Kita harus belajar dari bagian ini. Orang kusta itu memberikan sebuah respons yang tepat. Sekarang Ayat 3, “Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata, ‘Aku mau, jadilah engkau tahir.’ Seketika itu juga tahirlah orang itu daripada kustanya.” Di dalam seluruh Perjanjian Lama, kita tahu satu hal, di dalam Hagai 2 yaitu yang kudus yang kena yang tidak kudus atau yang najis, yang kudus menjadi najis. Sekali lagi, itu di dalam ilustrasi Hagai, Kalau kamu bawa daging yang kudus di rumah, lalu jubahmu itu kena sesuatu yang normal, netral, apakah yang netral menjadi kudus? Jawabannya tidak. Tapi kalau kena yang najis, yang kudus tadi jadi najis? Jadi najis, itu bagiannya. Lalu di dalam Imamat pasal 5, dikatakan orang yang pegang sesuatu yang najis, itu akan menjadi najis, ini adalah hukum, jadi tidak boleh sembarangan. Tetapi di dalam konteks ini, Kristus seolah-olah melanggar perintah Hukum Taurat. Apakah Dia melanggar? Jawabannya tidak, karena waktu Kristus pegang, Dia menyembuhkan yang sakit itu. Di dalam Perjanjian Lama tidak pernah ada kasus semacam ini terjadi. Oleh sebab itu di dalam konteks Dia menjamah orang kusta dan orang kusta menjadi sembuh itu menyatakan bahwa Dia itu adalah Sang Kudus. Kalau kita balik tanya what Jesus do? Kita datang kepada orang kusta lalu memeluknya, itu tidak konteks yang actual di dalam konteks ini, karena yang dilakukan Kristus itu adalah menyatakan Dia Tuhan. Kalau kita memeluk orang kusta, kita tidak mengatakan tidak boleh tetapi jangan pakai ayat ini untuk membenarkan tindakan kita yang seperti itu. Kalau kita memang mau peluk mereka yang kotor, yang mungkin kusta, silakan, tetapi itu dari hati yang mencintai. Sama seperti misalnya di dalam konteks covid. Covid yang lagi menakutkan itu, suaminya kena covid, istrinya melakukan apa? Tetap saja serumah, merawat suaminya yang sedang sakit, itu tidak masalah. Dia mengatakan, “Saya kena tidak apa-apa, karena itu suami saya.” Ini konteks yang tepat, karena cinta maka melayani, bukan karena indoktrinasi yang salah. Kita melayani membesuk orang yang sakit, memegang mereka bukan dalam konteks karena Yesus lakukan itu, saya lakukan ini. Justru yang kita perlu lihat adalah yang dilakukan Yesus itu berangkat dari belas kasihan dan kita waktu berangkat dari belas kasihan, kita melakukan hal yang lebih daripada apa yang biasanya diberikan oleh seseorang. Maka di dalam kontes ini orang sakit itu maksudnya orang kusta, cuma minta apa? Disembuhkan, tapi Yesus pegang.

Perikop berikutnya, Tuhan Yesus bisa menyembuhkan hamba seorang dari perwira di Kapernaum itu dari jarak jauh. Berarti Tuhan Yesus tidak harus pegang, Dia cukup mengatakan, “Aku mau.” Selesai. Mengapa Tuhan Yesus pegang? Alasan yang pertama, mau menyatakan bahwa Dia adalah Mesias, Dia adalah Allah. Tetapi sekarang Dia melakukan lebih daripada apa yang diminta oleh orang kusta ini. Orang kusta cuma minta sembuh, tapi Dia diterima oleh Kristus, ini yang lebih menyentuh hati. “Selama ini orang menjauhi saya karena saya punya penyakit kulit, tapi hari ini Kristus pegang dan menjamah saya.” Ini seperti Mother of Theresa. Kita tahu beliau mempunyai hati yang konsisten untuk melayani anak-anak yang dibuang, anak-anak yang punya penyakit macam-macam, ada yang kusta juga dia pegang, dia rawat, dia peluk, dan ini berangkat dari compassion. Ini sesuatu yang saya percaya digerakkan oleh Kristus sendiri, Roh Kudus menggerakkan.  Di dalam perikop-perikop ini apa yang kita pelajari? Waktu kita menyatakan belas kasihan, di situlah letak mujizat itu sendiri. Karena Kristus yang sudah memberikan satu kesembuhan, kita sekarang dipakai menjangkau orang, menjadi perpanjangan tangan Tuhan, membawa mereka kembali kepada Dia. Itulah poin yang kita bisa lihat di dalam konteks ini. Kita perlu melihat di dalam perikop ini, kitalah orang kusta itu, kitalah sampah masyarakat itu, tapi Tuhan jamah kita. Mungkin ada satu ilustrasi, beberapa bulan lalu saya pergi ke factory outlet, lalu di situ ada boneka anjing, saya lihat lucu juga, lalu tanya harganya, ada diskon, ternyata kupingnya kurang simetris makanya jadi barang reject, jadi harganya diskon. Secara otomatis kita yang beli ini selalu mau barang sempurna, lalu tanya, “Apa ada barang yang lain?” “Tinggal satu.” Tiba-tiba saja saya pikir, “Kita saja mau beli mau barang yang sempurna.” Saya tidak mengatakan kita harus beli barang reject, saya mulai teringat, bukan terlalu melankolis juga, tapi baru teringat satu hal saya mau belanja barang saja cari yang sempurna. Tapi yang indah adalah justru kita kalau mau ngomong kita adalah sampah, kita adalah orang yang sebetulnya najis, kita adalah orang yang kotor, tetapi Kristus mengambil kita dan bayar dengan darah-Nya yang mahal. Saya tetap beli boneka itu karena harganya murah dan masih bagus. Tetapi Kristus menebus kita dengan harga yang tidak bisa dibayangkan dan kita ini bukan benda yang prestisius. Kristus membeli dan menyempurnakan kita sekarang. Dan ini adalah anugerah yang besar untuk kita renungkan. Dan dengan menyadari ini, saya percaya juga kita akan humble, tidak sembarangan menghakimi orang dan melihat orang lain dengan pandangan yang seperti itu. 

« 6 of 7 »