Dalam konteks kita memang agak sulit, sepert saat awal-awal covid. Dulu kalau kena covid, bukan sekarang, kalau sekarang kita bisa bercanda, “Sudah berapa kali kena covid?” “Saya udah S3”, dari covid yang pertama, omicron, delta, semua sudah komplit. Kalau tanya Pak Rudi juga sama, “Tinggal update saja yang belum.” Cuma kalau awal-awal sepertinya kalau mengatakan kita kena covid, ini aib, sepertinya kita bersalah banget. Belum lagi ada orang-orang tertentu yang merasa sepertinya, “Puji Tuhan, saya belum kena covid.” Waktu mengatakan begitu sepertinya dia lebih dilindungi Tuhannya. Sedangkan kita yang pernah kena covid sepertinya kita agak merasa sinful. Dan kita juga setiap kali mau pergi sepertinya kita penyakitan, harus dites bolak-balik. Jadi kita hamba-hamba Tuhan ini agak setengah mati juga, banyak mengeluarkan air mata. Ini sungguh-sungguh bukan figuratif karena dicolok terus hidung itu. Jadi waktu covid itu kita menemani Pak Tong makan siang, kalau pelayanan di Pusat, semua yang menemani itu di tes. Tiap minggu hidung dicolok satu kali, air mata mengalir terus, mau tahan bagaimana juga tidak bisa. Jadi kita bisa lihat pada waktu itu, kalau kena covid rasanya itu seperti aib, apalagi diteror. Tapi sekarang sudah tidak.
Hari ini mungkin konteksnya seperti orang yang kena sakit AIDS. Penderita AIDS itu sangat marginal. Bahkan kalau kita ketemu mereka dan mau salaman, kalau orang tidak mengerti rasanya seperti dia kena kusta, langsung tangan tidak berani pegang apa-apa, gemetaran sedikit. Langsung cuci tangan setelah pulang, kira-kira begitu. Tidak berani pegang muka, tidak berani ini, kalau diberi makanan kue apalagi, diberi minuman yang botolan begini saja, ada teman yang tidak minum apalagi diberi kue. Saudara tahu panti yang paling kasihan itu adalah anak-anak yang kena AIDS, tidak ada yang mengunjungi, tidak ada yang mau adopsi, mereka dianggap betul-betul seperti sampah masyarakat, sedih sekali. Dan kalau kita sekali lagi lihat waktu Kristus turun dari bukit yang Dia jumpai adalah yang paling tersisihkan yaitu orang kusta ini. Dia mencari yang terhilang, inilah yang dilakukan oleh Kristus, dan ini pula yang harus kita renungkan untuk kita kerjakan dalam hidup ini. Kita mencari mereka yang hilang. Tetapi sebelum kita sampai ke sana, kita harus tahu kalau di dalam gambaran cerita waktu baca cerita ini, siapa kita di dalam cerita ini? Kalau kita mau renungkan kita adalah orang kusta itu. Kitalah orang yang terkutuk itu, orang yang tersisih itu, orang yang najis itu, orang yang dimurkai Tuhan bila Tuhan tidak datang dan mencari kita yang hilang, kitalah orangnya. Kalau sekarang kita sadar kita adalah orang kusta yang sudah disembuhkan oleh Tuhan, maka saya percaya kita punya attitude kepada orang lain yang mungkin dia sedang mengidap penyakit spiritual atau sedang kompromi, kita tidak akan menghakimi dia sebagaimana orang yang sepertinya suci dari awal. Kita harus tahu dulu kita juga orang penyakitan, tapi kita sudah disembuhkan oleh Kristus. Sekarang yang bisa kita lakukan adalah membawa yang lain kepada Kristus, itu yang kita kerjakan. Kita punya pekerjaan bukan menyembuhkan orang sakit kusta, kita punya pekerjaan adalah membawa orang yang berpenyakit kusta datang kepada Kristus, itu yang kita kerjakan hari ini. Jadi kita tidak bisa mengatakan kita akan lakukan apa yang Kristus lakukan, ini tidak bisa demikian. Kristus menyembuhkan orang kusta, kita tidak bisa lakukan ini. Yang kita bisa lakukan adalah membawa orang sakit kusta kepada Kristus. Tentu di dalam konteks kita ini berbicara hal-hal spiritual, orang yang berdosa, orang yang jauh dari Tuhan, orang yang selalu kompromi hidup di dalam kekudusan hidup dan segala macam, inilah orang-orang yang kita bawa kepada Kristus. Dan biarlah Kristus yang pada akhirnya menjamah orang kusta ini sebagaimana Kristus sudah menjamah kita terlebih dahulu, itulah sudut pandangnya. Jadi ini juga berbicara aplikasi di dalam konteks mujizat ini, lalu apa aplikasi dari mujizat Tuhan Yesus? KKR kesembuhan? Tidak, aplikasinya adalah membawa jiwa kepada Tuhan.
Dan sekarang di dalam bagian berikutnya, ayat 2, orang itu datang dan melakukan apa? Dia sujud menyembah kepada Kristus. Dia sujud berarti dia merendahkan diri, dia mungkin datang dari tempat yang agak jauh karena dia tahu dia kusta, dia datang bukan tiba-tiba peluk Tuhan Yesus, bisa saja begitu kalau dalam konteks yang kurang tahu adat istiadat. Tapi dia datang bersujud dan mengatakan, “Tuan, jika Tuan mau Tuan dapat mentahirkan aku.” Ini kalimat yang menyayat hati tapi juga kalimat yang punya iman. “Kalau Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku,” kalimat yang tepat diutarakan dan juga dalam konteks kita melayani dalam orang-orang yang mungkin ada kelemahan tubuh. Kita tahu dia dapat, tetapi itu di dalam kedaulatan Tuhan, apakah Tuhan mau menyembuhkan atau Tuhan mengizinkan. Dan di dalam kedua pilihan tersebut, pilihan mana pun, nama Tuhan akan dipermuliakan. Nama Tuhan akan dimuliakan, baik sakit ataupun sehat. Kristus akan dinyatakan dalam hidup orang tersebut. Jadi dalam konteks ini dia berkata, “Tuan, jika Tuan mau Tuan dapat mentahirkan aku.” Bukan dalam keadaan yang memaksa Tuhan, “Kalau Engkau Tuhan, sembuhkan aku,” kalau kita respons balik, “Maaf, mau tanya siapa kamu?” Kamu siapa bisa memaksa Tuhan? Begitu ngotot misalnya akan puasa terus kalua Tuhan belum beri apa yang saya inginkan. Itu paksaan. Saya tidak paksa, tapi saya akan terus puasa sampai itu dipenuhi. Itu seperti anak kecil minta mainan, guling-guling di lantai. Kita mungkin ada temptation untuk melakukan itu. Kita jengkel, tapi Tuhan kadang beri juga, karena Dia memperhatikan kita, menopang iman kita yang lemah. Tetapi itu tidak bisa dijadikan dasar untuk yang kemarin berhasil, berarti berikutnya akan berhasil. Paksa terus? Tidak.