana seumpama Saudara bercermin cermin, sambil Saudara bercermin sambil Saudara ingin melihat wajah Saudara langsung, bisa tidak? Tidak bisa. Saudara ingin melihat langsung karena Saudara tidak terlalu percaya dengan cermin ini. Itu yang kita lakukan waktu kita membaca Alkitab dan kita berharap “hidup saya kelihatan di sini”. Jangan, Saudara lihat saja cerita Alkitabnya. Makin dalam lihat, makin Saudara lihat relevansinya dengan hidup Saudara. Itu yang saya sangat tekankan di dalam hermeneutika. Makin Saudara kembali ke masa lalu, makin masa kini jadi terang. Ini sebenarnya ide belajar sejarah dari seorang bernama Hegel, dia mengatakan bahwa sejarah adalah guru yang baik. Tetapi kesalahan yang justru dibuktikan dalam sejarah adalah manusia tidak mau belajar dari sejarah. Apa maksud Hegel tidak mau belajar dari sejarah? Ini penting, kita tidak mengerti yang dia maksudkan, kita cuma tahu kalimat itu untuk dijadikan status WA. Hegel mengatakan manusia tidak mau belajar dari sejarah, apa artinya? Artinya adalah manusia tidak pernah anggap masa lalu itu serius. Masa lalu tidak serius bagi kita, bagi kita yang penting itu masa kini, masa dimana saya hidup. Masa lalu tidak penting, maka kita gagal belajar sejarah karena kita selalu lihat sejarah dari sudut pandang kita sekarang. Kita terlalu banyak mengkontekskan masa lalu ke dalam konteks kita sekarang. Kita tidak menghargai kondisi lalu karena kita tidak menganggap itu penting, dan itu salah. Ini menjadi satu prinsip hermeneutik yang penting. Hegel menganggap dirinya teolog, tapi kita tahu teologi dia sangat kacau. Tapi dia memberikan pengajaran tentang penghargaan kepada zaman, hargai masa lalu di dalam keunikannya. Jangan nilai dengan zaman kita sekarang. Bisakah Saudara hargai zaman Injil Lukas? Cara menghargainya adalah dengan Saudara serius memahami cara berpikir orang dulu dan tidak menganggapnya rendah. Maka waktu kita baca dari Injil Lukas, kita tahu intensi Injil Lukas, penulis mau mengatakan apa, gaya menulisnya seperti apa, ini membuat kita mampu mengerti pesan yang sedang disampaikan. Maka mari kita gali cerita dan Tuhan memberikan banyak sekali alat untuk menafsir di dalam Kitab Suci. Ini yang dikatakan Osborn di dalam bukunya tentang hermeneutik, Osborn mengatakan waktu Saudara membaca Kitab Suci, Saudara akan mengamati begitu banyak cara penulisan masa lalu yang dimasukkan ke dalam Alkitab ini. Alkitab itu kaya bukan makin, semakin gali, semakin lihat bukan cuma kekayaan pesan tapi kekayaan cara menyampaikan pesan. Seringkali Tuhan membuat kesimpulan dari seluruh sejarah di dalam tokoh. Kadang-kadang Tuhan bangkitkan orang untuk menjadi gambaran bagi sesuatu yang besar. 

« 3 of 4 »